PEMENTASAN ”BANGKU KAYU DAN KAMU YANG TUMBUH DI SITU”
OLEH Nasrul Azwar (Jurnalis
dan Presiden AKSI)
Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ (Foto Adek) |
Memigrasikan teks-teks—apalagi itu teks berupa kode-kode dan tanda-tanda yang
sangat referensial dengan ingatan kolektif publik yang telah mengkristal—ke
atas panggung sebagai teks pertunjukan, mengemban dua opsi: komunikatif dan
tidak komunikatif, baik secara pesan makna simbolisme maupun nonsimbolisme.
Teks pertunjukan ”Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ” dalam durasi 55
menit yang saya saksikan di Teater Arena Taman Budaya Jambi, pada Jumat, 31
Agustus 2018, secara resepsif menempatkan karya yang disutradarai Yusril Katil
itu pada posisi teks yang komunikatif dengan artistik-estetika pemanggungan dan
pesan makna simbolisme maupun nonsimbolisme, memenuhi capaian yang pas walau
dengan beberapa catatan menyertainya.
Aspek lainnya, teks pertunjukan “Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ”
juga mampu merekonstruksi memori kolektif tentang bangku (pen)didik(an) di
dalam kelas yang hampir setiap orang pernah mendudukinya.
Kendati begitu, konstruksi teatrikal dengan simbol dan penanda 9 bangku di
atas panggung sebagai upaya merekonstruksi soal dampak sistem pendidikan yang
cenderung seragam pengajarannya kepada anak didik, masih terlihat lubang-lubang
kosong yang cenderung normatif dan verbalitif.
Lubang-lubang kosong itu, dilihat dari keseluruhan dari teks pertunjukan,
bisa tertutup jika—pernah saya tulis di pertunjukan lainnya—yaitu aspek
transformabilitas bisa lebih khusus digarap maksimal dengan tata kerja
antropologis dan sosiologis yang intensif terhadap isu yang diangkat.
Aspek transformabilitas merupakan satu dari tiga aspek
tanda teatrikal, yakni mobilitas, dinamisme, dan transformabilitas. Ketiga hal
ini disebut dengan fleksibilitas denotasional. Teks pertunjukan
kontemporer, ditengarai memiliki tanda, simbol, dan daya ucap laku teks
panggung dengan kerangka fleksibilitas denotasionalnya.
Aspek transformabilitas—saya menilai, dua aspek lainnya: mobilitas dan
dinamisme telah duduk dalam keseluruhan pementasan ”Bangku Kayu dan Kamu yang
Tumbuh di Situ”—menjadi problem serius kerena kealpaan dalam setiap garapan
yang berangkat dari titik eksplorasi tubuh pemain dan properti.
Aspek transformabilitas bagi saya merupakan kunci penting dari keseluruhan
proses pemanggungan seni pertunjukan apapun jenisnya. Transformabilitas itu
merupakan titik pijakan untuk mamahami dan mereinterpretasi terhadap isu dan
problem sosial yang digarap dalam teatrikal pertunjukan. Mencapai pemahaman
yang maksimal, jelas melewati proses yang intensif dengan diskusi dan kajian
kritis antara sutradara, dramaturgi, komposer, tata lampu, panata artistik, dan
pemain.
Peristiwa yang direkonstruksi di atas panggung jelas bukan sebuah
peristiwa yang muncul serta merta. Keterkaitannya yang relevantif dengan
peristiwa sosial dalam realitas, jelas tak bisa dipisahkan.
”Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ” merupakan karya yang berbasis
riset atau penelitian tentang sistem pendidikan di Indonesia yang wujudnya
sebagai penciptaan karya. Namun, teks panggung yang dihadirkan Yusril Katil
sebagai sutradara dan ide kreatif, pada transformabilitas memperlihatkan lubang
kosong yang saya sebutkan di atas.
Hadirnya lubang kosong ini, terkait dengan kesulitan mengetransformasikan
realitas sosial (problem pendidikan) menjadi peristiwa teks teatrikal, terjadi
karena belum maksimal dan intensif pembahasan dan diskusi mendalam terhadap objek
riset antarsesama elemen yang terlibat. Sisi ini perlu didalami.
Akibat dari belum maksimalnya menggarap aspek transformabilitas ini,
sembilan tubuh para pelaku (pemain) terlihat masih kesulitan melepas dan
membuktikan bahwa “tubuh” mereka ialah tubuh “duplikasi” dari serentetan
problem pendidikan yang kemungkinan membuka banyak variasi dan interpretasi.
Sedangkan bangku yang diidentikkan sebagai alat pembunuh karakter anak didik,
terkesan belum berhasil terintergasi dan sebagai inheren dengan tubuh-tubuh 9
aktor dalam ”Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ”.
Galibnya sebuah pertunjukan, teks panggung menjadi media komunikasi tanda-tanda
teatrikal kepada publik. Penerimaan peristiwa teatrikal yang terjadi atas
penggung merupakan rekonstruksi dari berbagai elemen dramatik yang
direalisasikan dalam tanda-tanda. Elemen dramatik itu ialah tubuh dan suara
aktor, latar, properti, busana atau kostum, musik, dan panggung itu sendiri.
Pertunjukan ”Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ” tentu bukan sesuatu
peristiwa teatrikalyang berakar ke langit tetapi ia berurat ke bumi, yang
menjadikan manusia sebagai pusat konflik.
”Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ” diawali dengan konflik itu
sendiri, menampilkan keriuhan masyarakat kota dalam bentuk tayangan di layar
putih di dinding panggung.
Sementara, para aktor berganti-ganti berjalan melintasi layar yang juga
merekontruksi tanda-tanda teks pertunjukan. Tanda yang mereka munculkan ialah keseragaman.
Gerak dan cara berjalan pun sama. Mereka seperti robot. Saat bersamaan, di
layar juga menayangkan kesibukan umat manusia dengan beragam aktivitasnya.
Mereka tak saling kenal dan berjalan bergegas sebagai ciri khas masyarakat
urban kota. Tapi mereka ini merupakan generasi pendidikan “Ini Budi”.
Dua peristiwa teatrikal di panggung itu, membuka banyak varian
interpretasi bagi publik penonton. Musik yang ditata komposer Erizal Koto, dan
ditata dengan “kekuatan” penuh oleh Indra Arifin dan Avandgarde Dewa Gugat,
mempererat hubungan dua peristiwa ini.
”Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ” yang garak-geriknya ditata
koreagrafer Ali Sukriyang seterusnya hingga pertunjukan ditutup dengan berjalan
mundur semua aktor, tak berhenti memproduksi tanda-tanda dan kode-kode sebagai
teks pertunjukan. Produksi tanda-tanda, kode-kode sosial, ujaran yang muncul,
laku aktor mengduplikat seorang politisi, sindiran tajam terhadap perilaku anak
didik, pola didik yang tak berubah, dan seterusnya, merupakan rangkaian teks peristiwa
teatrikalyang mengerucut dalam satu kehendak menggugat sistem pendidikan
Indonesia yang gagal melahirkan manusia secara utuh.
Bangku kayu yang melekat pada masing-masing aktor dieksplorasi sehingga
memunculkan beragam efek visual dan kode-kode yang bereferensial dengan kondisi
realitas sosial di tengah masyarakat. Bangku kayu bukan sekadar properti yang
bisa dipindah-pindahkan kesana-kemari. Ia dimaknai bukan sebatas tempat duduk.
Sembilan tubuh aktor yang melekat pada bangku kayu mengasosiakan bahwa
sesungguhnya manusia membangun dirinya dari ruang berukuran 40 kali 70
sentimeter dengan sandaran keras itu. Dan selalu menghapal idiom yang sudah
menjadi ajaran wajib kalimat: “Ini Budi” dan seterusnya.
Bangku kayu dan manusia yang duduk (tumbuh) di situ yang bentuknya nyaris
persis dan serupa itu, bak dua sisi mata uang. Keduanya (manusia dan bangku),
dalam proses perjalanan hidupnya ditentukan bangku kayu nan kecil itu. Sejak
pertama kali menghenyakkan pantatnya di bangku itu, sejak itu pula ia berada
dalam perangkap sistem pendidikan dan dengan regulasi biroktarif yang sangat
membelenggu. Bangku itu merepresentasikan kode sosialnya sebagai bangku
pendidikan dengan segenap problemnya.
"Konsep dan garapan "Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di
Situ" berangkat dari pandangan objektif saya terhadap dunia pendidikan
dasar yang berlangsung di Indonesia selama ini. 9 aktor di panggung akan
merekonstruksi tubuh dan simbol-simbol di atas pentas sehingga apa yang jadi
gagasan bisa dikomunikasikan ke penonton," kata Yusril Katil pada beberapa
kali diskusi.
"Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ" menggambarkan tentang
proses ketertekanan tubuh di bawah penataan yang sistemik dalam budaya sekolah.
Tubuh aktor dan elemen dramatik lainnya yang ada di panggung,merupakan teks
pertunjukan yang akan membuka seluasnya komunikasi simbolis dengan penonton.
“Ini sebenarnya adalah letupan ingatan saya akan proses belajar di sekolah
dasar dan menengah. Saat kecil tubuh kita sudah dipaksa untuk patuh. Di dalam
kelas kita harus melipat tangan, wajah harus menghadap ke depan dan semua itu
kosong dari emosi,” tambah Yusril, yang kini berada di China untuk sebuah
pertunjukan China Asian Theater Weeks 2018 berkolaborasi dengan komposert
Nurkholis.
Menurutnya, sistem pendidikan Indonesia telah turut mengkonstruksi tubuh
anak didik agar patuh, namun juga sangat mungkin untuk berkembang dengan
polanya sendiri.
“Tapi di balik itu ada bahaya mengancam. Tubuh yang terkekang oleh sistem
akan cenderung memberontak. Apalagi di era seperti sekarang, dimana begitu
banyak goidaaan yang datang dari luar,” sebutnya.
Tubuh yang dikonstruksi seperti itu kemudian dijejali pula dengan
cita-cita yang macam-macam. Padahal saat masih kecil, manusia tak paham betul
seperti apa wujud karakter yang kita cita-citakan itu.
Pertunjukan di Jambi menjadi awal bagi eksplorasi kemungkinan-kemungkinan
baru bagi perjalanan karya ini seterusnya.
Saat tampil di Jambi, “Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ” merupakan
satu dari empat peristiwa budaya dalam Jambi Performing Arts: 3 Kota, 3 Bentuk
yang digelar sejak tanggal 31 Agustus sampai 1 September 2018, yang ditaja Incung Art & Culture Management Jambi, sebuah organisasi nirlaba di bidang seni budaya.
“Tim
kreatif dalam pertunjukan “Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ”terdiri
dari kreator, pengamat, dan peneliti seni, yang sehari-harinya mengajar di
Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang melakukan kerja kreatif dalam
bentuk kolaborasi di bidang teater, tari, dan musik,” kata Edward Zebua,
Pimpinan Produksi.
Dijelaskannya,
para kreator ini terdiri dari para dosen bidang seni yang memiliki kompetensi
dibidangnya masing-masing. Karya ini diwujudkan dari hasil kerja kolaborasi
para dosen dan juga mahasiswa ISI Padang Panjang, yang didukung oleh Hibah
Penelitian, Penciptaan, dan Penyajian Seni Kemenristekdikti.
Proses kreatif "Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ" ini
terus dilakukan selama 3 tahun ke depan.
Pertunjukan seni "Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di
Situ" didukung tim yang solid, yakni Edward Zebua (pimpinan produksi),
Sahrul N(dramaturg), Ali Sukri (pengatur gerak), Elizar Koto, Indra Arifin, dan
Avantgarde Dewa Gugat (komposer/pemusik), Kurniasih Zaitun dan Gusrizal
(produksi). Reri Rizaldi, Mahmud Junanda, Egi Oktriadi, Erwin Mardiansyah, Erik
Nofriwandi, Andi Jegger, Hadi Yusra, Ahmad Ridwan Fajri, Utari Irenza, Intania
Ananda Jonisa (pemain/aktor), Budi Kurniawan, Ari Wirya Saputra (penata lampu),
Yudi dan Adek (dokumentasi), dan Ari Leo (desain publikasi).
Sekaitan dengan itu, apa yang dikatakan Sir Christopher John Elinger Ball,
seorang linguis dan pakar pendidikan dari Universitas Oxford Inggris, relevan
untuk dikutip di sini:“Sistem (pendidikan) yang ada melahirkan hasil yang ada.
Jika menginginkan sistem yang lain, sistem harus diubah.”
Kendati begitu, hingga hari ini kita belum mampu mengubah sistem
pendidikan “Ini Budi” itu. Jadi apa yang dikatakan Christopher John Elinger
Ball masih benar, bukan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar