OLEH
Khairul Jasmi
Seperangkat kursi tamu dan meja terbuat dari rumput terawat rapi. Di
sekelilingnya ada bangunan yang menyerupai kubah masjid dan atap rumah gadang
yang juga terbuat dari rumput. Taman seluas 10x10 meter itu sungguh rancak,
hijau, berseni, dan berpagar. Sementara pencipta sekaligus pemiliknya, Jailan,
tinggal di tepi taman. Persisnya di sebuah lubang sebesar drum minyak tanah.
“Jangan masuk ke situ. Tak
ada rumah di situ,” seru wanita 58 tahun warga Lasi, sekitar 20 km dari
Bukittinggi, dari dalam pagar taman.
Ia menatapi orang-orang
yang berhasrat masuk ke “rumahnya”. Di luar lubang tampak kain kebaya tengah
dijemur. Sebagian lubang dipagari bambu dibelah. Di depannya ada jalan yang
bersisian dengan sungai yang airnya mengalir dari Gunung Marapi. Sebuah sungai
yang pada bulan Mei 1994, mendatangkan bencana pada masyarakat Sumatera Barat.
Di lubang itulah Jailan dan
anak gadisnya Jisman tinggal siang dan malam. Saat hujan keduanya kuyup kedinginan.
Saat panas keduanya basah berkeringat. Saat langit penuh gemintang dan
berpurnama barulah keduanya beratap angkasa yang kemilau.
“Ado apo, Pak?”
tanya Jisman, puteri Jailan yang berusia
35 tahun yang sedang memasak di tungku, begitu mendengar ucapan
Assalamualaikum. Saat itu Gubernur Sumatera Barat, Drs Hasan Basri Durin dan
Asisten II Setwilda TK I Hawari Siddik, berkunjung ke Lasi, Kabupaten Agam,
berkenaan dengan bencana banjir, beberapa bulan lalu.
Jisman langsung bangkit. Ia
memakai roknya yang dijemur di panggalan yang dipasang di depan rumahnya. Ia
lekatkan tudungnya. Wanita berbaju kuning lusuh itu berusaha menyebar
senyumnya. Tapi jauh di balik wajahnya seperti tersimpan guratan kepedihan.
“Bu ada tamu dari kantor
gubernur,” kata seorang rekan wartawan. Jisman melangkah beberapa langkah.
“Boleh kami masuk. Kami
dari Padang jauh-jauh ke sini, ingin bersilaturrahmi dengan Ibu,” katanya lagi.
Tak ada jawaban apa-apa.
Suasana diam sejenak. Lalu dari dalam “bungker” keluarlah Jailan, tanpa bicara
ia melangkah ke depan. Mendekati pintu masuk pagar.
“Boleh kami masuk, Bu?”
tanya seorang wartawan. Tak ada jawaban. Wanita itu diam agak lama.
“Untuk apa?”
“Kami cucu ibu, kenapa
tidak boleh masuk?”
“Ya bagaimana, memang tidak
boleh.”
“Tapi Bu, kenapa harus
menolak tamu?”
Lama Jailan terdiam. Lalu
ia tersenyum dan mem-bukakan pintu. Orang berebut masuk ke pintu pagar.
Berebut berfoto di taman yang hijau apik itu. Sebagian terus melangkah ke
“rumah” Jalian. Dua buah kayu sepanjang 1 meter ditegakkan, lalu disandarkan
seng tua ke sana. Pada beberapa bagian ditutupi dengan kain dan daun-daun.
Itulah “rumah” Jailan. Di situ segalanya dilakukan oleh janda ini.
Sepanjang sejarah konon
baru kali itulah orang lain boleh masuk ke dalam ”bunkernya”. “Bunker” itu
sungguh tak layak dijadikan tempat tinggal. Jika badan direbahkan, kaki tak
bisa lurus berbaring. Dan berdiripun tak
bisa.
Luka Hati
Hasan Basri Durin, Gubernur
Sumatera Barat, tak sampai hati melihat “rumah” janda tua itu. Ia pun menawari
rumah yang layak untuk Jailan, tapi Jailan dan Jisman tak tampak berseri.
Jailan malah berkata.
“Kami berembuk dulu, Pak.
Buat sementara, tawaran Bapak belum kami terima,” kata Jailan. Ia menolak
dibuatkan rumah, sementara ia tinggal di lubang.
Jailan memang tak ingin
tinggal di rumah. Menurut sebagian warga Lasi, keputusan janda dan putrinya itu
bermula dari pertengkaran keluarga. Pertengkaran itu masih meninggalkan luka.
Luka yang terus berdarah dan menjadi borok. Entah obat apa gerangan yang bisa
mengeringkan luka keduanya.
Menurut cerita warga
setempat, dulu sekali mereka punya rumah. Rumah itu roboh. Kini pun sebenarnya
ibu dan anak ini masih punya rumah, rumah gadang, rumah adat di
Minangkabau. Tapi Jailan tidak sudi hidup di situ.
“Ibarat ayam, kami
diserakkan beras, tapi begitu akan kami makan, tongkat diacung-acungkan, yang
ayam lari,” begitulah Jailan mengatakan mengapa ia tidak bisa hidup di rumah
gadang.
Dulu, kisah Jisman, ketika
ibunya hendak turun dari rumah gadang, ia menemukan bangkai ular di
jendela. Keduanya lalu menafsirkan bahwa bangkai ular tadi ditaruh oleh
familinya. Sebab jika ditemukan bangkai ular di
mulut tangga artinya ia telah
diusir. Lalu keduanya pergi membawa luka nan dalam itu.
Perselisihan soal warisan,
soal adat, soal penafsiran yang salah tentang adat, bukan hal asing di
Minangkabau. Pemahaman yang kaku atas adat, sering membuat seseorang
terlunta-lunta, malah sengsara, dan me-nyedihkan.
Dan 31 tahun sudah Jailan
dan Jisman menyimpan luka di dalam “bunker”. Menurut cerita masyarakat
setempat, “bunker” itu ada lubang ke dalam tanah.
“Kami orang sini tahu betul mereka hidup dalam
tanah,” kata salah seorang warga.
Tapi Jisman dan Jailan
menolak keras anggapan itu. Ia tak bisa menerima tulisan di sebuah majalah ibu
kota yang menyebutkan hidup dalam tanah.
“Kami tidak hidup dalam
tanah,” kata keduanya.
Dan rekan yang diizinkan
masuk ke “bunker” pun mengaku tidak melihat adanya lubang masuk ke dalam tanah.
“Di balik tikar itu
lubangnya, Pak,” bisik seorang pemuda.
Melihat kenyataan memang
tak mungkin kedua manusia itu hidup hanya dalam “rumah” yang kecil itu.
Karenanya kuat dugaan ada lobang ke dalam tanah. Dugaan tadi kian terang karena
dikuatkan lagi oleh masyarakat sekitar.
Jisman misalnya, mengaku
tidak tidur “di rumah” melainkan tinggal di surau.
“Tidak benar itu, ia tinggal di sana bersama ibunya,”
lagi-lagi penduduk desa membantah. Menurut Jisman, ibunya tinggal di “rumah”
yang menyedihkan itu sejak 1988 lalu.
“Setahun setelah pemilu
yang dulu, Pak,” katanya.
Lagi-lagi warga membantah.
“Ia bersama ibunya sudah tinggal di sana ketika saya belum lahir, usia saya
sekarang 13 tahun,” kata seorang anak bernama Ujang kepada Republika.
Menurut mamaknya, yang
wartawan, keduanya sudah hidup di sana sejak Jisman berusia 4 tahun. Jika
Jisman kini berusia 35 tahun, itu artinya mereka sudah tinggal dalam tanah
selama 31 tahun.
Dalam luka itu, Jailan dan
anaknya justru kian kukuh dengan pendiriannya. Dulu, Bupati Agam telah menawari
untuk membuat rumah, tapi ditolak, lalu ada ABRI Masuk Desa (AMD) juga ditolak,
terakhir Gubernur Sumatera Barat Hasan
Basri Durin, juga mereka tolak dengan halus.
Namun bukan berarti
tertutup kemungkinan untuk membuatkan rumah. Menurut warga Lasi, Jailan mau
dibuatkan rumah jika Jisman yang masih gadis itu sudah bersuami.
Entah kapan Jisman
dipersunting pria. Entah kapan pula ibu dan putrinya itu tergerak hatinya untuk
meninggalkan “pertapaan”.
Tapi yang pasti, dalam
keterasingan keduanya mampu membuat seni tanaman disebut topiari yang berasal
dari bahasa Romawi topiarus, yang artinya tukang kebun. Tapi pengertian
populernya adalah merangkai tanaman menjadi bentuk yang berbeda dari aslinya.
***
Republika, Padang,
16 Juli 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar