MUHAMMAD TAUFIK (Ketua Umum Majelis Sinergi
Kalam (MASIKA) ICMI
Hayati
Syafri salah seorang pengajar di IAIN Bukittinggi, dipecat Kementerian Agama
(Kemenag) sebagai dosen. Latar belakangnya beragam, ada yang menyebut tersebab
cadar yang ia kenakan, ada pula karena indisipliner.
Menurut
Dosen Fakultas Syariah UIN Imam Bonjol Padang, Muhammad Taufik terkait kasus
Hayati Syafri ini, ia menilai adanya framing
pemberitaan terkait persoalan pemecatanan dosen Bahasi Inggris di UIN
Bukittinggi.
"Saya
melihat persoalan itu sekarang sudah clear,
bahwa pemecatan itu berkaitan dengan persolan kinerja, berdasarkan surat yang
dikeluarkan Kemenag, bukan karena bercadar," ujar Taufik di Padang, Selasa,
26 Februari 2019.
Polemik
Hayati muncul setahun yang lalu, ketika Hayati diskor mengajar pada Februari
2018. Setelah diizinkan kembali mengajar, Hayati diketahui sering tidak hadir.
Jumlah kehadiran itu terakumulasi melewati batas sehingga resmi keluar surat
pemecatan atas pelanggaran berupa tidak masuk kerja
Meskipun
demikian, Taufik tidak menampik pengakuan Hayati yang mengatakan keputusannya
bercadar tidak diakomodasi oleh kampus.
Bagi
Taufik sendiri, yang sehari-hari mengajar di UIN Imam Bonjol, tidak
mempersalahkan mahasiswanya bercadar.
"Walaupun
dalam interaksi kita punya problem, kita tidak mengenal wajah, berinteraksi bagi
saya tidak menjadi problem, selama masih kampus itu memberikan kebebasan,"
ujarnya
"Persoalan
cadar sah-sah saja, selagi kampus memberikan kebebasan, tapi jika ada kebijakan
larangan, maka hal itu harus dikembalikan ke otoritas kampus."
“Kalau
ada aturan mekanisme di kampus itu bahwa cadar tidak boleh, maka saya akan
ikuti karena ada otoritas, pendapat yang berbeda beda di dalam akan hilang
ketika ada otoritas yang memutuskan. Contohnya kita tidak boleh mendirikan
negara Islam, karena asas negara Pancasila," ujarnya.
"Kecuali
larangan yang dikeluarkan kampus sudah mengubah substansi. Sejauh ini, saya
melihat cadar adalah persoalan yang tidak substansi, kenapa perlu diributkan,
jadi kampus bagi saya merdeka saja memutuskan saja apakah mengizinkan pake cadar
atau tidak," ujar Taufik.
Taufik
melihat larangan bercadar, bukanlah persoalan substantif. "Cadar itu kan
termasuk persoalan furuiyah (cabang),
kecuali yang dilarang adalah melaksanakan ibadah," ujar Taufik.
"Kampus
dipercaya membangun otoritas ya sudah patuh saja," ujarnya.
"Polemik
itu ada di kampus, jangan polemik itu dibawa keluar. Kampus kan punya
kemerdekaan atau yang disebut mimbar akademis. Yang punya otoritas terhadap
kebijakan adalah kampus. Kalau ada
tafsir lain soal kebijakan (larangan bercadar), tafsir itu tidak punya
otoritas. Tidak bisa nanti ketika rektor bikin kebijakan A, dimobilisasi massa
dengan membangun argumentasi, bisa heboh," tandasnya. n rahmat irfan denas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar