Senin, 03 Desember 2018

Ekspresi Anak Nagari Merayakan Budaya


ALEK NAGARI SIJUNJUANG

OLEH Nasrul Azwar (Jurnalis dan Presiden AKSI)
Foto Edy Utama
JALAN kampung sepanjang 1,5 kilometer di Nagari Sijunjung sore itu dipenuhi warga. Mereka berjejer-jejer di tepi jalan dan tak sedikit pula menyembulkan kepalanya dari jendela rumahnya. Anak nagari dan warga sekitar sedang menikmati peristiwa budaya alek nagari dengan wajah dan gestur riang gembira. Sebuah peristiwa budaya yang mereka rasakan dengan tulus dan ikhas. Semuanya mengekspresikan dirinya.
Sore yang lembab, Jumat 9 November 2018, anak Nagari Sijunjuang, Kabupaten Sijunjung memang sedang menggelar pawai budaya dalam iven Alek Nagari Sijunjuang. Peristiwa ini berlangsung dua hari, Jumat-Sabtu 9-10 November 2018 di Jorong Koto Padang Ranah dan Jorong Tanah Bato.
Alek Nagari Sijunjuang dibuka dengan pawai budaya dimulai di depan Kantor Keparapatan Adat Nagari (KAN) Sijunjung. Galibnya seremonial pemerintahan, sebelum dilepas tentu diisi dengan pidato para pejabat terkait. Tampak menyampaikan pidato apresiatif Staf Ahli Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia Kebudayaan Bidang Multikulturalisme Restorasi Sosial dan Jati Diri Bangsa Haswan Yunas, Kepala Dinas Kebudayaan Sumatera Barat Gemala Ranti, Wali Nagari Sijunjung Effendi, 
Terlihat hadir Sekdakab Sijunjung, Ketua DPRD Sijunjung dan ninik mamak, tokoh masyarakat, pemuda, bundo kanduang, dan berbagai pihak. Alek Nagari Sijunjuang dibuka secara resmi Bupati Sijunjung Yuswir Arifin.
Foto Edy Utama
Perjalanan kultural dengan identitas adat selingkar nagari, sore itu diperlihatkan anak Nagari Sijunjung. Lebih kurang 300-an anak nagari yang berasal dari 10 jorong di nagari ini, bergerak berlahan dengan atribut dan penanda-penanda apa yang sedang mereka lakukan. Masing-masing kelompok dan jorong menunjukkan identitasnya. Maka, dalam pawai itu kita menemukan antara lain, barisan “nikah kawin”, “basiriah tando”, “batoboh kongsi”, “bantai adat”, “bakua adaik”, “baombai” “katam”, “batagak gala”, poi karimbo, “manta marapulai”, “turun mandi”, “manjalang”,  “manyaratuih hari”, “maarak anak daro”, silek dan randai, serta permainan anak nagari lainnya.
Sore pun kian riang gembira. Pawai budaya sebagai tanda dimulainya Alek Nagari Sijunjuang dikesankan merupakan representasi dari kekayaan adat nagari yang menyematkan dirinya sebagai perkampungan adat Minangkabau itu.
Jorong Tanah Bato, tempat Kantor KAN Sijunjung berdiri merupakan titik berangkat pawai kultural yang selanjutnya menyusur jalan yang panjangnya sekitar 1,5 kilometer, menuju titik sampainya di Tobek, sebuah ruang pertemuan para pemangku di Nagari Sijunjung, yang terletak di Jorong Koto Padang Ranah. Jalan kampung yang lebar 3 meter itu adalah urat nadi bagi masyarakat Nagari Sijunjung. Di Tobek inilah, semua aktivitas adat dan pertunjukan seni yang dimiliki Nagari Sijunjung akan ditampilkan selama dua hari dalam kegiatan Alek Nagari Sijunjuang ini.
Foto Edy Utama
Sisi kiri-kanan jalan, yang disebut masyarakat dengan nama “Jalan Nagari” itu, berderet-deret bangunan rumah gadang atau disebut juga rumah asa kaum atau pasukuan. Di Minangkabua, posisi dan keberadaan rumah gadang sangat penting bagi masyarakatnya karena fungsinya sebagai salah satu identitas komunal yang melekat baik bagi kaum maupun personal. Di antara rumah-rumah gadang itulah anak nagari peserta pawai budaya melintas.
Merujuk pada catatan yang ada, Nagari Sijunjuang diteroka atau ditaruko nenek moyang mereka sekitar 700 tahun lalu atau sekitar abad 14 Masehi. Nagari yang berada tak jauh dari aliran Sungai Batang Sukam itu, dihuni 6 suku asal yang dominan, yaitu 6 Chaniago Nan Sembilan Sapuluah Jo Patopang, Piliang, Melayu, Tobo, Panai dan Melayu Tak Timbago.
Pada ruas jalan nagari itu, ada 76 unit rumah gadang berdiri dengan langgam masing-masing yang secara umum persis kendati ada yang berbeda semisal jumlah gonjong atapnya. Ada yang lima, empat, dan dua. Rumah gadang didirikan berdampingan dengan suku lainnya. Tidak ada dominasi suku tertentu. Di sini terlihat egaliterianisme masyarakat Nagari Sijunjung yang demikian kental. 
Galibnya rumah gadang di Minangkabau, rumah gadang di Nagari Sijunjung juga diperindah dengan ornamen dan ukiran bermotif di dinding dan tiangnya. Terlihat ada ukiran buah palo patah, kuciang jo saik galamai, aka duo gagang, kaluak paku kacang balimbiang, dan lain sebagainya serta ada pula yang polos tanpa ornamen apapun.
Foto Edy Utama
Rumah gadang yang jumlahnya 76 unit itu, sebagian besar telah ditandai dengan nomor-nomor sebagai rumah atau bangunan yang masuk dalam katagori cagar budaya. Pelabelan sebagai bangunan cagar budaya dilakukan inventarisasinya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat.
“Upaya mencagarbudayakan rumah-rumah gadang itu merupakan salah satu konkretisasi pelestarian bangunan yang terkoneksi dengan adat dan budaya masyarakat. Sebagian besar rumah-rimah gadang di Nagari Sinjunjung telah masuh dalam cagar budaya. Selain itu, melekatkan slogan Kampung Adat Minangkabau juga member dampak pada pelestarian budaya matrilineal Minangkabau di nagari ini, termasuk pelaksanaan Alek Nagari Sijunjuang ini,” kata Nurmatias, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat. 
Selain difungsikan sebagai ruang untuk aktivitas sehari-hari, rumah gadang juga digunakan untuk kegiatan-kegiatan adat di Nagari Sijunjung. Misalnya, proses pernikahan anak kemanakan. Di dalam rumah gadang itulah keputusan penting diambil.
Foto Edy Utama
“Peristiwa Alek Nagari Sijunjuang yang kita organisir bersama-sama dengan anak Nagari Sijunjuang itu memberikan nuansa sangat positif terkait kelangsungan kegiatan-kegiatan kebudayaan di nagari-nagari. Sangat menyenangkan melihat semanga anak nagari memperagakan kehidupan budayanya batoboh. Semangat batoboh merupakan cara masyarakat bergotong-royong yang masih hadir dalam kehidupan anak Nagari Sijunjuang. Dan ini saya kira modal kultural yang harus kita rawat dan kembangkan. Keberadaan alek nagari saya kira memiliki peran sangat penting di sini,” kata Edy Utama, Kurator Konten Alek Nagari Sijunjuang.   
Menurut Edy Utama, batoboh salah satu tradisi dalam masyarakat Nagari Sijunjung dan mungkin saja tradisi sejenis masih hidup di nagari-nagari lainnya di Minangkabau, adalah modal sosial dan budaya Minangkabau yang mengikat masyarakat dalam satu capaian bersama yaitu silaturahmi kultural.
“Silaturahmi itu bisa dikonkretkan dengan alek budaya anak nagari atau perhelatan. Alek nagari salah satu tujuannya ialah penguatan kapasitas anak nagari agar mampu memberikan energi baru terhadap seni, adat, budaya dan tradisi ritual-ritual yang kian kurang diminati kaum muda. Alek nagari itu jika dilakukan dengan manajemen dan tata kelola dan pelibatan partisipasi aktif anak-anak muda secara penuh, saya kira alek nagari itu bisa menjadi ruang atau forum bersama untuk mencapai tujuan bersama pula, yakni keterawatan budaya nagari dan Minangkabau,” kata Edy Utama lebih jauh.
Dikatakan budayawan Edy Utama, yang juga penggerak dan aktivis alek-alek nagari di Sumatera Barat, peristiwa budaya yang disebut dengan alek nagari merupakan salah satu instrumen penting bagi kebudayaan Minangkabau agar tetap eksis dan kuat.
“Rumah gadang merupakan salah ruang kultural bagi kelangsungan budaya Minangkabau, selain tentu saja galanggang atau sasaran. Selama ini, fungsi rumah gadang sebagai ruang budaya sudah menyusut dan malah tak terlihat lagi kemanfaatannya seperti itu. Dengan alek nagari posisi dan fungsi rumah gadang bisa dinamisasikan kembali. Alek Nagari Sijunjuang tentu menuju ke tujuan demikian,” kata Edy Utama.
Alek Nagari Sijunjuang bukan pertama kali dilakukan di Sumatera Barat. Mungkin sudah ratusan kali pernah digelar alek serupa semenjak Sumatera Barat menyatakan kembali ke pemerintahan nagari dengan menerbitkan peraturan daerah sebagai landasan legalitasnya.
Peraturan Daerah terkait dengan nagari ini sampai tahun 2018 sudah tiga perda yang diterbitkan. Pertama Perda Nomor 9 tahun 2000, dan selanjutnya direvisi dengan Perda No 2 tahun 2007, dan Perda Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari. Untuk perda yang terbit pada 2018 ini masih terjadi polemik di tengah masyarakat karena ada beberapa pasal yang dinilai kurang tepat.
Terkait dengan alek nagari memang tak ada satu pasalpun di dalam perda nagari itu yang menyebutkan tentang kegiatan budaya ini tapi dengan menyatakan kembali ke nagari sudah menjadi langkah penting untuk dasar penguatan dan basis pengembangan budaya di tingkat nagari.
Menurut Zulkani Alfian, Ketua Pelaksana Alek Nagari Sijunjuang, alek nagari jika dilihat dalam perspekstif kekinian, merupakan salah satu cara untuk membranding sebuah nagari, dan tentu saja Nagari Sijunjuang ini.
“Alek Nagari Sijunjuang merupakan peristiwa budaya dengan keterlibatan penuh anak nagari dan dikerjakan secara bergotong-royong atau yang dikenal dalam tradisi masyarakat Nagari Sijunjuang sebagai batoboh. Peristiwa budaya ini selain sebagai upaya merawat seni dan budaya, juga strategi memperkenalkan lebih luas Nagari Sijunjuang sebagai kawasan adat Minangkabau. Brand sebagai kampung adat inilah sebenarnya menjadi daya tarik dengan eksotisme yang dimiliki untuk masyarakat luas,” jelas Zulkani Alfian, yang sehari-harinya menjabat sebagai Kepala Jorong Ganting Nagari Sijunjung.     
Baginya, Alek Nagari Sijunjuang bukan semata menghadirkan kekayaan budaya dan tradisi yang dimiliki nagari ini tapi lebih jauh lagi merupakan sebuah langkah untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki Nagari Sijunjuang, termasuk potensi alamnya.
“Kita punya potensi lain yang bisa disinergikan dengan kegiatan alek nagari,” tambahnya.
Alek Nagari Sijunjuang merupakan kegiatan yang diinisiasi Dinas Kebudayaaan Provinsi Sumatera Barat bekerja sama dengan  masyarakat dan Pemerintah Nagari Sijunjung, Pemerintah Kabupaten Sijunjung, serta didukung penuh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. 
Gemala Ranti, Kepala Dinas Kebudayaan Sumatera Barat
Gemala Ranti, Kepala Dinas Kebudayaan Sumatera Barat, menngatakan Alek Nagari Sijunjuang merupakan sebuah peristiwa budaya yang sangat kental kaitannya dengan tradisi yang telah tumbuh di tengah masyarakat. Dipilihnya Nagari Sijunjung sebagai tempat alek nagari setelah melewati berbagai pertimbangan.
“Nagari Sijunjuang sebagai nagari yang menyematkan dirinya sebagai Kampung Adat Minangkabau merupakan satu alasan dipilihnya nagari ini selain tentu saja karena keseriusan Pemerintahan  Nagari Sijunjung bersama elemen masyarakatnya menjaga dan merawat nilai-nilai budaya Minangkabau,” kata Gemala Ranti.
Dikatakannya, dengan adanya alek nagari ini, maka masyarakat nagari memiliki ruang ekpresi untuk mengungkapkan seni dan upacara-upacara adat yang selama ini masih belum terbuka ke public atau masih terbatas diketahui. Alek Nagari Sijunjuang tentu saja membuka banyak peluang untuk mengenalkan tradisi anak Nagari Sijunjuang.
Alek Nagari Sijunjuang digelar masyarakat anak nagari bersama-sama elemen masyarakat, lembaga adat, bundo kanduang, ninik mamak, perangkat nagari, jorong, dan para pihak lainnya, antusias menyiapkan alek nagari ini.
Menurut Effendi, Wali Nagari Sijunjung, kegiatan alek nagari telah membuka lebih luas dan memicu semangat masyarakat di 10 jorong di nagarinya merawat dan menjaga seni dan kegiatan budaya yang selama ini nyaris ditinggalkan.
“Kini masyarakat sudah mau lagi melakukan baombai saat mengerjakan sawah. Kecipak cangkul saat diayunkan ke luluk dan pantun bersahutan bisa kita dengan dan saksikan saat jelang musim tanam padi,” kata Effendi.
Foto Edy Utama
Baombai merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang masyarakat Nagari Sijunjung menjelang padi ditanam dengan cara bergotong-royong.  Walau melunyah sawah sudah digantikan mesin traktor tapi tradisi kebersamaan baombai masih sering dilakukan. Lazimnya, baombai dilakukan puluhan kaum ibu-ibu sembari mencangkul sawah mereka berbalas puntun. Terkadang pantun yang disampaikan bisa ekspresi kegembiraan, bisa juga kesedihan dengan bahasa khas jorongnya .
“Pantun yang dinyayikan dalam baombai bukan saja wujud kegembiraan atau keriangan hati tapi bisa bentuk kesedihan. Biasanya baombai dilakukan pagi-pagi saat matahari belum tegak membakar kuduk,” kata Ismaniar (62), salah seorang ibu yang ikut baombai dalam Alek Nagari Sijunjuang.  
Selain penampilan “ritual” tradisi Nagari Sijunjuang itu, juga dilakukan kegiatan literasi berupa workshop penulisan dan pembacaan puisi untuk siswa SMP dan SMA yang diampu sastrawan Syarifuddin Arifin dan Y Thendra BP. Sedangkan untuk sketsa rumah gadang diampu Aprimas dan Fadlan Talawe, keduanya praktisi senirupa. Kedua kegiataan ini diikuti antusias lebih 100 siswa se-Kabupaten Sijunjung. ***  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...