MAHJOEDIN DATOEK SOETAN
MAHARADJA
Mahjoeddin Datoek Soetan
Maharadja adalah salah satu Perintis Pers Indonesia. Ia banyak mendirikan dan
menerbitkan surat kabar berbahasa Indonesia. Pada akhir abad ke-19, dia
memimpin dua surat kabar berbahasa Indonesia, yaitu Pelita Ketjil (didirikan pada 1 Februari 1886) dan Tjahaja Soematra (1897). Pada tahun
1901, Mahjoedin menerbitkan dan memimpin surat kabar Warta Berita. Surat kabar ini merupakan salah satu surat kabar
pertama di Indonesia yang menggunakan Bahasa Indonesia, dipimpin, dan dicetak
oleh orang Indonesia.
Pada tahun 1910 dia
menerbitkan dan menjadi pemimpin redaksi Oetoesan
Melajoe di Padang. Dalam surat kabar tersebut tertera : "Achbar ini ditjitak pada pertjitakan orang
Minangkabau". Melalui kalimat ini, ia ingin menunjukkan kemampuan suku
bangsa Minangkabau dalam menguasai usaha surat kabar dan percetakan, yang
ketika itu banyak dijalankan oleh orang-orang Belanda dan Cina. Pada tahun
1911, bersama Rohana Kudus, dia menerbitkan koran perempuan Soenting Melajoe.
Mahjoeddin dilahirkan di
Sulit Air, Solok, pada 27 November 1862, dengan nama kecil Mahjoedin. Belum
banyak diungkap mengenai pendidikan tokoh ini. Namun yang jelas, sebagai keturunan
bangsawan adat, ia kemudian menyandang gelar penghulu dari kaumnya: Datoek
Soetan Maharadja.
Perjalanan karirnya dimulai
sebagai abdi pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan menjadi magang jaksa di
Padang pada 1876. Tiga tahun kemudian, ia memangku posisi sebagai juru tulis
atau kerani di kantor jaksa di Padang. Pada 1882, karirnya mulai menapak naik
sebagai ajun jaksa di Indrapura. Setahun di sini, ia promosi menjadi ajun jaksa
kepala di Padang. Lima tahun kemudian, ia dipindahtugaskan sebagai jaksa di
Pariaman.
Datoek Soetan Maharadja
memutuskan berhenti dari jabatan di lingkungan pemerintahan kolonial pada tahun
1892, lalu banting stir ke bidang
jurnalistik dan organisasi pergerakan. Ia kembali ke Padang untuk menekuni
profesi barunya sebagai wartawan. Mulanya dia bekerja untuk suratkabar Palita Ketjil sebagai editor yang
berlanjut ketika koran ini berganti nama menjadi Warta Berita (1895-1897). Selanjutnya selama kurun 1901-1904,
Datoek Soetan Maharadja menjadi koresponden suratkabar Bintang Hindia dan majalah Insulinde.
Enam tahun berikutnya, menjadi editor koran Tjahaja
Soematra hingga tahun 1910.
Setelah sekian lama menimba
ilmu dan menjajal kecakapan jurnalistiknya di media-media milik orang lain,
Datoek Soetan Maharadja berkeinginan untuk menerbitkan suratkabar sendiri. Lebih
dari itu, ia juga mempunyai obsesi mendirikan organisasi untuk menghimpun
kekuatan rakyat Minangkabau, khususnya dari kalangan adat. Maka pada Januari
1911, orang-orang Melayu yang berdomisili di Padang dan sekitarnya, di bawah
pimpinan Datoek Soetan Maharadja, mendirikan sebuah organisasi bernama
Perserikatan Orang Alam Minangkabau. Organisasi ini merupakan wadah tempat
berkumpulnya orang-orang yang memiliki perhatian terhadap kelestarian adat
Minang.
Pada 1911 itu pula, Datoek
Soetan Maharadja meluncurkan suratkabar Oetoesan
Melajoe. Koran ini terbit di Padang setiap hari, kecuali hari Jumat dan
Minggu serta hari lain ‘yang dimuliakan’. Kantor administrasi dan redaksi Oetoesan Melajoe beralamat di Pasar Gadang,
Padang Sebagai koran yang diterbitkan oleh
kaum yang berteguh terhadap adat Minang, Oetoesan
Melajoe selalu menyediakan laporan khusus berkaitan dengan aspek-aspek
budaya Minang dan merupakan media yang bersetia mendukung segala sepak-terjang
kaum adat Minangkabau.
Kendati bertumpu pada
pemikiran adat, Datoek Soetan Maharadja menaruh perhatian pada kemajuan rakyat
Minang, termasuk kaum perempuannya, melalui pendidikan modern atau pendidikan
Barat. Dia adalah seorang konservatif yang mempercayai unsur adat sebagai
pengikat rakyat Minangkabau, tetapi sekaligus juga berkeyakinan bahwa
pendidikan modern merupakan sarana yang paling penting untuk mencapai kemajuan.
Pada 1902, Datoek Soetan
Maharadja mendirikan sekolah untuk anak-anak Minangkabau. Salah satu yang
menjadi perhatian besarnya adalah masalah kemajuan kaum perempuan. Pada 1908,
ia memprakarsai Pekan Raya Melayu di mana ia memperkenalkan sekolah penenun
pertama untuk perempuan, yang bernama Padangsche
Weefschool. Selanjutnya dia membangun lagi sekolah-sekolah tenun di
beberapa tempat di Sumatera Barat.
Untuk memantik kesadaran
kaum perempuan Minangkabau agar bergerak maju, Datoek Soetan Maharadja
menggagas penerbitan suratkabar khusus perempuan pertama di Sumatera, yaitu Soenting Melajoe yang diterbitkan pada
Juli 1912. Ia merekrut wartawan perempuan Rohana Kudus untuk mengelola
suratkabar ini bersama anaknya sendiri, Zoebaidah Ratna Djoewita.
Gerakan menuju semangat
nasionalisme pada kurun itu memang sebagian besar menekankan unsur linguistik
dan etnik. Selain mendirikan Perserikatan Orang Alam Minangkabau sebagai wadah
untuk mempersatukan kaum Adat Minangkabau, Datoek Soetan Maharadja juga banyak
berperan dalam penggagasan organisasi lokal Minangkabau lainnya. Jauh
sebelumnya, ia sudah mengetuai gerakan Medan Keramaian yang pada 1888 tercatat
diikuti 80 orang anggota. Di kurun yang hampir bersamaan, ia juga menjabat
sebagai penasehat perkumpulan Taman Penglipoer Lara, dan menjadi anggota Kongsi
Anak Radja-Radja yang merupakan perhimpunan para bangsawan adat Minangkabau.
Terkait pendidikan untuk
Bumiputera, Datoek Soetan Maharadja pernah menggugat pemerintah kolonial.
Melalui koran Tjahaja Soematra, pada
awal 1909, dia mengeluhkan minimnya sekolah untuk anak-anak pribumi yang
didirikan pemerintah Hindia Belanda. Ia mengatakan, pemerintah kolonial bisa
membuktikan ketulusannya terhadap rakyat yang dijajah dengan membangun lebih
banyak sekolah dan memperluas kesempatan pendidikan bagi pribumi.
Di bawah pimpinan Datoek
Soetan Maharadja, kaum adat di Minangkabau kerap berselisih dengan kalangan pemuka
Islam. Permusuhannya dengan kaum ulama berawal dari Perang Paderi, ketika kakek
buyutnya dari garis ayah dibunuh oleh kaum Paderi. ‘Perang’ berlanjut hingga ke
awal Abd ke-20. Dia menuduh para ulama yang kembali dari Timur Tengah sebagai
penerus Paderi yang berusaha mengembalikan kejayaan mereka di ranah Minang.
Melalui Otoesan Melajoe, ia
mengingatkan segenap kaum adat agar tidak membiarkan kemerdekaan orang Minang
dirampas oleh ‘orang-orang Mekah’ tersebut.
Ia bahkan menyatakan
keberatannya terhadap rencana pemerintah memasukkan pelajaran agama ke
sekolah-sekolah pribumi –satu hal yang diperjuangkan oleh ulama seperti Abdul
Karim Amarullah dan Abdullah Ahmad. Menurut Datoek Soetan Maharadja, kebijakan
tersebut tidak praktis dan masalah itu sebaiknya diserahkan kepada prakarsa
rakyat.
Kaum Islam pembaharu
Minangkabau menerbitkan majalan Al-Moenir
untuk menyiarkan pemikiran mereka. Al-Moenir
terbit perdana pada 1 April 1911 dimaksudkan untuk meneruskan ide-ide
pembaharuan Islam yang sebelumnya dikampanyekan oleh majalah Al-Imam yang terbit di Singapura dan
diasuh Syekh Tahir Jalaluddin. Pendiri sekaligus redaktur utama Al-Moenir adalah Haji Abdullah Ahmad. Misi
yang diemban kaum Islam reformis tercetak jelas pada edisi perdana Al-Moenir, yakni sebagai ‘pemimpin dan
memajukan anak-anak bangsa kita pada agama yang lurus dan beritikad yang betul
dan menambah pengetahuan yang berguna dan mencari nafkah kesenangan hidup
supaya sentosa pula mengerjakan suruhan agama’.
Slogan itu menunjukkan Al-Moenir
menempatkan agama dan dunia dalam posisi yang setara dan saling mendukung, sebuah sikap yang secara langsung memicu
semakin tajamnya perseteruan antara ulama modernis dengan kaum adat yang
digawangi Datoek Soetan Maharadja. Berdirinya Perserikatan Orang Alam Minangkabau
pada Januari 1911, dan penerbitan Oetoesan
Melajoe di tahun yang sama, menjadi penegas bahwa Datoek Soetan Maharadja
sudah menabuh genderang perang untuk melawan kaum Islam reformis.
Perseteruan paling seru antara
Oetoesan Melajoe melawan Al-Moenir terjadi pada kurun 1911-1913. Al-Moenir banyak memuat tulisan tentang
semua yang dianggap tabu kaum adat. Sebaliknya, Datoek Soetan Maharadja melalui
berbagai kesempatan, termasuk dengan corong Oetoesan
Melajoe, tidak henti-hentinya menyerang para ulama dengan menyebut mereka
sebagai kaum Wahabi atau kaum Paderi.
Gerak juang Datoek Soetan
Maharadja yang tidak melulu melawan kaum ulama
secara frontal. Tetapi juga terhadap para aktivis pergerakan yang
bergerak secara progresif, semisal para anggota Jong Soematranen Bond (JSB).
Para tokoh JSB tidak begitu suka dengan cara-cara Datoek Soetan Maharadja yang
mereka anggap dekat dan tunduk terhadap kaum penjajah. Pada 1918, melalui
suratkabar Jong Soematra, seorang
pemimpin JSB cabang Batavia menyebutnya sebagai ‘pianggang’ (serangga
penyengat), orang yang konservatif primitif, egois, penjilat atau pengejar
bintang. Bahkan, pemuda kalem seperti Mohammad Hatta, yang juga aktif di JSB,
berani menuding Datoek Soetan Maharadja sebagai pengkhianat. Oetoesan Melajoe yang menjadi kendaraan
ideologinya, oleh beberapa kalangan disebut sebagai fameuse likorgan alias ‘penjilat besar’.
Konflik antara Datoek Soetan
Maharadja dengan kalangan intelektual muda yang tergabung dalam JSB baru mereda
tahun berikutnya. Setelah pihak JSB mulai menyadari bahwa tidak ada gunanya
menghabiskan energi untuk berseteru dengan kaum tua yang merupakan bagian dari
masa lalu, masih terhitung bangsa sendiri dan serumpun Melayu pula. Sementara
di sisi lain, ketenaran Oetoesan Melajoe
sendiri juga mulai memudar. Barangkali hal ini disebabkan oleh habisnya
konsentrasi Datoek Soetan Maharadja dan personel redaksi lainnya dalam
menyerang dan meladeni serangan balasan dari lawan-lawannya. Sehingga, ketika
musuh-musuhnya memutuskan mengalah, Oetoesan
Melajoe pun secara perlahan mulai menyerah.
Datoek Soetan Maharadja
meninggal dunia pada 1921, tahun yang sama ketika Soenting Melajoe menghembuskan nafas cetak penghabisan menyusul Oetoesan Melajoe yang sudah terlebih
dulu berhenti terbit.
Selain menjadi pelopor
penerbitan suratkabar yang dimiliki sendiri oleh orang Minangkabau, juga sebagai
sang pemula yang mengawali gagasan ihwal penerbitan suratkabar khusus perempuan
di Sumatra Barat, Datoek Soetan Maharadja juga telah menyumbangkan andil yang
tidak sedikit demi kemajuan rakyat dan negerinya melalui perhimpunan dan
pendidikan.
Aktivitas Datoek Soetan
Maharadja yang seringkali menuai kritik dan kontroversi pada hakekatnya justru
membuahkan manfaat bagi kemajuan rakyat Minangkabau. Aksi-aksi nyata yang
dilakukannya menjadi satu fase tersendiri yang mewarnai perjalanan sejarah
Minangkabau. (HC/MN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar