Wawancara dengan Abdul Muhari
Masyarakat harus
mulai membiasakan diri untuk evakuasi mandiri tanpa tergantung pada peringatan
dini resmi karena tsunami bisa datang lebih cepat. Di Jepang ada istilah tsunami tendenko. Artinya pada saat tsunami, maka selamatkanlah diri Anda.
Berikut wawancara saya dengan Abdul Muhari, Kepala Seksi Mitigasi Bencana,
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selamat membaca.
Ahli gempa Danny Hilman Natawidjaja dari LIPI memprediksi
soal ancaman zona patahan raksasa di segmen Kepulauan Mentawai yang bisa
melepas energinya dengan kekuatan mencapai magnitudo gempa (M) 8,8 dan
diikuti tsunami besar. Bagaimana Anda menilai dan menjelaskan ini, terus apa
yang harus dilakukan pihak pemerintahan di Sumatera Barat?
Analisis dari Dr Danny Hilman Natawidjaja benar adanya karena didasari oleh
pengamatan koral/karang yang mengindikasikan perulangan gempa di Segmen Mentawai sudah dalam ‘siklus’ nya setelah 1797 dan 1833. Energi gempa
ini jika ‘lepas’ dalam satu waktu maka berpotensi menciptakan gempa sampai M 8,8 dan berpotensi menimbulkan tsunami.
Ada 2 upaya untuk menekan potensi risiko bencana. Pertama untuk gempa agar
masyarakat bisa melihat dan menilai sendiri kondisi bangunan rumah
masing-masing. Jika dirasa kurang kuat belajar dari pengalaman gempa tahun 2009, maka harus diperkuat (retrofitting)
secara mandiri.
Untuk tsunami, masyarakat harus mulai membiasakan diri untuk evakuasi
mandiri tanpa tergantung pada peringatan dini resmi karena tsunami bisa datang
lebih cepat. Jika terasa gempa menerus lebih dari 1 menit maka segeralah
evakuasi menjauh dari pantai.
Apa bentuk konkret yang segera dilakukan semua pihak agar
dampak bencana bisa diminamilisir?
Pelajari kondisi struktur dan tempat evakuasi terdekat dari tempat kerja,
sekolah dan rumah yang menjadi kesepakatan bersama dalam keluarga, sehingga
jika terjadi bencana, masing-masing anggota keluarga sudah mengetahui apa yang
harus dilakukan dan kemana harus pergi.
Pemerintah daerah juga mungkin harus menambah tempat evakuasi agar lebih
terdistribusi di sepanjang jalan yang menjauh dari pantai agar bisa mengurangi
potensi kemacetan saat evakuasi
Dari fakta yang terlihat, dalam mitigasi bencana, masyarakat
lebih siap menghadapi bencana daripada pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari
pengalaman terjadinya bencana gempa bumi yang melanda Sumatra Barat sebelumnya,
bagaimana penilaian Anda?
Ketika kita naik pesawat ada aturan bahwa jika tekanan udara drop atau turun di pesawat akan turun alat bantu pernapasan dengan prinsip “pasang dulu
alat bantu pernapasa Anda baru membantu orang lain” atau di Jepang ada istilah tsunami tendenko yang artinya pada saat
tsunami maka selamatkanlah diri Anda
sendiri-sendiri.
Konsep ini sebenarnya adalah konsep dasar dalam penyelamatan diri, bahwa dalam
kondisi darurat kita harus mampu evakuasi mandiri dan bertahan hidup setidaknya
3 x 24 jam
Ada yang mengatakan, pemerintah tidak memiliki manajemen
dan strategi kebencanaan sehingga apa yang dilakukan dalam pra dan setelah
bencana, belum tersusun secara sistematis. Penanganan bencana masih tampak sporadis
Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama menyiapkan rencana strategis
penanggulangan bencana karena penanggulangan bencana menurut UU 24 tahun 2007 merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.
SOP koordinasi antara kepala daerah perlu dibangun berbasis pada
praktik-praktik yang pasti bisa terlaksana pada saat darurat. Selain itu, kepala daerah perlu disosialisasikan mengenai hal kedaruratan
agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan/koordinasi pada saat darurat.
Lalu bagaimana antusiasme masyarakat setiap kegiatan
sosialisasi kebencanaan gempa bumi yang dilakukan selama ini?
Persentase dan
jumlah masyarakat yang antusias ikut sosialisasi mitigasi
bencana bisa naik turun bergantung pada kondisi aktual. Jika isu kebencanaan biasanya awareness
masyarakat naik, demikian sebaliknya. Hal yang sama juga terjadi di Jepang.
Peminat latihan evakuasi biasanya didominasi oleh orang tua (lansia).
Untuk itu, latihan evakuasi tidak bisa massal. Ini harus dilakukan dalam skala administrasi terkecil, misalnya RT, RW dengan lokasi-lokasi tujuan evakuasi yang merupakan lokasi
bangunan/daerah yang akrab digunakan oleh masyarakat sehari-hari.
Bagaimana dengan infrastruktur yang
mendukung saat bencana terjadi, misal selter?
Kota Padang termasuk salah satu daerah yang menjadi perhatian dunia
internasional pascatsunami Aceh 2004. Turun naiknya intensitas kegiatan mitigasi bencana
adalah hal biasa. Media berkewajiban untuk selalu mengingatkan pemerintah dan masyarakat untuk
tetap menjaga kesiapsiagaan setiap waktu.
Pascagempa 2009, bangunan-bangunan di Padang mulai dibangun dengan memperhatikan
ketahanan bangunan tersebut terhadap gempa dan beberapa di antaranya bisa digunakan untuk evakuasi tsunami. Kita harus bisa
memanfaatkan prasarana yang tersedia untuk penyelamatan diri saat darurat.
Tentunya harus dilakukan audit bangunan secara berkala terhadap
gedung-gedung pemerintah yang bisa digunakan untuk evakuasi tsunami.
Apa langkah pertama kali dilakukan masyarakat jika
terjadi gempa melebihi M 7?
Lindungi diri (kepala) dari potensi jatuhan benda-benda jika berada dalam
ruangan, segera berupaya keluar ruangan jika memungkinkan.Jika gempa menerus
lebih dari 1 menit, segera menjauh dari pantai
Melihat dan menelisik besarnya dampak akibat gempa pada
30 September 2009 lalu di Sumatra
Barat, serta tingginya jumlah korban baik meninggal maupun luka, kepanikan, dan
jalur evakuasi yang macet total, bukankah ini gambaran kesadaran mitigasi masih
rendah. Apakah statemen ini bisa diterima?
Kemacetan terjadi karena masyarakat evakuasi menggunakan kendaraan,
masyarakat menggunakan kendaraan karena merasa masih berada pada daerah rawan
dan ingin segera sampai di lokasi aman tetapi semua orang akan berfikiran yang
sama sehingga pada saat yang hampir bersamaan orang cenderung melakukan hal
yang juga dilakukan oleh orang lain. Hal ini tendensi yang umum karena tidak
tersedianya sarana evakuasi yang terdistribusi di lokasi=lokasi padat penduduk dan tidak terdistribusi secara merata.
Untuk itu, keberadaan tempat-tempat evakuasi sementara di sepanjang jalur
menuju tempat evakuasi perlu diperbanyak, tidak perlu terlalu besar, jembatan
penyeberangan pun bisa digunakan sebagai tempat evakuasi sementara.
Selain itu, masyarakat juga jangan
menunggu berbunyinya alat peringatan dini baru menyiapkan diri evakuasi. Peringatan dini yang paling bagus adalah gempa itu sendiri.Jika terasa gempa secara menerus lebih dari 1 menit, segeralah menjauh dari
pantai.
Komunitas siaga bencana bisa menyiapkan
media komunikasi tradisional seperti kentongan dan radio untuk member tanda
adanya bencana. Media komunikasi berbasis listrik dan jaringan telepon sangat rentan tidak berfungsi saat darurat.
Bagaimana kesiasiagaan masyarakat terhadap ancamana
tersebut? Bagaimana dengan pemerintah dan OPD terkait memberikan pemahaman
kepada masyarakat, bagaimana upaya mitigasinya? Apa yang telah dilakukan untuk
mitigasi kebencanaan itu?
Penyadartahuan kepada masyarakat. Kalau di Jepang dilakukan oleh pakar-pakar dari universitas setempat sebagai
bentuk pengabdian kepada masyarakat. Dalam konteks ini
informasi yang disampaikanpun bisa lebih jelas dan dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah. Padang mungkin bisa mulai melakukan hal ini secara
berkelanjutan.
Tentang Abdul Muhari
Dr Abdul Muhari merupakan salah seorang
ahli penanggulangan bencana (tsunami) alumnus Tohuku University Jepang. Sebelumnya,
ia menyelesaikan sarjana dan magister di Institut Teknologi Bandung.
Sejak 2014, ia menjabat Kepala Seksi Mitigasi
Bencana, Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang tugasnya mengembangkan
kebijakan nasional, peraturan dan kegiatan implementasi pada pengurangan risiko
bencana pesisir dan pulau-pulau kecil.
Selain itu, Abdul Muhari juga dipercaya
sebagai Ketua Sentinel Asia Tsunami Working Group (JAXA-Japan), sebuah lembaga
data yang berbasis teknologi untuk pengurangan risiko bencana tsunami di
negara-negara Asia-Pasifik.
Pewawancara Nasrul Azwar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar