Minggu, 01 Desember 2019

Militansi Kelompok Seni Tradisi Minangkabau

30 TAHUN SANGGAR PALITO NYALO
kelompok Seni Tradisi Palito Nyalo 
bersama dengan Wali Kota Padang Mahyeldi
Militansi sebuah grup atau kelompok seni, khusus seni tradisi Minangkabau, tergambar dari perjalanan panjang Palito Nyalo. Palito Nyalo ialah sebuah kel0mpok atau sanggar atau komunitas yang berbasis pada seni tradisi Minangkabau bermarkas di Kelurahan Limau Manih, Pauh, Padang.
Komunitas Palito Nyalo awalnya merupakan sebuah kelompok yang beranggotakan keluarga dan beberapa kerabat didirikan Djamaluddin Umar pada 14 April 1989. Tujuan dihadirkan Palito Nyalo untuk mengisi acara kesenian dalam perhelatan warga di Pauh dan sekitarnya.

Selain itu, Palito Nyalo hadir karena saat itu tidak adanya kelompok seni tradisi yang dikelola secara profesional di Pauh.
"Pada waktu itu belum ada kelompok seni tradisi yang dikelola secara profesional. Kelompok atau sanggar seni yang tradisional banyak di Padang, tapi belum dikelola  profesional. Palito Nyalo memang diupayakan pengelolaannya secara profesional atau paling tidak dengan manajemen yang tertib. Awal mula berdiri fokus pada randai, silek, musik, dan tari-tarian yang khas Pauh," kata Dasrul, Ketua Palito Nyalo, Jumat, 12 April 2019.
Dijelaskan Dasrul terkait makna dan arti palito nyalo, yaitu pelita (lampu) yang menerangi. Filosofinya merupakan dama kecil yang menerangi dirinya sendiri dan sekitarnya. Karena pada mulanya berdiri para pendiri mempunyai misi agar anak-anak di Pauh mendapatkan pengetahuan mengenai kesenian Minangkabau," ungkap Hendri Yusuf, salah satu anggota Palito Nyalo.
Sekarang, tata kelola program dan manajerial Palito Nyalo sudah mengarah professional. Kalender program disusun secara tertib dan dijalankan dengan konsisten. Palito Nyalo memokuskan dirinya pada pertunjukan seni-seni tradisional berupa randai dan silek berbasis Minangkabau dan Pauh. Seni-seni kreatif berbasis tradisi juga dikembangkan.
Kita di sini ada pertunjukkan randai, musik, silek, perkusi dan musik kreasi yang tetap berbau keminangkabauan, belajar pidato adat pepatah dan petitih, serta halakah juga digiatkan,"  urai Dasrul.
Dalam perjalanan panjang selama 30 tahun, Palito Nyalo memiliki basis dan arahnya yang dengan visi 4 M, yaitu Menggali, Menumbuh, Mengembang, dan Melestarikan seni tradisi Minangkabau. Misinya merawat kebudayaan seni tradisi Minangkabau.
"Kita mengajarkan seni tradisi Minangkabau tidak terbatas hanya kepada masyarakat Minangkabau saja, tetapi ke semua orang yang ingin belajar seni tradisi Minangkabau. Saat ini ini kita juga menjadi pusat studi oleh Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unand," ujarnya.
Dikatakan Dasrul, dalam visi menggali kesenian Minangkabau, Palito Nyalo rutin menggelar diskusi bulanan. Diskusi seputar seni Minangkabau dan juga wirid kebudayaan. Diskusi budaya menghadirkan tokoh-tokoh, akademisi, dan mahasiswa, zserta masyarakat.
“Tema-tema diskusi yang yang dibahas tentang sosial kemasyarakatan yang berkaitan dengan seni dan budaya, dan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarak lewat seni," tambah Dasrul, yang juga alumnus Jurusan Minangkabau FIB Unand.
Lebih jauh ia uraikan tentang program Palito Nyalo dalam hal pendidikan dan pelestarian seni tradisi Minangkabau. Dalam bidang pendidikan seni kepada generasi muda di Kecamatan Pauh, Palito Nyalo membuka seluasnya untuk mereka belajar adat, musik, randai tari, silek, dan lainnya.
“Anak-anak muda itu, langsung datang ke Sanggar Palito Nyalo. Dalam program pendidikan ini, Palito Nyalo tidak mematok biaya kepada anggota. Mereka tidak dipungut biaya sama sekali bagi masyarakat lokal," jelas Dasrul.
Palito Nyalo kini memiliki sumber daya yang telah mampu melatih seni-seni tradisi Minangkabau yang siap dipanggil jika dibutuhkan.
“Mereka ini bisa melatih seni tradisi ke sekolah hingga ke sanggar-sanggar yang ada di Padang dan daerah lainnya di Sumatera Barat. Saat ini kami melatih seni tradisi di sekolah jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Ada mata kuliah randai di UNP dan Unand yang pelatihnya berasal dari Palito Nyalo. Ada juga randai yang berbahasa Inggris yang sudah berjalan selama 4 tahun," urai Dasrul yang juga jurnalis PadangTV ini.
Selain itu, tambahnya, tenaga pelatih itu juga melatih di sanggar-sanggar yang menjadi binaan Palito Nyalo dan juga kelompok Karang Taruna di Batuang Taba. Kini, total anggota aktif di Palito Nyalo sebanyak lebih kurang 60 orang.
Berawal dari Upah Panen Padi
Perjalanan sejarah Palito Nyalo menembus angka 30 tahun, bukan hal yang mudah, pastinya. Perjalanan waktu itu dibuktikan dengan capaian Palito Nyalo mengembangkan potensinya.
Palito Nyato, sebuah kelompok seni yang jauh dari ingar dan konflik galibnya yang dialami kelompok-kelompok seni sejenis di Kota Padang. Palito Nyato jauh dari perseteruan karena mereka datang dari kebersahajaan kesenian. 
Palito Nyalo, tentu harus bernapas. Napas itu menggerakkan kegiatan dan program yang disusun.  Maka, dengan perencanaan yang kreatif dan konsisten, Palito Nyalo menggagas sebuah program yang diberi nama kampong wisara budaya Palito Nyalo di Limau Manih.
Program yang dirancang menyasar tetamu atau wisatawan ini, terutama wisatawan mancanegara. Palito Nyalo menawarkan paket-paket kesenian dan budaya Minangkabau.
“Kita sasar wisatawan luar Sumbar dan mancanegara. Banyak paket-paket pertunjukkan seni tradisi Minangkabau. Mareka terlibat langsung dalam pagelaran. Jadi tetamu bisa bermain randai, musik, dan lainnya. Kita bekerja sama dengan biro travel, asosiasi wisata, instansi, juga perorangan," kata Hendri Yusuf, Ketua Wisata Budaya di Palito Nyalo di Sekolah Alam Minangkabau, Jumat, 12 April 2019.
Hendri Yusuf lebih jauh mengatakan, penghasilan dari paket-paket wisata itulah Palito Nyalo dengan beragam programnya dihidupkan.
“Untuk dana operasional diperoleh dari paket wisata budaya yang ditawarkan. Paket wisata budaya merupakan salah satu indikator pemasukan,” tambahnya.
Selain itu, pemasukan diperoleh dari honorarium para anggota yang melatih seni-seni tradisi ke sekolah. Juga paket kesenian yang dijual untuk acara-acara pemerintah dan lembaga, hingga pertunjukkan yang diminta oleh masyarakat, misalnya acara baralek.
“Itu pemasukan rutin untuk menopang keberlangsungan operasional dan jalannya Palito Nyalo,” terang Hendri Yusuf, yang juga seorang guru di Sekolah Alam Minangkabau.
Selain dari paket wisata, dana operasional berasal dari  pendapatan Palito Nyalo saat diundang melakukan pertunjukan.
“Cara subsidi silang ini kita menyebutnya manajemen lapau nasi. Pendapatan yang ada dikurangi biaya produksi dan honor anggota. Kemudian 20 persennya menjadi kas yang digunakan sebagai dana operasional sanggar," urai Hendri Yusuf. 
Dasrul, Ketua Palito Nyalo juga menjelaskan terkait dengan bentuk bantuan pemerintah yang duterima kelompok ini.
“Palito Nyalo pernah mendapatkan bantuan berupa alat musik, dan pakaian, dari Pemerintah Kota Padang, Pemprov Sumbar, dan juga anggota dewan,” kata Dasrul.
Setiap tahun Palito Nyalo menggelar pertunjukkan besar yang dinamakan dengan “Pauh Bagalanggang”. Peristiwa budaya ini didukung oleh pemerintah.
"Setiap tahun kita mengadakan Pauh Bagalanggang. Luas kegiatan se-Sumatera Barat. Tahun ini yang ke enam kalinya. Iven budaya ini khusus menampilkan seni tradisi khas Minangkabau. Selain itu juga diadakan diskusi, lomba pidato, pepatah petitih adat, tari, dan musik kreasi. Tapi untuk pertunjukkan kita hanya menampilkan seni tradisional Minangkabau," jelas Dasrul.
Konsep kegiatan Pauh Bagalanggang itu sebagai salah satu upaya Palito Nyalo melestarikan seni Minangkabau dari pengaruh budaya asing, dan juga seni-seni kontemporer yang tak jelas manfaatnya bagi Minangkabau.
"Kita memang fokus pada seni tradisi Minangkabau. Karena seseuatu yang hilang itu lebih berharga dari menciptakan yang baru,"  timbal Hendri Yusuf.
Dalam pengembangannya, Palito Nyalo terbuka untuk siapa saja yang ingin belajar kesenian Minangkabau. Palito Nyalo bukan komunitas yang tertutup.
"Siapa saja boleh latihan di sanggar dan siapa saja boleh memakai sanggar. Kita sangat terbuka. Untuk latihan, Palito Nyalo tidak memungut biaya," ungkap Hendri Yusuf lagi.
Kesepakatan tidak memungut biaya ini merupakan nilai yang diwariskan oleh pendiri Palito Nyalo. Pada mulanya Palito Nyalo untuk operasional didapat dari upah memanen padi. Penghasilan upah panen padi itulah yang digunakan untuk operasional.
“Dahulu kan ekonomi susah, masyarakat kita sebatas baru bisa memenuhi kebutuhan primer," kenangnya.
"Kita dipesankan jika dulu belajar di Palito Nyalo tanpa biaya. Mengajarkannya juga mesti tanpa meminta biaya," ujarnya.
Hendri Yusuf  menceritakan, dirinya jadi anggota Palito Nyalo sejak tahun 1991. Ia aktif memberikan pendidikan seputar kesenian Minangkabau kepada generasi muda.
"Saya bergabung dengan Palito Nyalo itu sejak tahun 1991, masih SD, awal mulanya sebagai penari. Saya belajar tari bui-bui dan tari piriang," ujar Hendri Yusuf.
Sekarang ia mengajar kesenian dan menghidupi keluarganya melalui seni. "Saya termasuk anggota yang banyak bisanya. Saya bisa menjadi pelatih tari, silat, randai, gandang, dan musik. Sekarang saya mengajar seni di sekolah (Sekolah Alam Minangkabau), di kampus UNP dan Unand, dan di kelompok-kelompok masyarakat," ungkapnya.
Ia mengisahkan, tak semua yang dilatihnya mendapat honor. Ada kalanya, Hendri tidak menerima honor. "Iya honornya biasa kopi atau rokok. Saya berprinsip jika memberi materi itu akan habis dan lenyap. Sementara membagi ilmu, maka ilmu itu akan bertambah," ujarnya.
Untuk menopang biaya hidup di samping mengajar, Hendri memiliki usaha menjahit pakaian adat. "Saya memiliki usaha sampingan menjahit pakaian adat," jelasnya.
Hendri sekarang menjabat sebagai Ketua Wisata Budaya di Palito Nyalo. "Saya juga mengelola kampung wisata budaya di Palito Nyalo. Kita menjadikan budaya sebagai destinasi. Nanti pengunjung dikenalkan dengan pertunjukkan tradisi, galeri, dan benda-benda kesenian Minangkabau," ungkapnya.
Apa yang digeluti Hendri sekarang adalah upaya dari membuktikan kepada orang-orang banyak, bahwa ia dapat hidup dengan berkesenian.
"Saya membuktikan bahwa apa yang saya kerjakan dengan penuh, yakin, dan tidak tanggung-tanggung bisa menghidupi saya. Saya dulu sering disangsikan: Lai ka iduik ang jo manapuak-napuak sarawa galembong tu," kenang alumni Jurusan Sendratasik UNP ini. "Meskipun tidak kaya, tapi mencukupi," ungkapnya. reportase sonia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...