Kamis, 28 Februari 2019

Muslimah Bercadar, Jangan Ada Diskriminasi di antara Kita


“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 33).

Pemaknaan paling umum, tentang “mengulurkan jilbabnya ke seluruh  tubuh mereka” ialah bercadar. Dalil ini sangat kuat sebagai basis utama perempuan muslimah yang disyariatkan untuk menutup wajah mereka di depan lelaki ajnabi (non-mahram), yakni memakai cadar.
Terkait dengan itu, 4 mazhab yang diyakini para ulama juga mengacu pada dalil Alquran dan As Sunnah. Menutup wajah bagi wanita (bercadar) merupakan perkara yang dianjurkan, diwajibkan, dan disyariatkan dalam Islam.
Dasawarsa terakhir, perempuan muslimah mengenakan cadar jadi fenomena menarik, terlepas kontroversi yang dikandung dan polemik yang dibawanya. Semakin lama, jumlah yang bercadar terus membengkak, termasuk di ranah Minangkabau.
Model pakaian ala Timur Tengah ini, kini terkesan semakin familiar di tengah masyarakat. Di tempat-tempat umum seperti angkutan kota, pasar, mal, bioskop-bioskop, dan ruang-ruang publik di tengah kota, perempuan bercadar bukan lagi hal yang asing.
Kota Padang, salah satu kota besar di Sumatera, tak terhindar dari kecenderungan ini. Sudah jamak dijumpai perempuan bercadar dengan gamis ‘marereh’ menyapu jalan. Kini, di kampus-kampus umum seperti Unand dan UNP hampir tidak ada terdengar polemik sekaitan dengan pemakaian cadar. Namun, di Universitas Islam Negeri (UIN) yang notabene adalah kampus Islam, polemik cadar sering muncul.
Tentu saja, polemik cadar di kampus-kampus pendidikan tinggi Islam jadi menarik. Untuk itu, media ini menelusurinya lebih jauh dan melihat bagaimana suasana sesungguhnya, terutama di UIN Imam Bonjol Padang.
Kami mewawancari dua mahasiswi UIN Imam Bonjol yang memilih bercadar. Annisa Suryani, mahasiswi asal Kabupaten Agam, mengaku sudah mengenakan cadar sejak awal kuliah di UIN IB. Saat masih sekolah, ia mengaku belum mengenakan cadar.
"Saya meyakininya sebgaai syariat, walaupun banyak terdapat khilafiyah di antara ulama mazhab. Saya mengambil pendapat yang mengatakan hukum cadar adalah sunnah atau mustahab," ujar Annisa menjelaskan latar belakangnya mengenakan cadar.
Selain soal keyakinan, Annisa mengaku, menggunakan cadar memberikan rasa ketenangan dalam dirinya. Dibandingkan saat sebelum memakai cadar, Annisa merasa tidak mendapat gangguan oleh laki-laki yang bukan mahrom (muhrim). 
"Saya rasakan bahwa dengan memakai cadar saya lebih terjaga dari pandangan laki-laki ajnabi (yang bukan mahrom). Justru sekarang malahan mereka lebih menghormati daripada menganggu," sambungnya bangga.
Walaupun demikian, pilihan untuk memutuskan bercadar tidak memudah. Diterangkan Annisa, banyak teman-temannya yang ragu menggunakan cadar, terlebih jamak pandangan di masyarakat yang mengaikat cadar dengan afiliasi atau aliran Islam tertentu.
"Belum lagi komentar miring, ejekan, sampai hinaan, dan tuduhan-tuduhan yang mengerikan," ujarnya.
Hal itu pula yang dirasakan Putri Rahayu Ningsih, mahasiswi asal Solok. Putri mengaku baru menggunakan cadar sejak akhir 2018, walaupun sebelumnya sudah menggunakan cadar namun masih dalam lingkungan terbatas.
"Saya belum berani waktu itu mengenakan cadar di kampus. Padahal, apabila keluar rumah selain ke kampus, saya selalu mengenakan cadar," jelas Putri.
"Saya termotivasi untuk mengejar sunnah, dan baru mantap memakai cadar setelah melihat mahasiswi lainnya yang menggunakan cadar," sambungnya.
Annisa dan Putri kini merupakan mahasiswa tahun kedua di Jurusan Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Imam Bonjol. Mereka mengungkapkan kampus mereka mengizinkan penggunaan cadar dalam proses perkuliahan.
Walaupun demikian, dari penuturan Annisa, ada beberapa pihak yang mempermasalahkan mahasiswi yang memakai cadar.
"Kami yang bercadar tidak boleh meminjam buku di perpustakaan institut dan fakultas, kecuali dengan melepas cadar," terang Annisa.
Dari penelusuran, memang tidak ada peraturan larangan memakai cadar di UIN Imam Bonjol.
"Pada dasarnya tidak dilarang, cuma pada kondisi tertentu ketika kegiatan akademik dibuka cadar, maka penyelenggara pendidikan dapat meminta mahasiswi membuka cadar?" ujar Ikwan Matondang, Wakil Rektor (WR) Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama UIN Imam Bonjol Padang, Selasa, 26 Februari 2019..
Dijelaskan Ikwan Matondang, kegiatan akademik dimaksud adalah saat praktik bahasa Inggris dan bahasa Arab.
"Kan ada pronunciation yang harus terdengar jelas," katanya.
Ketika dikonformasi pernyataan Annisa tentang tidak terhalangnya mahasiswa bercadar meminjam buku kepada Ikwan Matondang, mengatakan, bagian pelayanan harus mengetahui wajah yang meminjam buku.
"Kalau pelayanan buku, memang harus melihat siapa yang meminjam, kalau tidak seseorang bisa saja menggunakan kartu mahasiswa orang lain," tandas Ikwan.
Setelah dua tahun mengenakan cadar, Annisa dan Putri mengatakan mereka tetap dengan pilihan menggunakan cadar.
"Tetap istikamah," ujar Annisa dan Putri serempak.
"Hanya sajak kami berharap tidak ada diskriminasi di antara kami mahasiswi yang memakai cadar dengan yang tidak memakai cadar. Kami tidak ada berbuat macam-macam ataupun menimbukan kerusakan dan kerugian bagi pihak kampus. Kami sama dengan mahasiswi lainnya punyak hak dan kewajiban dan kami tahu itu. Kami hanya menjalankan syariat, bukan untuk mencari sensasi ataupun yang lainnya," jelas Annisa dibenarkan Putri. Reportase rahmat irfan denas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...