OLEH kHAIRUL JASMI
MereKA ada di pusat keramaian; di trotoar, di rumah makan, terminal, stasiun, dan hotel. Menenteng peralatan semir. Mereka kehilangan masa kanak-kanaknya: bermain gundu, mengaji di surau atau mandi di kali atau bersenda gurau.
Dengan mata kuyu dan baju dekil, mereka merayu orang agar
memberikan sepatunya untuk disemir agar memperoleh imbalan. Apa boleh buat,
mereka tinggalkan sekolah, tapi bukan semata karena kemauannya. Mereka
terpanggil membantu orangtua, terpaksa karena harus makan, dan sederet alasan
yang membuat mereka pun jauh dari hingar-bingarnya dunia pendidikan.
Adalah Yayasan Bakti Nusantara Isafat (BNI) di Padang, yang
peduli pada nasib anak bangsa ini.
“Mereka bagian dari masyarakat Sumatera Barat yang perlu dirangkul,”
kata Afrida Hasan, ketua panitia pelaksana pesantren kilat, yang
diselenggarakan awal Juli tahun 1997.
Mereka, kata Afrida, tak punya kesempatan memikirkan masa
depan. Sejak dini, mereka sudah ditelan oleh kenyataan hidup yang menutup mimpi
mereka.
“Pesantren kilat memang tak menjamin bisa merubah nasib
seseorang. Tapi, lewat kegiatannya semoga mereka punya kegiatan kecil tentang
berbagai hal yang berman-faat,” kata Afrida.
Kurikulum pesantren kilat yang diadakan di Asrama Haji,
Jalan Rasuna Said Padang ini, didesain sedemikian rupa agar sesuai untuk
kehidupan mereka. Di sana anak-anak dikenalkan pada tata cara salat, bacaan
salat, dan bagaimana berperilaku sopan. Untuk merangsang potensi mereka,
narasumber dari pemerintah daerah, misalnya, memberi materi tentang bagaimana
seorang anak harus punya semangat meraih masa depan.
Untuk meningkatkan pendapatan, mereka juga bisa menerima
materi tentang pekerjaan lain yang bisa dilakukan selain menyemir sepatu, saat
mereka dewasa. PT Semen Padang, misalnya, memberi materi tentang pembinaan
usaha bagi anak-anak sekolah. Sedangkan Badan Amil Zakat dan Sadaqoh serta BNI
46 memberi penjelasan tentang upaya mendapatkan modal kerja. Yayasan BNI
sendiri memberikan materi tentang pendidikan salat, latihan penyelenggaraan
jenazah, membaca Alquran dengan metode Iqra.
“Apa yang kami lakukan belum apa-apa,” kata Drs Ibrahim,
Ketua Yayasan BNI. “Tugas kami masih banyak, masih jauh.”
Kata Ibrahim, jumlah penyemir sepatu di Sumatera Barat 2.000
orang. Sementara pihaknya, yang sudah dua kali mengadakan pesantren kilat buat
mereka, belum bisa menggarap semuanya.
Pesantren kilat pertama, Oktober 1996 hanya bisa
mengumpulkan 76 orang penyemir. Pesantren kilat kedua, yang selesai 11 Juli ini
hanya bisa merangkul 40 dari 75 yang orang direncanakan.
Mengajak anak-anak tukang semir ikut pesantren kilat, ternyata
bukan pekerjaan gampang. “Sama sulitnya dengan menyediakan dana untuk kegiatan
ini,” ungkap Afrida.
Maklum, cerita Afrida, setiap ketemu orang mereka hanya
melihat sepatunya. Nah, waktu diajak pesantren kilat, mereka bingung,
apa itu pesantren kilat?
Pesantren babak kedua yang diselenggarakan Yayasan BNI
akhirnya berhasil mengumpulkan 43 orang penyemir sepatu; 9 orang dari Padang,
10 dari Pariaman, 12 dari Bukittinggi, dan 12 dari Solok. Tiga dari jumlah itu
kabur.
“Mereka pura-pura minta izin, tapi tak kembali lagi,” beber
Afrida.
Transportasi dari tempat tinggal mereka ke Padang ditanggung
panitia. Selama mengikuti pesantren kilat, mereka memperoleh makan tiga kali
sehari, uang saku Rp2.000 sehari, dan pulang dibekali fasilitas kerja senilai
Rp30 ribu. Fasilitas kerjanya berupa semir warna tiga kotak, tas pinggang, baju
kaos, bros, kain bludru, sarung, sandal, dan kopiah.
Yayasan BNI menerima bantuan dana dari PT Semen Padang, BNI
46, Pemerintah Daerah Sumatera Barat, Pemerintah Daerah Kotamadya Padang, Coca
Cola, PT Tina Dimas Raya (distributor minuman Aqua), Batik Pekalongan, PT Asia
Biscuit dan sejumlah hamba Allah.
“Berkat dana itulah anak-anak tukang semir bisa mengikuti
pesantren kilat,”ungkap Ibrahim.
Dari Putus Sekolah Sampai Hidup di Belanda
Azhari namanya. Tiga belas tahun usianya. Lima tahun ia
bekerja sebagai penyemir sepatu.
“Sejak jadi tukang semir, saya malu bertemu
teman-teman,”’ungkap Azhari, salah seorang dari 40 peserta pesantren kilat
khusus penyemir sepatu
Kedua orangtua Azhari sudah meninggal. Ibunya meninggal saat
Azhari berusia 6 tahun, ayahnya menyusul kemudian. Kedua orangtuanya, yang
berasal dari Medan, tak mewariskan apapun buat Azhari.
”Saya dibawa ke Bukittinggi oleh keluarga,”cerita Azhari.
Sementara adiknya ikut pamannya di Jakarta. Di Bukittinggi
Azhari sekolah, tapi hanya sampai kelas III sekolah dasar.
“Saya sering bolos. Saya lalu diusir keluarga tersebut. Saya
sering melihat teman-teman sekolah, pakai seragam. Kini saya malu bertemu
mereka,” jelasnya.
Sejak itu hidupnya menumpang di rumah teman-temannya.
“Agar bisa makan, saya nyemir sepatu. Biar adik saya
saja yang sekolah. Ia mungkin sekarang sudah kelas dua,” suaranya pelan dan
terbata-bata. Sudah empat tahun Azhari tak bertemu dengan adiknya.
“Saya rindu adik saya…”
Tiap hari Azhari bekerja sejak fajar menyingsing.
Penghasilan rata-rata sehari Rp5.000.
“Saya jarang salat. Makan juga sekali sehari,” kata Azhari
dengan mata menerawang. Padahal Azhari telah khatam Quran di Kototuo, Ampek
Angkek, Canduang, Agam, Sumatera Barat.
Kini Azhari tinggal di rumah Hatta, temannya sesama tukang
semir. Hatta juga turut pesantren kilat.
“Semula saya malas betul ikut pesantren kilat. Waktu diajak
ke Padang, saya juga enggan, tapi setelah ikut ternyata enak,” papar Azhari.
Azhari mengaku bersyukur menerima pelajaran cara salat dan
diberitahu bagaimana bertingkah laku yang baik.
“Saya suka pada bapak-bapak yang memberikan pelajaran.
Makannya enak. Kakak-kakak di sini juga ramah-ramah,” katanya polos.
Beni Saputra, 16 tahun, teman Azhari, juga mengaku senang
ikut pesantren kilat. Ia, yang belum
bisa membaca Alquran, berjanji akan salat setibanya di Bukittinggi, tempat ia
tinggal. ‘’Saya akan salat, meski sedang bekerja nyemir sepatu,”
katanya.
Dari pekerjaannya menyemir, Beni memperoleh uang lebih besar
dibanding Azhari. Maklum, anak Talu, Pasaman, Sumatera Barat ini, menyemir
sepatu di lokasi bule, kota wisata Bukittinggi.
“Saya bisa dapat Rp20 ribu sehari,” katanya. Malah, cerita
Beni, seorang langganan-nya Robert, polisi asal Belanda, mengajaknya ke
Belanda, tahun 1992. “Saya tinggal di sana sebulan. Kerjanya tidur, makan,
nonton televisi. Tapi makannya kurang kenyang, soalnya sulit mencari nasi,”
tuturnya.
Di Belanda, Beni mengaku tak pernah ke luar rumah. ‘’Asyik,
Pak Robert yang cari uang. Saya sih di rumah saja,” ungkap Beni,
satu-satunya tukang semir di Sumatera Barat yang memiliki paspor.
Di Sumatera Barat tercatat 2.000 orang penyemir sepatu, yang
beroperasi di beberapa kota. Beni sekolah sampai kelas III SD di Pakan Kurai,
Bukittinggi. Ibunya bekerja sebagai pembantu. ‘’Amak awak (ibu saya)
menolong-nolong pedagang ayam,” ungkap Beni, anak tertua dari empat bersaudara.
‘’Saya turut membantu orangtua membiayai sekolah adik-adik.”
Pekerjaan menyemir sudah ditekuni Beni sejak masih sekolah.
“Sudah terasa enaknya pitih (uang), akhirnya berhenti
sekolah,” tutur Beni yang mengaku tak pandai mengaji. Ini karena ia malas pergi
ke surau. “Saya hanya bisa Alfatihah. Berkat pesantren kilat, Beni kini
hapal gerakan salat. Saya harus hafal bacaan salat sebelum acara ini ditutup.”
Ia lalu menceritakan kebanggaannya pada adiknya yang kini
duduk di kelas III SD. “Bulan depan ia khatam Alquran. Jadi nanti kalau saya
mati, adik saya yang mengajikan.”
Setelah ikut pesantren kilat, Beni mengaku jadi banyak tahu
masalah agama. Tapi ada juga yang minggat dan pura-pura sakit. ‘’Kalau yang
mengaku sakit sering, tapi saya periksa perutnya, ternyata ada yang pura-pura,”
kata ketua panitia pelaksana pesantren kilat, Afrida Hasan kepada Republika.***
Republika,
Padang, 11 Juli 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar