TITIAN
BUDAYA ISI PADANG PANJANG-NEGERI SEMBILAN
OLEH Nasrul Azwar, Presiden AKSI dan Jurnalis
“The Margin of Our Land #3” |
Kalimat
di atas saya kutipkan karena relevan dengan tulisan apresiatif ini terhadap
tiga pertunjukan karya seni dari ISI Padang Panjang yang dipentaskan di
Kompleks Jabatan Kebudayaan dan Kesenian Negara (JKKN) Negeri Sembilan dalam
program Titian Budaya Malaysia-Indonesia pada 23-26 Oktober 2019 lalu.
Ketiga karya seni itu ialah dance theatre berjudul “The Margin of Our Land #3”dengan koreografer Ali Sukri dan sutradara Kurniasih Zaitun diperkuat komponis Elizar Koto dan Indra Arifin, serta dramaturg Sahrul N.
Ketiga karya seni itu ialah dance theatre berjudul “The Margin of Our Land #3”dengan koreografer Ali Sukri dan sutradara Kurniasih Zaitun diperkuat komponis Elizar Koto dan Indra Arifin, serta dramaturg Sahrul N.
Selanjutnya, seni
pertunjukan “Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ #2” sutradara Yusril dan
Sahrul N sebagai dramaturg, tata musik digarap Avant Garde Dewa Gugat
Dan yang ketiga ialah
karya seni randai perempuan “Si Rabuang Ameh #2”, penulis naskah dan tuo randai
Zulkifli, Erlinda (penata gerak), dan Admiral (komposer).
Ketiga karya seni ini
mendapat dukungan penuh dari program Hibah Penelitian, Penciptaan dan Penyajian
Seni (P3S) Kemristekdikti yang merupakan garapan dosen-dosen ISI Padang Panjang.
“Si
Rabuang Ameh #2”: Perempuan Berandai
Pertunjukan randai perempuan Si Rabuang Ameh di Auditorium D’Sury Malaysia-foto denny cidaik |
Pertunjukan yang
digelar di JKKN Negeri Sembilan, Malaysia, tentu saja mengemban
konteks yang berbeda dalam perspektif resepsi penonton jika dibanding dengan
penonton di Sumatera Barat (Minangkabau). Kita tahu, Negeri Sembilan dalam
kultur dan garis keturunan sebagian besar masyarakatnya, tak bisa dipisahkan
dengan Minangkabau. Pementasan randai perempuan “Si Rabuang Ameh #2”
membuktikan badusanaknya kedua bangsa
itu.
Seni randai “Si
Rabuang Ameh #2”, yang pemainnya semua perempuan itu—seperti disitir dari St.
Sunardi di awal tulisan ini—merupakan seni randai yang
berbasis cerita rakyat (folk tale)
dan lagu rakyat (folk song) yang
berkembang pada masa lalu yang hingga saat ini masih melilit emosi budaya masyarakat
Minangkabau, termasuk tentu saja masyarakat rantau “Minangkabau” di Negeri
Sembilan. Tak ayal, respons penonton saat dipersembahkan di Auditorium D’Sury
JKKN Negeri Sembilan, cukup luar biasa.
Kenangan
kultural sekaligus resepsi batin publik Negeri
Sembilan terpuaskan. Ada titian atau jembatan budaya yang mempertautkan
emosi dengan penampilan keseluruhan dari randai “Si Rabuang Ameh #2”
sehingga—paling tidak—500 kursi yang tersedia dalam gedung beratap gonjong itu
terisi penuh membuktikan apresiasi warga sangat besar.
Pertunjukan randai perempuan Si Rabuang Ameh di Auditorium D’Sury Malaysia-foto denny cidaik |
Tampak hadir Tan Sri
Dato Sri Utama Dr. Rais Yatim, Ketua Dewan Penasihat Jaringan Masyarakat
Minangkabau Malaysia (JM3) bersama istri, Novesar Jamarun, Rektor ISI Padang
Panjang, Mohd Radzi Omar, Pengarah JKKN, Negeri Sembilan, Dirwan Ahmad Darwis,
Deputi Presiden Minangkabau Diaspora Network Global, Lukman (seniman film),
masyarakat Minangkabau di Negeri Sembilan, mahasiswa, dan pegiat teater
Malaysia.
“Kisah dalam cerita
“Si Rabuang Ameh” mendapat apresiasi dan beragam respons dari penonton di
Malaysia. Kita tak menyangka cerita “Si Rabuang Ameh” penonton antusias.
Barangkali kisahnya komunikatif dengan penonton,” kata Zulkifli, penulis naskah
“Si Rabuang Ameh”.
Cerita
“Si Rabuang Ameh” #2, merupakan kisah klasik yang berkembang di tengah
masyarakat Jorong Jambak, Nagari Bungo Tanjung, Kecamatan Batipuh, Kabupaten
Tanah Datar, sebagai cerita rakyat (folk
tale). Kisah turun temurun ini diberi nyawa dan dipindahkan dari teks lisan
menjadi lisan oleh Zulkifli.
Si Rabuang Ameh yang
diklaim Zulkifli sebagai randai yang pertama kali dimainkan dengan pemain
perempuan ini ditata geraknya secara apik tanpa keluar dari sumbang dua baleh (aturan dan tatanan
sosial yang berlaku secara tak tertulis bagi perempuan di Minangkabau). Pemain
randai ini tidak lagi mengenakan pakaian (celana) galembong yang biasa dipakai
laki-laki saat bermain randai. Untuk mencapai efek bunyi pukulan galembong dan
paha, digantikan alat yang disebut dengan tungkahan kayu. Tungkahan inilah yang
menimbulakan bunyi serupa tapuak
galembong saat pengganti legaran.
Menurut Zulkifli yang
bergelar adat Datuak Sinaro Nan Kuniang ini, permainan randai yang dimainkan
perempuan, permainan galombang, perempuan mengenakan kostum laki-laki, yaitu
celana galemboang, baju taluak balango, destar, sisampiang, dan lain
sebagainya. Mereka juga melakukan gerakan seperti gerakan laki-laki; menepuk
galemboang sambil menyepak dan mengangkangkan kaki, meloncat dan tak mustahil
juga bisa berguling sebagaimana perkembangan permainan tapuak galembong yang
dilakukan oleh pemain randai laki-laki dewasa ini.
“Banyak kalangan, baik
budayawan, ninik mamak, dan tuo randai yang tidak merestui kaum wanita ikut
sebagai pemain galombang dalam pertunjukan randai. Polemik perempuan ikut dalam
gerakan galombang ini akan “menggaggu” perkembangan randai sebagai teater
tradisional rakyat Minangkabau,” kata Zulkifli.
“Polemik di tengah
masyarakat inilah yang “memaksa” tim kami melakukan penelitian dan penciptaan,
serta pertunjukan dengan model permainan randai perempuan Si Rabuang Ameh.
Model garapan ini telah diupayakan dengan saksama mempertimbangan kepatutan dan
kepantasan perempuan Minangkabau dan dapat menjadi pedoman untuk menciptakan
randai perempuan Minangkabau. Selain model ini merupakan salah satu strategi
pengembangan randai Minangkabau untuk masa depan,” tambahnya.
Kendati demikian, satu
hal yang sangat perlu diperhatikan ialah “pemaksaan” menghadirkan seni tradisi
randai dalam panggung prosenium yang memisahkan pertunjukan dengan
penonton dalam jarak pandang estetis cukup jauh. Sementara kita memahami, bahwa
seni randai merupakan permainan rakyat yang sangat partisipatif, interaktif,
dan salah satu seni komunal Minangkabau yang paling populer yang sudah lazim
dimainkan di galanggang terbuka. Sebagian menyebut, seni randai merupakan seni
rakyat yang paling demokratis.
“The
Margin of Our Land #3”: Trilogi Batas Manusia
Tari-teater “The
Margin of Our Land #3” menutup trilogi pementasannya dengan subjudul “Tapal”.
Dua garapan sebelumnya, menyoal “Ulayat” dan “Reklamasi”.
“The Margin of Our Land #3” berbicara
polarisasi kepemilikan di tapal batas negara yang sangat rentan memicu konflik
atau sebaliknya, malah memunculkan pertalian sosial-budaya dan emosi kedua
masyarakat perbatasan terluar negara Republik Indonesia. Tanah menjadi semacam
harga diri personal, komunal, dan negara.
Pertunjukan dance theatre “The Margin of Our Land #3” di Auditorium D’Sury Malaysia-foto denny cidaik |
Pertunjukan yang
digarap koreografer Ali Sukri dan tata lakunya (sutradara) Kurniasih Zaitun
ini, merupakan senyawa dua pertunjukan yang dikerjakan sebelum, yakni “The
Margin of Our Land #1 dan #2. Properti utamanya garis polisi dan tapak batas
tanah atau pancang. Gerakan silat yang terkesan aktobatik dan atraktif dengan
pemain nir-identitas itu mewarnai 30 menit pertunjukan panggung.
Namun, sepanjang yang
saya nikmati pementasan, “The Margin of Our Land #3Tapal” yang didominasi
tubuh-tubuh aktor yang bergerak dinamis tapi masih hampa pesan yang ingin
disampaikan.
Jika merujuk pada
gagasan teksnya, yakni soal konflik tanah sekaligus dengan beragam perkara di
dalamnya, di atas panggung masih sulit membedakan mana yang disebut “tokoh
kelompok” dan “tokoh individu” yang direpsentasikan dengan yang menantang
penggusuran, berpihak pada penggusuran, dan apatis sekalipun.
Tokoh-tokoh yang
diidentifikasikan dalam teks, tampak belum sepenuhnya dihadirkan di atas
panggung. Identifikasi tokoh saat pementasan “The Margin of Our Land #3Tapal”
terlihat sebagai kelompok masif manusia yang bergerak di atas panggung dengan
komposisi dan nirkomposisi yang menjauh dari makna dan pesan yang diemban. Namun,
ekses ini terbantu ketika para aktor masuk ke ranah eksplorasi garis polisi
yang memenuhi panggung. Kendati penggunaan properti garis polisi juga pernah
digunakan dalam pementasan #1Ulayat, tapi dengan eksplorasi yang beda,
pertunjukan “The Margin of Our Land #3Tapal” agak terselamatkan juga.
“Bangku
Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ #2Randai”
“Bangku Kayu dan Kamu
yang Tumbuh di Situ #2Randai” merupakan salah garapan kedua dari trilogi
“Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ”. Pada bagian #1, “Bangku Kayu dan
Kamu yang Tumbuh di Situ” berbicara soal pendidikan (sekolah). Sedangkan yang
kedua ini, #2, lebih memokuskan pada eksplorasi mendalam tentang seni randai.
Pertunjukan “Bangku
Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ #2” di
Auditorium D’Sury Malaysia-foto denny cidaik
|
Dalam batasan klasik, randai ialah
teater tradisional rakyat Minangkabau yang amat populer dan digemari masyarakat.
Setiap nagari-nagari di Sumatera Barat (Minangkabau) memiliki kelompok randai
walau dalam perjalanannya kadang hidup-kadang mati suri.
“Bangku Kayu dan Kamu
yang Tumbuh di Situ #2 dibuka dengan penayangan gambar audio-visual yang
ditonton sebarisan orang yang duduk rapi di bangku kayu. Tayangan yang distorsi
itu menjelaskan tentang definisi randai oleh pakar-pakar seni tradisi
Minangkabau yang mirip program televisi-televisi umumnya di Tanah Air berdurasi
2-3 menit.
Menghadirkan
“distorsi” dalam tayangan itu bisa dimaknai sebagai pemutarbalikan suatu fakta,
aturan, dan sebagainya. Distorsi juga berarti penyimpangan dari norma-norma dan batasan yang
telah disepakati.
Garapan “Bangku Kayu
dan Kamu yang Tumbuh di Situ #2 masuk dari tayangan distorsi ini. Selanjutnya,
aktor pun yang juga nir-identitas dan identifikasi memenuhi panggung dengan
masing-masing bangku yang melekat pada dirinya dengan gerak silek, legaran dan
tapuak galembong dalam randai, serta akrobatik yang atraktif, dan menyertakan
gerakan Hip Hop.
“Gagasan yang diwujudkan
di atas panggung dalam penciptaan teater kontemporer berbasis tradisi
Minangkabau, terutama pada kekuatan tubuh aktor yang berkorelasi dengan elemen
artistik dan benda benda dalam mewujudkan peristiwa,” kata Yusril, sutradara, yang diamini Sahrul N,
dramaturg.
Mewujudkan karya ini
menggunakan metode yang bersumber dari falsafah paco-paco di Minangkabau, silat dan randai. “Metode paco-paco dalam
menciptakan teater “Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ” adalah usaha di
dalam mengkonstruksi serpihan peristiwa dan kehidupan menjadi satu kesatuan
yang utuh, eksotik, estetis dan artistik,” tambah Sahrul.
Pertunjukan “Bangku
Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ #2” di
Auditorium D’Sury Malaysia-foto denny cidaik
|
Pertunjukan “Bangku
Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ #2 memang nondialog. “Dialognya” adalah
tubuh, gerak, properti atau material yang melekat ke tubuh aktor (pemain),
musik, suara, dan tata cahaya panggung.
Kendati demikian,
membaca “Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ #2 di atas panggung yang sejuk
di D’Sury malam itu, seperti membaca “cerpen” yang masih terbengkalai. Garapan
itu cuma menawarkan simbol kosong secara semiotik, “distorsi” yang dihadirkan
masih belum mencapai teror dahsyat, dan pesan yang dimasukkan dalam gerak juga
masih terlihat samar.
Selain itu, paco-paco,
randai, dan silek sebagai basis penciptaan juga masih terlihat normatif
(tempelen), belum menjelma yang inheren dengan keseluruhan garapan “Bangku Kayu
dan Kamu yang Tumbuh di Situ #2. Artinya, tubuh aktor belum berhasil
menciptakan “tubuh budaya” dengan “DNA” Minangkabau itu.
Tentu, jika “Bangku
Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ #2 bagian kedua dari trilogi ini, ia akan
menjadi sangat menarik disempurnakan pada proses #3 nanti. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar