Rabu, 19 Juni 2019

Menetap di Lubang untuk Sebuah Harga Diri


OLEH Khairul Jasmi
Seperangkat kursi tamu dan meja terbuat dari rumput terawat rapi. Di sekelilingnya ada bangunan yang menyerupai kubah masjid dan atap rumah gadang yang juga terbuat dari rumput. Taman seluas 10x10 meter itu sungguh rancak, hijau, berseni, dan berpagar. Sementara pencipta sekaligus pemiliknya, Jailan, tinggal di tepi taman. Persisnya di sebuah lubang sebesar drum minyak tanah.
“Jangan masuk ke situ. Tak ada rumah di situ,” seru wanita 58 tahun warga Lasi, sekitar 20 km dari Bukittinggi, dari dalam pagar taman.
Ia menatapi orang-orang yang berhasrat masuk ke “rumahnya”. Di luar lubang tampak kain kebaya tengah dijemur. Sebagian lubang dipagari bambu dibelah. Di depannya ada jalan yang bersisian dengan sungai yang airnya mengalir dari Gunung Marapi. Sebuah sungai yang pada bulan Mei 1994, mendatangkan bencana pada masyarakat Sumatera Barat.
Di lubang itulah Jailan dan anak gadisnya Jisman tinggal siang dan malam. Saat hujan keduanya kuyup ke­­­dinginan. Saat panas keduanya basah berkeringat. Saat langit penuh gemintang dan berpurnama barulah keduanya beratap angkasa yang kemilau.
Ado apo, Pak?” tanya  Jisman, puteri Jailan yang berusia 35 tahun yang sedang memasak di tungku, begitu mendengar ucapan Assalamualaikum. Saat itu Gubernur Sumatera Barat, Drs Hasan Basri Durin dan Asisten II Setwilda TK I Hawari Siddik, berkunjung ke Lasi, Kabupaten Agam, berkenaan dengan bencana banjir, beberapa bulan lalu.
Jisman langsung bangkit. Ia memakai roknya yang dijemur di panggalan yang dipasang di depan rumahnya. Ia lekatkan tudungnya. Wanita berbaju kuning lusuh itu berusaha menyebar senyumnya. Tapi jauh di balik wajahnya seperti tersimpan guratan kepedihan.
“Bu ada tamu dari kantor gubernur,” kata seorang rekan wartawan. Jisman melangkah beberapa langkah.
“Boleh kami masuk. Kami dari Padang jauh-jauh ke sini, ingin bersilaturrahmi dengan Ibu,” katanya lagi.
Tak ada jawaban apa-apa. Suasana diam sejenak. Lalu dari dalam “bungker” keluarlah Jailan, tanpa bicara ia melangkah ke depan. Mendekati pintu masuk pagar.
“Boleh kami masuk, Bu?” tanya seorang wartawan. Tak ada jawaban. Wanita itu diam agak lama.
“Untuk apa?”
“Kami cucu ibu, kenapa tidak boleh masuk?”
“Ya bagaimana, memang tidak boleh.”
“Tapi Bu, kenapa harus menolak tamu?”
Lama Jailan terdiam. Lalu ia tersenyum dan mem­­­­-bu­kakan pintu. Orang berebut masuk ke pintu pagar. Berebut berfoto di taman yang hijau apik itu. Sebagian terus melangkah ke “rumah” Jalian. Dua buah kayu sepanjang 1 meter ditegakkan, lalu disandarkan seng tua ke sana. Pada beberapa bagian ditutupi dengan kain dan daun-daun. Itulah “rumah” Jailan. Di situ segalanya dilakukan oleh janda ini.
Sepanjang sejarah konon baru kali itulah orang lain boleh masuk ke dalam ”bunkernya”. “Bunker” itu sungguh tak layak dijadikan tempat tinggal. Jika badan direbahkan, kaki tak bisa lurus berbaring. Dan berdiripun  tak bisa.
           
Luka Hati
Hasan Basri Durin, Gubernur Sumatera Barat, tak sampai hati melihat “rumah” janda tua itu. Ia pun menawari rumah yang layak untuk Jailan, tapi Jailan dan Jisman tak tampak berseri. Jailan malah berkata.
“Kami berembuk dulu, Pak. Buat sementara, tawaran Bapak belum kami terima,” kata Jailan. Ia menolak dibuatkan rumah, sementara ia tinggal di lubang.
Jailan memang tak ingin tinggal di rumah. Menurut sebagian warga Lasi, keputusan janda dan putrinya itu bermula dari pertengkaran keluarga. Pertengkaran itu masih meninggalkan luka. Luka yang terus berdarah dan menjadi borok. Entah obat apa gerangan yang bisa mengeringkan luka keduanya.
Menurut cerita warga setempat, dulu sekali mereka punya rumah. Rumah itu roboh. Kini pun sebenarnya ibu dan anak ini masih punya rumah, rumah gadang, rumah adat di Minangkabau. Tapi Jailan tidak sudi hidup di situ.
“Ibarat ayam, kami diserakkan beras, tapi begitu akan kami makan, tongkat diacung-acungkan, yang ayam lari,” begitulah Jailan mengatakan mengapa ia tidak bisa hidup di rumah gadang.
Dulu, kisah Jisman, ketika ibunya hendak turun dari rumah gadang, ia menemukan bangkai ular di jendela. Keduanya lalu menafsirkan bahwa bangkai ular tadi ditaruh oleh familinya. Sebab jika ditemukan bangkai ular di  mulut  tangga artinya ia telah diusir. Lalu keduanya pergi membawa luka nan dalam itu.
Perselisihan soal warisan, soal adat, soal penafsiran yang salah tentang adat, bukan hal asing di Minangkabau. Pemahaman yang kaku atas adat, sering membuat seseorang terlunta-lunta, malah sengsara, dan me­-nye­dihkan.
Dan 31 tahun sudah Jailan dan Jisman menyimpan luka di dalam “bunker”. Menurut cerita masyarakat setempat, “bunker” itu ada lubang ke dalam tanah.
“Kami  orang sini tahu betul mereka hidup dalam tanah,” kata salah seorang warga.
Tapi Jisman dan Jailan menolak keras anggapan itu. Ia tak bisa menerima tulisan di sebuah majalah ibu kota yang menyebutkan hidup dalam tanah.
“Kami tidak hidup dalam tanah,” kata keduanya.
Dan rekan yang diizinkan masuk ke “bunker” pun mengaku tidak melihat adanya lubang masuk ke  dalam tanah.
“Di balik tikar itu lubangnya, Pak,” bisik seorang pemuda.
Melihat kenyataan memang tak mungkin kedua manusia itu hidup hanya dalam “rumah” yang kecil itu. Karenanya kuat dugaan ada lobang ke dalam tanah. Dugaan tadi kian terang karena dikuatkan lagi oleh masyarakat sekitar.
Jisman misalnya, mengaku tidak tidur “di rumah” melainkan tinggal di surau.
“Tidak benar  itu, ia tinggal di sana bersama ibunya,” lagi-lagi penduduk desa membantah. Menurut Jisman, ibunya tinggal di “rumah” yang menyedihkan itu sejak 1988 lalu. 
“Setahun setelah pemilu yang dulu, Pak,” katanya.
Lagi-lagi warga membantah. “Ia bersama ibunya sudah tinggal di sana ketika saya belum lahir, usia saya sekarang 13 tahun,” kata seorang anak bernama Ujang kepada Republika.  
Menurut mamaknya, yang wartawan, keduanya sudah hidup di sana sejak Jisman berusia 4 tahun. Jika Jisman kini berusia 35 tahun, itu artinya mereka sudah tinggal dalam tanah selama 31 tahun.
Dalam luka itu, Jailan dan anaknya justru kian kukuh dengan pendiriannya. Dulu, Bupati Agam telah menawari untuk membuat rumah, tapi ditolak, lalu ada ABRI Masuk Desa (AMD) juga ditolak, terakhir  Gubernur Sumatera Barat Hasan Basri Durin, juga mereka tolak dengan halus.
Namun bukan berarti tertutup ke­mungkinan untuk membuatkan rumah. Menurut warga Lasi, Jailan mau dibuatkan rumah jika Jisman yang masih gadis itu sudah bersuami.
Entah kapan Jisman dipersunting pria. Entah kapan pula ibu dan putrinya itu tergerak hatinya untuk meninggalkan “pertapaan”.
Tapi yang pasti, dalam keterasingan keduanya mampu membuat seni tanaman disebut topiari yang berasal dari bahasa Romawi topiarus, yang artinya tukang kebun. Tapi pengertian populernya adalah merangkai tanaman menjadi bentuk yang berbeda dari aslinya. ***

Republika, Padang, 16 Juli 1994


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...