Sabtu, 01 Juni 2019

Wartawan dan Perintis Pers Indonesia


MAHJOEDIN DATOEK SOETAN MAHARADJA

Mahjoeddin Datoek Soetan Maharadja adalah salah satu Perintis Pers Indonesia. Ia banyak mendirikan dan menerbitkan surat kabar berbahasa Indonesia. Pada akhir abad ke-19, dia memimpin dua surat kabar berbahasa Indonesia, yaitu Pelita Ketjil (didirikan pada 1 Februari 1886) dan Tjahaja Soematra (1897). Pada tahun 1901, Mahjoedin menerbitkan dan memimpin surat kabar Warta Berita. Surat kabar ini merupakan salah satu surat kabar pertama di Indonesia yang menggunakan Bahasa Indonesia, dipimpin, dan dicetak oleh orang Indonesia.

Pada tahun 1910 dia menerbitkan dan menjadi pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe di Padang. Dalam surat kabar tersebut tertera : "Achbar ini ditjitak pada pertjitakan orang Minangkabau". Melalui kalimat ini, ia ingin menunjukkan kemampuan suku bangsa Minangkabau dalam menguasai usaha surat kabar dan percetakan, yang ketika itu banyak dijalankan oleh orang-orang Belanda dan Cina. Pada tahun 1911, bersama Rohana Kudus, dia menerbitkan koran perempuan Soenting Melajoe.
Mahjoeddin dilahirkan di Sulit Air, Solok, pada 27 November 1862, dengan nama kecil Mahjoedin. Belum banyak diungkap mengenai pendidikan tokoh ini. Namun yang jelas, sebagai keturunan bangsawan adat, ia kemudian menyandang gelar penghulu dari kaumnya: Datoek Soetan Maharadja.
Perjalanan karirnya dimulai sebagai abdi pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan menjadi magang jaksa di Padang pada 1876. Tiga tahun kemudian, ia memangku posisi sebagai juru tulis atau kerani di kantor jaksa di Padang. Pada 1882, karirnya mulai menapak naik sebagai ajun jaksa di Indrapura. Setahun di sini, ia promosi menjadi ajun jaksa kepala di Padang. Lima tahun kemudian, ia dipindahtugaskan sebagai jaksa di Pariaman.
Datoek Soetan Maharadja memutuskan berhenti dari jabatan di lingkungan pemerintahan kolonial pada tahun 1892, lalu banting stir ke  bidang jurnalistik dan organisasi pergerakan. Ia kembali ke Padang untuk menekuni profesi barunya sebagai wartawan. Mulanya dia bekerja untuk suratkabar Palita Ketjil sebagai editor yang berlanjut ketika koran ini berganti nama menjadi Warta Berita (1895-1897). Selanjutnya selama kurun 1901-1904, Datoek Soetan Maharadja menjadi koresponden suratkabar Bintang Hindia dan majalah Insulinde. Enam tahun berikutnya, menjadi editor koran Tjahaja Soematra hingga tahun 1910.
Setelah sekian lama menimba ilmu dan menjajal kecakapan jurnalistiknya di media-media milik orang lain, Datoek Soetan Maharadja berkeinginan untuk menerbitkan suratkabar sendiri. Lebih dari itu, ia juga mempunyai obsesi mendirikan organisasi untuk menghimpun kekuatan rakyat Minangkabau, khususnya dari kalangan adat. Maka pada Januari 1911, orang-orang Melayu yang berdomisili di Padang dan sekitarnya, di bawah pimpinan Datoek Soetan Maharadja, mendirikan sebuah organisasi bernama Perserikatan Orang Alam Minangkabau. Organisasi ini merupakan wadah tempat berkumpulnya orang-orang yang memiliki perhatian terhadap kelestarian adat Minang.
Pada 1911 itu pula, Datoek Soetan Maharadja meluncurkan suratkabar Oetoesan Melajoe. Koran ini terbit di Padang setiap hari, kecuali hari Jumat dan Minggu serta hari lain ‘yang dimuliakan’. Kantor administrasi dan redaksi Oetoesan Melajoe beralamat di Pasar Gadang, Padang  Sebagai koran yang diterbitkan oleh kaum yang berteguh terhadap adat Minang, Oetoesan Melajoe selalu menyediakan laporan khusus berkaitan dengan aspek-aspek budaya Minang dan merupakan media yang bersetia mendukung segala sepak-terjang kaum adat Minangkabau.
Kendati bertumpu pada pemikiran adat, Datoek Soetan Maharadja menaruh perhatian pada kemajuan rakyat Minang, termasuk kaum perempuannya, melalui pendidikan modern atau pendidikan Barat. Dia adalah seorang konservatif yang mempercayai unsur adat sebagai pengikat rakyat Minangkabau, tetapi sekaligus juga berkeyakinan bahwa pendidikan modern merupakan sarana yang paling penting untuk mencapai kemajuan.
Pada 1902, Datoek Soetan Maharadja mendirikan sekolah untuk anak-anak Minangkabau. Salah satu yang menjadi perhatian besarnya adalah masalah kemajuan kaum perempuan. Pada 1908, ia memprakarsai Pekan Raya Melayu di mana ia memperkenalkan sekolah penenun pertama untuk perempuan, yang bernama Padangsche Weefschool. Selanjutnya dia membangun lagi sekolah-sekolah tenun di beberapa tempat di Sumatera Barat.
Untuk memantik kesadaran kaum perempuan Minangkabau agar bergerak maju, Datoek Soetan Maharadja menggagas penerbitan suratkabar khusus perempuan pertama di Sumatera, yaitu Soenting Melajoe yang diterbitkan pada Juli 1912. Ia merekrut wartawan perempuan Rohana Kudus untuk mengelola suratkabar ini bersama anaknya sendiri, Zoebaidah Ratna Djoewita.
Gerakan menuju semangat nasionalisme pada kurun itu memang sebagian besar menekankan unsur linguistik dan etnik. Selain mendirikan Perserikatan Orang Alam Minangkabau sebagai wadah untuk mempersatukan kaum Adat Minangkabau, Datoek Soetan Maharadja juga banyak berperan dalam penggagasan organisasi lokal Minangkabau lainnya. Jauh sebelumnya, ia sudah mengetuai gerakan Medan Keramaian yang pada 1888 tercatat diikuti 80 orang anggota. Di kurun yang hampir bersamaan, ia juga menjabat sebagai penasehat perkumpulan Taman Penglipoer Lara, dan menjadi anggota Kongsi Anak Radja-Radja yang merupakan perhimpunan para bangsawan adat Minangkabau.
Terkait pendidikan untuk Bumiputera, Datoek Soetan Maharadja pernah menggugat pemerintah kolonial. Melalui koran Tjahaja Soematra, pada awal 1909, dia mengeluhkan minimnya sekolah untuk anak-anak pribumi yang didirikan pemerintah Hindia Belanda. Ia mengatakan, pemerintah kolonial bisa membuktikan ketulusannya terhadap rakyat yang dijajah dengan membangun lebih banyak sekolah dan memperluas kesempatan pendidikan bagi pribumi.
Di bawah pimpinan Datoek Soetan Maharadja, kaum adat di Minangkabau kerap berselisih dengan kalangan pemuka Islam. Permusuhannya dengan kaum ulama berawal dari Perang Paderi, ketika kakek buyutnya dari garis ayah dibunuh oleh kaum Paderi. ‘Perang’ berlanjut hingga ke awal Abd ke-20. Dia menuduh para ulama yang kembali dari Timur Tengah sebagai penerus Paderi yang berusaha mengembalikan kejayaan mereka di ranah Minang. Melalui Otoesan Melajoe, ia mengingatkan segenap kaum adat agar tidak membiarkan kemerdekaan orang Minang dirampas oleh ‘orang-orang Mekah’ tersebut.
Ia bahkan menyatakan keberatannya terhadap rencana pemerintah memasukkan pelajaran agama ke sekolah-sekolah pribumi –satu hal yang diperjuangkan oleh ulama seperti Abdul Karim Amarullah dan Abdullah Ahmad. Menurut Datoek Soetan Maharadja, kebijakan tersebut tidak praktis dan masalah itu sebaiknya diserahkan kepada prakarsa rakyat.
Kaum Islam pembaharu Minangkabau menerbitkan majalan Al-Moenir untuk menyiarkan pemikiran mereka. Al-Moenir terbit perdana pada 1 April 1911  dimaksudkan untuk meneruskan ide-ide pembaharuan Islam yang sebelumnya dikampanyekan oleh majalah Al-Imam yang terbit di Singapura dan diasuh Syekh Tahir Jalaluddin. Pendiri sekaligus redaktur utama Al-Moenir adalah Haji Abdullah Ahmad. Misi yang diemban kaum Islam reformis tercetak jelas pada edisi perdana Al-Moenir, yakni sebagai ‘pemimpin dan memajukan anak-anak bangsa kita pada agama yang lurus dan beritikad yang betul dan menambah pengetahuan yang berguna dan mencari nafkah kesenangan hidup supaya sentosa pula mengerjakan suruhan agama’.
 Slogan itu menunjukkan  Al-Moenir menempatkan agama dan dunia dalam posisi yang setara dan saling mendukung,  sebuah sikap yang secara langsung memicu semakin tajamnya perseteruan antara ulama modernis dengan kaum adat yang digawangi Datoek Soetan Maharadja. Berdirinya Perserikatan Orang Alam Minangkabau pada Januari 1911, dan penerbitan Oetoesan Melajoe di tahun yang sama, menjadi penegas bahwa Datoek Soetan Maharadja sudah menabuh genderang perang untuk melawan kaum Islam reformis.
Perseteruan paling seru antara Oetoesan Melajoe melawan Al-Moenir terjadi pada kurun 1911-1913. Al-Moenir banyak memuat tulisan tentang semua yang dianggap tabu kaum adat. Sebaliknya, Datoek Soetan Maharadja melalui berbagai kesempatan, termasuk dengan corong Oetoesan Melajoe, tidak henti-hentinya menyerang para ulama dengan menyebut mereka sebagai kaum Wahabi atau kaum Paderi.
Gerak juang Datoek Soetan Maharadja yang tidak melulu melawan kaum ulama  secara frontal. Tetapi juga terhadap para aktivis pergerakan yang bergerak secara progresif, semisal para anggota Jong Soematranen Bond (JSB). Para tokoh JSB tidak begitu suka dengan cara-cara Datoek Soetan Maharadja yang mereka anggap dekat dan tunduk terhadap kaum penjajah. Pada 1918, melalui suratkabar Jong Soematra, seorang pemimpin JSB cabang Batavia menyebutnya sebagai ‘pianggang’ (serangga penyengat), orang yang konservatif primitif, egois, penjilat atau pengejar bintang. Bahkan, pemuda kalem seperti Mohammad Hatta, yang juga aktif di JSB, berani menuding Datoek Soetan Maharadja sebagai pengkhianat. Oetoesan Melajoe yang menjadi kendaraan ideologinya, oleh beberapa kalangan disebut sebagai fameuse likorgan alias ‘penjilat besar’.
Konflik antara Datoek Soetan Maharadja dengan kalangan intelektual muda yang tergabung dalam JSB baru mereda tahun berikutnya. Setelah pihak JSB mulai menyadari bahwa tidak ada gunanya menghabiskan energi untuk berseteru dengan kaum tua yang merupakan bagian dari masa lalu, masih terhitung bangsa sendiri dan serumpun Melayu pula. Sementara di sisi lain, ketenaran Oetoesan Melajoe sendiri juga mulai memudar. Barangkali hal ini disebabkan oleh habisnya konsentrasi Datoek Soetan Maharadja dan personel redaksi lainnya dalam menyerang dan meladeni serangan balasan dari lawan-lawannya. Sehingga, ketika musuh-musuhnya memutuskan mengalah, Oetoesan Melajoe pun secara perlahan mulai menyerah.
Datoek Soetan Maharadja meninggal dunia pada 1921, tahun yang sama ketika Soenting Melajoe menghembuskan nafas cetak penghabisan menyusul Oetoesan Melajoe yang sudah terlebih dulu berhenti terbit.
Selain menjadi pelopor penerbitan suratkabar yang dimiliki sendiri oleh orang Minangkabau, juga sebagai sang pemula yang mengawali gagasan ihwal penerbitan suratkabar khusus perempuan di Sumatra Barat, Datoek Soetan Maharadja juga telah menyumbangkan andil yang tidak sedikit demi kemajuan rakyat dan negerinya melalui perhimpunan dan pendidikan.
Aktivitas Datoek Soetan Maharadja yang seringkali menuai kritik dan kontroversi pada hakekatnya justru membuahkan manfaat bagi kemajuan rakyat Minangkabau. Aksi-aksi nyata yang dilakukannya menjadi satu fase tersendiri yang mewarnai perjalanan sejarah Minangkabau. (HC/MN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...