OLEH Elfindri
Direktur SDGs Universitas Andalas dan
Profesor Ekonomi SDM
Sesuai dengan penjelasan UU No 24 tahun 2007, mitigasi
adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik, maupun penyadaran, dan peningkatan kemampuan menghadapi
bencana.
Dari pemahaman itu jelas, urusan mitigasi bencana ini
terutama dilakukan oleh pemerintah. Karena mitigasi bencana tidak akan mampu
fihak swasta menyediakannya. Jika swasta menyediakan, kemudian segala upaya
untuk menyediakannya akan berbiaya. Masyarakat akan
kesulitan dalam membayarnya.
Kendatipun negara mesti menyediakan, secara kelembagaan
mitigasi bencana juga perlu melibatkan simpul-simpul kelembagaan masyarakat, termasuk
kelompok filantropis. Agar semua kekuatan kelembagaan akan bisa berperan dan
dioptimalkan.
Beruntung penulis pernah masuk ke Museum
Smitsonian di Washington pada 24 November 2016. Di sana pertama kali melihat alat pencatatan gempa
sepanjang waktu, bisa melihat kejadian alam yang terekam oleh NASA, dan
bagaimana punahnya hewan-hewan purbakala, akibat banjir dan kekeringan. Menginspirasi
sekali akan perlunya mitigasi.
Jika kita melihat berbagai literatur kebencanaan, maka
kondisi bumi justru kualitasnya akan semakin menurun. Pertanyaannya adalah
apakah mitigasi bernilai ekonomi? Jawabannya adalah jelas nilai ekonomi mitigasi tentu akan
besar setidaknya untuk mengurangi segala risiko yang diakibatkan oleh
berbagai betuk bencana.
Ring of Fire
Memang benacana adalah sebuah kondisi yang tidak bisa
diprediksi. Karena dalam kitab Alquran saja sudah dinyatakan bahwa gempa saja
tidak diketahui kapan dia datang dan berapa besar
magnitudonya.
Namun untuk bencana yang berasal dari ulah manusia,
dengan perkembangan tingkah ilmu tentang tingkah laku manusia, diprediksi
berapa dampak dari tingkah laku terhadap kemungkinan bencana yang berasal dari manusia.
Sumatra Barat, sebagaimana provinsi lainnya di Indonesia,
memang berada pada wilayah bencana. Bencana yang paling utama adalah muncul
berkaitan dengan kegempaan, banjir, longsor ‘land sleeding’, kekeringan, kebakaran
hutan, dan gunung meletus. Dari statistik kebencanaan diketahui intensitas dari
bencana semakin banyak frekuensinya. Jumlah penduduk yang
menjadi korban akibat bencana tersebut juga semakin besar.
Katakan aktivitas gempa. Setiap kali gempa melanda telah semakin
membuat korban jiwa tergantung intensitas besarnya, apalagi disertai
dengan tsunami.
Di Sumatra Barat gempa tahun 2009 saja, telah meluluhlantakkan Kabupaten
Padang Pariaman dan Kota Padang. Dan membawa korban jiwa dan harta yang tidak
sedikit.
Bencana tanah longsor dan air bah, juga telah membuat
porak porandanya beberapa daerah. Yang pasti hingga kini, kejadian bencana memiliki
risiko masyarakat terkena dampaknya. Kenapa? Karena kebanyakan daerah yang dijadikan pemukiman
penduduk, belum didasarkan pada kawasan yang relatif kecil dampak
bencananya.
Semestinya, kawasan-kawaan pemukiman penduduk sedemikian
rupa sudah dapat dipetakan. Mana yang besar risiko jika dibangun perumahan
mana yang tidak. Peta geografis dan aturan terhadap boleh tidaknya pendirian
pemukiman masih belum tersedia. Misalnya, pada daerah dimana jangkauan daerah berpotensi
untuk gempa.
Tanah di atas sepanjang patahan sumber gempa seharusnya
sudah dijadikan alih fungsi. Dari pemukiman menjadi penghijauan. Atau untuk aktivitas
pertanian. Banyak sekali kawasan-kawasan pemukiman, yang berada pada daerah yang
mudah untuk terjadinya longsor perbukitan, dataran rendah yang
tertutup akibat genangan banjir.
Pemukiman tepi pantai yang mudah abrasi. Oleh karenanya
sangat strategis jika persoalan dampak dari bencana ini direncanakan secara matang,
kemudian dilakukan tindakan mitigasi untuk itu.
Ekonomi
Mitigasi
Ekonomi mitigasi jelas memberikan informasi kepada kita
bagaimana manfaat investasi bencana untuk mengurangi risiko. Semua aktivitas baik
fisik, penyediaan alat detektor, pembuatan bangunan antigempa, pembangunan selter, dan
yang lebih penting membangun kesadaran dan penguatan institusi akan memberikan
dampak positif terhadap pengurangan risiko bencana.
Pengeluaran terhadap hal ini tentunya menjadi
berubah-rubah variable, tergantung kepada bagaimana sikap dan tindakan untuk melakukan
investasi untuk mitigasi. Dalam hal kebencanaan
misalnya, investasi peralatan untuk mendeteksi gempa dan tsunami akan memberikan
informasi. Dalam waktu yang pendek masyarakat akan mengetahui akan dampak dari
gempa, dan masyarakat kemudian mesti paham bagaimana menyelamatkan diri.
Tidak saja hal itu, mengingat banyak sekali kawasan
perumahan yang mudah tertimbun akibat longsor, maka teknologi sederhana dalam
pendeteksian tanah ambruk ‘land
sliding detector’ sudah tersedia teknologinya. Investasinya tidak mahal.
Namun ketika dipasang, dalam radius tertentu akan memberikan sinyal
daerah mana yang akan mengalami land sliding sebelum kejadian terjadi.
Upaya untuk menyiapkan penangkal air bah yang tinggi
tentu memerlukan investasi yang bear pula. Mengingat intensitas gempa dan jenis
lainnya kita tidak mengetahuinya. Namun perlu pula secara cermat mana di antara
investasi yang masih pantas dan secara efektif dilakukan.
Pembangunan sarana fisik di daerah patahan gempa,
misalnya memerlukan kombinasi antara tahan gempa, dengan tempat dimana
kemungkinan ada space yang disediakan. Misalnya jika membangun konstruksi pasar dan
sekolah, maka dapat dilakukan berbagai alternative bahwa pasar dan sekolah adalah
bagian dari daerah tempat evakuasi.
Arah
Investasi
Beberapa arah investasi menjadi penting ke depan, pertama
selain pengembangan sistem pendeteksian dini melalui alat pemantau tsunami,
pendeteksian untuk land sliding juga menjadi penting
untuk konteks Sumatra Barat.
Pemerintah daerah mesti menyusun skenario investasi untuk
ini, dengan time line yang jelas.
Peta tentang daerah-daerah dimana risiko bencana semestinya sudah harus tersedia per
kabupaten. Peta yang disertai dengan kawasan yang berdampak risiko.
Kedua yang juga penting adalah bagaimana menyiapkan
sarana fisik, seperti yang diilustrasikan di atas. Biar penyediaannya untuk jangka
panjang secara bertahap, namun terlaksana dengan perencanaan yang matang. Ketiga,
penyiapan masyarakat menjadi perlu, untuk meningkatkan
kesadaran dan awareness, jika terjadi diantara satu jenis bencana, bagaimana
mereka meresponse dan menyelamatkan diri.
Di Flinders University South Australia, sudah menjadi
agenda, dimana adanya simulasi 1 dalam setahun dilakukan akibat kebakaran.
Simulasi-simulasi ini bisa diterapkan di sekolah-sekolah,
dengan melakukan adengan dan skenario jika terjadi bentuk bencana.
Ke empat, model kelembagaan masyarakat yang sedemikian
rupa, sehingga terjadi bencana, maka organisasi masyarakat jelas fungsinya
bersama sama dengan pemerintah daerah dan masyarakat. Dengan demikian pembekalan ilmu,
keterampilan, dan kesadaran adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam mitigasi
bencana ini. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar