REPORTASE Rahmat irfan
denas
"Pelacakan saya membawa saya menemukan surat kabar Sunting Melayu, yang diterbitkan di Padang dari tahun 1912 hingga 1921
dan tercatat sebagai surat kabar perempuan pertama di Hindia Belanda,"
ujar Bronwyn Anne Beech Jones di Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Imam
Bonjol, Padang pada Rabu (3/7/2019).
Ia
hadir sebagai pembicara dalam kegiatan diskusi yang
diselenggarakan oleh Pusat Kajian Budaya Islam (PKBI). Di depan 30 dosen yang
hadir, ia menyajikan makalah tentang tulisan perempuan dalam surat kabar Sunting Melayu.
"Di surat kabar Sunting Melayu, kita
menemukan wacana mereka tentang pemberdayaan perempuan dalam sistem matriarki
Minangkabau. Mereka membayangkan perubahan sosial dan masa depan yang lebih
baik bagi untuk generasi-generasi perempuan yang terdidik," lanjut Bronwyn
Anne Beech Jones.
Selain soal pemberdayaan, Bronwyn Anne Beech Jones dalam
makalahnya menyoroti tentang kegelisahan yang dialami oleh perempuan.
"Mereka memunculkan pertanyaan-pertanyaan mengenai
moralitas, keperempuanan, dinamika kekuasaan, dan memprotes ketidakadilan yang
dihadapi oleh mereka," jelasnya.
Dari hasil penelusurannya, ia menemukan strategi perempuan kala itu untuk mengungkapkan kekerasan yang
mereka alami kepada para pembaca. Satu contoh yang dibahas Bronwyn adalah surat
oleh salah seorang penulis, Amna Karim, guru dari Bengkulu.
Ia
mengutip ungkapan Amna Karim dari edisi Sunting Melayu bertanggal 16 Agustus 1918. Perempuan tidak pandai menyatakan apa-apa yang
disaksikan di mata dan terasa di hatinya masing-masing. Biarpun hal-hal itu
membawa binasa dirinya, tiadalah dapat akan ditolaknya, selain daripada
memanggul sebagaimana tak ubahnya sebuah patung.
Dalam tulisannya, Amna Karim mengisahkan rasa "amat malu" saudara perempuannya ketika diperiksa dokter laki-laki saat masuk ke rumah sakit di Bengkulu.
Saat baru sampai di rumah sakit, Amna menyaksikan ada enam sampai delapan orang
melihat saudaranya yang tengah kesakitan.
"Walaupun sudah terang betul, dalam ilmu dokter, di
mana-mana kamar orang-orang sakit itu tak ada boleh dimasuki banyak
orang," tulis Amna dikutip Bronwyn Anne Beech Jones.
Amna Karim mengkritik
peristwia tersebut membuat perempuan lebih sakit karena membuat mereka malu.
Walaupun perempuan merasa terpaksa, mereka mengikuti periksaan dan pertanyaan dokter
sebab ia mengharap pertolongan dokter. Perempuan dipaksa memperlihatkan kulit
mereka kepada laki-laki di rumah sakit, yang menurutnya sangat tak patut sekali.
"Untuk itu, Amna Karim mengusulkan perempuan harus diperika oleh perempuan di rumah sakit. Dengan
demikian, Amna Karim
berjuang untuk kesempatan pekerjaan bagi perempuan dan
mendukung perempuan untuk bekerja," ungkapnya.
Ia
melihat surat kabar Sunting Melayu dapat
dianggap sebagai sebuah jendela untuk memahami pengalaman dan perasaan
perempuan pada masanya.
"Bagaimana perempuan Minangkabau pada masa lalu
berkisah tentang kekerasan yang mereka alami dan saksikan baik itu dalam
pernikahan, keluarga, dan masyarakat kita temukan di surat kabar Sunting Melayu," jelasnya.
Kepada Khazanah,
ia berbagi kisah tentang pengalamannya dalam melakukan
penelitian. Ia menemukan salinan surat kabar Sunting Melayu di Australia, tempat ia menimba ilmu.
"Saya mendapatkan surat kabar Sunting Melayu di mikrofilm perpustakaan Universitas Monash,"
ujarnya.
Justru di Sumatera Barat sendiri, lanjutnya, salinan Sunting
Melayu terbatas. "Di Sumatera Barat, hanya ada beberapa edisi saja
yang tersimpan di PDIKM Padang Panjang. Kondisi demikian, tentu amat
disayangkan. Padahal, ketersediaan sumber bisa menjadi pintu untuk para
akademisi melakukan penelitian."
Ia membenarkan sudah lama peneliti sejarah Indonesia
mengeluhkan sumber yang lebih banyak ada di luar Indonesia.
"Saya rasa kita tidak bisa mengeluh dan menunggu
kebijakan pemerintah dan kampus, melainkan peneliti itu sendiri harus berjuang.
Seperti membangun relasi dengan peneliti dari luar Indonesia untuk bertukar
sumber. Itu sangat membantu," komentarnya.
Bagi mahasiswi asing seperti dirinya, Bronwyn Anne Beech
Jones merasa beruntung. Selama di Sumatera Barat, ia didanai oleh beasiswa dari
Indonesia Project yakni, sebuah inisiatif Australian National University (ANU).
Selain itu, ia banyak dibantu oleh berbagai pihak. Ia
bertemu dengan para akademisi dan mahasiswa di Universitas Andalas, Universitas
Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang, dan Universitas Negeri Padang.
Ia
mengapresiasi kegiatan yang diadakan Pusat Kajian Budaya
Islam (PKBI) Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Imam Bonjol Padang.
"Kegiatan ini menjadi cara membangun jembatan antara
akademisi di luar Indonesia dan akademisi di Indonesia," tegasnya.
Sementara itu, Ketua PKBI Andri Rosadi, PhD mengatakan
diskusi yang diadakan pihaknya merupakan kegiatan yang digelar secara rutin
sejak 2009.
"Kita rutin mengundang para peneliti baik itu dari
dalam negeri maupun luar negeri untuk mengkaji tentang kebudayaan
Minangkabau," ujar Andri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar