MINANGKABAU
MENGGELINJANG
Nyaris lima tahun lalu, KH Ma’ruf Amin, saat
itu Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menulis sebuah artikelnya
berjudul “Khittah Islam Nusantara” (Kompas,
29 Agustus 2015).
Inti
artikel yang ditulis Rais Aam PBNU yang kini maju sebagai Calon Wakil Presiden
berpasangan dengan Joko Widodo untuk pilpres 2019 ini, ada lima penanda Islam
Nusantara.
Pertama, reformasi (islahiyyah). Kedua, tawazuniyyah, yang berarti seimbang di segala bidang. Ketiga, tatawwu’iyyah, yang berarti sukarela (volunterisme). Keempat, santun (akhlaqiyyah), dan kelima, tasamuh.
Pertama, reformasi (islahiyyah). Kedua, tawazuniyyah, yang berarti seimbang di segala bidang. Ketiga, tatawwu’iyyah, yang berarti sukarela (volunterisme). Keempat, santun (akhlaqiyyah), dan kelima, tasamuh.
“Secara
konseptual, kelima penanda Islam Nusantara tersebut mudah diucapkan, tetapi
sulit direalisasikan. Sulit di sini berbeda dengan tidak bisa melaksanakan.
Misalnya, sikap Islam Nusantara dalam menyikapi dua arus formalisme keagamaan
dan substansialisasi keagamaan berada di tengah. Prinsip yang harus dipegang
dalam hal ini adalah kesepakatan (konsensus), demokratis, dan konstitusional,”
kata KH Ma’ruf Amin yang sudah mengundurkan diri sebagai Ketua Umum MUI Pusat.
Dalam
rentang lima tahun itu, bisa dikatakan tak ada reaksi dari ulama di Indonesia,
termasuk MUI Sumatera Barat. Reaksi keras muncul setelah MUI Sumatera Barat
mengeluarkan keputusan usai muzakarah bersama perwakilan MUI kabupaten dan kota
se-Sumbar di Negeri Serambi Mekkah, Padang Panjang, yang dilaksanakan selama 2
hari, Jumat-Ahad, 14-16 September 2018.
Keputusan
ini sekaligus memperkuat dan mengukuhkan Keputusan Rapat Koordinasi Bidang
Kerukunan dan Ukhuwwah MUI Sumbar dan MUI kabupaten-kota se-Sumatera Barat
terkait dengan penolakan Islam Nusantara pada di Hotel Sofyan Rangkayo Basa
Syari’ah Padang, Sabtu, 21 Juli 2018.
“Tidak
hanya penolakan Islam Nusantara, hasil muzakarah ini juga mendukung pernyataan
sikap MUI di Sumatera Barat terkait dengan pengaturan penggunaan pengeras suara
di masjid, langgar, dan musala,” kata Buya Gusrizal Gazahar, Ketua Umum MUI
Sumbar.
Dalam
muzakarah itu, ulama dengan tegas menyatakan bahwa tanpa ada keraguan bahwa
Islam Nusantara dalam konsep, pengertian, defenisi apapun tidak dibutuhkan di
Ranah Minang (Sumatera Barat). “Bagi kami, nama Islam telah sempurna dan tidak
perlu ditambah lagi dengan embel-embel apapun," kata Buya.
Sementara
itu, ulama karismatik Buya Mas’oed
Abidin sependapat dengan apa yang dihasilkan muzakarah MUI se-Sumatera Barat
itu.
“Islam
Nusantara itu tidak ada. Yang ada hanyalah Islam di Nusantara. Islam itu hanya
satu saja: Rahmatan lil alamin,” kata Mas’oed Abidin kepada Khazanah, Minggu, 24 Februari 2019.
Wali
Kota Padang Mahyeldi Ansharullah juga bersetuju dengan apa yang diputuskan MUI
se-Sumatera Barat.
“Saya
tidak setuju dengan Islam Nusantara dan saya mendukung apa yang menjadi
keputusan dari MUI Sumbar. Apa yang menjadi keputusan para ulama di Sumbar
tentunya saya dukung,” katanya.
Penolakan
ulama se-Sumatera Barat itu mendapat reaksi dan respons dari Ketua Umum MUI
Pusat KH Ma'ruf Amin. Ia menilai MUI tidak boleh mencela salah satu aliran.
"Pokoknya
kita MUI tidak boleh mencela salah satu aliran. Semestinya MUI menampung semua
ajaran Islam, termasuk Islam Nusantara. Itu bagian dari Indonesia Yang jelas,
MUI tidak boleh menampung ajaran yang menyimpang,” ujar Ma'ruf sepekan setelah
muzakarah MUI se-Sumbar. Perang wacana
pun berlangsung hingga kini kendati terimpit dengan isu politik.
Tujuh
butir latar belakang alasan MUI se-Sumbar menolak Islam Nusantara itu ialah:
- Istilah "Islam Nusantara" melahirkan berbagai permasalahan yang akan mengundang perdebatan yang tidak bermanfaat dan melalaikan umat Islam dari berbagai persoalan penting yang sedang dihadapi. Bahkan istilah "Islam Nusantara" bisa membawa kerancuan dan kebingungan di tengah umat dalam memahami Islam.Susunan bahasa Indonesia yang menganut konsep DM, menunjukkan pembatasan Islam dalam wilayah yang disebut "Nusantara". Ini berakibat terjadinya pengerdilan dan penyempitan ruang lingkup Islam yang semestinya menjadi rahmat untuk seluruh alam semesta (rahmatan lil'alamiin) dan untuk seluruh umat manusia (kaaffatan linnaas).
- Jika yang dimaksudkan dengan istilah "Islam Nusantara" adalah keramahan washatiyah (proporsional dan pertengahan dalam keseimbangan dan keadilan), toleransi dan lainnya, itu bukanlah karakter khusus Islam yang sangat mendasar. Karena itu, menghadirkan label "Nusantara" untuk Islam, hanya berpotensi mengkotak-kotak umat Islam dan memunculkan pandangan negatif umat kepada saudara-saudara muslim di wilayah ini.Dikatakannya lebih jauh, wasathiyyah, samhah, 'adil, 'aqliy dan lainnya yang disebutkan sebagai karakter "Islam Nusantara", hanyalah sebagian dan keistimewaan Islam yang tidak bisa dipisahkan dengan keistimewaan lainnya seperti rabbaniyyah ilahiyyah, syumuliyyah, mumayyizat yang lain hanya akan menimbulkan kerancuan dalam memahami Islam dan mengeluarkan Islam dari kesempurnaannya.
- Jika "Islam
Nusantara" dipahami dengan dakwah yang mengacu kepada ajaran dan
pendekatan Wali Songo di pulau Jawa, ini bisa berdampak serius kepada keutuhan
bangsa, karena di berbagai daerah dalam wilayah NKRI, ada para ulama dengan
pendekatan ajaran yang bisa saja berbeda dengan Wali Songo. Memaksakan
pendekatan dan ajaran Wali Songo ke seluruh Indonesia, berarti mengecilkan
peran ulama yang menyebarkan Islam di daerah lain yang memiliki karakteristik
dakwah yang beragam.
- Jika pendekatan kultural yang menjadi ciri khas "Islam Nusantara" maka itu bukanlah monopoli "Islam Nusantara" tapi telah menjadi suatu karakter umum dakwah di berbagai wilayah dunia ini karena sikap Islam terhadap tradisi dan budaya tempatan, telah tertuang dalam kajian ilmu Ushul al-Fiqh secara terang.
- Bahkan para ulama Sumatera Barat dengan perjalanan panjang sejarah dakwah Islam di Ranah Minang yang diwarnai dengan dinamika yang begitu hebat, telah menjalani langkah-langkah pendekatan kultural tersebut bahkan mereka sampai kepada komitmen bersama melahirkan "Sumpah Sati Marapalam" dengan falsafahnya yang dipegang oleh masyarakat Minangkabau sampai hari ini, yaitu Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah, Syara' Mangato, Adat Mamakai".Walaupun telah sampai pada titik kebersamaan tersebut namun tak seorang pun ulama Minangkabau menambah label Islam di Minang ini dengan "Islam Minang".
- Jika dimaksudkan dengan "Islam Nusantara" adalah Islam yang toleran, tidak radikal kemudian memperhadapkan dengan kondisi Timur Tengah sekarang, maka sikap ini mengandung tuduhan terhadap ajaran Islam sebagai pemicu lahirnya sikap radikal dan tindakan kekerasan terhadap konflik Timur Tengah. Ini juga pencideraan terhadap ukhuwwah Islamiyyah antara kaum muslimin di dunia, kjarena perjuangamn yang dilakukan oleh sebagian kamum muslimin seperti Palestina, sangat tidak pantas dilabeli dengan radikalisme dan kekerasan.
- Seharusnya mereka mendapatkan simpati kita kaum muslimin di negeri ini sebagaimana mereka memperlakukan kita di saat perjuangan kemerdekaan Indonesia dahulunya. n nasrul azwar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar