Muhamad Radjab Sutan Maradjo
OLEH
Hasril Chaniago
Dia menjadi sangat
terkenal karena menulis buku Semasa Kecil
di Kampung yang juga diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Rusia.
Tetapi sesungguhnya dia adalah seorang wartawan yang bekerja di Kantor Berita Antara hingga akhir hayatnya. Namanya
Muhamad Radjab Sutan Maradjo, berasal dari Nagari Sumpur di tepian Danau Singkarak,
Kabupaten Tanah Datar.
Nama Muhamad Radjab
masuk dalam buku Jagat Wartawan Indonesia
(JWI) yang ditulis wartawan senior Antara
Soebagjo I.N. (PT Gunung Agung 1981).Radjab dilahirkan di
kampungnya pada 1913, dan meninggal di
Padang 16 Agustus 1970 dalam perjalanan pulang kampung untuk mengikuti Seminar
Sejarah dan Budaya Minangkabau di Batusangkar, di mana seminar itu juga
dihadiri mantan Wakil Presiden Bung Hatta, Buya Hamka, dan Dr. Bahder Djohan
sebagai Ketua Panitia.
Ibu Mahamad Radjab
meninggal ketika ia baru berusia terhitung bulan. Penyebabnya karena wabah
kolera yang melanda kampungnya ketika itu. Ayahnya kawin lagi. Tapi ibu tirinya
ternyata wanita yang budiman, ia menyayangi dan mengasuh Radjab dengan baik. Malam-malam
dibacakan cerita dongeng. Memasuki usia kanak-kanak, ia disekolahkan ke
pesantrean, belajar mengaji di surau, dan berlajar silat dari kakeknya yang
seorang guru silat. Tapi bila malam hari ia tidur di surau, karena kalau tidur
di rumah akan dicemooh oleh kawan-kawannya.
Pengalaman masa kecil
itulah kemudian yang ditulis Radjab dalam bukuSemasa Kecil di Kampung yang diterbitkan Balai Pustaka tahun
1950-an. Sebuah buku yang amat menarik, dan kemudian oleh seorang kenalannya
diterjemahkan lalu diterbitkan dalam bahasa Rusia.
Setelah mendapat
pendidikan di sekolah rakyat dan belajar agama di kampungnya, Radjab meneruskan
ke Sekolah Normal Islam di Padang. Seperti ditulis oleh Soebagjo, Muahamad
Radjab meninggalkam kampung halamannya sekwaktu dia berusia 21 tahun. Yaitu
setelah ia ceksok dengan kakak kandungnya yang memaksanya menjadi guru agama.
Menurut Radjab, menjadi guru agama tidak ada hari depannya. Gajinya mulai
bekerja sampai tua nanti akan tetap 7,50 perak. Karena membantah kehendak sang
kakak, maka di Radjab lalu diperintahkan menunggu dagangan kakaknya itu. Harus
menunggui ikan asin, di pasar.
Pekerjaan itu sebenarnya
kurang serasi dengan kehendak anak muda ini. Tapi ada juga sedikit yang
menyenangkan hatinya. Sebab, di antara bungkus-bungkus ikan asin itu ternyata
ada koran-koran yang memuat tulisan-tulisan yang menarik hatinya. Artikel-artikel
itu diguntingi dan dikumpulkannya. Dewasa itu Radjab sudah tahu mana artikel
yang bagus, yang berisi serta yang berguna. Sebab, dia sudah menguasai
sedikit-sedikit bahasa asing: Jerman, Inggris dan Belanda yang diperolehnya
dari Sekolah Normal.
Dalam tahun 1934 itu
Radjab sudah mulai menulis, dan artikelnya dia kirim ke Harian Persamaan yang terbit di Padang. Tapi
karena hubungannya yang kurang baik dengan abangnya itu, ia tidak senang tinggal
di kampung dan hendak merantau ke Jawa. Berbekal uang 25 perak yang ia curi
dari kedai kakaknya, ia pun berangkat ke Batavia. Turun dari kapal di Tanjung
Priuk, Radjab belum jelas tujuannya. Tak tahu di mana akan menginap. Setibanya
di Senen, ia bertemu dengan orang awak yang punya toko tekstil di sana, namanya
Mohamamd Taher. Dia minta izin ikut di situ, dan turut menjaga tokonya. Dari
situ ia masih meneruskan membantu suratkabar Persamaan di Padang dengan mengirimkan tulisan-tulisannya.
Tinggal di Jakarta
membuka banyak kesempatan bagi Radjab. Ia bisa membaca banyak buku. Menelaah
teori Darwin, juga tentang teori inkarnasi, hingga filsafat juga dibacanya. Alhasil ia
mendapat tambahan pengetahuan dan kekayaan rohaniah. Merasa sudah mampu
untuk menjadi penulis dan wartawan, tahun 1935 Radjab pindah ke Bandung dan
bekerja sebagai redaktur di majalah bulanan Persatuan
Hidoep yang dipimpin Soekirlan.Gajinya limabelas perak, dan sebagian ia
simpan untuk meneruskan sekolah di Middlebare
School(setingkat SMA) partikelir kepunyaan Ir. V Leeuwen.
Bekerja di majalah dan
melanjutkan sekolah itu ia jalani hingga Jepang masuk tahun 1942. Ketika Jepang,
Radjab mengungsi ke Pondok Kaso, Cicurug. Dalam pengungsian itulah ia bertemu
Mr. Soejitno Mangoenkoesoemo, salah seorang sudara Dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo. Di Pondok Kaso yang
dimiliki seorang Belanda bernama J.H. Ritman, terdapat lebih kurang dua ribu
judul buku. Ini tentu saja menarik bagi Radjab yang memang gemar membaca.
Setelah Pondok Kaso diserbu Jepang, Radjab mengikuti Mr. Soejitno kemana pun
pergi. Bahkan Mr. Soejitno mengangkat Radjab sebagai guru bahasa Indonesia
untuk anak-anaknya yang sebelumnya tidak bisa berbahasa Indonesia.
Lewat perentaraan Mr.
Soejitno pulalah kemudian Radjab berkenalan dengan Adam Malik yang ketika itu
memimpin bagian Indonesia di Kantor Berita Domei
–sebelumnya bernama Antara. Radjab
pun bekerja di Domei setelah lulus
tes menerjemahkan berita bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Dia ditempatkan di
Bagian Karangan yang dipimpin Albert Manumpak Sipahutar.
Selama masa pendudukan
Jepang Radjab terus bekerja di Domei.
Bahkan setelah Proklamasi, dan namanya kembali menjadi Antara, Radjab pun tetap bekerja di sana dan ikut menyebarkan
berita Proklamasi ke seluruh tanah air. Kemudian, bersama-sama Mohammad Basri
dan Ali Mochtar, Radjab menerbitkan Indonesia
Bulletin yang isinya diambil dari berita-berita Antara. Buletin itu dicetak di Balai Pustaka.
Setelah Jakarta diduduki
NICA, Antara memindahkan kantor pusat
ke Yogya. Radjab bersama awak Antara
lainnya juga ikut mengungsi.Mulanya ke Yogya, lalu ke Solo dan Malang. Pada
tahun 1947 Radjab kembali ke Jakarta. Kemudian, bersama-sama Parada Harahap,
Rinto Alwi, dan Soewardi Tasrif mereka dikirim Kementerian Penerangan ke
Sumatera. Setelah Clash I, dan
Ibukota Sumatera pindah ke Bukittinggi, di kota itu mereka menerbitkan harian Detik yang dipimpin Parada Harahap dan
berada di bawah Komando Penerangan Sumatera (Kopersum). Pada waktu itu di
Bukittinggi juga diterbitkan harian Daulat
Rakjat yang dipimpin Djamaluddin Adinegoro.
Radjab dan kawan-kawan
baru kembali ke Jakarta setelah Perjanjian Renville menjelang Penyerahan
Kedaulatan. Mereka melanjutkan Antara
yang ketika itu dipimpin Mochtar Lubis dan bergantor di Paviliun Gedung Jalan
Pegangsaan No. 56. Sebagai wartawan pejuang, mereka di sana bekerja tanpa gaji,
kecuali mendapat makan tengah hari. Begitulah perjuangan wartawan ketika itu,
seperti ditulis oleh Soebagjo I.N.
Ketika Mochtar Lubis
kemudian menerbitkan Harian Indonesia
Raja, Rdajab ikut pula ke suratkabar itu. Tapi tidak lama, lalu ia kembali
ke Antara dan bekerja di kantor
berita milik pemerintah itu hingga akhir hayatnya.
Selama bekerja di Antara, Radjab sering merasa dipojoknya.
Terutama ketika Antara dipimpin
Djawoto yang beraliran komunis. Dikisahkan Soebagjo, semasa Djawoto, Rajjab
dianak-tirikan di Antara. Dia tidak
pernah diberi kesempatan untuk melawat ke luar negeri, sekalipun syarat-syarat
untuk itu sudah ia penuhi.
Akibatnya, frustrasi
demi frustrasi menimbuni hidup Radjab. Berulang kali ia cuhat kepada Soebagjo.
“Saya ini sarjana, saya ini wartawan, saya ini pengarang, tapi saya ini
tunawisma juga,” kata Radjab mengeluh. “Istriku sudah meninggal, anak-anakku
masih kecil,” katanya seterusnya.
Bagitulah. Padahal
Radjab bukanlah wartawan biasa. Ia juga seorang penulis yang hebat. Dia menulis
setidaknya tiga buku yang terkenal. Selain Semasa
Kecil di Kampung, ia juga menulis Dongeng-dongeng
Sulawesi Selatan, hasil perjalanannya ke provinsi itu.
Dia juga menulis buku Perang Paderi yang diterbitkan Balai
Pustaka tahun 1954. Buku itu dipuji oleh dalam sebuah resensi yang bagus oleh
pengarang Perancis Jean Cuissinier dalam bukunya La Guerre de Padri. Pengarang itu menulis tentang buku Radjab
antara lain:
“Sedikit
sekali buku yang mengenai tentang Perang Padri yang ditulis dalam Bahasa
Indonesia. Yang terbesar adalah buku Muhamad Radjab yang baru saja diterbitkan
oleh Balai Pustaka tahun 1954. Inilah karya seorang seniman di Tanah Air yang
merdeka; maskipun si pengarang selalu memegang objektivitas, namun dia tetap
menghormati kebenaran. Dikutipnya dengan teliti sekali sumber-sumber yang
kebanyakan dari pihak Belanda, terbukti dari bibliografinya”
Radjab meninggal di
Sumatera Barat, kampung halaman yang lama ditinggalkannya, pada 16 Agustus 1970
dalam usia 57 tahun, di saat perjalanan mengikuti Seminar Sejarah dan Budaya
Minang di Batusangkar. Padahal, niatnya pulang kampung adalah untuk menulis
buku lagi. Seperti diceritakan sahabatnya Soebagjo I.N.: “Sewaktu dia hendak
berangkat ke kampung halamannya, dan mengemukakan hasratnya itu kepada saya,
masih belum ada tanda-tanda yang menyatakan bahwa dia menderita sesuatu
penyakit,” tulis Soebagjo.
Lalu ia kutip
kalimat-kalimat Radjab sendiri: “Jika seminar sudah selesai, saya akan meneruskan
cuti besar tiga bulan. Saya akan mengumpulkan bahan-bahan untuk menulis buku,”
kata Radjab.
Sahabatnya itu juga
mengungkapkan kebiasaan Radjab. “Datang di suatu tempat, mengadakan wawancara
dengan orang-orang di sekitar, menulis keterangan-keterangan itu di buku
catatannya, kemudian dihimpunnya menjadi menjadi sebuah naskah untuk akhirnya diterbitkan
menjadi buku, adalah kegemarannya.” (HC)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar