ALEK NAGARI SIJUNJUANG
OLEH Nasrul Azwar (Jurnalis dan Presiden AKSI)
Foto Edy Utama |
JALAN kampung sepanjang 1,5
kilometer di Nagari Sijunjung sore itu dipenuhi warga. Mereka berjejer-jejer di
tepi jalan dan tak sedikit pula menyembulkan kepalanya dari jendela rumahnya.
Anak nagari dan warga sekitar sedang menikmati peristiwa budaya alek nagari
dengan wajah dan gestur riang gembira. Sebuah peristiwa budaya yang mereka
rasakan dengan tulus dan ikhas. Semuanya mengekspresikan dirinya.
Sore yang lembab, Jumat 9 November 2018,
anak Nagari Sijunjuang, Kabupaten Sijunjung memang sedang menggelar pawai
budaya dalam iven Alek Nagari Sijunjuang. Peristiwa ini berlangsung dua hari,
Jumat-Sabtu 9-10 November 2018 di Jorong Koto Padang Ranah dan Jorong Tanah Bato.
Alek Nagari Sijunjuang dibuka dengan
pawai budaya dimulai di depan Kantor Keparapatan Adat Nagari (KAN) Sijunjung.
Galibnya seremonial pemerintahan, sebelum dilepas tentu diisi dengan pidato
para pejabat terkait. Tampak menyampaikan pidato apresiatif Staf Ahli
Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia Kebudayaan Bidang Multikulturalisme
Restorasi Sosial dan Jati Diri Bangsa Haswan Yunas, Kepala Dinas Kebudayaan
Sumatera Barat Gemala Ranti, Wali Nagari Sijunjung Effendi,
Terlihat hadir Sekdakab Sijunjung, Ketua
DPRD Sijunjung dan ninik mamak, tokoh masyarakat, pemuda, bundo kanduang, dan
berbagai pihak. Alek Nagari Sijunjuang dibuka secara resmi Bupati Sijunjung Yuswir Arifin.
Foto Edy Utama |
Perjalanan kultural dengan identitas adat
selingkar nagari, sore itu diperlihatkan anak Nagari Sijunjung. Lebih kurang
300-an anak nagari yang berasal dari 10 jorong di nagari ini, bergerak berlahan
dengan atribut dan penanda-penanda apa yang sedang mereka lakukan.
Masing-masing kelompok dan jorong menunjukkan identitasnya. Maka, dalam pawai
itu kita menemukan antara lain, barisan “nikah kawin”, “basiriah tando”,
“batoboh kongsi”, “bantai adat”, “bakua adaik”, “baombai” “katam”, “batagak gala”, poi karimbo, “manta marapulai”, “turun mandi”, “manjalang”, “manyaratuih hari”, “maarak anak daro”, silek
dan randai, serta permainan anak nagari lainnya.
Sore pun kian riang gembira. Pawai budaya
sebagai tanda dimulainya Alek Nagari Sijunjuang dikesankan merupakan
representasi dari kekayaan adat nagari yang menyematkan dirinya sebagai perkampungan
adat Minangkabau itu.
Jorong Tanah Bato, tempat Kantor KAN
Sijunjung berdiri merupakan titik berangkat pawai kultural yang selanjutnya
menyusur jalan yang panjangnya sekitar 1,5 kilometer, menuju titik sampainya di
Tobek, sebuah ruang pertemuan para pemangku di Nagari Sijunjung, yang terletak
di Jorong Koto Padang Ranah. Jalan kampung yang lebar 3 meter itu adalah urat
nadi bagi masyarakat Nagari Sijunjung. Di Tobek inilah, semua aktivitas adat
dan pertunjukan seni yang dimiliki Nagari Sijunjung akan ditampilkan selama dua
hari dalam kegiatan Alek Nagari Sijunjuang ini.
Foto Edy Utama |
Sisi kiri-kanan jalan, yang disebut
masyarakat dengan nama “Jalan Nagari” itu, berderet-deret bangunan rumah gadang atau disebut juga rumah asa kaum atau pasukuan. Di
Minangkabua, posisi dan keberadaan rumah gadang sangat penting bagi
masyarakatnya karena fungsinya sebagai salah satu identitas komunal yang
melekat baik bagi kaum maupun personal. Di antara rumah-rumah gadang itulah
anak nagari peserta pawai budaya melintas.
Merujuk pada catatan yang ada, Nagari
Sijunjuang diteroka atau ditaruko nenek moyang mereka sekitar 700 tahun lalu
atau sekitar abad 14 Masehi. Nagari yang berada tak jauh dari aliran Sungai
Batang Sukam itu, dihuni 6 suku asal yang dominan, yaitu 6 Chaniago Nan Sembilan
Sapuluah Jo Patopang, Piliang, Melayu, Tobo, Panai dan Melayu Tak Timbago.
Pada ruas jalan nagari itu, ada 76 unit
rumah gadang berdiri dengan langgam masing-masing yang secara umum persis
kendati ada yang berbeda semisal jumlah gonjong atapnya. Ada yang lima, empat,
dan dua. Rumah gadang didirikan berdampingan dengan suku lainnya. Tidak ada
dominasi suku tertentu. Di sini terlihat egaliterianisme masyarakat Nagari
Sijunjung yang demikian kental.
Galibnya rumah gadang di Minangkabau,
rumah gadang di Nagari Sijunjung juga diperindah dengan ornamen dan ukiran
bermotif di dinding dan tiangnya. Terlihat ada ukiran buah palo patah, kuciang
jo saik galamai, aka duo gagang, kaluak paku kacang balimbiang, dan lain
sebagainya serta ada pula yang polos tanpa ornamen apapun.
Foto Edy Utama |
Rumah gadang yang jumlahnya 76 unit itu,
sebagian besar telah ditandai dengan nomor-nomor sebagai rumah atau bangunan
yang masuk dalam katagori cagar budaya. Pelabelan sebagai bangunan cagar budaya
dilakukan inventarisasinya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat.
“Upaya mencagarbudayakan rumah-rumah
gadang itu merupakan salah satu konkretisasi pelestarian bangunan yang
terkoneksi dengan adat dan budaya masyarakat. Sebagian besar rumah-rimah gadang
di Nagari Sinjunjung telah masuh dalam cagar budaya. Selain itu, melekatkan
slogan Kampung Adat Minangkabau juga member dampak pada pelestarian budaya
matrilineal Minangkabau di nagari ini, termasuk pelaksanaan Alek Nagari
Sijunjuang ini,” kata Nurmatias, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera
Barat.
Selain difungsikan sebagai ruang
untuk aktivitas sehari-hari, rumah gadang juga digunakan untuk
kegiatan-kegiatan adat di Nagari Sijunjung. Misalnya, proses pernikahan anak
kemanakan. Di dalam rumah gadang itulah keputusan penting diambil.
Foto Edy Utama |
“Peristiwa Alek Nagari Sijunjuang
yang kita organisir bersama-sama dengan anak
Nagari Sijunjuang itu memberikan nuansa sangat positif terkait kelangsungan
kegiatan-kegiatan kebudayaan di nagari-nagari. Sangat menyenangkan melihat semanga
anak nagari memperagakan kehidupan budayanya batoboh. Semangat batoboh
merupakan cara masyarakat bergotong-royong yang masih hadir dalam kehidupan
anak Nagari Sijunjuang. Dan ini saya kira modal kultural yang harus kita rawat
dan kembangkan. Keberadaan alek nagari saya kira memiliki peran sangat penting
di sini,” kata Edy Utama, Kurator Konten Alek Nagari Sijunjuang.
Menurut
Edy Utama, batoboh salah satu tradisi
dalam masyarakat Nagari Sijunjung dan mungkin saja tradisi sejenis masih hidup
di nagari-nagari lainnya di Minangkabau, adalah modal sosial dan budaya
Minangkabau yang mengikat masyarakat dalam satu capaian bersama yaitu
silaturahmi kultural.
“Silaturahmi
itu bisa dikonkretkan dengan alek budaya anak nagari atau perhelatan. Alek
nagari salah satu tujuannya ialah penguatan kapasitas anak nagari agar mampu
memberikan energi baru terhadap seni, adat, budaya dan tradisi ritual-ritual
yang kian kurang diminati kaum muda. Alek nagari itu jika dilakukan dengan
manajemen dan tata kelola dan pelibatan partisipasi aktif anak-anak muda secara
penuh, saya kira alek nagari itu bisa menjadi ruang atau forum bersama untuk
mencapai tujuan bersama pula, yakni keterawatan budaya nagari dan Minangkabau,”
kata Edy Utama lebih jauh.
Dikatakan budayawan Edy Utama, yang juga penggerak
dan aktivis alek-alek nagari di Sumatera Barat, peristiwa budaya yang disebut
dengan alek nagari merupakan salah satu instrumen penting bagi kebudayaan
Minangkabau agar tetap eksis dan kuat.
“Rumah gadang merupakan salah ruang kultural bagi
kelangsungan budaya Minangkabau, selain tentu saja galanggang atau sasaran.
Selama ini, fungsi rumah gadang sebagai ruang budaya sudah menyusut dan malah
tak terlihat lagi kemanfaatannya seperti itu. Dengan alek nagari posisi dan
fungsi rumah gadang bisa dinamisasikan kembali. Alek Nagari Sijunjuang tentu
menuju ke tujuan demikian,” kata Edy Utama.
Alek
Nagari Sijunjuang bukan pertama kali dilakukan di Sumatera Barat. Mungkin sudah
ratusan kali pernah digelar alek serupa semenjak Sumatera Barat menyatakan
kembali ke pemerintahan nagari dengan menerbitkan peraturan daerah sebagai
landasan legalitasnya.
Peraturan Daerah terkait dengan nagari ini sampai tahun 2018 sudah tiga perda yang diterbitkan. Pertama Perda Nomor 9 tahun 2000, dan selanjutnya direvisi dengan Perda No 2 tahun 2007, dan Perda Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari. Untuk perda yang terbit pada 2018 ini masih terjadi polemik di tengah masyarakat karena ada beberapa pasal yang dinilai kurang tepat.
Peraturan Daerah terkait dengan nagari ini sampai tahun 2018 sudah tiga perda yang diterbitkan. Pertama Perda Nomor 9 tahun 2000, dan selanjutnya direvisi dengan Perda No 2 tahun 2007, dan Perda Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari. Untuk perda yang terbit pada 2018 ini masih terjadi polemik di tengah masyarakat karena ada beberapa pasal yang dinilai kurang tepat.
Terkait
dengan alek nagari memang tak ada satu pasalpun di dalam perda nagari itu yang
menyebutkan tentang kegiatan budaya ini tapi dengan menyatakan kembali ke
nagari sudah menjadi langkah penting untuk dasar penguatan dan basis
pengembangan budaya di tingkat nagari.
Menurut
Zulkani Alfian, Ketua Pelaksana Alek Nagari Sijunjuang, alek nagari jika
dilihat dalam perspekstif kekinian, merupakan salah satu cara untuk membranding
sebuah nagari, dan tentu saja Nagari Sijunjuang ini.
“Alek
Nagari Sijunjuang merupakan peristiwa budaya dengan keterlibatan penuh anak
nagari dan dikerjakan secara bergotong-royong atau yang dikenal dalam tradisi
masyarakat Nagari Sijunjuang sebagai batoboh. Peristiwa
budaya ini selain sebagai upaya merawat seni dan budaya, juga strategi
memperkenalkan lebih luas Nagari Sijunjuang sebagai kawasan adat Minangkabau. Brand sebagai kampung adat inilah
sebenarnya menjadi daya tarik dengan eksotisme yang dimiliki untuk masyarakat
luas,” jelas Zulkani Alfian, yang
sehari-harinya menjabat sebagai Kepala Jorong Ganting Nagari Sijunjung.
Baginya,
Alek Nagari Sijunjuang bukan semata menghadirkan kekayaan budaya dan tradisi
yang dimiliki nagari ini tapi lebih jauh lagi merupakan sebuah langkah untuk
mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki Nagari Sijunjuang, termasuk potensi
alamnya.
“Kita
punya potensi lain yang bisa disinergikan dengan kegiatan alek nagari,”
tambahnya.
Alek Nagari Sijunjuang merupakan kegiatan yang
diinisiasi Dinas Kebudayaaan Provinsi Sumatera Barat bekerja sama dengan
masyarakat dan Pemerintah Nagari Sijunjung, Pemerintah Kabupaten Sijunjung,
serta didukung penuh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan.
Gemala Ranti, Kepala Dinas Kebudayaan Sumatera Barat |
Gemala Ranti, Kepala Dinas Kebudayaan Sumatera
Barat, menngatakan Alek Nagari Sijunjuang merupakan sebuah peristiwa budaya
yang sangat kental kaitannya dengan tradisi yang telah tumbuh di tengah
masyarakat. Dipilihnya Nagari Sijunjung sebagai tempat alek nagari setelah
melewati berbagai pertimbangan.
“Nagari Sijunjuang sebagai nagari yang menyematkan
dirinya sebagai Kampung Adat Minangkabau merupakan satu alasan dipilihnya
nagari ini selain tentu saja karena keseriusan Pemerintahan Nagari Sijunjung bersama elemen masyarakatnya
menjaga dan merawat nilai-nilai budaya Minangkabau,” kata Gemala Ranti.
Dikatakannya, dengan adanya alek nagari ini, maka
masyarakat nagari memiliki ruang ekpresi untuk mengungkapkan seni dan
upacara-upacara adat yang selama ini masih belum terbuka ke public atau masih
terbatas diketahui. Alek Nagari Sijunjuang tentu saja membuka banyak peluang
untuk mengenalkan tradisi anak Nagari Sijunjuang.
Alek Nagari Sijunjuang digelar masyarakat anak
nagari bersama-sama elemen masyarakat, lembaga adat, bundo kanduang, ninik
mamak, perangkat nagari, jorong, dan para pihak lainnya, antusias menyiapkan
alek nagari ini.
Menurut Effendi, Wali Nagari Sijunjung, kegiatan alek
nagari telah membuka lebih luas dan memicu semangat masyarakat di 10 jorong di
nagarinya merawat dan menjaga seni dan kegiatan budaya yang selama ini nyaris
ditinggalkan.
“Kini masyarakat sudah mau lagi melakukan baombai saat mengerjakan sawah. Kecipak
cangkul saat diayunkan ke luluk dan pantun bersahutan bisa kita dengan dan
saksikan saat jelang musim tanam padi,” kata Effendi.
Foto Edy Utama |
Baombai merupakan tradisi turun
temurun dari nenek moyang masyarakat Nagari Sijunjung menjelang padi ditanam
dengan cara bergotong-royong. Walau
melunyah sawah sudah digantikan mesin traktor tapi tradisi kebersamaan baombai masih sering dilakukan.
Lazimnya, baombai dilakukan puluhan
kaum ibu-ibu sembari mencangkul sawah mereka berbalas puntun. Terkadang pantun
yang disampaikan bisa ekspresi kegembiraan, bisa juga kesedihan dengan bahasa
khas jorongnya .
“Pantun yang dinyayikan dalam baombai bukan saja wujud kegembiraan
atau keriangan hati tapi bisa bentuk kesedihan. Biasanya baombai dilakukan pagi-pagi saat matahari belum tegak membakar
kuduk,” kata Ismaniar (62), salah seorang ibu yang ikut baombai dalam Alek Nagari Sijunjuang.
Selain penampilan “ritual” tradisi Nagari
Sijunjuang itu, juga dilakukan kegiatan literasi berupa workshop penulisan
dan pembacaan puisi untuk siswa SMP dan SMA yang diampu sastrawan Syarifuddin
Arifin dan Y Thendra BP. Sedangkan untuk sketsa rumah gadang diampu Aprimas dan
Fadlan Talawe, keduanya praktisi senirupa. Kedua kegiataan ini diikuti antusias
lebih 100 siswa se-Kabupaten Sijunjung. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar