Jumat, 25 Januari 2019

Sahar BS, Wartawan Sederhana yang Merawat Harga Diri


OLEH Nasrul Azwar
Sahar Bagindo Sutan atau Sahar BS 
Sepanjang kariernya di dunia kewartawanan, Sahar Bagindo Sutan atau lebih dikenal dengan nama Sahar BS banyak menerima penghargaan dari pelbagai lembaga berkaitan dengan capaian dan prestasi sebagai wartawan.
Penghargaan yang dia terima antara lain, “Medali 15 Tahun Kesetiaan Menjalani Profesi Wartawan dari LKBN Antara, Penghargaan 30 Tahun Kesetiaan Profesi dari PWI Pusat (2006), dan Penghargaan Purna Bakti PWI Pusat dari PWI Sumbar (2008).
“Masih banyak piagam perhargaan lainnya yang diterima Papa tapi karena banjir bencana gempa bumi, berkas arsip dan piagam itu rusak dan hancur. Hanya ada 3 piagam itu yang masih tersimpan pada putra-putri Papa,” kata Fifi Suryani, anak keempat dari delapan bersaudara pasangan suami-istri Sahar BS dan Yuniar ini kepada penulis, akhir November 2017 lalu.

Menurut Fifi, yang kini mengikuti jejak orang tuanya sebagai wartawan, orang tuanya ini mengawali karier sebagai wartawan pada surat kabar harian Aman Makmur selama dua tahun.
“Papa bergabung dengan Kantor Berita Antara mulai tahun 1973. Selanjutnya Papa bertahan di Antara dan menjadi Kepala Biro Antara Sumatera Barat selama 12 tahun sejak 1982-1994 hingga pensiun,” terang Fifi yang kini redaktur di Harian Tribun Jambi.
Sahar BS lahir di Sicincin, Kabupaten Padang Pariaman, 2 Februari 1939. Ketua PWI Cabang Sumatera Barat periode 1993-1997 ini meninggal dunia karena sakit di usia 67 tahun pada 23 Mei 2006 lalu.
Sosok Sahar BS dikenal luas sebagai pribadi yang sederhana dan setia pada profesinya, serta selalu menjaga kredibilitas dan komitmen dan etika kewartawanan.   Selain itu, Sahar BS salah wartawan senior yang tergolong tidak pelit berbagi ilmu dan pengalaman dengan wartawan-wartawan pemula atau yunior.
Syamsuardi Sjamsuddin, wartawan yang berkarier di Haluan sejak 1982, salah seorang yang merasakan bagaimana kedekatan Sahar BS dengan wartawan-wartawan muda, termasuk dirinya.
“Selama menjalani karier sebagai wartawan muda, terutama pada dekade 1980-an, saya mengenal Pak Sahar BS sebagai seorang wartawan yang setia dengan profesinya. Sosok yang sederhana dan seorang wartawan yang punya harga diri,” kata Syamsuardi Sjamsuddin di pengujung pekan  terakhir Desember 2017 ketika ditanyakan kesannya tentang Sahar BS.
Syamsuardi Sjamsuddin mengaku, banyak pelajaran yang dia dapat dari Sahar BS sebagai seorang wartawan senior di era 80-an itu.
“Beliau seorang profesional dan sopan (beretika) dalam setiap berhubungan dengan narasumber, terutama para pejabat. Sebaliknya, para pejabat menghargai kehadiran beliau sebagai seorang wartawan.  Beliau sangat mentaati kode etik profesi wartawan sehingga ia sangat dihormati,” tambah pria kelahiran Pasa Baru, Cupak Tangah, Pauh, Padang, pada 9 Agustus 1956 ini.
Menurut wartawan yang pernah dibina almarhum Masri Mardjan dan Beny Aziz saat memulai karier di Haluan sebagai wartawan muda ini, kepribadian dan profesionalisme Sahar BS tak berbeda dengan Chairul Harun, Anas Lubuk, Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie, Nasroel Siddik, Marthias Dusky Pandoe, yang bisa dikatakan satu angkatan di era itu.
“Wartawan-wartawan senior ini sering berdiskusi tentang apa saja di Kantor PWI Sumbar di Jalan Bagindo Aziz Chan. Saya selalu menyimak dan banyak pengalaman yang didapat,” terang Syamsuardi Sjamsuddin yang banyak berkiprah di Kota Bukittinggi ini. 
Syamsuardi Sjamsuddin mengaku beberapa kali bersama Sahar BS meliput berbagai peristiwa.
“Beliau sebagai wartawan Antara dan saya dari Haluan. Perjalanan ke lapangan bersama beliau bagi saya saat itu sangat membanggakan. Dan sekaligus saya belajar dari beliau,” cerita sosok yang hingga kini terus menulis kendati secara organik pensiun dari Haluan pada 2012 lalu.
Beberapa kali perjalanan jurnalistik itu, ada tiga hal penting dari pribadi Sahar BS yang menurut Syamsuardi Sjamsuddin sangat berharga sebagai teladan bagi wartawan muda yang akan menempuh karier di dunia jurnalistik ini.
“Pertama, beliau seorang profesional yang setia pada pekerjaannya sebagai wartawan. Kedua, penampilan beliau sederhana, namun tetap rapi dan dandy serta menjaga etika dan sopan santun. Ketiga, teguh memegang komitmen dan selalu menjaga harga diri sebagai seorang yang berprofesi jurnalis,” papar Syamsuardi Sjamsuddin, yang menyelesaikan S1 di STISIPOL Bukittinggi pada 1994 ini.
Sementara itu, Wannofri Samry, yang pernah menjadi wartawan Antara saat Sahar BS menjabat Kepala Biro Sumbar, yang kini pengajar di Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang menilai, Sahar BS  adalah wartawan yang sederhana dan teliti, serta tidak menyukai wartawan yang lamban dalam menulis berita.
“Pak Sahar mengedepankan akurasi dalam menulis berita. Beliau sosok wartawan yang sederhana tapi berdisiplin. Pak Sahar sering mengatakan, berita yang baik itu ditulis lugas dan  tidak bertele-tele.  Seorang wartawan juga mesti cepat dan tangkas dan menulis berita,” terang Wannofri Samry yang maraih doktor tentang sejarah pers Sumatera di Malaysia ini saat menuliskan kesannya tentang “mantan bosnya” ini. 
Selain itu pula, tambah Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia untuk Sumbar ini, Sahar BS juga dikenal sebagai sosok Kepala Biro Antara yang mewajibkan wartawannya membaca surat-surat kabar setiap pagi dan menindaklanjuti berita-berita yang perlu dilanjutkan.
“Setiap wartawan harus ikut rapat setiap pagi di kantor. Rapat ini gunanya agar wartawan mengerti apa yang akan dicari di lapangan lalu paham apa yang ditulis. Beliau sangat tidak suka berita yang mengandalkan dari pidato seorang pejabat atau relis humas,” terang Wannofri yang merasakan  kedisiplinan dan tata kerja profesional Sahar BS.
Haryanto Soekardi, yang kini bekerja di salah satu perusahaan BUMN di Pekanbaru, yang mengaku pernah bersentuhan langsung dalam kerja kewartawanan, dalam sebuah blognya, juga mengisahkan kesannya terhadap wartawan yang sederhana ini.
Pada awal 1991, tulis Haryanto Soekardi, dia mendatangi LKBN Antara Biro Sumatera Barat untuk keperluan melamar kerja sebagai wartawan.
“Saat itu, setelah tamat kuliah, LKBN Antara Biro Sumatera Barat sedang mencari orang yang berminat berkarir di dunia jurnalistik. Atas ajakan teman saya melamar ke Antara dan menemui Pak Sahar BS,” cerita Haryanto Soekardi.
Setelah menemui Kepala Biro Antara itu, dan menjelaskan latar belakang pengetahuan menulis yang minim, Haryanto Soekardi diterima sebagai wartawan magang dengan catatan agar mau belajar dan bekerja keras.
“Selama dua tahun saya dibina dan dididik Pak Sahar dengan penuh disiplin dan menanamkan  sikap profesionalisme terhadap tugas yang diberikan. Saya bisa menulis karena Pak Sahar,” katanya.
Sahar BS pernah menempuh pendidikan di Jurusan Sejarah FKIP Unand, namun terpaksa berhenti karena dia lebih mengutamakan adik laki-lakinya agar bisa selesai di sekolah Telkom saat itu.
“Papa berhenti kuliah karena keterbatasan biaya dari orang tua. Beliau mendahulukan adiknya. Kendati tak selesai kuliah dan tak bisa meraih gelar sarjana, Papa mewujudkan cita-citanya kepada anak-anaknya. Alhamdulillah, 7 dari 8 anaknya berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi. Anak ketiganya bahkan bisa menamatkan jenjang pascasarjana,” terang Fifi Suryani.
Fifi Suryani mengisahkan, kesulitan keuangan sangat dirasakan keluarga ini ketika lima putra-putri Sahar BS menempuh pendidikan tinggi atau kuliah dalam rentang yang sama.
“Saat itu tahun 1996, kesulitan sangat dirasakan saat 5 anak Papa kuliah sekaligus. Yang sulung kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Eka Sakti, yang kedua Fakultas Ekonimi UBH, ketiga Faperta Unand, keempat FSUA dan kelima di Politeknik Teknologi Unand. Tapi semua bisa dilalui dengan baik,” kisahnya.
“Anak Papa yang keenam, masuk kuliah di FEUA pada tahun 1998, setelah dua orang kakaknya menyelesaikan kuliah. Anak yang ketujuh hingga SMA dan si bungsu di FT UNP,” tambah Fifi Suryani.

Daftar Acuan
1.       Bincang-bincang dengan Fifi Suryani, anak almarhum pada awal akhir November 2017
2.      Bincang-bincang dengan Syamsuardi Sjamsuddin, wartawan Haluan, pertengan Desember 2017
3.      Bincang-bincang dengan Dr Wannofri Samry, M.Hum, dosen dan peneliti pers
4.      http://haryantosoekardi.blogspot.co.id/2015/11/menulis-itu-menyenangkan.html

x

1 komentar:

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...