Saya bersama dengan Prof Dr Mestika Zed, M.A dalam sebuah seminar. Foto Dok Pribadi
IN MEMORIAM
OLEH Muhammad Nasir (Dosen di UIN Imam Bonjol Padang)
Suatu siang 30 Agustus 2019 di sebuah seminar, seseorang pria yang amat saya kenal menggamit saya yang baru masuk ke ruangan sebuah seminar. “Sini!” katanya seraya menggeser sebuah kursi kosong di sampingnya. Di barisan paling belakang ruangan. Nervous dan agak grogi saya duduk di sampingnya. Di samping Prof Dr Mestika Zed, M.A, Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Padang. Guru saya juga.
“Bagaimana tesis
Anda? Jadi membahas terorisme?” tanya Prof Mestika Zed singkat dan hangat.
“Alhamdulillah
Prof. Sudah selesai. Ya Allah, Prof masih ingat itu,” jawabku sedikit kaget
dengan pertanyaan yang lebih mirip sapaan hangat itu.
“Ya, ingatlah. Tapi saya hanya agak-agak lupa nama Anda,” jawabnya.
Demikian
tegur sapa singkat saya dengan beliau di awal pertemuan ilmiah siang itu. Saya
terkesan.
Usai tegur sapa
hangat itu, beliau berbisik: “Tema seminarnya lucu dan menggemaskan.” “O,
ya...kenapa begitu prof?”
Kemudian
kami ngobrol-ngobrol di sela-sela pembicaraan narasumber yang sedang
berkuhampas di depan. Tema seminar itu tentang “Islam dan Radikalisme”.
Beliau
menyatakan bahwa radikalisme sejatinya sebuah respons atas situasi yang
berlangsung lama. Dalam jangka pendek merupakan reaksi atas suatu peristiwa.
“Jadi, ia
(radikalis) hadir karena ada yang lain.” Demikian ia berpendapat.
Tanpa
bermaksud mendalami, saya mengajukan
pertanyaan singkat, takut-takut sekadar memberi respons. Saya takut mengajukan
pertanyaan yang dianggap tak bermutu. “Apa kira-kira maksud “yang lain” itu
Prof?” tanyaku.
Ia menjawab,
“Politik dan kekuasaan. Coba periksa catatan (sejarah) lama. Ideologi (radikal)
itu muncul sebagai respons atas tindakan penguasa (kekuasaan) dan konstelasi
politik.”
Tak lama ia
memegang lenganku dan berkata, “Sekarang mari kita dengar apa kata narasumber
di depan itu!”
Bincang
singkat itu, saya tulis di blocknote
hadiah panitia seminar.
Tak lama
setelah membaca berita wafatnya beliau di lini masa Facebook, saya membuka Wikipedia untuk melihat tahun berapa beliau
lahir. Saya kaget, Wikipedia teramat cepat mengupdate berita. Silakan simak
narasi ensiklopedi bebas dunia maya ini:
Prof. Dr.
Mestika Zed, M.A. (lahir di Batu Hampar, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat, 19
September 1955 – meninggal di Padang, 1 September 2019 pada umur 63 tahun)
adalah sejarawan Indonesia. Ia merupakan guru besar sejarah di Universitas
Negeri Padang dan Universitas Andalas. Ia aktif menulis buku serta sebagai
kolumnis.
Ternyata
wikipedia menyitir dari Singgalang
dan Langgam.id. "Breaking Nwws;
Guru Besar Sejarah UNP Mestika Zed Meninggal". Harian Singgalang, 1 September 2019. Diakses tanggal 1 September 2019.
Selanjutnya, “Indonesia Berduka: Sejarawan Mestika Zed Tutup Usia". langgam.id. 1 September 2019. Diakses
tanggal 1 September 2019.
Begitulah,
orang baik dan orang besar dalam ilmu sejarah. Cerita tentang dia begitu cepat
tersebar.
Saya
menyukai gaya bicaranya yang datar dan ringan. Saya suka cara ia menyapa saya.
Saya ingat gaya bicaranya, gestur tubuhnya dan tas kain yang ia sering bawa
untuk mengangkut buku referensi yang akan diperkenalkan kepada mahasiswanya,
bahkan jika ia percaya, ia akan menyuruh kami memfotokopinya.
“Silakan
difoto kopi dan dikembalikan. Saya tak begitu ingat siapa yang memfoto kopi
bahan ajar saya. Tapi saya akan ingat siapa yang mengembalikannya.” Demikian
kata Prof. Mestika kepada saya saat diberi kesempatan untuk memperoleh buku dan
bahan ajar yang ia bawa di perkuliahan. Tempo bicaranya pelan tapi pasti. Saya
mengira struktur bahasanya mengikut gaya berbicara orang Inggris atau
Belanda.
Sejatinya
saya mengenal beliau sejak aksi Reformasi 1998. Saya melihatnya di forum
seminar, di pertemuan para aktivis Sumatera Barat. Di Fakultas Adab IAIN Imam
Bonjol Padang, teman-teman saya se-almamater, terutama Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam (SKI) sering menyebut nama beliau. Apa daya, saya mahasiswa Bahasa
dan Sastra Arab. Secara formal, tentu tak dapat belajar langsung dengan beliau.
Waktu
berganti, masa berlalu. Tiba masanya saya dipertemukan langsung sebagai murid
dan guru pada 2006-2007. Dalam waktu yang pendek, hanya tiga semester, saya
menimba ilmu langsung dari beliau dalam empat mata kuliah di Pascasarjana IAIN
Imam Bonjol Padang, Filsafat Sejarah, Historiografi, Historiografi Islam dan
Metode Penelitian Sejarah. Yang paling berkesan dan membentuk pengetahuan dan
minat saya terhadap sejarah adalah mata kuliah Filsafat Sejarah. Di sana saya
mulai paham siapa Ibnu Khaldun,Thomas Carlyle,
A.J. Toynbee, GWF Hegel, F. Ankersmith, Francis Fukuyama, Mohammad
Yamin, Soedjatmoko dan lain-lain.
“Jangan asal
kutip. Mereka tidak sedang membuat kata-kata indah. Mereka sedang membuat
abstraksi persoalan manusia yang amat besar, sebuah pola sejarah yang
filosofis,” katanya suatu ketika di sebuah kelas sambil memberi catatan atas
tugas kuliah yang ia berikan.
Demikianlah,
bagaimana ia berjasa besar terhadap diri saya untuk memahami belantara ilmu
sejarah yang sebelumnya ibarat Somewhere
in the Jungle, sebuah istilah yang saya ambil dari buku beliau: Somewhere in the Jungle: Pemerintah Darurat
Republik Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, 1997.
Selebihnya,
interaksi saya dengan beliau berlangsung dalam forum-forum seminar, pertemuan,
diskusi.
Anywhere! in
all parts of heaven (maaf kalau bahasa Inggrisnya salah).
Dalam sebuah
bimbingan tugas mata kuliah Metode Penelitian Sejarah beliau pernah mencandai
saya. “Kalau saya masuk surga tak mau pilih-pilih. Boleh di mana saja, asal
masih di surga,” ujarnya sambil tertawa-terkekeh usai membaca separagraf uraian
saya tentang fenomena bom bunuh diri (suicide
bombing). Saya memang menulis
proposal tesis “Transformasi Gerakan Fundamentalisme Islam di Indonesia
Pascaperistiwa 9/11”.
Lupakanlah
proposal tesis saya yang kemudian berubah judul “Implikasi Kebijakan Pemerintah
Indonesia dalam Melawan Terorisme terhadap Citra Islam di Indonesia
Pascaperistiwa 11 September 2001.” Beliau memang tak jadi menjadi pembimbing
tesis saya. Tapi, Insyaallah beliau memang berhak atas “Di mana Saja Tempat di
Surga, Asalkan Itu di Surga”. Begitulah harapan dan doa dari seorang murid.
Allahummaghfir
lahu warhamhu, wa ‘afihi wa’fuanhu. Hanya ini "kesaksian kecil" yang
dapat kuberikan untukmu Prof.
Parak Laweh
Pulau Aie Nan XX
1 Muharram
1441 H/ 1 September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar