Padang,
mantagisme—Sebanyak 112 titik panas yang menjadi indikasi awal kebakaran
hutan dan lahan (karhutla) terpantau satelit di wilayah Sumatera pada Kamis, 8
Agustus 2019.Kebakaran hutan di Sumatera
Berdasarkan data Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru, seratusan titik
panas atau hotspot tersebar di
sembilan provinsi dan paling banyak di Riau, yakni ada 59 titik.
“Di Sumatera 112 titik panas, Riau 59 titik,” kata Sanya Gautami, Staf Analisis
BMKG Stasiun Pekanbaru.
Selain di Riau, titik panas banyak terpantau di Sumatera Selatan dan Bangka Belitung yang masing-masing ada 15 titik. Kemudian di Jambi 13 titik, Aceh 3 titik, Kepri dan Sumatera Utara masing-masing 2 titik, Sumatera Barat 4 titik, dan Lampung satu titik.
“Namun asap karhutla dari
provinsi lain sejauh ini belum terpantau mencapai Riau, asap masih berasal dari
kebakaran di Riau sendiri,” ujar Sanya.
Dari 59 hotspot di Riau, daerah paling banyak
adalah Kabupaten Indragiri Hilir yakni 14 titik. Kemudian Siak 11 titik, Bengkalis, Indragiri Hulu dan
Pelalawan masing-masing 8 titik, Rokan Hilir dan Kampar masing-masing 4 titik,
dan Kepulauan Meranti ada dua titik.
Dari jumlah tersebut ada
37 dipastikan titik api, paling banyak di Indragiri Hilir dengan 9 titik.
Kemudian di Siak 7 titik, Pelalawan 6 titik, Indragiri Hulu dan Bengkalis
masing-masing 5 titik, Rokan Hilir dan Kampar masing-masing 2 titik, dan
Meranti satu titik api.
“Arah angin berhembus dari
tenggara dan barat daya,” katanya.
Sanya mengatakan pada hari
ini diprakirakan ada peluang hujan dengan intensitas sedang dan hanya hujan
lokal. Namun hujan sangat sulit terjadi pada kondisi udara berasap.
“Kondisi asap menghalangi
penguapan air jadi kemungkinan kecil terjadi hujan. Kemarin juga ada peluang
hujan, tapi tidak terjadi,” katanya.
Sebelumnya, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK mencatat luas indikatif kebakaran
hutan dan lahan (karhutla) seluas 135.747 hektare sejak Januari hingga Juli
2019.
“Luas Indikatif Karhutla
dilakukan melalui perhitungan mengunakan Interpretasi Citra Satelit Landsat
OLI/TIRS, yang dioverlay dengan data
sebaran titik panas (hotspot), sampai
verifikasi groundcheck di lapangan
dan laporan pemadaman yang dilaksanakan Manggala Agni,” kata Eva Famurianty,
Kepala Seksi Peringatan danDeteksi Dini, Dirjen
Pengendalian Perubahan
Iklim dalam sebuah diskusi Pojok Iklim LKHK di Jakarta.
Luas indikatif karhutla
mencapai 135.747 hektare itu terdiri dari lahan gambut 31.002 hektare dan lahan
mineral 104.746 hektare. Riau merupakan provinsi yang mengalami karhutla paling
luas yakni 27.635 hektare.
Sementara itu dari
Pekanbaru, kabut asap kebakaran hutan dan lahan di Kota Pekanbaru, Kamis (8/8/2019)
kembali pekat menyelimuti ibu kota Provinsi Riau dan memperburuk jarak pandang.
“Dari pengamatan kami, di
Kota Pekanbaru akibat asap jarak pandangnya empat kilometer pada pukul 07.00.
Pada sekitar pukul 08.00 menjadi tiga kilometer. Memburuk jarak pandangnya,”
kata Sanya Gautami, Staf Analisis BMKG Stasiun Pekanbaru di Pekanbaru.
Kebakaran
Hutan Kian Meluas
Berdasarkan data
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), jumlah
titik panas tahun ini lebih banyak dibandingkan periode yang sama tahun 2018.
"Sampai dengan akhir
bulan Juli ini, titik panas sudah ditemukan 70 persen lebih dibanding tahun
2018. Karena memang kemarau sekarang ini akan melebihi kemarau tahun
lalu," ujar Dody Usodo, Deputi Bidang Koordinasi Kerawanan Sosial dan
Dampak Bencana Kemenko PMK.
Dari data Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak bulan Januari 2019 menunjukkan
total daerah yang mengalami kebakaran hutan dan lahan (karhutla) mencapai
42.740 hektare.
Daerah yang mengalami
kebakaran terluas adalah Riau dengan luas lahan 27.683 hektare, disusul
Kalimantan Timur dengan luas 5.153 hektare dan Kepulauan Riau seluas 4.969
hektare.
Dari laporan yang dilansir
https://www.dw.com, sepanjang 2019 sudah ada
lebih dari 42.000 hektare lahan dan hutan terbakar. Jumlah titik panas di
seluruh wilayah Indonesia pun melonjak sebesar 70 persen bila dibandingkan
periode yang sama pada 2018.
Kebakaran hutan dan lahan
di sejumlah daerah di Indonesia kian meluas. Hal ini diperkirakan akibat musim
kemarau yang berkepanjangan. Namun pengamat menilai aktivitas pembukaan lahan
gambut adalah penyebab utama.
Sepanjang bulan Juli ini
diketahui terdapat total 380 titik panas di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah
ini meningkat drastis dari bulan sebelumnya yang hanya terdapat 61 titik panas.
Bahkan data per hari
Selasa (30/07), dengan menggunakan satelit NOOA (ASMC) yang memiliki tingkat
kepercayaan di atas 80 persen, SiPongi Karhutla Monitoring Sistem mencatat
terdapat 47 titik panas tersebar di Indonesia di hari itu. Titik panas paling
banyak ditemukan di Provinsi Kalimantan Barat dengan 11 titik disusul Provinsi
Riau dengan 9 titik.
Akibatnya delapan wilayah
di Indonesia pun telah menetapkan status siaga darurat kebakaran hutan dan
lahan. Delapan wilayah tersebut terdiri dari lima provinsi dan tiga
kabupaten/kota.
Lima provinsi di antaranya
adalah Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan
Kalimantan Selatan. Sementara untuk tiga kabupaten/kota yakni Kota Dumai,
Kabupaten Sambas, dan Ogan Komering Ilir (OKI).
Ketua Kampanye Hutan
Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, tidak menampik musim kemarau sebagai salah
satu pemicu meluasnya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di sejumlah
wilayah Indonesia. Namun menurutnya pembukaan lahan gambut di sejumlah wilayah
tetap menjadi penyebab utama kebakaran.
“Kalau misalnya di
Kalimantan itu ada proyek PLG yang kemudian mengeringkan wilayah-wilayah
gambut, dan di wilayah Riau dan Sumatera Selatan wilayah-wilayah gambut yang
seharusnya basah kemudian dibuka untuk perkebunan sawit dan proyek-proyek lain.
Itulah yang menjadi penyebab utama gambut mengering dan mudah terbakar, apinya
jadi sampai sekarang,” kata Arie, Rompas seperti dilansir dw.com.
Menurutnya, masyarakat
adat kerap disalahkan atas terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indoneisa.
Mereka sering ditunding membakar lahan gambut dalam rangka membuka lahan
pertanian maupun perkebunan.
Arie menegaskan penegakkan
hukum menjadi aspek penting dalam upaya penanangan kebakaran hutan dan lahan.
Pemerintah dinilai abai dalam menegakkan hukum kasus karhutla, padahal
penegakkan hukum yang efektif akan memberikan efek jera bagi para pelaku.
Lebih lanjut ia
mencontohkan bahwa penegakkan hukum terhadap temuan pembukaan lahan dan hutan
oleh perusahaan berskala besar yang bermasalah tidak pernah dijalankan.
"Yang justru
ditangkap dan jadi kambing hitam selalu masyarakat. Ini juga jadi problem
penegakkan hukum, ketidakadilan dalam memposisikan masyarakat adat itu sangat
penting,” jelas Arie.
Setidaknya ada lima
perusahaan perkebunan dan kehutanan di Riau yang mendapat surat teguran Satgas
Udara Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan Provinsi Riau. Hasil temuan satgas
menunjukkan terdapat titik api di bawah radius lima kilometer di wilayah batas
perusahaan. Titik api diduga masuk ke dalam area lima perusahaan tersebut.
Jika titik api berada
dalam kawasan konsesi perusahaan, pemadaman api mutlak menjadi tanggung jawab
perusahaan, bukan negara. Bila kemudian nanti ditemukan ada kelalaian dari
kelima perusahaan yang menimbulkan kebakaran, kepolisian Riau harus melakukan penindakan,
ujar Arie.
Lima perusahaan yang sudah
dikirimkan surat teguran dan pemberitahuan yaitu PT. Priatama Rupat (Surya
Dumai Group), PT. Jatim Jaya Perkasa Teluk Bano II, PT. WSSI Koto Gasib Siak,
PT. Seraya Sumber Lestari Koto Gasib, dan PT. Langgam Inti Hibrindo Langgam.
“Mereka buka lahan untuk
kepentingan bisnis. Tentu mereka juga punya prasyarat-prasyarat yang harus
mereka lakukan. Pertama patuh terhadap peraturan, kedua harus mengalokasikan
khusus untuk upaya-upaya pemadaman kebakaran,” terang Arie.
“Temuan kami, penegakkan
hukum tidak dilakukan dengan benar. Kami menemukan ada 10 dari 11 perusahaan
yang sudah diputus oleh pemerintah tapi kemudian dendanya tidak dibayarkan
sejumlah Rp 18,9 triliun. Perusahaan sawit, HTI, dan kasus logging,” Arie menambahkan.
Pemadaman
Arie pun menilai upaya
terintegrasi bisa menjadi solusi dalam mengatasi kasus karhutla. “Bagaimana
upaya ini terintegratif semua. Selama ini (setelah) ada kebakaran hutan baru
(dilakukan) pemadaman. Harusnya terintegratif antara pencegahan, penegakkan, dan
rehabilitasi, karena lahan-lahan yang rusak di wilayah gambut itu jika tidak
dipulihkan akan terus terjadi kebakaran,” pungkas Arie.
Sebanyak 5.929 personel
gabungan diterjunkan dalam upaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan di lima
provinsi. Personel gabungan ini terdiri atas unsur TNI, Polri, BPBD, Manggala
Agni, Masyarakat Peduli Api, dan lembaga-lembaga terkait.
"Total personel
gabungan ini tersebar di 5 provinsi, yaitu Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan
Tengah masing-masing berjumlah 1.512 personel, sedangkan Kalimantan Barat
berjumlah 1.395 personel," kata Agus Wibowo, Plh. Kepala Pusat Data
Informasi dan Humas BNPB, dikutip dari Detiknews.
Selain itu sejumlah armada
udara seperti helikopter dan pesawat fixed wing dioperasikan untuk pemadaman,
pendinginan, patroli, serta survei wilayah. Total terdapat 33 helikopter yang
disiagakan di empat provinsi, yakni Riau (17), Sumatera Selatan (3), Kalimantan
Barat (6), dan Kalimantan Tengah (7). Sebanyak 61.066.300 liter air juga
digunakan untuk melakukan pemadaman serta pendinginan.
Sementara itu operasi
teknologi modifikasi cuaca (TMC), cloud seeding atau semai awan juga menjadi
upaya lain pemerintah dalam menangani karhutla. Operasi ini bertujuan memicu
terjadinya hujan di wilayah-wilayah titik panas dengan menebarkan garam di bibit
awan hujan.
Copot
Presiden Joko Widodo
(Jokowi) memberikan arahan tegas kepada Panglima TNI dan Kapolri terkait
penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Jokowi meminta Panglima dan
Kapolri mencopot jajarannya yang tak bisa mengatasi karhutla.
Hal tersebut disampaikan
Jokowi saat memberikan pengarahan dalam rapat koordinasi nasional pengendalian
karhutla. Menko Polhukam Wiranto, Menteri KLHK Siti Nurbaya, Panglima TNI
Marsekal Hadi Tjahjanto, dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian hadir dalam rapat
tersebut.
Jokowi awalnya berbicara
tentang aturan penanganan karhutla. Dia menegaskan aturan tersebut masih
berlaku.
"Dan aturan main kita
tetap, masih sama. Saya ingatkan pangdam, danrem, kapolda, kapolres, aturan
main yang saya sampaikan 2015 masih berlaku," ujar Jokowi.
Setelah itu barulah Jokowi
menegaskan aturan yang dibicarakan. Dia meminta Panglima TNI dan Kapolri
mencopot jajarannya yang tidak bisa mengatasi karhutla.
"Yang tidak bisa
mengatasi dengan perintah yang sama, copot kalau tidak bisa mengatasi yang
namanya kebakaran hutan dan lahan," tegasnya.
Jokowi juga meminta TNI
dan Polri membantu pemerintah daerah. Eks Gubernur DKI lalu kembali
mengingatkan soal aturan penanganan karhutla.
"Tolong pemda,
gubernur, bupati, wali kota di-back up. Karena kerugian ekonomi besar sekali.
Jadi Pak Panglima, Pak Kapolri, saya ingatkan lagi, masih berlaku aturan main
kita," jelasnya. MN (dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar