SEJARAH MENCATAT
377 MENINGGAL 2.912 SAKIT TOTAL 3.289
Mantagisme.com—Masifnya petugas
pemilu yang meninggal dunia dan jatuh sakit perlu mendapat perhatian semua
pihak. Perlu kajian mendalam dan komprehensif.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) melansir, hingga Rabu, 1 Mei 2019, jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia mencapai 377 orang dan 2.912 sakit. Total 3.289 orang.
"Data per 1 Mei 2019, petugas KPPS yang meninggal dunia
mencapai 377 orang, sakit 2.912. Totalnya total 3.289 orang," kata
Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPU RI Arief Rahman Hakim, Rabu, 1 Mei 2019 di
Jakarta.
Saat ini KPU sedang berupaya menyalurkan dana santunan
yang telah disetujui Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Pihak KPU masih menyusun petunjuk teknis pencairan dana santunan, serta memverifikasi data calon penerima yang kini sedang diproses oleh KPU provinsi, kabupaten, dan kota. Verifikasi tersebut menyangkut validasi data seperti nomor rekening ahli waris atau petugas yang terluka ataupun sakit.
Nantinya, penyaluran santunan akan dilakukan secara
serentak oleh jajaran KPU seluruh Indonesia dengan cara mentransfer sejumlah
nominal ke rekening yang bersangkutan.
"KPU melakukan verifikasi data termasuk data nomor
rekening ahli waris atau penyelenggara yang luka atau sakit. Pembayaran
santunan diberikan melalui transfer ke rekening yang bersangkutan, atau ahli
warisnya," jelas Arief.
Penyerahan santuanan ini menindaklanjuti turunnya Surat
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati bernomor S-317/MK/02/2019
tertanggal 25 April 2019.
Diuraikan di dalamnya, besaran santunan disetujui
sebesar Rp36 juta bagi petugas meninggal dunia, Rp30 juta untuk mereka yang
cacat permanen, luka berat Rp16,5 juta dan luka sedang Rp8,25 juta.
Sementara mereka yang jatuh sakit, sesuai petunjuk
teknis yang tengah disusun KPU, mereka akan dimasukkan dalam kategori luka
sedang maupun luka berat. Besaran ini merupakan angka maksimal yang tidak boleh
dilampaui sesuai persetujuan Menteri Keuangan.
“Mereka yang mendapatkan santunan dihitung sejak
kecelakaan kerja dalam periode Januari 2019 hingga berakhirnya masa tugas
bersangkutan di pemilu 2019,” katanya.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman
mengatakan sudah mendapatkan surat dari Kementerian Keuangan berkaitan dengan
pemberian santunan kepada para Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)
yang menjadi korban dalam penyelenggaraan Pemilu 2019.
Arief mengatakan, KPU akan memberikan santunan kepada
para korban baik yang meninggal dunia maupun yang luka-luka, dengan besaran
nominal maksimal Rp36 juta untuk yang meninggal dunia dan Rp30 juta bagi yang
luka-luka.
“Jadi untuk yang meninggal dunia itu Rp36 juta kemudian
yang sakit dan luka-luka, maksimal Rp30 juta. Karena maksimal Rp30 juta, itu
kan nanti tergantung lukanya hanya luka lecet atau patah atau ada yang hilang
anggota tubuhnya. Nanti jadi hal yang diverifikasi," katanya saat ditemui
di kawasan Cikini, Jakarta, Senin (29/4/2019).
Ia mengatakan, dalam menentukan pihak yang wajib
mendapatkan santunan, KPU akan melakukan verifikasi ke lapangan untuk
menentukan besaran angka yang perlu diberikan.
"Tapi yang terpenting dia harus penyelenggara
pemilu yang tertimpa musibah saat menjalankan tugas saat menyelenggarakan
pemilu, itu syarat utama untuk mendapatkan santunan," ujarnya.
Arief menargetkan, dalam minggu ini verifikasi sudah
dapat dilakukan, agar pembagian santunan bisa segara dibagikan ke para korban
maupun ahli waris yang berhak menerima.
"Saya sudah minta ke sekjen untuk melakukan itu,
mudah-mudahan minggu ini sudah bisa," katanya.
Prabowo Heran
Sementara itu, calon presiden nomor urut 02, Prabowo
Subianto mengaku heran dengan banyaknya petugas KPPS yang meninggal dunia. Menurutnya
sepanjang sejarah demokrasi Indonesia, baru kali ratusan petugas KPPS meninggal
dunia usai Pemilu.
"Bahkan kita heran baru sekarang terjadi sepanjang
demokrasi kita 300 lebih petugas kita meninggal karena kecapean," kata
Prabowo Subianto dalam peringatan hari buruh di Tennis Indoor, Senayan, Jakarta,
Rabu (1/5/2019).
Prabowo Subianto mengaku prihatin dengan meninggalnya
para petugas KPPS tersebut.
Apalagi menurut para dokter kejadian tersebut tidak
masuk akal.
Ketua Umum Partai Gerindra yang juga Calon Presiden
nomor urut 02 Prabowo Subianto menghadiri peringatan Hari Buruh atau May Day di
Tennis Indoor, Senayan, Jakarta, Rabu (1/5/2019).
"Para dokter mengatakan ini kurang masuk akal.
Mudah-mudahan nanti akan terungkap apa yang terjadi sebenarnya," katanya.
Di lokasi yang sama, Direktur Eksekutif Perkumpulan
Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, mestinya KPU dan
pemerintah bisa memberikan lebih dari Rp36 juta untuk yang meninggal dunia.
"Mestinya ya kita bisa memberikan lebih. Tapi saya
kira itu yang harus dijelaskan pemerintah dan KPU kenapa mengusulkan angka itu
karena kan ini juga terjadi dengan kemampuan kapasitas negara," ujarnya.
Selain itu, Titi mengatakan, mestinya para KPPS yang
menjadi korban tak hanya diberikan santunan yang bersifat material. Tapi juga
perlu diberikan pengakuan seperti halnya orang telah mengharumkan negara.
"Untuk memberikan kompensasi tapi saya kira bukan kompensasi material ya. Selain material juga harus ada kompensasi yang diberikan kepada mereka. Penghargaan immaterial berupa pengakuan atas kerja-kerja mereka sebagai orang yang sudah mengharumkan negara juga harus diberikan," pungkasnya.
Banyak Petugas
Meninggal, Inverstigasi
Sementara itu, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia (FKUI), berencana akan meneliti sebab musabab masifnya petugas KPPS
dan pengawas yang meninggal dunia dan jatuh sakit pascapemilu Rabu, 17 April
2019 lalu.
“Tentu penelitiannya juga kita ajukan ke komite etik.
Penelitian tujuannya adalah hasil dari kajian ini akan kami berikan untuk
pemangku berikutnya,” kata Dekan FKUI Ari Fahrial Syam.
Humas FKUI Iris Rengganis, Manajer Pendidikan FKUI Em
Yunir, Sekretaris Pimpinan Fakultas Yuli Budiningsih, Ketua Program Studi Magister
Kesehatan Kerja Dewi serta Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas
Herkutanto, menyampaikan gagasan untuk meneliti lebih jauh terkait penyebab
berjatuhannya para penyelenggara pemilu.
Menurut Ari hasil penelitian tim FKUI nantinya juga
akan dapat dijadikan rujukan apakah model Pemilu Serentak 2019 tetap ideal
untuk digelar disesuaikan dengan kemampuan petugasmya.
“Apakah pemilu yang memang model seperti ini terus kita
pertahankan atau memang seperti yang kita usulkan, dibuat sistem shift,” tutur Ari.
FKUI sendiri menilai proses pemungutan dan penghitungan
suara di TPS dengan lima surat suara menyita tenaga hingga pikiran yang tidak
sedikit bagi penyelenggara.
“Sementara secara normal sebenarnya kita bekerja keras
itu 8 jam, kemudian bekerja ringan 8 jam dan 8 jam sisanya itu adalah untuk
beristirahat dan 8 jam istirahat itu 6 jam untuk tidur,” tambah Ari.
Perlu Penelitian
Dari Medan dilaporkan, Dokter Umar Zein, salah seorang Dosen
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) menilai, petugas
KPPS dan panwas yang meninggal dunia belum tentu tak semua sepakat faktor
kelelahan yang menjadi penyebabnya.
Seperti dilansir dari akunnya, mantan Kepala Dinas
Kesehatan Kota Medan ini mengatakan, perlu penelitian untuk mengungkapkan
penyebabnya. Namun Umar Zein menyebutkan penyebabnya bukan karena faktor
kelelahan.
“Petugas itu tidak dalam kerja paksa. Berbeda dengan
apa yang dilakukan semasa penjajah Belanda yang memberlalukan kerja paksa
membuka jalan. Pekerja dipaksa membuka parit, memecah batu, dan lainnya tanpa
diberi asupan makanan yang cukup. Akhirnya banyak pekerja yang meragang nyawa,”
kata mantan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RUSD) dr Pirngadi Medan ini mencontohkan.
Menurut Umar Zein, kondisi ini berbeda yang dialami pada
petugas pemilu yang bekerja di TPS atau di tempat lain. “Mereka cukup
mendapatkan minuman dan makanan, bukan kerja paksa, ada waktu istirahat meski
bergantian, boleh permisi bila kondisi darurat,” lanjutnya.
“Ratusan petugas yang meninggal dunia akibat kelelahan saat
melakukan rugas KPPS di TPS tidak bisa langsung menyebabkan kematian. Ada tiga
“pintu” kematian, yaitu otak, jantung dan paru. Bila otak tidak cukup mendapat
oksigen oleh berbagai sebab, misalnya penyumbatan pembuluh darah, maka terjadi
kematian sel-sel otak. Tetapi pasien tidak langsung mati. Ada mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan kehidupan sel-sel yang lain. Bahkan kematian
Batang Otak disebut kematian secara medis, butuh waktu beberapa jam untuk
kemudian terjadi kematian biologis, setelah jantung dan paru berhenti
berfungsi,” tuturnya.
Dia menegaskan gagal jantung, gagal ginjal, gagal hati,
tidak langsung mati, mungkin koma dulu beberapa hari bahkan lebih.
Dia mengurai kelelahan petugas pemilu pastilah tidak
sampai 1/1000 dari kelelahan pada pekerja paksa zaman Belanda. Kelelahan
mungkin bisa sebagai pemicu gangguan akut atau eksaserbasi dari penyakit kronik
yang diidap.
“Ini butuh pembuktian pemeriksan medis yang cermat.
Lalu, mengapa diberitakan di media, banyak petugas pemilu meninggal dunia
akibat kelelahan? Ini pembodohan pada rakyat awam atau orang yang tidak faham
ilmu medis, atau sedikit tahu ilmu medis,” ungkapnya.
“Penyebab kematian tidak sesederhana itu,
saudara-saudara sebangsa dan setanah air, Indonesia! Kematian mendadak (sudden death) secara medis, akibat
proses di jantung, paru atau otak atau gabungannya,” tukasnya.
“Apa penyebab kematian ratusan petugas pemilu Indonesia
tahun 2019 ini, perlu penelitian. Yang pasti bukan kelelahan,” tegasnya. nas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar