OLEH Nasrul Azwar (Jurnalis)
Rusli Marzuki Saria (Foto Faiz) |
Saat artikel ini rampung
ditulis pada medio Desember 2017, Rusli Marzuki Saria belum mendapat undangan
berangkat ke Thailand untuk menerima “SEA Write Award 2017” dari Kerajaan
Thailand. Penghargaan ini rencananya akan diserahkan pada Oktober 2017 tapi
karena alasan yang belum diketahui dari pihak panitia, sosok yang akrab dipanggil
“Papa” hingga kini masih bersifat menunggu informasi lebih lanjut.
Buku kumpulan puisi
Rusli Marzuki Saria One by One Line by
Line yang bilingual ini diterbitkan Kabarita Padang (2014), meraih hadiah
sastra bergengsi, yang juga disebut “Nobel Sastra”nya Asia Tenggara, pada tahun
2017.
“Inilah puncak capaian Papa
Rusli Marzuki Saria, salah seorang sastrawan dan budayawan
Sumatera
Barat yang membanggakan kita,” kata Yusrizal KW, pendiri penerbit Kabarita,
yang juga seorang sastrawan itu.
Pada tahun yang
sama, Rusli Marzuki Saria juga menerima Penghargaan Sastra Indonesia 2017 dari
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud). Selain dia, ada dua orang sastrawan asal Sumatera Barat yang
menerima perhargaan serupa, yaitu Muhammad Ibrahim Ilyas dan Hendri Tedja.
Pada
tahun 2017, esai berbahasa Minangkabau yang ia tulis setiap Minggu di Harian Haluan sejak tahun 2000-2007 dalam rubrik
“Parewa Sato Sakaki” diterbitkan Kabarita Padang menjadi sebuah buku yang cukup
tebal 600 halaman.
Rusli Marzuki
Saria lebih dulu mengenal dunia sastra (fiksi) ketimbang jurnalistik (fakta).
Dia sudah berkiprah di kepenulisan fiksi sejak di bangku Sekolah Menengah Atas
(SMA) Bagian "A" Sandhyakala, tempatnya di gedung PSM Atas Ngarai
Bukittinggi, sekarang.
“Sekira tahun 1956, saya
sudah mulai mengirimkan karya saya ke majalah kebudayaan yang terbit di Jakarta,
seperti majalah Konforontasi dan Indonesia. Ada beberapa puisi saya yang
dimuat di sini,” kata Rusli Marzuki Saria, di kediamannya,
Wisma Warta Padang, awal Desember 2017 lalu.
Mamasuki era pergolakan
semasa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), pascaultimatum yang
dikeluarkan Letnan Kolonel Achmad Hussein, Ketua Dewan Perjuangan kepada
pemerintah pusat pada 15 Februari 1958, suasana daerah kian memanas.
“Sebagai anggota
Mobilele Brigade (Mobbrig) saya sudah mulai dinas ke sana ke mari. Saat PRRI
meletus saya mengungsi ke Koto Gadang bersama staf Koordinator Mobbrig Korps
106 Sumatra Tengah. Komandan Koimob 106 waktu itu adalah Komisaris Polisi Amir
Sunaryo, yang tindakan sehari-harinya memihak pusat, artinya memihak
pemerintahan Menteri Djuanda dan Presiden Soekarno,” terangnya.
Rusli Marzuki Saria saat
itu ditugaskan sebagai staf Resimen Divisi Banteng di Jalan Lambow Bukittinggi.
Komadan Resimen Divisi Banteng di Bukittinggi waktu itu Major TNI Sjofyan
Ibrahim.
Kota Bukittinggi
ditinggalkan oleh pasukan-pasukan yang pro PRRI. Rusli Marzuki Sari sebagai
anggota Mobbrig dalam Kompi Mahasiswa Mawar yang dipimpin Zaidal Baharuddin ikut
mundur dari Kota Bukittinggi ke Bukik Kulirik Koto Tangah Tilatang.
Selepas PRRI, setelah
pemerintah pusat mengeluarkan amnesti, Rusli Marzuki Saria dikenakan wajib
lapor ke Kantor Kodim di Bukittinggi. Setelah itu, dia meninggalkan Kota
Bukittingi menuju Kota Padang dengan kartu penduduk yang dilabeliwarna merah dengan
tulisan “tidak boleh meninggalkan daerah”.
“Saya ke Padang, ketika
itu surat kabar Res Publika sudah
terbit, Nasrul Siddik, teman saya di PRRI, sudah jadi wartawan disana. Koran Res Publika punya lembaran kebudayaan yang
digawangi Nasrul Siddik. Saya menulis puisi di koran ini,” cerita Rusli Marzuki
Saria.
Pasca-PRRI memang banyak
surat-surat kabar baru yang terbit, antara lain Aman Makmur, Suara Persatuan,
dan lainnya. Sementara harian Haluanyang
terbit pertama kali tahun 1948 dan diberedel pemerintah pusat karena ditengarai
mendukung PRRI, belum juga bisa diterbitkan. Haluan dilarang terbit selama 10 tahun sejak 1958-1968.
Di Kota Padang, Rusli
Marzuki Saria banyak bergaul dengan wartawan dan budayawan, dan juga sastrawan,
antara lain Nazif Basir, Nasrul Siddik, Chairul Harun, Leon Agusta, AA Navis,
serta lainnya.
Sementara itu, Rusli
Marzuki Saria belum berprofesi sebagai wartawan, tapi tetap menulis puisi dan
karya sastra lainnya. Untuk menyambung hidupnya di Kota Padang, dia bekerja
sebagai tenaga tata usaha di Koperasi Batik Fajar Putra. Koperasi ini satu-satunya
koperasi batik luar Jawa yang menjadi anggota GKBI (Gabungan Koperasi Batik
Indonesia). Dia berkerja di sini sejak 1962 hingga menyatakan berhenti pada
1969, dan memilih profesi sebagai wartawan.
Sekira April 1969, A Kasoema
pemilik harian Haluan menawarkan dan
mengajak Chairul Harun, Syafri Segeh, Rusli Marzuki Saria, Leon Agusta, Annas
Loeboek, Sy. Dt.Tuo F untuk menerbitkan kembali harian Haluan. Tawaran yang dinilai menarik penuh tantangan dari A Kasoema
ini, mereka sambut gembira. Admistrasi dan kelengkapan sebuah penerbitan surat
kabar disiapkan. Sebulan disiapkan, tepat pada tanggal 1 Mei 1969, harian Haluan lahir kembali dengan sambutan
publik yang mengembirakan.
Beberapa bulan
sebelumnya, tepatnya 18 Desember 1968 mingguan Singgalang terbit pertama kalinya yang dipelopori Nasrul Siddik,
Salius Sutan Sati, Nazif Basir dan Basril Djabar.
Pertama kali bekerja di
surat kabar Haluan, Rusli Marzuki
Saria ditugaskan sebagai Sekretaris RedaksiHaluan.
Dirinya bersentuhan dengan dapur redaksi dan mengatur lalu lintas penugasan
wartawan, dan tentu bertugas dalam pencatatan honorarium wartawan.
Galibnya surat-surat
kabar, orang pertama yang menerima komplain dari narasumber berita atau pihak
yang merasa kurang senang dengan pemberitaan ialah Sekretaris Redaksi.
Dikisahkan Rusli Marzuki
Saria, semasa jadi Sekretaris Redaksi di Haluan,
bisa dikatakan dalam satu pekan itu, ada-ada saja yang datang ke kantor dengan
pelbagai perilaku.
“Ada yang datang ke
kantor sambil membentak-bentak dan marah. Dan bertanya sembari menghardik,
Siapa yang menulis berita ini? Mana wartawannya!” kisahnya.
Ada lagi peristiwa yang
hingga kini sulit dilupakannya, yaitu saat dirinya mendapat ancaman todongan
pistol di kepalanya dari seorang oknum tentara ABRI (semasa Orde Baru masih
bernama ABRI), yang memaksanya untuk menyebutkan sumber berita dan wartawan
yang menulis berita terkait dengan sepak terjang oknum militer itu.
“Oknum tentara dari ABRI
itu menodongkan pistol ke kepala saya. Dia datang ke kantor Haluandi Jalan Koto Marapak pagi-pagi
sekali. Tapi saya maklum karena saat itu Sumatera Barat baru lepas dari suasana
PRRI dan masih berbau mesiu senjata. Selain itu, Haluan sendiri pernah memihak PRRI,” cerita sosok yang masih berenergi
walau usianya sudah memasuki 81 tahun ini.
Selain banyak meliput
peristiwa-peristiwa budaya dan sastra, Rusli Marzuki Saria pernah ditugaskan
meliput di Pengadilan Negeri Padang. Dirinya sangat kenal dengan Humas
Pengadilan Negeri saat itu, yaitu Asma Samiak Ibrahim, SH. Sebagai Humas, dia
sangat telaten melayani pertanyaan wartawan.
“Jika ada kasus dan
perkjara yang rumit dan perlu pendalaman, biasanya kasus kriminal dan
perzinaan, Asma akan berkata: “Baca sajalah BAP-nya!” Kalimat ini jadi pemeo di
lingkungan wartawan yang bermarkas di kantor ini,” ujarnya.
Kemampuannya dasar
menulis yang dia miliki tak begitu menyulitkan dirinya sebagai jurnalis. Pada
1971, Rusli Marzuki Saria dipercaya sebagai penanggung jawab rubrik “Sastra dan
Budaya” di surat kabar tempatnya berkarier harian Haluan.
“Saya tak pernah
bayangkan menjadi penanggung jawab dan bekerja menyeleksi tulisan-tulisan yang
berkaitan dengan fiksi dan pemikiran budaya di sebuah surat kabar sebesar Haluan,” ujar Rusli Marzuki Saria yang
namanya berinisial “RMS” dalam tulisan reportasenya.
Rusli Marzuki Saria
menangani dua rubrik, yakni “Remaja Minggu Ini” (RMI) dan “Budaya Minggu (BM).”
Dua rubrik ini cukup fenomenal dalam kancah kepenulisan, terutama di Provinsi
Smatera Barat, Riau, Bengkulu, dan Jambi. Dua rubrik ini tak pernah berpindah
tangan sampai Rusli Marzuki Saria pensiun dari harian Haluan pada 1999. RMI terbit setiap hari Minggu, sedangkan BM hadir
setiap Selasa.
Selain mengasuh dua
rubrik itu, Rusli Marzuk Saria, secara regular juga bertanggung jawab sebagai managing editor, yang tugasnya menyortir
berita-berita nasional dan internasional yang bersumber dari kantor-kantor
berita internasional seperti BBC, VOA, dan berita radio Australia.
Berita-berita itu dikirimkan lewat radiogram, teleks, telefaks, dan lainnya.
Pada tahun 1977,selama 2
bulan Rusli Marzuki Saria mendapat tugas liputan latihan perang Angkatan Laut
Indonesia-Australia di Laut Karang Pasifik. Perjalanan reportasenya dilanjutkan
mengunjungi Kota Cairns dan Townsville yang merupakan sebuah kota di Australia
di bagian timur laut negara bagian Queensland. Lalu dia menuju Kota Dilli
Provinsi Timor-Timur (saat masih dalam NKRI), menulis laporan tentang berbagai
hal yang humanis terkait dengan konflik di provinsi termuda di Indonesia itu.
Kota Kupang di Provinsi Nusa Tenggara Timur pun tak luput dari perhatiannya.
Pada tahun 1984 berangkat
ke Jerman Barat atas undangan Kedutaan Besar Jerman Barat. Dia datang mewakili harian
Haluan. Banyak kota di Jerman Barat
ini didatanginya. Selain Haluan, banyak surat kabar lainnya yang diundang
Pemerintah Jerman Barat. Era ini, karier Rusli Marzuki di dunia kewartawanan
terus bersinar. .
Selain meliput ke luar
negeri, hampir semua kota-kota di Indonesia sudah ia kunjungi, baik untuk
keperluan liputan, diundang untuk menghadiri berbagai kegiatan kewartawanan, juga
memberi materi pelatihan wartawan.
Semasa meniti karier
sebagai wartawan, Rusli Marzuki Saria telah mengikuti Karya Latihan Wartawan
(KLW) yang digelar pada tahun 1973, KLW XVI di Jakarta 1978, KLW di Medan, KLW
di Jogjakarta pada 1991 dan 1992. Dia pernah masuk 10 besar terbaik di
lingkungan wartawan dalam penataran P-4 pola 120 jam di Padang.
Pada tahun 1997, Rusli Marzuki
bersama istrinya menunaikan ibadah haji. Selain beribadah haji, dia juga
menuliskan laporan perjalanannya ke Tanah Suci yang rubriknya diberi nama “Parewa
Naik Haji” di harian Haluan. Pembacanya
merasa cukup senang dengan rubrik ini.
Selain itu, dalam
organisisi profesinya, yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Rusli Marzuki
Saria termasuk salah seorang wartawan yang sangat loyal terhadap harian Haluan. Semenjak dia masuk Haluan pada 1 Mei 1969 hingga pensiun
pada Juli 1999, tak pernah beranjak atau pindah ke media atau surat kabar
lainnya.
Perjalanannya selama 30
tahun mengarungi dunia kewartawanan, telah mengantarkannya banyak menerima
ganjaran atas capaian dan prestasinya.
Bentuk penghargaan atas
pengabdiaan dan kesetiannya pada dunia kewartawanan Rusli Marzuki Saria
menerima apresiasi antara lain Piagam Penghargaan 30 Tahun Kesetiaan Profes
dari PWI Pusat pada 2006, Penghargaan Tuah Sakato atas karya, prestasi dan
dedikasi yang berguna bagi daerah dan masyarakat Sumatera Barat dan dapat diteladani
dari Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Pemerintah Jerman Barat memberikan
penghargaan dari Friedrich Ebert Stiftung (FES) pada 22 September 1978 untuk
Rusli Marzuki Saria.
Dalam organisasi pers, Rusli
Marzuki Saria pernah menjadi Wakil Bendahara PWI Sumbar tahun 1975-1980,
bendahara (1980-1984), dan Ketua I Bidang Organisasi (1984-1988), dan mengikuti
Kongres PWI di Menado tahun 1983.
Kendati Rusli Marzuki
Saria sudah pensiun dari Haluan, dia
tetap setiap Minggu mengisi rubrik “Parewa Sato Sakaki” yang menggunakan bahasa
Minang dengan beragam dialek. Rubrik ini dirawatnya selama 8 tahun sejak 1999
hingga 2007. Kumpulan tulisan ini akan diterbitkan Kabarita dalam bentuk buku
pada 2018 ini dengan judul sama dengan nama rubrik itu: Parewa Sato Sakaki.
Sebagai salah seorang
yang ikut berperan menerbitkan kembali Haluan
setelah dilarang pemerintah selama 10 tahun, Rusli Marzuki Saria yang punya saham
sebagai salah seorang pendiri, menjualnya kepada ahli waris A Kasoema.
“Sebelum Haluan dijual ke Basrizal Koto pada
tahun 2010, saham saya sebagai pendiri saya jual ke pemilik Haluan,” kata Rusli Marzuki Saria.
Sosok yang akrab dengan
anak muda ini dilahirkan di Kamang, Agam, Sumbar, 26 Februari 1936. Menamatkan
SR di Labuah Silang, Kota Payakumbuh. Rusli Marzuki Saria merupakan
satu-satunya anak laki-laki dari 17 orang bersaudara. Ayahnya Wali Nagari
Kamang dan pengusaha bendi yang berhasil dan memiliki istri 23 orang. Rusli
Marzuki Saria merupakan anak tertua dengan dua adik perempuan dari satu ayah
dan satu ibu.
Pada 4 Mei 1963 Rusli
Marzuki Saria menyunting Hanizar Musa yang perhelatannya dilakukan di Kamang,
kampung halamannya. Pasangan yang kini masih dipanjangkan usianya oleh Yang
Maha Kuasa, dikarunia 4 orang anak, 2 laki-laki, dan 2 perempuan.
“Keempat anak saya tamat
di Perguruan Tinggi tapi tak ada yang mengikuti jejak ayahnya sebagai penulis.
Semua sudah berumah tangga dan saya sudah punya 10 cucu,” kata Rusli Marzuki
Saria, yang hingga kini selalu ikut menghadiri kegiatan sastra yang dilakukan
anak-anak muda di Sumatera Barat.
Dia mengaku hingga kini
terus membaca, menulis, membaca karena tak ada kata berhenti belajar bagi
seorang wartawan. “Bagi wartawan berlaku belajar sepanjang hidup.”
Daftar
Acuan
1. Eva Krisna,
Tahhiha Darman Moenir, dan Krisnawati, 2011, Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat. Padang:
Balai Bahasa Sumatera Barat.
2.
PWI Sumbar, 2011. Jejak Langkah Wartawan Senior. Padang: PWI Sumbar
3.
Wawancara dengan Rusli Marzuki Saria di
kediamannya Wisma Warta Ulak Karang, Padang, Sabtu, 16 Desember 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar