OLEH KHAIRUL JASMI
Putus sekolah tidak berarti
menjadi pengang-guran. Setidaknya prinsip itu berlaku bagi Beye. Lelaki yang
punya nama asli Anwar Bujang itu memang hanya sekolah sampai kelas 2 SMA, tapi
kini punya usaha kulit yang beromset Rp10 juta per bulan. Suatu jumlah yang
cukup besar bagi usah kecil di Padang.
“Saat itu tak tahu apa yang harus dilakukan, saya bingung,”
kata Beye, 40 tahun, mengenang saat awal
keluar dari sekolah.
Kemudian setelah memeras otak, ia lantas punya ide untuk
merintis usaha membuat sepatu dan sandal dari kulit.
Merasa idenya sudah matang, Beye memberanikan diri untuk
mengajukan kredit ke bank. Karena tak punya agunan, ia nekat meminjam SK
Pegawai Negeri milik salah seorang dari 12 saudaranya untuk dijadikan jaminan
pada bank. Maka, mengalirlah pinjaman sebesar Rp5 juta dari bank. Uang sebanyak
itu ia belikan alat-alat dan sewa sepetak kios.
“Sisanya yang hanya Rp50 ribu saya gunakan untuk memulai
usaha,” katanya.
Cicilan kredit sebesar Rp280.000 per bulan mem-buatnya harus
peras keringat tiap hari. Maklum, memulai usaha bukan hal yang mudah. Apalagi
pengalaman juga belum pernah dikenyam dalam hal pemasaran produknya.
Malang tak bisa ditolak, mujur tak bisa diraih, dalam berusaha menggapai
keuntungan, kiosnya dibongkar maling. Itupun bukan hanya sekali, tapi tiga
kali. Beye pun bangkrut.
Merasa bahwa putus asa tak ada gunanya, Beye yang sebelumnya
sudah mulai mapan, itu harus mulai dari bawah lagi. Dan untuk mendukung
usahanya, pria yang kini beranak tiga itu ikut julo-julo (arisan) Rp500
per hari. Kegiatan yang dilakukan sambil lalu itu ternyata bermanfaat bagi
kemajuan usahanya karena bisa untuk tambah modal saat mendapat jatah arisan.
Kemudian telah terkumpul sedikit modal, ia ikut lagi arisan
sebesar Rp5.000 per hari dan terus meningkat.
“Kini kami ikut arisan Rp50 ribu per hari,” kata istrinya.
Naiknya kemampuan ikut arisan itu membuktikan bahwa usahanya
sudah semakin maju. Menginginkan agar usahanya lebih berkembang lagi, Beye lalu
melirik sumber pendanaan lain.
Pada 1996 ini, ia mengirim proposal ke PT Pos Indonesia
untuk memperoleh pembiayaan. Proposalnya diteliti BUMN ini dan akhirnya
diterima.
“Kami dapat pinjaman Rp2,5 juta, sekarang kami anak angkat
PT Pos,” kata Beye.
Beberapa tahun silam, usaha Beye juga pernah dibantu oleh
Bangdes Kodya Padang sebesar Rp750 ribu.
Beye yang kini menjadi bos dari 10 orang anak buah ini—jumlah
ini bisa membengkak jika ada pesanan besar—yakin, kalau tekun berusaha, Tuhan
akan membuka jalan.
Dan kini ia bangga jika sekarang anak buahnya yang berasal
dari mereka yang putus sekolah, bisa mengantongi Rp15.000 sampai Rp20.000 per
hari. Besar kecilnya upah yang diterima tergantung kemauan pekerja karena
mereka memakai sistem borongan. Jadi makin banyak yang bisa diselesaikannya,
makin besar pendapatan.
“Wah kalau begitu, upah anak buah Anda, jauh di atas
UMR,” komentar Zulkifli, Kabag Humas Pemerintah
Kotamadya Padang.
Kalau dulu Beye sempat kesulitan mencari pelanggan, kini
pesanan sudah mengalir dengan sendirinya. Bukan saja dari wilayah Sumatera
Barat, tapi juga dari Batam, Bogor, Bali, dan Jakarta. Kecuali itu, beberapa
instansi pemerintah sering memesan dalam jumlah besar.
“Yang laris sandal kulit ini,” katanya sambil memperlihatkan
sebuah sandal kulit.
Di Sumatera Barat, sandal kulit dikenal sebagai sandal datuk
yang biasa dipakai penghulu adat. Hasil kerajinan Beye, memang tak kalah dengan
produk terkenal. Halus dan kuat.
Pancar Baru, nama kiosnya. Kios itu cukup sering dikunjungi
orang rantau. Dengan tiga buah kios, yang per kiosnya disewa Rp1 juta per
tahun, Beye sudah mampu menjual sepatu dan sandal senilai Rp10 juta per bulan.
Dari jumlah itu, menurut pengakuannya, separuh merupakan
penghasilan bersih. Berbagai variasi produk dijual pula dengan variasi harga.
Harga sepasang sandal kulit dengan tapak kulit ditawarkan Rp30.000, sementara
yang tapaknya karet Rp10.000 lebih murah.
Rata-rata sepuluh pasang sandal terjual setiap harinya.
Untuk sepatu, yang harganya bermain antara Rp45.000 sampai Rp65.000, terjual
empat sampai lima pasang per harinya. Untuk bahan kulitnya, diperoleh dari
wilayah setempat. Di Padang, kulit sapi bisa dibeli dengan harga Rp16.000 per
kg.
Sementara bahan baku lainnya, seperti plastik, kalaf, dan
benang dibeli di Padang yang sebelumnya didatangkan dari Jakarta.
“Tapi harganya tidak tinggi, jadi tak perlu kita jemput ke
Jakarta,” katanya.
Nasib Beye memang berubah sejak ia berusaha menekuni usaha
kerajinan kulit. Ayah tiga orang anak ini, merupakan satu dari sedikit
pengrajin kulit di Padang yang tetap setia dengan ladang usahanya di tengah
produk luar negeri yang membanjiri kota ini.
Kini Beye tumbuh dengan spesifikasinya di antara 40 ribu
unit usaha kecil di Provinsi Sumatera Barat.
“Masa depan usaha kita, tergantung dari bagaimana kita
mengelolanya, dan doa,” katanya. ***
Republika, Padang, 9 Oktober 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar