TANPA DIUMUMKAN MUI SUMBAR
SEPERTI YANG sudah terjelaskan kepada publik, terutama di Minangkabau, Sumatera Barat, bahwa Islam Nusantara itu ialah Islam yang harus menyesuaikan dengan adat budaya Nusantara,
maka suka tidak suka, Islam Nusantara otomatis tertolak di Minangkabau karena
bertentangan filosofinya ABS-SBK (Adat Basyandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah).
“Ada tiga alasan.
Pertama
dalam perspektif prinsip akidah Islam. Kedua gatra teologi masyarakat adat Minangkabau, dan ketiga sisi kecenderungan
politisasi paham keagamaan,” kata Dr Yulizal Yunus, M.Si, di kediamannya di kawasan Balimbiang, Padang, Minggu, 24 Februari 2019.
Menurut pemerhati
adat dan budaya Minangkabau yang juga dosen senior di Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol, tiga aspek itu berkaitan dengan ditolaknya Islam Nusantara itu di Sumatera Barat.
Ia menjelaskan,
ditolaknya paham Islam Nusantara dari perspektif prinsip
akidah karena mengesankan Islam tidak lagi menjadi sumber kebudayaan.
“Dalam praktiknya, terkesan kebudayaan Nusantara
yang menjadi sumber Islam atau Islam yang dipaksa sesuai dengan adat budaya.
Fenomena ini mengesankan akidah islamiah
tak murni lagi dan sulit diterima, meskipun
dalam aspek sosiologis keberagamaan masyarakat itu sendiri tidak terlepas dari
budaya Nusantara,” ujar Yulizal Yunus bergelar adat Datuak Rajo Bagindo.
Dijelaskannya lebih jauh, selain ditolak dari perspektif prinsip akidah
Islam, Islam Nusantara tertolok menurut gatra masyarakat adat Minangkabau. DitegaskanYunus, adat di Minangkabau adalah pelaksanaan ajaran Islam.
“Intinya adalah adat melaksanakan Islam yang kuat bersumber
wahyu, meskipun pengaruh global tetap kuat mengubah
perilaku. Bedakan dengan perilaku.
Perilaku bisa saja berubah, yang nilai adat tetap dan tidak berubah, bahwa adat
itu melaksanakan Islam. Kalau ada rupa-rupa perbuatan, percakapan, penuturan,
gerak, aktivitas, yang bertentangan dengan Islam, maka dapat dicatat itu adalah perilaku,”
paparnya.
Selain itu,
tambahYunus, teologi masyarakat hukum adat (MHA)
544 nagari di Minangkabau yang dihormati dan dilindungi Undang Undang Dasar
seperti MHA lainnya di Indonesia sudah
mempunyai konsesus dan menjadi filosofi ABS-SBK.
“Konsesus itu berasal dari kesepakatan Sumpah Sati Marapalam pada Mei 1403. Inti perinsip dasarnya adalah
Adat Basandi Syara’
(Islam). Artinya Islam menjadi sumber adat budaya. Perinsip dasar itu dieksplisitkan dalam komitmen dan
strategi pelaksanaan konsesus dan filosofi ABS-SBK itu, apa yang disebut dengan
SM-AM (Syara’ Mangato Adat Mamakai). Artinya Islam mengatakan, adat memakainya,” tuturYulizal.
“Adapun sisi ketiga, yakni kecenderungan politisasi
penyebaran penyeragaman paham agama secara nasional. Saya kira ini yang
kurang nyaman dan damai. Padahal, UUD NRI 1945 memberi kebebasan beribadah
sesuai akidah, berarti tidak boleh diseragamkan, karena penyeragaman begitu
tidaklah maksud dari Bhinneka Tunggal Ika yang kita laksanakan sebagai salah
satu pilar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di samping
Pancasila, UUD NRI 1945 dan NKRI,” kata alumni dan Lemhannas ini.
“Saya yakin
inilah substansi penolakan Ketua Umum MUI Sumbar beberapa waktu yang lalu,
menolak penyebaran penyeragaman paham yang secara politik memaksa menerima
paham Islam Nusantara. Penolakan itu didukung masyarakat beragama dan
masyarakat hukum adat di Minangkabau, karena adat meraka melaksanakan Islam,”
paparnya.
Yulizal Yunus yang juga pemangku adat “limbago”
dengan gelar Datuk Rajo Bagindo kepala suku Kampai ini meminta agar orang Minangkabau mengamalkan kebebasan beribadah sesuai
akidah mereka seperti yang diamanatkan UUD 1945.
“Sungguh pun demikian, kita tidak menutup mata, Mungkin ada
yang belum terjelaskan mengenai esensi dan substansi (inti) paham penting lainnya dari
Islam Nusantara itu kepada publik. Kalau begitu katanya penting para pendiri
dan penganut paham Islam Nusantara ini menjelaskan kepada masyarakat Indonesia
yang Bhinneka Tunggal Ika ini, apa yang dimaksud lebih jauh dan dalam Islam
Nusantaraitu,” saran dan fungsionaris organisasi adat Sekum
Bakor-KAN Sumatera Barat ini. n rahmat denas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar