WAWANCARA dengan Dr Abdullah Khusairi
Islam Nusantara sebuah entitas kebudayaan
Islam yang dipandang dari perspektif
sosial budaya. Islam Nusantara berarti memahami corak keberagamaan umat Islam
di bumi Nusantara dari waktu ke waktu.
Sekali lagi, saya tidak melihat Islam
Nusantara sebuah ajaran. Ia hanyalah hasil dari wacana filosofis, wacana
historis dan sosiologis. Sama sekali bukan wacana teologis, apalagi sebuah
ajaran lengkap modifikasi dari Islam yang kita kenal. Berikut wawancara Nasrul
Azwar dengan pengajar UIN Imam Bonjol Padang yang juga sosok sastrawan ini.
Bagaimana
Anda membaca tentang penolakan keras MUI Sumbar terhadap Islam Nusantara?
Adalah boleh berbeda dalam pandangan
sepanjang tidak ada yang prinsip-prinsip teologis: akidah dan tauhid. Sebab
Islam memang tidak bisa hanya dipahami satu perspektif. Islam sebagai sistem
nilai yang bersifat universal, sulit sekali dipadukan dalam satu perspektif pemahaman
karena latar belakang ilmu, budaya, daerah, tentu sangatlah mempengaruhi
bagaimana orang berislam.
Paling penting dikedepankan adalah
menghormati perbedaan pemahaman tanpa menuding ada yang paling benar ada pula
yang paling salah. Penolakan itu harus dipandang sah, walau masih menimbul
pertanyaan terbalik, siapa yang telah menawarkan sehingga kita harus menolak?
Lalu,
selaian ada itu ada pula Islam Berkemajuan yang ditawarkan Muhammadiyah?
Selain diksi "Islam Nusantara"
juga ada diksi "Islam Berkemajuan". Produk wacana dari dua ormas
besar yang saya kira patut juga diapresiasi pada wilayah pergerakan, bukan
wilayah teologis. Dua diksi ini berbeda jalur pergerakan dengan capaian yang
hendak dicapainya sangat tak mungkin buruk dan keliru.
Apakah
Anda setuju dengan penolakan MUI terhadap Islam Nusantara?
Tentu saja setuju. Para pakar di MUI
Sumbar mengkaji dari berbagai sisi. Menimbang buruk dan baik bagi umat. Tetapi
sebuah kesepakatan penolakan bisa saja pada suatu saat tidak sesuai lagi pada
zamannya sehingga dengan sendirinya akan runtuh. Kita bisa membaca ini
berkaitan dengan konteks politik sosial dan budaya. Sekali lagi, bukanlah ranah
teologis yang membuat perbedaan mencolok pada pemahaman akidah. Tidak sama
sekali. Sering sekali ada persoalan lain, jauh dari tinjauan akidah karena ada
hal-hal lain menyangkut kekuasaan dan ekonomi. Inilah yang semestinya
diperhatikan. Islam Nusantara sering dianggap keliru bagi orang yang belum
membaca secara utuh, begitu juga sebagian yang lain membaca Islam Berkemajuan.
Semuanya memiliki argumen yang bisa saja
suatu saat tidak sesuai lagi dengan konteks. MUI Sumbar tentu saja sudah
menimbang risiko penolakan itu sebagai bagian dari perjuangan untuk kebaikan
umat.
Bagaimana
pandangan Anda soal Islam Nusantara itu?
Sependek yang saya baca, Islam Nusantara
merupakan satu entitas kebudayaan Islam yang
dipandang dari perspektif sosial budaya. Saya bersetuju dengan Prof
Azyumardi Azra, menyebut Islam Nusantara berarti memahami corak keberagamaan
umat Islam di bumi Nusantara dari waktu ke waktu. Misalnya secara umum, Islam
Nusantara itu corak teologis yang berkembang adalah cenderung asy'ariyah, syariat atau fikih yang
dipakai cenderung syafii, tasawuf
yang berkembang adalah tasawuf akhlaqi.
Pada ruang-ruang akademis, wacana Islam Nusantara
tidak punya pretensi politik kekuasaan. Sehingga, ia hanyalah wacana dalam
pembelajaran. Hanya saja, menjadi masalah yang sangat besar ketika hiruk pikuk
politik identitas mengemuka akhir-akhir ini. Sehingga, menyebut Islam Nusantara
berarti ada sentimen politik yang terpasung di diksi ini. Ya, tergantung orang
yang membacanya. Saya membacanya, datar-datar saja. Jauh sebelum diributkan,
saya telah membaca tentang jaringan ulamaNusantara, tentang masuknya islam,
aliran pemikiran islam, sehingga sulit tidak memiliki pembacaan sentimen. Biasa
saja. Bagi orang yang baru mendengar, lalu diseret ke wilayah teologis, ya
runyamlah.
Bisa
dihubungkan dengan polarisasi adat Minangkabau dengan Islam Nusantara, yang
adat Minangkabau itu berfalsafah ABSSBK (Kitabullah itu kan Alquran)?
Menurut saya, justru segala hal yang
lahir dari produk budaya yang ada di Nusantara, ya itulah Nusantara. ABSSBK,
menurut saya itu adalah juga termasuk bagian dari wacana Islam Nusantara.
Tetapi saya yakin, banyak juga yang tak setuju karena memahami Islam Nusantara
sebagai wacana teologis, bukan wacana historis dan sosiologis. Sehingga diksi
Islam Nusantara adalah sebuah diksi yang membahayakan. Saya kira, tidak. ABSSBK
adalah filosofi yang dilahirkan oleh para ulama di Minangkabau Nusantara yang
harusnya disebarkan ke penjuru dunia.
Sebagai produk pemikiran, agar terus
bertahan dan berkembang, yang membutuhkan gerakan. Saya kira, ABSSBK harus
digerakkan terus sepanjang waktu. Jika dianggap termasuk dalam spektrum Islam
Nusantara kalau tak setuju maka tolak lagi. Tak apa juga. Persoalan kita
sekarang, apakah semua harus berhenti pada satu diksi lalu heboh saban hari?
Sementara begitu banyak agenda lain yang mesti dibenahi di tengah umat.
Penolakan
ini apakah bentuk “perlawanan” Minangkabau terhadap pusat?
Boleh jadi begitu. Sebab karakter kita
memang tidak mudah terpengaruh dengan wacana dari luar sebelum mendapat sesuatu
yang lebih berarti dari wacanan yang datang. Ini baik tentu saja.
Hal ini juga mestinya juga menjadi
benteng pada sektor budaya, misalnya budaya global yang datang, teknologi yang
masuk, pandangan hidup baru, juga harus dikritisi, ditolak. Namun jangan sampai
terjebak dalam posisi reaktif dan kontraproduktif terhadap perkembangan
kehidupan di tengah ummat.
Apakah
Anda melihat Islam Nusantara cocok diterapkan di Minangkabau atau bisa
dijelaskan bagian mana tak disetujui itu, dan mana yang disetujui?
Sekali lagi, saya tidak melihat Islam
Nusantara sebuah ajaran. Ia hanyalah hasil dari wacana filosofis, wacana
historis dan sosiologis. Sama sekali bukan wacana teologis, apalagi sebuah
ajaran lengkap modifikasi dari Islam yang kita kenal. Saya tak menemukan
seperti itu. Saya memahami, Islam Nusantara sebuah istilah menyebutkan
perkembangan Islam di bumi Nusantara dari waktu ke waktu. Lalu, istilah ini
menjadi bermasalah, karena menyangkut kuasa uang, kuasa politik, serta ada
pihak-pihak berkepentingan menungganginya menjadi sebuah gerakan politik
identitas.
Saya kira, bukan soal setuju atau tidak
setuju, tetapi apa memang penting kita terjebak dalam permainan dan menari,
misalnya, di atas gendang para pemburu rente. Sering kali, setelah semuanya
terbongkar, ternyata semua itu sebagai umpan. Sementara kita sudah terjebak dan
kelabakan dalam labirin wacana tanpa memberi apa-apa pada kehidupan umat. n nasrul
azwar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar