Wawancara dengan Patra Rina Dewi
Direktur Eksekutif Komunitas Siaga Tsunami (KOGAMI)
Kita budayakan siaga bencana, jangan
sampai menyesal karena kita tidak melakukan ikhtiar apapun. Siaga bencana
adalah wujud cinta pada keluarga dan juga wujud patuh atas perintah Allah,
yaitu Iqra.
Jangan lagi paradigma tanggap darurat
yang lebih dominan tapi semestinya paradigma pengurangan risiko bencana secara
komprehensif yang harus diutamakan.
Sesungguhnya mitigasi struktural yang tidak dibarengi dengan mitigasi kultural adalah pemborosan.
Apa yang ingin Anda katakan terkait dengan kesiapan masyarakat, terutama warga Padang dan Sumbar umumnya, menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami. Dan bagaimana dengan pemerintah?
Untuk Sumatera Barat, memang sudah
tampak upaya-upaya mitigasi bencana gempa dan tsunami yang dilakukan
bersama-sama pemerintah daerah dan masyarakat. Masyarakat kita belum sepenuhnya
siap. Satu indikator yang mesti tumbuh kesiapan masyarakat terkait dengan rencana evakuasi keluarga.
Setiap anggota keluarga mengetahui
potensi bencana di sekitar tempat tinggal mereka terutama apakah di zona
terdampak gempa dan atau tsunami atau di zona prakiraan aman tsunami.
Jika di zona terdampak, maka anggota
keluarga harus telah mengetahui cara
penyelamatan diri dari gempa, mengetahui jalur evakuasi menuju zona prakiraan
aman, bukit atau bangunan tempat evakuasi sementara/selter, serta telah melatih
diri untuk menyusuri jalur evakuasi tersebut serta terlibat aktif dalam
upaya-upaya kesiapsiagaan bencana.
Saya melihat ini belum wujud dan tumbuh di tengah masyarakat. Untuk pemerintah daerah,
juga belum terlihat keseriusan dalam pengarusutamaan pengurangan risiko
bencana.
Ada upaya pengadaan infrastruktur
pendukung evakuasi seperti selter yang telah dibangun, sekarang tidak terawat,
bahkan kabel-kabel listrik sudah hilang. Begitupun sirene sebagai alat
diseminasi peringatan dini juga banyak yang rusak.
Sesungguhnya mitigasi struktural yang
tidak dibarengi dengan mitigasi kultural adalah pemborosan.
Pemerintah tak punya manajemen dan strategi kebencanaan dan belum tersusun secara sistematis. Penanganan bencana masih
tampak sporadis, bagaimana menurut Anda?
Pemerintah telah memiliki manajemen dan
strategi penanggulangan bencana tapi belum efektif dan efisien. Hasil kajian
para ahli tentang adanya energi yang tersimpan di megathrust Kepulauan Mentawai sudah diketahui oleh
pemerintah daerah sejak 2005 tapi upaya yang dilakukan belum masif.
Semestinya dalam waktu 14 tahun atau
taruhlah dalam kurun waktu 10 tahun karena BPBD baru hadir pada tahun 2009,
semestinya sudah banyak yang bisa dilakukan. Seperti adanya kebijakan pemerintah
daerah yang “mewajibkan” implementasi kesiapsiagaan bencana pada kurikulum di
sekolah, sudah adanya prosedur tetap (protap) tertulis di setiap kantor
pemerintahan, dunia usaha dan layanan-layanan publik seperti pasar, dan sebagainya tapi sampai saat ini belum ada. Begitupun dengan uji
kelayakan bangunan dan gedung, baru akan dilakukan.
Semestinya bangunan-bangunan yang
berpotensi sebagai tempat evakuasi sementara sudah diberi label yang memuat
juga jumlah daya tampung bangunan. Belum lagi, kita bicara soal prosedur
penyelamatan diri di tempat-tempat wisata terutama wisata pantai, apalagi jika
digelar iven yang mengundang para wisatawan seperti Festival Siti Nurbaya,
Hoyak Tabuik, dan lainnya.
Saya melihat pemerintah kota/kabupaten
di pesisir Sumatera Barat belum siap dalam hal ini. Hal ini terjadi karena
belum ada keselarasan pemikiran betapa pentingnya investasi pada prabencana
untuk menghemat pengeluaran ketika bencana terjadi. Perlu keterpaduan antara
eksekutif dan legislatif (pemerintah dan DPR (D) dalam hal ini.
Paradigma sudah harus digeser, jangan
lagi paradigma tanggap darurat yang lebih dominan tapi semestinya paradigma
pengurangan risiko bencana secara komprehensif.
Ada tujuh pemerintah daerah di Sumatera Barat
yang berada di jalur pesisir, tapi dinilai tak jelas bagaimana cara koordinasinya
menghadapi ancaman bencana gempa bumi dan tsunami. Bagaimana menurut Anda?
Koordinasi sudah ada karena Pemerintah
Provinsi Sumatera Barat sudah sering menggelar rapat koordinasi. Celakanya, rapat koordinasi yang digelar malah lebih layak dikatakan
sebagai kuliah umum karena hanya menghadirkan narasumber untuk memaparkan
pandangan sesuai dengan kapasitas keilmuannya tapi tidak ada dialog yang dilakukan
oleh pengambil kebijakan/instansi-instansi terkait untuk merumuskan strategi
percepatan upaya pengurungan risiko bencana melalui rekomendasi-rekomendasi
yang dipaparkan.
Saya setuju tentang jalur koordinasi
yang belum jelas walaupun disusun di dalam rencana kontinjensi menghadapi
bencana gempa dan tsunami di Sumatera Barat tapi rencana kontinjensi ini belum
pernah dibahas secara intensif dalam rapat yang lebih teknis sifatnya, sehingga
dokumen tinggal dokumen yang tidak aplikatif. Padahal sebenarnya rencana
kontinjensi ini adalah modal utama dalam perencanaan mitigasi, perencanaan kesiapsiagaan
dan perencanaan operasi tanggap darurat bencana.
Beberapa waktu
lalu, pihak BNPB dan BMKG telah mengingatkan agar masyarakat Sumbar siap
menghadapi bencana gempa dan tsunami, bagaimana penilaian Kogami terhadap
peringatan ini?
Peringatan ini menurut saya akan
berhenti hanya sekadar peringatan jika tidak ada master plan pengurangan risiko gempa dan
tsunami yang diturunkan menjadi rencana strategi dan rencana kerja pada
masing-masing instansi/OPD/lembaga terkait.
Peringatan ini bukan peringatan baru
karena pada saat berlangsung Konferensi Internasional tentang Tantangan Tsunami
di Sumatera Barat pada 28 Agustus 2005 di Hotel Pangeran’s Beach telah
dihasilkan sebuah deklarasi mengenai upaya yang akan dilakukan secara bersama
oleh pemerintah daerah beserta masyarakat terutama menyusun rencana
kesiapsiagaan dan rencana kedaruratan untuk mengantisipasi ancaman gempa dan
tsunami tersebut.
Lalu sejauh
mana Anda
melihat peran OPD dan institusi semisal
BPBD, Pusdalops Provinsi Sumatera Barat terkait menyikapi peringatan kepala
BNPB itu?
BPBD telah melakukan banyak upaya, saya
mengapresiasi upaya-upaya yang telah dilakukan tapi sifatnya masih belum
menyeluruh. Kita lihat saja pada Hari Kesiapsiagaan Bencana setiap tanggal 26
April, sedikit sekali OPD yang ikut melaksanakannya. Kepedulian OPD masih
rendah dan kapasitas BPBD dalam fungsi koordinasi juga masih perlu
ditingkatkan, peran BPBD juga belum terlihat sebagaimana mestinya. Sementara
Pusdalops BPBD juga demikian karena petugasnya juga masih merangkap sebagai TRC dan pekerjaan
lainnya. Ini perlu dibenahi dengan serius.
Lalu bagaimana
antusiasme masyarakat setiap kegiatan sosialisasi kebencanaan gempa bumi yang
dilakukan selama ini? Jika diberi persentase, berapa persen masyarakat yang
sadar bencana itu, terutama di pesisir pantai Sumatera?
Antusiasme sangat tinggi setelah gempa
terjadi dan menimbulkan rasa khawatir tapi jika keadaan tenang-tenang saja,
maka antusiasme juga berkurang. Menjadi tantangan tersendiri mengajak
masyarakat untuk ikut simulasi evakuasi. Jika dulu kita bisa mengajak aparat dan masyarakat untuk ikut simulasi
evakuasi dengan kesadaran, namun sekarang sedikit terhambat karena strategi dan
pola pendekatan yang dilakukan pemerintah daerah berbeda.
Kita
berupaya
menyadarkan masyarakat bahwa pada saat bencana terjadi, masyarakatlah yang
harus menyelamatkan diri sendiri dan tak bisa bergantung pada orang lain,
sehingga pada saat simulasi evakuasi harus dilakukan seperti keadaan
sebenarnya. Masyarakat membawa tas siaga bencana dan perbekalan dari posisi
dimana mereka berada pada saat simulasi.
Simulasi bukanlah sekadar lari-lari ke tempat aman tapi uji prosedur/uji protap. Semoga
masyarakat dan aparatur pemerintah mempunyai pandangan yang sama tentang ini
sehingga tak perlu lagi anggaran yang besar untuk pelaksanaan simulasi
evakuasi.
Pada saat ini tinggi sekali kebutuhan
untuk mendapatkan edukasi kesiapsiagaan bencana, semoga kepedulian ini
berkelanjutan.
Peringatan dini
juga tak bekerja efektif sehingga kepanikan semua pihak saat gempa melanda, dan
juga ada misinformasi dan keterlabatan keluar informasi dari lembaga berwenang
BMKG.
Untuk masyarakat di pesisir pantai
Sumatera Barat, kampanye yang dilakukan oleh KOGAMI, BPBD dan mitra lainnya
adalah : jadikan getaran gempa sebagai peringatan dini. Jika merasakan gempa
yang lama (lebih dari 20 detik terus menerus) dan terasa kuat (membuat
limbung), segera evakuasi ke bangunan tinggi atau evakuasi horizontal menjauhi
pantai 3 km tanpa harus menunggu informasi dari BMKG.
Gunakan informasi BMKG sebagai penguat
keputusan, jika pada saat evakuasi dan mendapatkan informasi bahwa gempa
berpotensi tsunami maka percepat langkah/lari. Tak perlu sibuk menelepon
siapapun, konsentrasi saja untuk penyelamatan diri ke tempat aman. Kepanikan
berawal dari kurangnya rasa peduli. Jika rajin latihan dan rajin
beribadah/menjaga ketaatan maka kepanikan ini insyaallah akan hilang.
Semua pihak, termasuk dunia swasta dan
media. Ini tanggung jawab bersama. Kita budayakan siaga bencana, jangan sampai
menyesal karena kita tidak melakukan ikhtiar apapun. Siaga bencana adalah wujud
cinta pada keluarga dan juga wujud patuh atas perintah Allah, yaitu Iqra.
Tentang Patra Rina Dewi
Patra Rina Dewi, S.Si, M.Sc lahir di Padang,
22 Januari 1973 menyelesaikan Sarjana Biologi, di FMIPA Universitas Andalas, Master
of Science, Faculty of Biology, University Sience of Malaysia (USM). Selama tujuh tahun (2006-2013) sebagai
Direktur Eksekutif Komunitas Siaga Tsunami. Kini, dalam organisasi sosial,
Patra merupakan penanggung jawan Daerah Bidang Pengabdian Masyarakat dan Siaga
Bencana Kwartir Daerah 03 Gerakan Pramuka Sumatera Barat, Koordinator Bidang
Humas Forum Pengurangan Risiko Bencana Sumatera Barat.
Tsunami Aceh 2004 memberikan dampak
psikologis berupa keinginan untuk mengabdikan pada kesiapsiagaan bencana,
khususnya untuk ancaman gempa dan tsunami. Maka, bergabunglah beberapa orang
dari berbagai macam profesi mendirikan organisasi bernama Komunitas Siaga
Tsunami (KOGAMI).
Tanggung jawab moral merubah pandangan
hidup. Undangan untuk meneruskan pendidikan Doktor di University Science of
Malaysia pun ditolak. Maka sampai saat ini, hidupnya dedikasikan untuk pengurangan
risiko bencana.
Pewawancara Nasrul Azwar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar