Selasa, 30 April 2019

Siaga Bencana Wujud Patuh pada Allah


Wawancara dengan Patra Rina Dewi
Direktur Eksekutif Komunitas Siaga Tsunami (KOGAMI)
Kita budayakan siaga bencana, jangan sampai menyesal karena kita tidak melakukan ikhtiar apapun. Siaga bencana adalah wujud cinta pada keluarga dan juga wujud patuh atas perintah Allah, yaitu Iqra.
Jangan lagi paradigma tanggap darurat yang lebih dominan tapi semestinya paradigma pengurangan risiko bencana secara komprehensif yang harus diutamakan.
Sesungguhnya mitigasi struktural yang tidak dibarengi dengan mitigasi kultural adalah pemborosan.

Apa yang ingin Anda katakan terkait dengan kesiapan masyarakat, terutama warga Padang dan Sumbar umumnya, menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami. Dan bagaimana dengan pemerintah?

Untuk Sumatera Barat, memang sudah tampak upaya-upaya mitigasi bencana gempa dan tsunami yang dilakukan bersama-sama pemerintah daerah dan masyarakat. Masyarakat kita belum sepenuhnya siap. Satu indikator yang mesti tumbuh kesiapan masyarakat terkait dengan rencana evakuasi keluarga.
Setiap anggota keluarga mengetahui potensi bencana di sekitar tempat tinggal mereka terutama apakah di zona terdampak gempa dan atau tsunami atau di zona prakiraan aman tsunami.
Jika di zona terdampak, maka anggota keluarga harus telah mengetahui  cara penyelamatan diri dari gempa, mengetahui jalur evakuasi menuju zona prakiraan aman, bukit atau bangunan tempat evakuasi sementara/selter, serta telah melatih diri untuk menyusuri jalur evakuasi tersebut serta terlibat aktif dalam upaya-upaya kesiapsiagaan bencana.
Saya melihat ini belum wujud dan tumbuh di tengah masyarakat. Untuk pemerintah daerah, juga belum terlihat keseriusan dalam pengarusutamaan pengurangan risiko bencana.
Ada upaya pengadaan infrastruktur pendukung evakuasi seperti selter yang telah dibangun, sekarang tidak terawat, bahkan kabel-kabel listrik sudah hilang. Begitupun sirene sebagai alat diseminasi peringatan dini juga banyak yang rusak.
Sesungguhnya mitigasi struktural yang tidak dibarengi dengan mitigasi kultural adalah pemborosan.
Pemerintah tak punya manajemen dan strategi kebencanaan dan belum tersusun secara sistematis. Penanganan bencana masih tampak sporadis, bagaimana menurut Anda?
Pemerintah telah memiliki manajemen dan strategi penanggulangan bencana tapi belum efektif dan efisien. Hasil kajian para ahli tentang adanya energi yang tersimpan di megathrust Kepulauan Mentawai sudah diketahui oleh pemerintah daerah sejak 2005 tapi upaya yang dilakukan belum masif.
Semestinya dalam waktu 14 tahun atau taruhlah dalam kurun waktu 10 tahun karena BPBD baru hadir pada tahun 2009, semestinya sudah banyak yang bisa dilakukan. Seperti adanya kebijakan pemerintah daerah yang “mewajibkan” implementasi kesiapsiagaan bencana pada kurikulum di sekolah, sudah adanya prosedur tetap (protap) tertulis di setiap kantor pemerintahan, dunia usaha dan layanan-layanan publik seperti pasar, dan sebagainya tapi sampai saat ini belum ada. Begitupun dengan uji kelayakan bangunan dan gedung, baru akan dilakukan.
Semestinya bangunan-bangunan yang berpotensi sebagai tempat evakuasi sementara sudah diberi label yang memuat juga jumlah daya tampung bangunan. Belum lagi, kita bicara soal prosedur penyelamatan diri di tempat-tempat wisata terutama wisata pantai, apalagi jika digelar iven yang mengundang para wisatawan seperti Festival Siti Nurbaya, Hoyak Tabuik, dan lainnya.
Saya melihat pemerintah kota/kabupaten di pesisir Sumatera Barat belum siap dalam hal ini. Hal ini terjadi karena belum ada keselarasan pemikiran betapa pentingnya investasi pada prabencana untuk menghemat pengeluaran ketika bencana terjadi. Perlu keterpaduan antara eksekutif dan legislatif (pemerintah dan DPR (D) dalam hal ini.
Paradigma sudah harus digeser, jangan lagi paradigma tanggap darurat yang lebih dominan tapi semestinya paradigma pengurangan risiko bencana secara komprehensif.
Ada tujuh pemerintah daerah di Sumatera Barat yang berada di jalur pesisir, tapi dinilai tak jelas bagaimana cara koordinasinya menghadapi ancaman bencana gempa bumi dan tsunami. Bagaimana menurut Anda?
Koordinasi sudah ada karena Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sudah sering menggelar rapat koordinasi. Celakanya, rapat koordinasi yang digelar malah lebih layak dikatakan sebagai kuliah umum karena hanya menghadirkan narasumber untuk memaparkan pandangan sesuai dengan kapasitas keilmuannya tapi tidak ada dialog yang dilakukan oleh pengambil kebijakan/instansi-instansi terkait untuk merumuskan strategi percepatan upaya pengurungan risiko bencana melalui rekomendasi-rekomendasi yang dipaparkan.
Saya setuju tentang jalur koordinasi yang belum jelas walaupun disusun di dalam rencana kontinjensi menghadapi bencana gempa dan tsunami di Sumatera Barat tapi rencana kontinjensi ini belum pernah dibahas secara intensif dalam rapat yang lebih teknis sifatnya, sehingga dokumen tinggal dokumen yang tidak aplikatif. Padahal sebenarnya rencana kontinjensi ini adalah modal utama dalam perencanaan mitigasi, perencanaan kesiapsiagaan dan perencanaan operasi tanggap darurat bencana.
Beberapa waktu lalu, pihak BNPB dan BMKG telah mengingatkan agar masyarakat Sumbar siap menghadapi bencana gempa dan tsunami, bagaimana penilaian Kogami terhadap peringatan ini?
Peringatan ini menurut saya akan berhenti hanya sekadar peringatan jika tidak ada master plan pengurangan risiko gempa dan tsunami yang diturunkan menjadi rencana strategi dan rencana kerja pada masing-masing instansi/OPD/lembaga terkait.
Peringatan ini bukan peringatan baru karena pada saat berlangsung Konferensi Internasional tentang Tantangan Tsunami di Sumatera Barat pada 28 Agustus 2005 di Hotel Pangeran’s Beach telah dihasilkan sebuah deklarasi mengenai upaya yang akan dilakukan secara bersama oleh pemerintah daerah beserta masyarakat terutama menyusun rencana kesiapsiagaan dan rencana kedaruratan untuk mengantisipasi ancaman gempa dan tsunami tersebut.
Lalu sejauh mana Anda melihat peran OPD dan institusi semisal BPBD, Pusdalops Provinsi Sumatera Barat terkait menyikapi peringatan kepala BNPB itu?
BPBD telah melakukan banyak upaya, saya mengapresiasi upaya-upaya yang telah dilakukan tapi sifatnya masih belum menyeluruh. Kita lihat saja pada Hari Kesiapsiagaan Bencana setiap tanggal 26 April, sedikit sekali OPD yang ikut melaksanakannya. Kepedulian OPD masih rendah dan kapasitas BPBD dalam fungsi koordinasi juga masih perlu ditingkatkan, peran BPBD juga belum terlihat sebagaimana mestinya. Sementara Pusdalops BPBD juga demikian karena petugasnya juga masih merangkap sebagai TRC dan pekerjaan lainnya. Ini perlu dibenahi dengan serius.
Lalu bagaimana antusiasme masyarakat setiap kegiatan sosialisasi kebencanaan gempa bumi yang dilakukan selama ini? Jika diberi persentase, berapa persen masyarakat yang sadar bencana itu, terutama di pesisir pantai Sumatera?
Antusiasme sangat tinggi setelah gempa terjadi dan menimbulkan rasa khawatir tapi jika keadaan tenang-tenang saja, maka antusiasme juga berkurang. Menjadi tantangan tersendiri mengajak masyarakat untuk ikut simulasi evakuasi. Jika dulu kita bisa mengajak aparat dan masyarakat untuk ikut simulasi evakuasi dengan kesadaran, namun sekarang sedikit terhambat karena strategi dan pola pendekatan yang dilakukan pemerintah daerah berbeda.
Kita berupaya menyadarkan masyarakat bahwa pada saat bencana terjadi, masyarakatlah yang harus menyelamatkan diri sendiri dan tak bisa bergantung pada orang lain, sehingga pada saat simulasi evakuasi harus dilakukan seperti keadaan sebenarnya. Masyarakat membawa tas siaga bencana dan perbekalan dari posisi dimana mereka berada pada saat simulasi.
Simulasi bukanlah sekadar lari-lari ke tempat aman tapi uji prosedur/uji protap. Semoga masyarakat dan aparatur pemerintah mempunyai pandangan yang sama tentang ini sehingga tak perlu lagi anggaran yang besar untuk pelaksanaan simulasi evakuasi.
Pada saat ini tinggi sekali kebutuhan untuk mendapatkan edukasi kesiapsiagaan bencana, semoga kepedulian ini berkelanjutan.
Peringatan dini juga tak bekerja efektif sehingga kepanikan semua pihak saat gempa melanda, dan juga ada misinformasi dan keterlabatan keluar informasi dari lembaga berwenang BMKG.
Untuk masyarakat di pesisir pantai Sumatera Barat, kampanye yang dilakukan oleh KOGAMI, BPBD dan mitra lainnya adalah : jadikan getaran gempa sebagai peringatan dini. Jika merasakan gempa yang lama (lebih dari 20 detik terus menerus) dan terasa kuat (membuat limbung), segera evakuasi ke bangunan tinggi atau evakuasi horizontal menjauhi pantai 3 km tanpa harus menunggu informasi dari BMKG.
Gunakan informasi BMKG sebagai penguat keputusan, jika pada saat evakuasi dan mendapatkan informasi bahwa gempa berpotensi tsunami maka percepat langkah/lari. Tak perlu sibuk menelepon siapapun, konsentrasi saja untuk penyelamatan diri ke tempat aman. Kepanikan berawal dari kurangnya rasa peduli. Jika rajin latihan dan rajin beribadah/menjaga ketaatan maka kepanikan ini insyaallah akan hilang.
Semua pihak, termasuk dunia swasta dan media. Ini tanggung jawab bersama. Kita budayakan siaga bencana, jangan sampai menyesal karena kita tidak melakukan ikhtiar apapun. Siaga bencana adalah wujud cinta pada keluarga dan juga wujud patuh atas perintah Allah, yaitu Iqra.
Tentang Patra Rina Dewi
Patra Rina Dewi, S.Si, M.Sc lahir di Padang, 22 Januari 1973 menyelesaikan Sarjana Biologi, di FMIPA Universitas Andalas, Master of Science, Faculty of Biology, University Sience of Malaysia  (USM). Selama tujuh tahun (2006-2013) sebagai Direktur Eksekutif Komunitas Siaga Tsunami. Kini, dalam organisasi sosial, Patra merupakan penanggung jawan Daerah Bidang Pengabdian Masyarakat dan Siaga Bencana Kwartir Daerah 03 Gerakan Pramuka Sumatera Barat, Koordinator Bidang Humas Forum Pengurangan Risiko Bencana Sumatera Barat.
Tsunami Aceh 2004 memberikan dampak psikologis berupa keinginan untuk mengabdikan pada kesiapsiagaan bencana, khususnya untuk ancaman gempa dan tsunami. Maka, bergabunglah beberapa orang dari berbagai macam profesi mendirikan organisasi bernama Komunitas Siaga Tsunami (KOGAMI).
Tanggung jawab moral merubah pandangan hidup. Undangan untuk meneruskan pendidikan Doktor di University Science of Malaysia pun ditolak. Maka sampai saat ini, hidupnya dedikasikan untuk pengurangan risiko bencana. 
Pewawancara Nasrul Azwar


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...