OLEH Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie
|
H. Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie menjabat tangan Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan, Malaysia, DYMM Tuanku Jaafar ibnu Tuanku Abdur Rahman sesampainya di Pagaruyung pada tahun 1985. Tuanku diantar oleh Bupati Tanah Datar Ikasuma Hamid dan kerabat Pagaruyung Sutan Indrawansyah. |
Saya bawa pembaca lebih dahulu mengenal tentang perantauan orang
Minangkabau di Negeri Sembilan Darul Khusus, Semenanjung Tanah Melayu.
Jiwa
perantau orang Minangkabau memang sudah berlangsung sejak beberapa abad yang
lampau. Pada abad ke-12 Masehi, ada catatan yang mengatakan orang Minangkabau
sudah menetap di Pulau Temasik, Singapura sekarang.
Beberapa
abad kemudian para perantau Minangkabau sudah berada di negeri Malaka yang di
kala itu sudah terbilang maju, terutama dalam perdagangan. Kerajaan Malaka pun
sudah masyhur ke mana-mana, seperti di Kesultanan Aceh, Palembang, dan ke Tanah
Jawa. Pada abad ke-15 dan 16 Malaka sedang mengalami puncak kejayaannya sebelum
dikalahkan oleh Portugis pada tahun 1511.
Sebuah
pantun yang sangat populer di kalangan masyarakat agaknya telah menjadi cemeti
bagi anak Minangkabau untuk pergi merantau. Pantun itu berbunyi:
Karatau
madang di hulu
Babuah
babungo balun
Marantau
bujang dahulu
Di
rumah paguno balun
Pantun tersebut
jadi pendorong semangat merantau bagi anak-anak Minangkabau ketika selagi muda
remaja. Pergilah merantau dan tinggalkanlah kampung. Para remaja dianjurkan
mencari pengalaman sebanyak-banyaknya karena di rumah atau di kampung belum
bermanfaat. Di ranah Minangkabau sendiri menjadi buah mulut pergi merantau ke
“Kolang” yaitu pergi ke perantauan Kelang yang terletak di pinggir pantai
Malaysia Barat.
Diperkirakan
sebelum perantau Minangkabau sampai di Rembau dan Seri Menanti mereka telah
meneruka di naning. Tak ada angka tahun yang menyebutkan kapan orang
Minangkabau mulai merantau ke Semenanjung Tanah Melayu itu. Pada sebuah nisan
tua di Sungai Udang, Linggi, tertulis nama Syeikh Ahmad yang wafat pada tahun
1467 Masehi.
Ada
yang berpendapat bahwa yang berkubur di sana adalah seorang yang datang dari
Arab dan ada pula yang menyebutnya dari Pakistan.Tapi Buya Hamka yang
berkunjung ke Sungai Udang tersebut setelah meniliti tulisan Arab pada batu nisan
makam Syeikh Ahmad tersebut merasa heran kenapa setelah nama Ahmad itu tertulis
“Majnun”? Padahal “Majnun” itu artinya “gila”. Taklah mungkin seseorang yang
dimuliakan dan dipelihara kuburannya dikatakan gila. Menurut Buya Hamka,
mungkin hal itu telah keliru dalam menuliskan kata “majnun”. Barangkali kata
itu adalah “makhdum”. Huruf Arab kha yang bertitik di atas telah keliru
meletakkan titiknya di bawah, maka jadilah ia huruf “jin”. Huruf “dal” menjadi
“nun”, sehingga dibaca “majnun”. Padahal yang dimaksudnya adalah “Ahmad
Makhudum”, nama salah seorang anggota Basa Ampek Balai, yakni Tuan Makhudum
Sumanik yang rantaunya sampai ke Negeri Sembilan.
Kebenaran
pendapat dan dugaan Buya Hamka tersebut menjadi bahan penelitian para
epigraf, dan tentunya, ahli sejarahlah
yang akan lebih menjelaskannya kelak.
Namun,
di dalam buku Sejarah Alam Melayu karangan Cikgu Buyung Adil dari
Malaysia memperkirakan kedatangan orang-orang Minangkabau ke Tanah Semenanjung
Melayu sekitar abad ke-15 Masehi. Sama dengan dugaan Buya Hamka tentang makam
Syeikh Ahmad Makhudum di Sungai Udang, Linggi, yang bertarekh 1467 Masehi dan
catatan bahwa orang Minangkabau sekitar abad 12 sudah merantau ke Temasik yang
kita kenal sekarang dengan Singapura.
Sementara
itu, menurut Tan Seri Datok Samad Idris, mantan Menteri Kebudayaan, Belia dan
Sukan Malaysia, di dalam bukunya Payung Terkembang, Pustaka Budiman,
Kuala Lumpur (1990) mengatakan bahwa ia telah mencatat sumber sejarah tempatan,
lebih berupa sejarah lisan dari Luak Jelebu.
Pada
suatu masa ada serombongan pendatang dari Minangkabau yang dipimpin oleh Dato’
Raja dan istrinya To’ Seri. Gelar tersebut telah disesuaikan dengan sebutan di
Tanah Melayu yang asalnya dari Datuak Rajo.
Konon
rombongan tersebut sebelum mudik ke Rembau dan Seri Menanti beberapa lama sudah
berada di naning. Dan sebelum menyeberang ke tanah Semenanjung, beberapa lama
pula mereka berada di Kerajaan Siak.
Memang
antara Minangkabau dengan Siak Seri Indrapura dua kerajaan yang berjalin
berkelindan karena sama-sama berkultur Melayu. Sungguh banyak sekali jasa orang
Siak bahkan dari kesultanan Siak untuk memberi bekal dan mengantar orang-orang
Minangkabau yang sudah dianggap belahan saudaranya menyeberangi selat Malaka
untuk mencari rantau baru di Semenanjung.
Dato’
Raja yang datang dari Minangkabau tersebut adalah kerabat dari Datuak Bandaharo
dari Sungai Tarab, salah seorang Basa Ampek Balai yang dikenal juga dengan
sebutan Tuan Titah.
Basa
Ampek Balai adalah semacam Dewan Menteri dalam struktur Pemerintahan
Pagaruyung. Anggota Basa Ampek Balai lainnya adalah Tuan Makhudum di Sumanik
(semacam Menteri Perekonomian), Indomo di Suruaso (Menteri Kebudayaan). Sebelum
Islam masuk ke Minangkabau. Datuak Indomo mengurus masalah wihara Budha. Tuan
Kadhi di Padang Ganting (semacam Menteri Agama Islam). Sementara Tuan Titah di
Sungai Tarab yang bergelar Datuak Bandaharo semacam Perdana Menteri merangkap
urusan kerajaan dan rantau barat. Di samping Basa Ampek Balai, terdapat Tuan
Gadang di Batipuh yang mengurus masalah pertahanan dan keamanan.
Di
dalam kitab Tambo Minangkabau disebutkan: ”Kok tajadi tuhuak parang,
nagari dalam gaduah, anak jo kamanakan tak aman, mako Tuan Gadang di Batipuh
nan bakuaso.”
Demikianlah
Dato’ Raja beserta istri yang dipanggilkan To’ Seri dan seluruh anggota rombongannya
meneruka dan menetap di suatu kawasan dekat Seri Menanti sekarang. Di daerah
tersebut ada suatu kesan bekas jalan naga (ular besar yang menurut dongeng,
penjaga pintu angin) yang alurnya sangat panjang. Tempat tersebut diberi nama
Londar Naga, tidak jauh dari Seri Menanti arah ke Gunung Pasir.
Dato’
Raja dan To’ Seri (kerabat Datuak Bandaharo Sungai Tarab) diberi kehormatan
sampai sekarang menyandang pusaka dua orang dari orang berempat di Istana Seri
Menanti Kerajaan Negeri Sembilan. Masing-masing bergelar Dato’ Penghulu Dagang
dan Dato’ Akhir Zaman.
Sutan
Sumanik dan Datuak Putih
Setelah
rombongan Dato’ Raja dari Sungai Tarab, datang pula rombongan kedua dari
Minangkabau. Kali ini adalah kerabat Tuan Makhudum Sumanik. Dua orang yang
memimpin rombongan tersebut bergelar Sutan Sumanik dan Johan Kabasaran.
Rombongannya
terus ke Rembau, kemudian menetap di Seri Menanti dan membuka negeri atau
meneruka di Tanjung Alam yang sekarang disebut Gunung Pasir.
Sejak
itu, makin ramailah para pendatang dari Minangkabau hendak menetap di
Semenanjung Tanah Melayu terutama ke Negeri Sembilan dan ke daerah sekitarnya
seperti Johor, Selangor, dan Pahang.
Satu
rombongan lagi dari Minangkabau dipimpin Dato’ Putih. Tapi Dato’ Putih bukan
dari Luhak Tanah Datar melainkan dari luhak nan bungsu di Minangkabau yakni
Luhak Limo Puluah atau Payokumbuah. Kebetulan pula dari Nagari Sarilamak
(sekarang masuk kecamatan Harau) sekitar 10 KM sebelah timur Kota Payakumbuh.
Mulanya,
Dato’ Putih dan Dato’ Laut Dalam berkumpul dengan Sutan Sumanik di Tanjung
Alam. Kemudian Dato’ dari Payokumbuah itu menetap di Kuala Gamin dan Dato’ Laut
Dalam berkampung di Kuala Air Humban Tali. Kuala Gamin kekal nama itu sampai
sekarang, tapi Kuala Air Humban Tali sudah tak dikenal lagi dan tidak dapat
diketahui di kawasan mana tempat itu berada.
Diceritakan,
ketika Dato’ Putih sedang membuka lahan baru untuk persawahan dan peladangan,
tiba-tiba menemukan tiga rumpun padi. Padi siapa yang telah tercecer pada
rawa-rawa itu atau siapa yang menanam di situ, tak seorang pun yang tahu.
Namun, Dato’ Putih sadar juga bahwa di kawasan itu dulunya telah ada penduduk
asli sebagai orang Sakai yang suka hidup berpindah-pindah. Mungkin mereka telah
mengenal juga bercocok tanam dan bertanam padi.
Dato’
Putih yang sudah dikenal dari kampungnya Payokumbuah seorang pawang yang
disegani, apa yang dikatakannya dituruti oleh orang lain. Dato’ Putih menamakan
kampung itu dengan nama “Padi Menanti.” Kenapa dari nama “Padi Menanti”
sekarang berganti menjadi “Seri Menanti” tidaklah diketahui dengan jelas.
Ada
yang berpendapat untuk menghormati atau mengambil sempena nama To’ Seri, maka
nama Padi Menanti diganti Seri Menanti. Atau karena “padi” juga disebut “Sri”,
seperti Dewi Sri, mungkin lebih enak didengar nama “Seri Menanti”. Tapi itu
tidaklah pasti. Namun, nama yang berkekalan sampai sekarang adalah Seri
Menanti. Di sana sekarang masih didapati istana lama mirip dengan rumah gadang
di Minangkabau. Sedangkan di depannya sudah ada pula istana resmi kerajaan
Negeri Sembilan.
Berabad-abad
sudah para perantau Minangkabau menapak dan bermukim di Tanah Melayu. Sebagai
perantau tentulah dalam kurun waktu itu terjadilah pulang mudik ke kampung yang
sudah lama ditinggalkan.
Sering
terlantun beberapa bait pantun yang menyayat hati menandakan ingatannya taklah
pupus terhadap kampung halamannya ranah Minangkabau yang indah dipagar dan
dikawal oleh Gunung Merapi, Singgalang, dan Sago.
Ketiga
gunung ini bila dipandang dari jauh bagaikan berpegangan tangan “tiga sejoli”
menjadi benteng yang kokoh dari Luhak nan Tigo, Tanah Datar, Luhak Agam dan
Luhak Limo Puluah Koto.
Dengarlah
pantunnya seorang anak Minangkabau yang teringat kampung.
Laguah
lagah kabau padati
Ganto
tadanga sampai ka ladang
Baranti
tantang Kato Tuo
Bia
sapiriang dapek pagi
Sapinggan
dapek patang
Ranah
Minangkabau takana juo
Pantun
itu menggambarkan betapa dia di rantau orang, namun ranah Minangkabau masih
teringat jua. Bagi yang sudah berhasil di rantau, satu-dua kali atau mungkin
juga setiap akan masuk bulan suci Ramadhan berniat pulang kampung menjenguk
dunsanak yang ditinggalkan di kampung.
Dalam
beberapa kali saya mengunjungi Malaysia, baik melalui udara, maupun melalui
darat dan laut, ingatan saya melayang jauh ke masa yang sudah silam, dua atau
tiga abad yang lampau. Betapa nenek moyang kita dahulu begitu nelangsa menuruti
jalan setapak di dalam hutan belantara, rimba yang hana, meretas bukit barisan
berkala-kala, naik perahu melewati jeram-jeram yang ganas dan menentang ombak
laut bergulung-gulung.
Sampai
di tempat yang dituju bukanlah disambut oleh kasur tebal atau kursi goyang
untuk bersenang-senang. Harus segera membanting tulang, bermandi keringat, di
tengah terik matahari di kala siang dan berselimut embun di kala malam hari. Cancang
latiah harus dimulai, alam harus ditundukkan, tebang rambah harus
dilakukan, semak belukar harus disiangi, membakar setiap hari, supaya terang
lahan dan terbuka.
Letih
badan pastilah terasa, namun hati yang keras dan semangat yang membaja tak akan
pernah kendor. Dengan semboyan anak Minangkabau sejak dari dahulu: Esa hilang,
dua terbilang, sebelum berhasil pantang surut ke belakang. Berakit-rakit ke
hulu, berenang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Setelah
semakin ramai perantau Minangkabau bermukim, berkampung di Rembau, Seri
Menanti, Kuala Pilah dan lain-lain, maka kebiasaan di kampung, tradisi, dan
adat istiadat tidaklah sirna dari dalam diri mereka masing-masing.
Kalau
di Minangkabau mereka punya suku seperti Koto Piliang dan Bodi-Caniago sebagai
induk suku yang diciptakan oleh peletak dasar adat Minangkabau: Datuak
Ketemanggungan dan Datuak Perpatih nan Sabatang. Pecahan suku tersebut kini
sudah lebih dari seratus banyaknya.
Kenyataannya
suku-suku yang ada di Negeri Sembilan mengikut pada nama kampung yang
ditinggalkan, seperti suku Tanah Datar, Payokumbuah, Batuhampar, Serilemak, Mungkal,
Batubelang, Serimelenggang, Tigo Batu, Tigo Nenek, Anak Aceh, dan Biduanda.
Selain
dari suku Tigo Nenek, Biduanda, dan Anak Aceh, lainnya tujuh suku berasal dari
Luhak Limo Puluah Koto dan satu saja dari Tanah Datar.
Kenapa
itu terjadi?
Menurut
sahabat saya Tan Seri Datok Samad Idris hal itu terjadi karena perantau
Payokumbuah-lah yang ramai datang membuka Negeri Sembilan.
Memang
ketika saya berada di Rembau, Jelebu atau Kuala Pilah, penduduk di sana
berbicara dengan dialek Payakumbuh. Tabek (tebat) mereka baca tobek,
patai (petai) dibaca potai, bareh (beras) dibaca borkheh.
Pas, bak dialek urang Payakumbuah atau Limo Koto Bangkinang.
Setelah
Portugis mengalahkan Kerajaan Malaka pada tahun 1511 Masehi, muncullah Kerajaan
Melayu Johor. Daerah pengaruh Malaka kini berada di bawah pengaruh Johor. Dalam
hal ini termasuk kawasan Negeri Sembilan.
Kemudian,
Kerajaan Melayu Johor pun mendapat gangguan dari Aceh, Bugis dan Belanda.
Sultan Abdul Jalil II yang memerintah Johor jadi kalang kabut juga.
Dalam
keadaan lemah demikian, anak raja Bugis datang ke Negeri Sembilan membuat
kegaduhan. Angkatan anak Raja Bugis tersebut dipimpin oleh Daeng Kamboja yang
memaksa penduduk negeri yang mayoritas berasal dari Minangkabau untuk
mengakuinya sebagai Raja di Negeri Sembilan. Orang-orang Minangkabau di sana
tentu tidak mau. Lalu mereka bertolak ke Johor untuk melaporkan keadaan
tersebut kepada Sultan Johor.
Tapi
apa hendak dikata, Kerajaan Johor yang dipimpin oleh Sultan Abdul Jalil II
dalam keadaan lemah. Serangan datang dari kiri dan kanan. Jangankan sempat
memikirkan situasi di Negeri Sembilan, untuk mengamankan Kerajaan Johor saja
Sultan sudah kewalahan.
Akhirnya
Sultan Johor menganjurkan kepada anak Minangkabau yang membuka Negeri Sembilan
tersebut untuk meminta seorang Raja ke Minangkabau. Setelah diadakan musyawarah
di Negeri Sembilan, maka disepakatilah Panglima Bandan dan Panglima Bandut yang
akan memimpin delegasi ke Pusat Kerajaan Minangkabau di Pagaruyung.
Tidak
diceritakan berapa hari atau berapa lama delegasi tersebut dalam perjalanan
untuk sampai di Pagaruyung. Yang jelas, Yang Dipertuan Sultan Muningsyah II
telah menyambut dengan baik Panglima Bandan dan Panglima Bandut. Sultan
Pagaruyung bersedia mengirim seorang anak Raja untuk memimpin serpih belahan
Minangkabau di Semenanjung Tanah Melayu tersebut.
Namun,
sebelum anak Raja dikirim sebaiknya diatur persiapan terlebih dahulu untuk
menyambut kedatangan seorang Raja di tanah seberang itu. Hal itu logis agar
penobatan raja di sana berjalan lancar dan tertib sebagaimana layaknya adat
istiadat “Diraja”. Untuk itu diutuslah seorang pembesar dari Pagaruyung untuk
berangkat lebih dulu ke Negeri Sembilan bersama dengan Panglima Bandan dan
Panglima Bandut serta rombongan. Pembesar itu adalah Rajo Khatib.
Sedangkan
Yang Dipertuan Pagaruyung, Sultan Muningsyah II memilih seorang di antara
putranya yang akan dinobatkan sebagai Yang Dipertuan Negeri Sembilan. Terjadilah
ujian fisik dan batin bagi putra-putra raja tersebut. Ada satu malam penuh
mereka ditidurkan di atas kasur batu yang diberi alas dengan daun jelatang
nyiru yang membuat seluruh tubuh gatal dan bengkak, perih, dan pedih.
Ternyata
anak Raja yang bernama Raja Mahmud lolos dari ujian tersebut. Dia tenang dan
tak ada keluhan. Tidak merasa gatal dan tidak menggarut. Tidak merasa perih dan
tidak merasa pedih. Lalu diadakan ujian kebatinan cara lain, dia juga lolos.
Dalam ilmu bela diri, dilatih dan diuji oleh tujuh ahli persilatan istana, Raja
Mahmud juga lolos, maka pilihan jatuh padanya.
Kasur
batu beralaskan daun jelatang nyiru tersebut, terletak di bawah kayu beringin
sakti, kayu besar dan rimbun tiga sesaing, yang menjadi lambang Raja Tiga Selo,
Raja Alam di Pagaruyung, Raja Adat di Buo dan Raja Ibadat di Sumpur Kudus.
Bukit
Batu Patah dan puncak Gunung Bungsu yang melatari kampung Gudam Balai Janggo,
di Ulak Tanjung Bungo di dalam Koto Pagaruyung menjadi saksi ujian kebatinan
tersebut.
Terhadap
diri Raja Mahmud diberi gelar Raja Malewar. Apa yang dimaksud dengan gelaran
itu tak ada kejelasan sampai sekarang. Tambo tidak mengisahkan dan tak
ada pula catatan di Negeri Sembilan tentang gelaran itu.
Kata
“lewa” bahasa Minangkabau, berarti memberi tahu orang, mengumumkan, menyiarkan
atau melepaskan dari kungkungan, release (Bahasa Inggeris).
Pidato
malewakan pangulu maksudnya mengumumkan kepada khalayak ramai bahwa
seseorang dengan kesepakatan kaumnya telah menyandang gelar pusaka. Dalam
kalimat adat disebutkan: himbaukan galanyo dilabuah nan golong, di pasa nan
rami, bawo barundiang jo baiyo, bawo sahutang-sapiutang …” dan seterusnya.
Mengingat
arti kata “lewa” adalah melepaskan dari kungkungan, mungkinkan yang dimaksud
dengan Raja Malewar adalah seorang raja yang sudah dilepaskan dari kungkungan
Kerajaan Pagaruyung?
Jawab
dari pertanyaan tersebut tidaklah dapat dipastikan. Yang jelas kepada Raja
Mahmud yang bergelar Raja Malewar diajarkan oleh ayahnya Yang Dipertuan
Muningsyah II bagaimana resam istana dan resam daulat, bagaimana melekatkan
destar dan memasangkan mahkota kerajaan, memasang si samping dengan pending dan
menyisipkan keris si Ganja Iras.
Melalui
Kerajaan Siak
Setelah
musta’id semuanya, maka berangkatlah Raja Malewar meninggalkan Gudam Balai Janggo,
Istana Pagaruyung menuju ke tanah seberang, Negeri Sembilan di Semenanjung
Tanah Melayu.
Dia
diharuskan membawa rambut kudungan (potongan) gombak ayahandanya di dalam
sebuah cupu yang terbuat dari kuningan. Sampai sekarang konon sehelai rambut
dalam batil (cupu) itu tersimpan baik di Istana Seri Menanti dan setiap
penobatan Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan, kudungan rambut ayah kandung
tersebut termasuk dalam kelengkapan upacara.
Raja
Malewar diiringkan oleh 40 orang yang terdiri dari para pesilat andalan, ciek
galia, ciek pandeka (seorang licin, seorang pendekar), liek-liek jangek
kasadonyo (liat-liat kulit kesemuanya) ditambah lagi dengan ahli ilmu
kebatinan, mantra-mantra, dan lain-lain.
Keberangkatan
itu bertarikh 1770 Masehi menuju ke timur melalui Luhak Limo Puluah.
Diceritakan setelah meretas hutan dan rimba (jalan darat) sampailah di kampung
yang baru ramai penduduknya disebut di Koto nan Baru. Di sana telah menunggu
beberapa buah sampuah (perahu panjang) untuk mengangkut Raja Malewar dan
rombongan mengikuti arus Batang Mahat menuju ke Kerajaan Siak, Riau. Pangkalan
tempat berangkat itu kini dikekalkan dengan nama Nagari Pangkalan Kota Baru,
lebih kurang 50 km di timur Payakumbuh.
Setelah
selamat sampai di Kesultanan Siak, Sultan Abdul Jalil memilih para ahli tikaman
dan orang kuat fisik sebanyak 8 orang untuk mengawal Raja Malewar menyeberangi
Selat Malaka.
Ada
sekitar 40 hari Raja Malewar berada di Istana Kesultanan Siak sambil menunggu kutiko
nan elok, wakatu nan baiak, supayo nak lalu angin puputan, taduah ombak, taduah
galombang, nak aman dari lanun jo parompak.
Pada
tahun itu juga Raja Malewar dan rombongan
selamat sampai di Malaka, terus ke Johor menghadap kepada Sultan.
Setelah mendapat titah dari Sultan Johor, maka Raja Malewar meneruskan
perjalanannya ke Negeri Sembilan untuk naik nobat di Penajis Tanah Kerjan dan
menjunjung mahkota di Seri Menanti pada tahun 1773 Masehi.
Sejak
itu berlakulah andaian:
ber
- raja ke Johor
ber
– tali ke Siak
ber
– tuan ke Minangkabau
Setelah Raja
Malewar bertakhta selama 22 tahun, ia pun wafat. Walaupun Raja Malewar ada
punya putra, namun Undang nan Ampek dari Luhak Rembau, Jelebu, Sungai Ujung dan
Johol, memutuskan tidak mengangkat putra mahkota sebagai pengganti.
Untuk
pengganti Raja Malewar dijemput lagi anak Raja dari Pagaruyung, maka jatuhlah
pilihan pada Raja Hitam dan ditabalkan pada tahun 1795. Selama 13 tahun
bertakhta wafat pulalah Raja Hitam digantikan oleh Raja Lenggang yang juga
dijemput ke Pagaruyung untuk ketiga kalinya bertahun 1808.
Setelah
tiga kali menjemput anak raja yang dirajakan di Negeri Sembilan, maka pada kali
keempat tidak mungkin lagi untuk menjemput anak Raja ke Pagaruyung.
Alasannya, bumi Minangkabau sadang hangek
(panas). Pagaruyung sadang paneh, lah sulik mudiak ka Minangkabau, lah
susah balaie ka hulu, batang kok banyak malintang, jalan darek kok tak aman, perang
Padri sedang berkecamuk, maka diputuskanlah menobatkan Raja Radin putra Raja
Lenggang dan cucu Raja Hitam sebagai Raja Negeri Sembilan bertarekh tahun 1824
Masehi. Sampai ke zaman DYMM. Tuanku Jaafar Ibni Tuanku Abdur Rahman, Yang
Dipertuan Besar Negeri Sembilan yang sekarang kalau tidak putra raja, adik
rajalah yang dinobatkan sebagai raja atau Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar