Senin, 01 Juli 2019

Dari SK ke Alas Kaki Menata Dagang dengan Keringat


OLEH KHAIRUL JASMI
Putus sekolah tidak berarti menjadi pengang-guran. Setidaknya prinsip itu berlaku bagi Beye. Lelaki yang punya nama asli Anwar Bujang itu memang hanya sekolah sampai kelas 2 SMA, tapi kini punya usaha kulit yang beromset Rp10 juta per bulan. Suatu jumlah yang cukup besar bagi usah kecil di Padang.

“Saat itu tak tahu apa yang harus dilakukan, saya bingung,” kata Beye,  40 tahun, mengenang saat awal keluar dari sekolah.
Kemudian setelah memeras otak, ia lantas punya ide untuk merintis usaha membuat sepatu dan sandal dari kulit.
Merasa idenya sudah matang, Beye memberanikan diri untuk mengajukan kredit ke bank. Karena tak punya agunan, ia nekat meminjam SK Pegawai Negeri milik salah seorang dari 12 saudaranya untuk dijadikan jaminan pada bank. Maka, mengalirlah pinjaman sebesar Rp5 juta dari bank. Uang sebanyak itu ia belikan alat-alat dan sewa sepetak kios.
“Sisanya yang hanya Rp50 ribu saya gunakan untuk memulai usaha,” katanya.
Cicilan kredit sebesar Rp280.000 per bulan mem-buatnya harus peras keringat tiap hari. Maklum, memulai usaha bukan hal yang mudah. Apalagi pengalaman juga belum pernah dikenyam dalam hal pemasaran pro­­­­­­­duknya. Malang tak bisa ditolak, mujur tak bisa diraih, dalam berusaha menggapai keuntungan, kiosnya dibongkar maling. Itupun bukan hanya sekali, tapi tiga kali. Beye pun bangkrut.
Merasa bahwa putus asa tak ada gunanya, Beye yang sebelumnya sudah mulai mapan, itu harus mulai dari bawah lagi. Dan untuk mendukung usahanya, pria yang kini beranak tiga itu ikut julo-julo (arisan) Rp500 per hari. Kegiatan yang dilakukan sambil lalu itu ternyata bermanfaat bagi kemajuan usahanya karena bisa untuk tambah modal saat mendapat jatah arisan.
Kemudian telah terkumpul sedikit modal, ia ikut lagi arisan sebesar Rp5.000 per hari dan terus meningkat.
“Kini kami ikut arisan Rp50 ribu per hari,” kata istrinya.
Naiknya kemampuan ikut arisan itu membuktikan bahwa usahanya sudah semakin maju. Menginginkan agar usahanya lebih berkembang lagi, Beye lalu melirik sumber pendanaan lain.
Pada 1996 ini, ia mengirim proposal ke PT Pos Indonesia untuk memperoleh pembiayaan. Proposalnya diteliti BUMN ini dan akhirnya diterima.
“Kami dapat pinjaman Rp2,5 juta, sekarang kami anak angkat PT Pos,” kata Beye.
Beberapa tahun silam, usaha Beye juga pernah dibantu oleh Bangdes Kodya Padang sebesar Rp750 ribu.
Beye yang kini menjadi bos dari 10 orang anak buah ini—jumlah ini bisa membengkak jika ada pesanan besar—yakin, kalau tekun berusaha, Tuhan akan membuka jalan.
Dan kini ia bangga jika sekarang anak buahnya yang berasal dari mereka yang putus sekolah, bisa mengantongi Rp15.000 sampai Rp20.000 per hari. Besar kecilnya upah yang diterima tergantung kemauan pekerja karena mereka memakai sistem borongan. Jadi makin banyak yang bisa diselesaikannya, makin besar pendapatan.
Wah kalau begitu, upah anak buah Anda, jauh di atas UMR,” komentar  Zulkifli, Kabag Humas Pemerintah Kotamadya Padang.
Kalau dulu Beye sempat kesulitan mencari pelanggan, kini pesanan sudah mengalir dengan sendirinya. Bukan saja dari wilayah Sumatera Barat, tapi juga dari Batam, Bogor, Bali, dan Jakarta. Kecuali itu, beberapa instansi pemerintah sering memesan dalam jumlah besar.
“Yang laris sandal kulit ini,” katanya sambil memperlihatkan sebuah sandal kulit.
Di Sumatera Barat, sandal kulit dikenal sebagai sandal datuk yang biasa dipakai penghulu adat. Hasil kerajinan Beye, memang tak kalah dengan produk terkenal. Halus dan kuat.
Pancar Baru, nama kiosnya. Kios itu cukup sering dikunjungi orang rantau. Dengan tiga buah kios, yang per kiosnya disewa Rp1 juta per tahun, Beye sudah mampu menjual sepatu dan sandal senilai Rp10 juta per bulan.
Dari jumlah itu, menurut pengakuannya, separuh merupakan penghasilan bersih. Berbagai variasi produk dijual pula dengan variasi harga. Harga sepasang sandal kulit dengan tapak kulit ditawarkan Rp30.000, sementara yang tapaknya karet Rp10.000 lebih murah.
Rata-rata sepuluh pasang sandal terjual setiap harinya. Untuk sepatu, yang harganya bermain antara Rp45.000 sampai Rp65.000, terjual empat sampai lima pasang per harinya. Untuk bahan kulitnya, diperoleh dari wilayah setempat. Di Padang, kulit sapi bisa dibeli dengan harga Rp16.000 per kg.
Sementara bahan baku lainnya, seperti plastik, kalaf, dan benang dibeli di Padang yang sebelumnya didatangkan dari Jakarta.
“Tapi harganya tidak tinggi, jadi tak perlu kita jemput ke Jakarta,” katanya.
Nasib Beye memang berubah sejak ia berusaha menekuni usaha kerajinan kulit. Ayah tiga orang anak ini, merupakan satu dari sedikit pengrajin kulit di Padang yang tetap setia dengan ladang usahanya di tengah produk luar negeri yang membanjiri kota ini.
Kini Beye tumbuh dengan spesifikasinya di antara 40 ribu unit usaha kecil di Provinsi Sumatera Barat.
“Masa depan usaha kita, tergantung dari bagaimana kita mengelolanya, dan doa,” katanya. ***

Republika, Padang, 9 Oktober 1996      


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...