Buya H. Gusrizal Gazahar (Ketua MUI Sumbar)
Selama
kita masih berzikir, dan masih ada di antara kita yang meminta ampun, maka itu
menjadi ukuran bahwa bencana yang datang bukan azab. Jangan berburuk sangka
kepada Allah.
Kabar hoaks akan terjadi gempa dan tsunami dengan
magnitudo (M) 8,8 di pengujung Februari ini menyebar cepat bak sarang lebah
ditabuh elang. Media sosial jadi wahana menebarkan berita bohong itu.
Sebagian
warga Sumbar melahapnya. Terlanjur resah-gelisah. Rasa tenteram terusik. BMKG
buru-buru membantah. “Isu itu tak benar. Hoaks. Tak ada yang bisa memastikan
gempa bumi,” kata Irwan Slamet, Kepala Stasiun Geofisika Kelas I Silaing
Bawah-Padang Panjang.
Lalu,
rumor tak bertanggung jawab itu hilang setelah dibantah BMKG. Masyarakat yang
mudah memakan rumor dan kerap mengaitkan bencana sebagai “azab” dan
mencocok-cocokkan dengan tanggal-tanggal tertentu dan ayat-ayat Alquran, juga
masif terjadi di tengah masyarakat kita.
Menurut
Buya H. Gusrizal Gazahar, Lc., M.Ag. Datuk Palimo Basa, Ketua Umum Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat, masyarakat Sumatera Barat sebagai
mayoritas Muslim harus menguatkan rasa percaya diri menyikapi bencana. Allah
tidak akan mengazab suatu kaum, selama masih ada di antara mereka yang meminta
ampun. “Jangan terlalu cepat memonis atau meletakkan hukum bencana adalah azab
dari Allah," kata Buya sembari mengutip Surat Al-Anfal Ayat 33.
"Selama
kita masih berzikir, masih ada di antara kita yang meminta ampun, maka itu
menjadi ukuran bahwa bencana yang datang bukan azab. Jangan berburuk sangka
kepada Allah," ujarnya.
Khazanah menanyakan lebih jauh, jika
bukan azab, lantas untuk apa Allah mendatangkan bencana?
“Itulah
ujian. Allah berhak memberikan kita ujian,” jawab Buya.
Dalam
bahasa Arab, bencana disebut “bala”. Buya menjelaskan, bala bukan bermakna
azab. Ia berasal dari kata ibtila,
artinya ujian. Ujian itu ada dua bentuk. Ada dalam bentuk teguran terhadap
orang-orang yang durhaka agar kembali ke jalan yang benar, dan ada sebagai
motivasi bagi yang taat untuk meningkatkan ketaatan.
"Jadi,
kalau negeri kita ditimpa berbagai macam bencana. Padahal kita sudah berusaha
memperbaiki negeri ini, maka itulah ujian. Selagi di dunia, kita tak ada yang
tak diuji. Seseorang diuji sesuai dengan agamanya. Barang siapa yang kokoh
agamanya, ditambah berat ujiannya. Untuk apa orang-orang yang taat diuji?
Supaya hamba itu berjalan di muka bumi itu dengan tidak memikul dosa. Jika
bersabar, maka ujian itu menjadi pengugur dosa-dosa kita," demikian Buya
berpesan sembari mengutip hadis Nabi Besar Muhammad SAW.
Dikatakannya
lebih jauh, sikap dan tindakan yang diambil oleh seorang Muslim tidak boleh
terlepas dari prinsip keimanan. “Kita harus melihat bencana itu dari sisi
kedatangannya. Ada yang bisa diantisipasi manusia dan ada yang berada di luar
kuasa manusia.
Diutarakannya,
bencana dapat diantisipasi dengan menghindari sebab-sebab yang mendatangkan
bencana walaupun nanti apakah akan berhasil diantisipasi atau tidak, semuanya
tergantung izin Allah.
Begitu
pula dalam bencana gempa bumi dan tsunami, jelas Buya, ada ranah yang dapat diantisipasi
atau disebut mitigasi. Mitigasi menghadapi gempa bumi dan tsunami dimulai dari
penataan pembangunan. Bagaimana bangunan itu bisa mengantisipasi dampak gempa
supaya jangan sampai menimbulkan korban jiwa.
“Jalur-jalur
evakuasi tsunami dilapangkan. Hal-hal seperti itu bukan hanya boleh, tapi harus
bagi seorang Muslim,” terangnya.
Dijelaskannya,
ada bencana yang kita sama sekali tidak memiliki untuk mengantisipasinya.
Berhadapan dengan bencana seperti itu, tidak ada jalan lain, melainkan
bertawakkal kepada Allah. Kalau mengantisipasi dampak gempa kita bisa berusaha,
tapi tak akan ada yang dapat menghentikan gempa.
“Yang
bisa dilakukan para pakar adalah mengukur kekuatan, mencari sumber, dan
memprediksi. Kan hanya itu yang bisa. Datangnya bencana, hendaknya menjadi
peringatan bagi kita agar kita lebih mendekatkan diri kepada Allah. Allah
berbuat apa yang Dia inginkan. Di balik perbuatan Allah, ada hikmah. Mustahil
Allah berbuat abbas, sia sia. Hikmah
itulah yang kita ambil,” papar pemilik dan pengelola An Nadwah, Surau Buya
Gusrizal Gazahar ini.
Bencana
tidak hanya menjadi ujian bagi yang terkena saja. Selamat dari bencana adalah
ujian.
"Ujian
bukan hanya yang terkena saja, ujian meliputi semua kita," katanya.
Jika
kita terlolos dari bencana, daerah kita tak kena bencana, jangan menganggap
kita tidak diuji. Baik saudara kita yang ditimpa bencana maupun kita yang
selamat, kedua-duanya diuji. Yang satu diuji kesabarannya, yang satu diuji
kepeduliannya.
“Apakah
kita mau taawun, yakni
tolong-menolong atau tidak? Apakah dari bencana yang datang, lahir sikap
membantu dan meringankan saudara? Rasulullah mengatakan, Mukmin dengan Mukmin
yang lain itu ibarat satu tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota
tubuh yang lain akan ikut merasakannya,” tandas Buya.
Buya
mengatakan, MUI mendukung pemerintah bisa mengambil langkah-langkah serius dan
terukur untuk melakukan itu semua.
"Saya
rasa para ulama akan bersama dengan pemerintah, membantu sosialisasi dan
melakukan edukasi pada masyarakat untuk melakukan mitigasi," kata Buya
bergelar adat Datuk Palimo Basa ini.n Rahmat Denas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar