“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 33).
Pemaknaan
paling umum, tentang “mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” ialah bercadar. Dalil ini sangat
kuat sebagai basis utama perempuan muslimah yang disyariatkan untuk menutup
wajah mereka di depan lelaki ajnabi (non-mahram), yakni memakai cadar.
Terkait
dengan itu, 4 mazhab yang diyakini para ulama juga mengacu pada dalil Alquran
dan As Sunnah. Menutup wajah bagi wanita (bercadar) merupakan perkara yang
dianjurkan, diwajibkan, dan disyariatkan dalam Islam.
Dasawarsa
terakhir, perempuan muslimah mengenakan cadar jadi fenomena menarik, terlepas
kontroversi yang dikandung dan polemik yang dibawanya. Semakin lama, jumlah
yang bercadar terus membengkak, termasuk di ranah Minangkabau.
Model
pakaian ala Timur Tengah ini, kini terkesan semakin familiar di tengah
masyarakat. Di tempat-tempat umum seperti angkutan kota, pasar, mal, bioskop-bioskop,
dan ruang-ruang publik di tengah kota, perempuan bercadar bukan lagi hal yang
asing.
Kota
Padang, salah satu kota besar di Sumatera, tak terhindar dari kecenderungan
ini. Sudah jamak dijumpai perempuan bercadar dengan gamis ‘marereh’ menyapu jalan. Kini, di kampus-kampus umum seperti Unand
dan UNP hampir tidak ada terdengar polemik sekaitan dengan pemakaian cadar.
Namun, di Universitas Islam Negeri (UIN) yang notabene adalah kampus Islam,
polemik cadar sering muncul.
Tentu
saja, polemik cadar di kampus-kampus pendidikan tinggi Islam jadi menarik.
Untuk itu, media
ini menelusurinya lebih jauh dan melihat bagaimana suasana sesungguhnya,
terutama di UIN Imam Bonjol Padang.
Kami mewawancari
dua mahasiswi UIN Imam Bonjol yang memilih bercadar. Annisa Suryani, mahasiswi
asal Kabupaten Agam, mengaku sudah mengenakan cadar sejak awal kuliah di UIN IB.
Saat masih sekolah, ia mengaku belum mengenakan cadar.
"Saya
meyakininya sebgaai syariat, walaupun banyak terdapat khilafiyah di antara ulama mazhab. Saya mengambil pendapat yang
mengatakan hukum cadar adalah sunnah
atau mustahab," ujar Annisa menjelaskan
latar belakangnya mengenakan cadar.
Selain
soal keyakinan, Annisa mengaku, menggunakan cadar memberikan rasa ketenangan dalam
dirinya. Dibandingkan saat sebelum memakai cadar, Annisa merasa tidak mendapat
gangguan oleh laki-laki yang bukan mahrom
(muhrim).
"Saya
rasakan bahwa dengan memakai cadar saya lebih terjaga dari pandangan laki-laki ajnabi (yang bukan mahrom). Justru
sekarang malahan mereka lebih menghormati daripada menganggu," sambungnya
bangga.
Walaupun
demikian, pilihan untuk memutuskan bercadar tidak memudah. Diterangkan Annisa,
banyak teman-temannya yang ragu menggunakan cadar, terlebih jamak pandangan di
masyarakat yang mengaikat cadar dengan afiliasi atau aliran Islam tertentu.
"Belum
lagi komentar miring, ejekan, sampai hinaan, dan tuduhan-tuduhan yang
mengerikan," ujarnya.
Hal
itu pula yang dirasakan Putri Rahayu Ningsih, mahasiswi asal Solok. Putri
mengaku baru menggunakan cadar sejak akhir 2018, walaupun sebelumnya sudah
menggunakan cadar namun masih dalam lingkungan terbatas.
"Saya
belum berani waktu itu mengenakan cadar di kampus. Padahal, apabila keluar
rumah selain ke kampus, saya selalu mengenakan cadar," jelas Putri.
"Saya
termotivasi untuk mengejar sunnah,
dan baru mantap memakai cadar setelah melihat mahasiswi lainnya yang
menggunakan cadar," sambungnya.
Annisa
dan Putri kini merupakan mahasiswa tahun kedua di Jurusan Sejarah Peradaban
Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Imam Bonjol. Mereka mengungkapkan
kampus mereka mengizinkan penggunaan cadar dalam proses perkuliahan.
Walaupun
demikian, dari penuturan Annisa, ada beberapa pihak yang mempermasalahkan
mahasiswi yang memakai cadar.
"Kami
yang bercadar tidak boleh meminjam buku di perpustakaan institut dan fakultas,
kecuali dengan melepas cadar," terang Annisa.
Dari
penelusuran, memang tidak ada peraturan larangan memakai cadar di UIN Imam
Bonjol.
"Pada
dasarnya tidak dilarang, cuma pada kondisi tertentu ketika kegiatan akademik
dibuka cadar, maka penyelenggara pendidikan dapat meminta mahasiswi membuka
cadar?" ujar Ikwan Matondang, Wakil Rektor (WR) Bidang Kemahasiswaan dan
Kerja Sama UIN Imam Bonjol Padang, Selasa, 26 Februari 2019..
Dijelaskan
Ikwan Matondang, kegiatan akademik dimaksud adalah saat praktik bahasa Inggris
dan bahasa Arab.
"Kan
ada pronunciation yang harus
terdengar jelas," katanya.
Ketika
dikonformasi pernyataan Annisa tentang tidak terhalangnya mahasiswa bercadar
meminjam buku kepada Ikwan Matondang, mengatakan, bagian pelayanan harus
mengetahui wajah yang meminjam buku.
"Kalau
pelayanan buku, memang harus melihat siapa yang meminjam, kalau tidak seseorang
bisa saja menggunakan kartu mahasiswa orang lain," tandas Ikwan.
Setelah
dua tahun mengenakan cadar, Annisa dan Putri mengatakan mereka tetap dengan
pilihan menggunakan cadar.
"Tetap
istikamah," ujar Annisa dan Putri serempak.
"Hanya
sajak kami berharap tidak ada diskriminasi di antara kami mahasiswi yang
memakai cadar dengan yang tidak memakai cadar. Kami tidak ada berbuat
macam-macam ataupun menimbukan kerusakan dan kerugian bagi pihak kampus. Kami
sama dengan mahasiswi lainnya punyak hak dan kewajiban dan kami tahu itu. Kami
hanya menjalankan syariat, bukan untuk mencari sensasi ataupun yang
lainnya," jelas Annisa dibenarkan Putri. Reportase rahmat irfan denas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar