Senin, 03 Juni 2019

Kegelisahan Perempuan Minangkabau Diteliti Peneliti Australia

REPORTASE Rahmat irfan denas

Mantagisme.com—Karya sejarah mengenai perempuan Minangkabau pada masa kolonial masih terbatas. Walaupun ada, kajiannya banyak bergantung pada laporan kolonial. Itu pula yang membawa Bronwyn Anne Beech Jones, mahasiswa S-3 Jurusan Spesialisasi Sejarah dan Bahasa Indonesia di Universitas Melbourne, Australia, memulai pelacakannya pada tulisan-tulisan perempuan Minangkabau itu sendiri.

"Pelacakan saya membawa saya menemukan surat kabar Sunting Melayu, yang diterbitkan di Padang dari tahun 1912 hingga 1921 dan tercatat sebagai surat kabar perempuan pertama di Hindia Belanda," ujar Bronwyn Anne Beech Jones di Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Imam Bonjol, Padang pada Rabu (3/7/2019).

Ia hadir sebagai pembicara dalam kegiatan diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Budaya Islam (PKBI). Di depan 30 dosen yang hadir, ia menyajikan makalah tentang tulisan perempuan dalam surat kabar Sunting Melayu.

"Di surat kabar Sunting Melayu, kita menemukan wacana mereka tentang pemberdayaan perempuan dalam sistem matriarki Minangkabau. Mereka membayangkan perubahan sosial dan masa depan yang lebih baik bagi untuk generasi-generasi perempuan yang terdidik," lanjut Bronwyn Anne Beech Jones.

Selain soal pemberdayaan, Bronwyn Anne Beech Jones dalam makalahnya menyoroti tentang kegelisahan yang dialami oleh perempuan.

"Mereka memunculkan pertanyaan-pertanyaan mengenai moralitas, keperempuanan, dinamika kekuasaan, dan memprotes ketidakadilan yang dihadapi oleh mereka," jelasnya.

Dari hasil penelusurannya, ia menemukan strategi perempuan kala itu untuk mengungkapkan kekerasan yang mereka alami kepada para pembaca. Satu contoh yang dibahas Bronwyn adalah surat oleh salah seorang penulis, Amna Karim, guru dari Bengkulu.

Ia mengutip ungkapan Amna Karim dari edisi Sunting Melayu bertanggal 16 Agustus 1918. Perempuan tidak pandai menyatakan apa-apa yang disaksikan di mata dan terasa di hatinya masing-masing. Biarpun hal-hal itu membawa binasa dirinya, tiadalah dapat akan ditolaknya, selain daripada memanggul sebagaimana tak ubahnya sebuah patung.

Dalam tulisannya, Amna Karim mengisahkan rasa "amat malu" saudara perempuannya ketika diperiksa dokter laki-laki saat masuk ke rumah sakit di Bengkulu. Saat baru sampai di rumah sakit, Amna menyaksikan ada enam sampai delapan orang melihat saudaranya yang tengah kesakitan.

"Walaupun sudah terang betul, dalam ilmu dokter, di mana-mana kamar orang-orang sakit itu tak ada boleh dimasuki banyak orang," tulis Amna dikutip Bronwyn Anne Beech Jones.

Amna Karim mengkritik peristwia tersebut membuat perempuan lebih sakit karena membuat mereka malu. Walaupun perempuan merasa terpaksa, mereka mengikuti periksaan dan pertanyaan dokter sebab ia mengharap pertolongan dokter. Perempuan dipaksa memperlihatkan kulit mereka kepada laki-laki di rumah sakit, yang menurutnya sangat tak patut sekali.

"Untuk itu, Amna Karim mengusulkan perempuan harus diperika oleh perempuan di rumah sakit. Dengan demikian, Amna Karim berjuang untuk kesempatan pekerjaan bagi perempuan dan mendukung perempuan untuk bekerja," ungkapnya.

Ia melihat surat kabar Sunting Melayu dapat dianggap sebagai sebuah jendela untuk memahami pengalaman dan perasaan perempuan pada masanya.

"Bagaimana perempuan Minangkabau pada masa lalu berkisah tentang kekerasan yang mereka alami dan saksikan baik itu dalam pernikahan, keluarga, dan masyarakat kita temukan di surat kabar Sunting Melayu," jelasnya.

Kepada Khazanah, ia berbagi kisah tentang pengalamannya dalam melakukan penelitian. Ia menemukan salinan surat kabar Sunting Melayu di Australia, tempat ia menimba ilmu.

"Saya mendapatkan surat kabar Sunting Melayu di mikrofilm perpustakaan Universitas Monash," ujarnya.

Justru di Sumatera Barat sendiri, lanjutnya, salinan Sunting Melayu terbatas. "Di Sumatera Barat, hanya ada beberapa edisi saja yang tersimpan di PDIKM Padang Panjang. Kondisi demikian, tentu amat disayangkan. Padahal, ketersediaan sumber bisa menjadi pintu untuk para akademisi melakukan penelitian."

Ia membenarkan sudah lama peneliti sejarah Indonesia mengeluhkan sumber yang lebih banyak ada di luar Indonesia.

"Saya rasa kita tidak bisa mengeluh dan menunggu kebijakan pemerintah dan kampus, melainkan peneliti itu sendiri harus berjuang. Seperti membangun relasi dengan peneliti dari luar Indonesia untuk bertukar sumber. Itu sangat membantu," komentarnya.

Bagi mahasiswi asing seperti dirinya, Bronwyn Anne Beech Jones merasa beruntung. Selama di Sumatera Barat, ia didanai oleh beasiswa dari Indonesia Project yakni, sebuah inisiatif Australian National University (ANU).

Selain itu, ia banyak dibantu oleh berbagai pihak. Ia bertemu dengan para akademisi dan mahasiswa di Universitas Andalas, Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang, dan Universitas Negeri Padang.

Ia mengapresiasi kegiatan yang diadakan Pusat Kajian Budaya Islam (PKBI) Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Imam Bonjol Padang.

"Kegiatan ini menjadi cara membangun jembatan antara akademisi di luar Indonesia dan akademisi di Indonesia," tegasnya.

Sementara itu, Ketua PKBI Andri Rosadi, PhD mengatakan diskusi yang diadakan pihaknya merupakan kegiatan yang digelar secara rutin sejak 2009.

"Kita rutin mengundang para peneliti baik itu dari dalam negeri maupun luar negeri untuk mengkaji tentang kebudayaan Minangkabau," ujar Andri.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...