Senyampang terjadi gempa bumi dengan durasi (rentang
waktu) lebih 30 detik, pilihan terbaik bagi masyarakat yang berada di zona
merah pesisir pantai ialah menyiapkan diri untuk evakuasi, baik vertikal maupun
horizontal, dengan membawa ransel yang telah disiapkan. Manfaatkan semaksimal
mungkin “waktu emas” (golden time) yang terbatas
itu unrtuk mengevakuasi diri.
Berikut wawancara mendalam saya dengan Badrul Mustafa, salah seorang ahli gempa dan pengajar Fakultas Teknik Unand dan alumnus Jurusan Tectonics-Geodynamics di Université Pierre-et-Marie Curie (PARIS-VI, Jussieu). Selamat membaca.
Berikut wawancara mendalam saya dengan Badrul Mustafa, salah seorang ahli gempa dan pengajar Fakultas Teknik Unand dan alumnus Jurusan Tectonics-Geodynamics di Université Pierre-et-Marie Curie (PARIS-VI, Jussieu). Selamat membaca.
Para ahli gempa memprediksi soal ancaman zona patahan raksasa di
segmen Kepulauan Mentawai yang bisa melepas energinya
dengan kekuatan mencapai magnitudo gempa (M) 8,8 dan diikuti tsunami besar. Bagaimana
Anda menilai dan menjelaskan ini, terus apa yang harus dilakukan pihak pemerintahan
di Sumatera Barat?
Megathrust Mentawai merupakan
hasil dari subduksi lempeng Indo-Australia yang menunjam ke bawah Mentawai dan
Sumatera. Subduksi ini mengakumulasi energi yang dapat melepaskan gempa
sewaktu-waktu. Ada dua segmen di megathrust
Kepulauan Mentawai yakni, Segmen Siberut dan Segmen Sipora-Pagai. Dari kedua
segmen ini biasanya keluar gempa sangat besar, diprediksi sekitar M 8.8 SR dengan
periode ulang (siklus) 200 tahun sampai 250 tahun.
Segmen Sipora-Pagai sudah terulang
periodenya. Dulu tahun 1833 terjadi gempa sekitar M 8.7 di Segmen Sipora-Pagai
ini. Periode ulang berikutnya tidak keluar sekaligus tapi dimulai 12-13
September 2007 dengan kekuatan M 8,4, 7,2, dan 7,9, dan berakhir 25 Oktober
2010 dengan kekuatan M 7,9.
Tiga gempa 2007 ini tidak menimbulkan tsunami
tapi sisanya di tahun 2010 justru menimbulkan tsunami. Nah, di Segmen Siberut,
gempa tahun 1797 belum keluar energinya. Kecuali di pinggir segmen ini, yakni pada
tanggal 30 September 2009 dengan kekuatan M 7,9. Itu baru sepertiganya
kira-kira. Jadi, masih ada kira-kira dua per tiga lagi energinya yang belum
keluar, yang jika keluar bisa menghasilkan gempa berkekuatan sekitar M 8,8.
Pemerintah tentu saja dituntut untuk
melakukan mitigasi agar kalau terjadi gempa besar tersebut risiko dapat
diminimalisir.
Dalam mitigasi bencana,
masyarakat lebih siap menghadapi bencana daripada pemerintah. Hal ini dapat
dilihat dari pengalaman terjadinya bencana gempa bumi yang melanda Sumatra
Barat sebelumnya, bagaimana penilaian Anda?
Tidak juga menurut saya. Pemerintah
memang belum tuntas dalam mempersiapkan fasilitas untuk evakuasi atau untuk
menghadapi risiko gempa. Upaya kesiapsiagaan ini terus dilakukan pemerintah
tapi masyarakat pun masih banyak yang belum siap. Menurut pengamatan saya
antusiasme masyarakat masih rendah, masih kurang dari 50% dalam kesiapsiagaan
bencana. Ini artinya, kesadaran mitigasi bencana belum menyeluruh.
Ada yang mengatakan, pemerintah
tidak memiliki manajemen dan strategi mitigasi kebencanaan sehingga apa yang
dilakukan dalam pra dan setelah bencana, belum tersusun secara sistematis.
Penanganan bencana masih tampak sporadis, apa yang ingin Anda katakan tentang
ini?
Memang betul. Karena itulah pemerintah
provinsi terus melakukan koordinasi dengan semua pemko/pemkab melalui BPBD-nya
untuk meningkatkan manajemen dan strategi tersebut. Apalagi pemerintah pusat
melalui BNPB dengan pimpinannya yang baru (Kepala BNPB Doni Monardo-red) sudah memberikan arahan agar
Pemprov Sumbar dan pemko/pemkab melakukan percepatan mitigasi, agar bila
potensi gempa itu keluar dalam waktu dekat ini risiko tidak besar.
Ada 7 pemerintah
daerah di Sumatera Barat yang berada di jalur pesisir tapi dinilai kurang berkoordinasi
menghadapi ancaman bencana gempa bumi dan tsunami?
Ada tujuh kota/kabupaten di Sumbar yang
berpotensi terdampak tsunami. Sebetulnya koordinasi itu sudah ada dan sudah
pernah dilakukan dua kali simulasi, salah satunya yang besar yakni MM Direx
(Mentawai Megathrust Disaster Reduction Exercise) tahun 2012, yang saat itu
bahkan melibatkan 18 negara asing. Tapi koordinasi antartujuh pemerintah kota/kabupaten
itu memang harus ditingkatkan.
Lalu sejauh mana Anda melihat peran OPD dan institusi semisal BPBD, Pusdalops Provinsi Sumatera Barat terkait menyikapi
peringatan kepala BNPB itu, dan juga peran kampus dalam hal ini?
Sejak peringatan dan arahan diberikan
oleh Kepala BNPB Doni Monardo, Pemerintah Provinsi Sumbar sudah membentuk tim
yang terdiri dari semua unsur yang diminta oleh Kepala BNPB tersebut. Sejumlah
akademisi dari beberapa perguruan tinggi juga ikut di dalamnya. Sekarang tim
sedang menyusun upaya mitigasi fisik/struktural dan nonfisik, mulai dari alat
pendeteksi tsunami yang akan dipasang di laut, TES (tempat evakuasi sementara
atau selter) dengan berbagai model, penyiapan jalur untuk evakuasi horizontal, dan
lain sebagainya.
Apa langkah pertama kali dilakukan masyarakat jika terjadi gempa
melebihi Magnitudo (M) 7?
Jika gempa dengan skala seperti itu
terjadi dengan durasi lebih dari 30 detik, maka masyarakat yang berada di zona
merah harus siap-siap untuk evakuasi, vertikal atau horizontal dengan membawa
ransel atau tas siaga bencana yang sudah disiapkan sebelumnya. Masyarakat harus
dapat memanfaatkan golden time yang
tidak banyak itu untuk evakuasi.
Melihat besarnya risiko dan dampak gempa pada 30 September 2009 lalu di Sumatra Barat, terkesan mitigasi bencana,
kesiapsiagaan, dan kewaspadaan terhadap bencana belum maksimal. Apakah statemen
ini bisa diterima?
Betul. Itulah yang terus dilakukan oleh
Pemerintah Provinsi Sumbar bersama pemko/pemkab melalui BPBD masing-masing,
yakni melakukan sosialisasi dan simulasi menghadapi gempa dan tsunami dengan
menggandeng para pakar kebencanaan dan LSM yang bergerak di bidang ini.
Sosialisasi dan simulasi ini bertujuan agar masyarakat tidak panik dalam merespons
gempa dan tsunami, serta tahu cara-cara evakuasi yang baik.
Peringatan dini juga tak bekerja efektif sehingga kepanikan semua
pihak saat gempa melanda, dan juga
ada misinformasi dan keterlambatan keluar informasi dari lembaga berwenang
BMKG.
Ada beberapa penyebab. Misalnya rusak
atau hilangnya peralatan pendeteksi tsunami atau buoys dan alat lainnya. Kemudian juga, dalam kejadian tsunami di Selat
Sunda, misalnya, menurut BMKG merupakan silent
tsunami. BMKG selama ini hanya bekerja untuk tsunami yang disebabkan oleh
gempa bumi.
Tentang
Badrul Mustafa
Dr Badrul Mustafa Kemal, DEA, demikian
nama lengkap ditulis merupakan dosen di Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik,
Universitas Andalas Padang, dan juga salah seorang pakar gempa Indonesia. Ia
telah banyak menulis hasil riset mengenai lingkungan hidup dan kegempaan.
Karya-karyanya banyak dijadikan rujukan dalam penanganan bencana.
Badrul menyelesaikan pendidikan sarjana
di Institut Teknologi Bandung pada 1984. Ia mendapatkan gelar magister dari
Universitas Bordeux I dan doktor di Universitas Pierre et Marie Curie, keduanya
di Prancis.
Ia menyebut Sumatera Barat sebagai “malnya
bencana” maka untuk menanganinya dibutuhkan keahlian. “Salah menata dan
membangun kearifan masyarakat akibatnya fatal,” katanya.
Pewawancara Nasrul Azwar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar