POSTFEST IKJ
2018
OLEH Nasrul Azwar (Presiden AKSI)
Sebuah peristiwa di panggung pertunjukan,
merupakan peristiwa “budaya” yang mengikat pada konteks yang bisa saja
membacanya tak sama persis dengan teks tertulisnya atau sebaliknya.
Peristiwa panggung yang demikian itu terjadi pada
pertunjukan seni tari-teater “The Margin of Our Land #2Reklamasi”, yang
dihadirkan di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta pada Jumat, 3 Agustus
2018 yang merupakan bagian dari rangkaian PostFest IKJ 2018.
Penampilan "The Margin of Our Land
#2Reklamasi" karya kolaborasi para kreator ISI Padang Panjang, yakni Ali
Sukri (untuk koreografi), Kurniasih Zaitun (teater), Sahrul N (dramaturgi),
Elizar Koto (komposer) dan Indra Arifin (musik), Yusril Katil (skenografi),
teks Esha Tegar Putra (penyair), dan penari-aktor, serta elemen pendukung
lainnya, merupakan sinergi dari banyak cabang seni yang bisa dikatakan berhasil
dalam aspek garapan dan pengembangan konsep kolaborasi walau masih banyak
compang-camping dalam penyajian artistik-estetis panggung.
"The Margin of Our Land #2Reklamasi"
dibuka dengan munculnya tubuh-tubuh yang berkelebat seiring bunyi dentuman
pemasangan tiang pancang dari belakang panggung. Gerak 8 batang tubuh sebagai
respons suasana yang dikonstruksi hadirnya proyek raksasa pembangunan reklamasi
untuk menciptakan sebuah pulau.
Lampu menyorot ke arah penonton semakin
menghidupkan 8 tubuh itu dengan komposisi gerak yang berbicara. Sorotan
lampu ke arah mata penonton memang tak lazim dalam pertunjukan seni tapi
malam itu merupakan keniscayaan. Dari sini, dari gerak pembuka ini saja,
penonton telah memahami apa pesan humanis yang disampaikan.
Dari gerak dan garik yang dibangun, ada tiga hal
penting kesan yang mau disampaikan dari atas panggung itu: korban (masyarakat),
investor (pemilik modal), dan regulasi (negara). Tiga ini terkait dengan dampak
sebuah pembangunan reklamasi.
Hadirnya “The Margin of Our Land #2Reklamasi”,
malam itu tak dinyana warga Jakarta akan disuguhkan soal reklamasi, yang
perkaranya sempat membuat buncah ibu kota ini, karya itu seakan ingin
mengatakan, seniman di daerah lebih sensitif ketimbang rekannya di Jakarta,
terkait mengemas isu-isu garapan yang menyangkut kehidupan publik.
Tapi itu soal lain. Yang pasti penampilan “The
Margin of Our Land #2Reklamasi” ikut mewarnai kehadiran iven dan peristiwa
kebudayaan PostFest 2018 Sekolah Pascasarjana IKJ, yang sudah dua
kali digelar.
Selain “The Margin of Our Land #2Reklamasi”, juga
dipentaskan tari-musik “Ateh Api, Bawah Api” karya koreografer Martion.
Keduanya dari ISI Padang Panjang.
"Saya mendapat pengalaman dari penampilan
dari ISI Padang Panjang yang baru usai saya nikmati ini. Pertama konsep
'koreodramaturgi' yang dilontarkan Sahrul N. Ini menarik dan layak untuk kita
bincangkan lebih dalam. Selain itu, musik elektro akustik yang terintegrasi
dengan tari-teater (“The Margin of Our Land”-red). Musiknya membuat saya harus
memberi tafsir baru. Untuk “Ateh Api, Bawah Api”, saya sangat menikmati aroma
rempah-rempah bahan utama untuk memasak dalam tradisi Minang, seperti randang
dan lainnya. Untuk itu, kehadiran ISI Padang Panjang dalam PostFest 2018
Sekolah Pascasarjana IKJ cukup penting," kata Prof Sardono W Kusumo,
Direktur Festival PostFest, yang juga seorang koreografer kontemporer yang
berpengaruh di Indonesia, ketika memberi sambutan pada Jumat (3/8/2018) malam
itu.
Karya ini merupakan yang kedua dari trilogi
"The Margin of Our Land". Yang pertama bicara tanah ulayat,
kedua reklamasi, dan ketiga rencananya mengangkat tanah terluar.
Sebelumnya, tari-teater "The Margin of Our
Land" #1Tanah Ulayat, sukses digelar di tiga kota (Pekanbaru, Padang
Panjang, dan Padang). Setelah pementasan di TIM Jakarta, karya kedua dari
trilogi ini akan dipanggungkan di ISI Padang Panjang.
Trilogi tari-teater “The Margin of Our Land”
merupakan hasil dari penelitian, penciptaan, dan penyajian seni ini
merupakan perwujudan program dana hibah Kementerian Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi tahun 2018.
Riki Dhamparan Putra, sastrawan, penyair dan
pemerhati budaya, usai pertunjukan mengaku, pertunjukan dari ISI Padang
Panjang ini di luar ekspektasinya.
"Saya mengira pertunjukan seni yang akan
ditampilkan didominasi tari tradisi berupa randai Minang tapi ini di luar
apa yang saya bayangkan. Saya kira, pusat-pusat kesenian di Jakarta perlu
mengapresiasi The Margin of Our Land ini," kata Riki, yang kini tinggal di
Jakarta.
Hal yang hampir senada juga dikatakan Eva Yenita
Syam, salah seorang peneliti di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Penampilan “The Margin of Our Land
#2Reklamasi” ini tidak semata soal capaian kolaborasi antarseni, tapi
lebih jauh dari itu, yaitu soal"teks" pemanggungan yang saya
kira sukses digarap. Kendati perlu dibenahi dan dipertajam beberapa
adegan," kata Eva yang juga pemain teater ini.
Properti dan
Teks “Berperilaku” Ganda
Dua konstruksi “The Margin of Our Land” yang saya
ikuti prosesnya dikesankan sebagai karya kolaborasi antarcabang seni dengan
dominasi koreografi. Pilihan tari karena memungkinkan tim ini lebih leluasa
membangun visualisasi di atas pentas kendati pengisian teks (dramatik) datang
kemudian. Demikian juga dengan musik, yang diisi bukan bersamaan saat membangun
dan mengonstruksi peristiwa-peristiwa di atas panggung.
Membangun kerangka besar teks pertunjukan dengan
konsep kolaboratif antarseni, bukan tidak berisiko jika dilakukan secara parsial.
Dua “The Margin of Our Land” yang saya ikuti menunjukkan hal kerja kolaboratif
dengan aksentuasi parsial. Karena ini merupakan paket, dua “The Margin of Our
Land”sudah dipanggungkan, saya memperkirakan,
yang ketiga tak jauh beda dengan cara kerja kreatif dengan dua
terdahulu.
Risiko kerja penggarapan secara parsial ini,
tentu saja bisa dicatat sebagai sisi “kosong” yang substantif dan layak
dipertimbangkan untuk dibenahi. Paling tidak, kolaboratif secara parsial harus
dibuang karena di atas panggung konstruksi teks pertunjukan tampak compang-camping.
Terkesan tempelan, misalnya untuk musik dan juga teks tulis yang dilisankan
pemain, juga seperti “pendatang baru” dalam keseluruhan pertunjukan.
“The Margin of Our Land” #1TanahUlayat dan
#2Reklamasi,kendati garapannya berangkat dari teks riset (konflik tanah ulayat
dan dampak reklamasi) tapi tak membuka seluasnya reinterpretasi terhadap objek
penelitian dan ruang-ruang penalaran alternatif. Dengan kata lain, “The Margin
of Our Land” #2Reklamasi terkesan gagal menyuguhkan petualangan kognitif bagi penonton.
Selain gagal, “The Margin of Our Land”
#2Reklamasi malah memperlihatkan teks-teks panggung yang berperilaku ganda
sehingga jika dilihat secara bersamaan dua pertunjukan terkesan sebagai teks “berperilaku”
ganda. Kedua pertunjukan itu menguatkan hubungan intertekstual tetapi mengecilkan
dan sekaligus menyempitkan makna kode-kode teaterik yang dibangun di atas
panggung. Bagi saya, lebih luas penonton, tentu saja tak memberi makna simbolis
jika garis polisi berwarna hitam kuning itu dihadirkan dalam dua pertunjukan
itu. Garis polisi itu bukan lagi deterministik dalam teks pertunjukan karena
penonton telah merekonstruksinya pada “The Margin of Our Land” #1TanahUlayat .
Menghadirkan dan memanfaatkan properti sama dalam garapan pertunjukan yang
berbeda dengan kode-kode visualisasi yang serupa, jelas sebuah kecelakaan garapan
yang fatal.
Selain teks dan kode-kode visualisasi garis
polisi itu, “The Margin of Our Land” #2Reklamasi” juga diperlemah lagi dengan
tata cahaya yang terkesan apa adanya. Cahaya
tak banyak berkontribusi membangun teks-teks baru di atas panggung sehingga
capaian untuk tiga komponen pokok visualisasi panggung tak hadir. Tiga elemen
itu ialah picturing, acting, dan meaning. Di atas panggung,
ketiganya terintegrasi dan menyeluruh dalam mewujudkan teks pertunjukan. Pementasan
“The Margin of Our Land” #2Reklamasi” tampak belum mampu merealisasikan ketiga
komponen itu. Komponen yang menonjol masih pada meaning.
Pada September nanti, rencananya “The Margin of
Our Land” #2Reklamasi”akan dipanggungkan lagi, dan tentu saja saya berharap
akan beda dengan yang sebelumnya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar