Sabtu, 27 Oktober 2018

Rusli Marzuki Saria, Wartawan Mantan Pejuang PRRI


OLEH Nasrul Azwar (Jurnalis)
Rusli Marzuki Saria (Foto Faiz)
Saat artikel ini rampung ditulis pada medio Desember 2017, Rusli Marzuki Saria belum mendapat undangan berangkat ke Thailand untuk menerima “SEA Write Award 2017” dari Kerajaan Thailand. Penghargaan ini rencananya akan diserahkan pada Oktober 2017 tapi karena alasan yang belum diketahui dari pihak panitia, sosok yang akrab dipanggil “Papa” hingga kini masih bersifat menunggu informasi lebih lanjut.
Buku kumpulan puisi Rusli Marzuki Saria One by One Line by Line yang bilingual ini diterbitkan Kabarita Padang (2014), meraih hadiah sastra bergengsi, yang juga disebut “Nobel Sastra”nya Asia Tenggara, pada tahun 2017.
“Inilah puncak capaian Papa Rusli Marzuki Saria, salah seorang sastrawan dan budayawan Sumatera Barat yang membanggakan kita,” kata Yusrizal KW, pendiri penerbit Kabarita, yang juga seorang sastrawan itu.

Pada tahun yang sama, Rusli Marzuki Saria juga menerima Penghargaan Sastra Indonesia 2017 dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Selain dia, ada dua orang sastrawan asal Sumatera Barat yang menerima perhargaan serupa, yaitu Muhammad Ibrahim Ilyas dan Hendri Tedja.
Pada tahun 2017, esai berbahasa Minangkabau yang ia tulis setiap Minggu di Harian Haluan sejak tahun 2000-2007 dalam rubrik “Parewa Sato Sakaki” diterbitkan Kabarita Padang menjadi sebuah buku yang cukup tebal 600 halaman.  
Rusli Marzuki Saria lebih dulu mengenal dunia sastra (fiksi) ketimbang jurnalistik (fakta). Dia sudah berkiprah di kepenulisan fiksi sejak di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) Bagian "A" Sandhyakala, tempatnya di gedung PSM Atas Ngarai Bukittinggi, sekarang.
“Sekira tahun 1956, saya sudah mulai mengirimkan karya saya ke majalah kebudayaan yang terbit di Jakarta, seperti majalah Konforontasi dan Indonesia. Ada beberapa puisi saya yang dimuat di sini,” kata Rusli Marzuki Saria, di kediamannya, Wisma Warta Padang, awal Desember 2017 lalu.
Mamasuki era pergolakan semasa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), pascaultimatum yang dikeluarkan Letnan Kolonel Achmad Hussein, Ketua Dewan Perjuangan kepada pemerintah pusat pada 15 Februari 1958, suasana daerah kian memanas.
“Sebagai anggota Mobilele Brigade (Mobbrig) saya sudah mulai dinas ke sana ke mari. Saat PRRI meletus saya mengungsi ke Koto Gadang bersama staf Koordinator Mobbrig Korps 106 Sumatra Tengah. Komandan Koimob 106 waktu itu adalah Komisaris Polisi Amir Sunaryo, yang tindakan sehari-hari­nya memihak pusat, artinya memihak pemerintahan Menteri Djuanda dan Presi­den Soekarno,” terangnya.
Rusli Marzuki Saria saat itu ditugaskan sebagai staf Resimen Divisi Banteng di Jalan Lambow Bukittinggi. Komadan Resimen Divisi Banteng di Bukittinggi waktu itu Major TNI Sjofyan Ibrahim.
Kota Bukittinggi ditinggalkan oleh pasukan-pasukan yang pro PRRI. Rusli Marzuki Sari sebagai anggota Mobbrig dalam Kompi Mahasiswa Mawar yang dipimpin Zaidal Baharuddin ikut mundur dari Kota Bukittinggi ke Bukik Kulirik Koto Tangah Tilatang.
Selepas PRRI, setelah pemerintah pusat mengeluarkan amnesti, Rusli Marzuki Saria dikenakan wajib lapor ke Kantor Kodim di Bukittinggi. Setelah itu, dia meninggalkan Kota Bukittingi menuju Kota Padang dengan kartu penduduk yang dilabeliwarna merah dengan tulisan “tidak boleh meninggalkan daerah”.
“Saya ke Padang, ketika itu surat kabar Res Publika sudah terbit, Nasrul Siddik, teman saya di PRRI, sudah jadi wartawan disana. Koran Res Publika punya lembaran kebudayaan yang digawangi Nasrul Siddik. Saya menulis puisi di koran ini,” cerita Rusli Marzuki Saria.
Pasca-PRRI memang banyak surat-surat kabar baru yang terbit, antara lain Aman Makmur, Suara Persatuan, dan lainnya. Sementara harian Haluanyang terbit pertama kali tahun 1948 dan diberedel pemerintah pusat karena ditengarai mendukung PRRI, belum juga bisa diterbitkan. Haluan dilarang terbit selama 10 tahun sejak 1958-1968.
Di Kota Padang, Rusli Marzuki Saria banyak bergaul dengan wartawan dan budayawan, dan juga sastrawan, antara lain Nazif Basir, Nasrul Siddik, Chairul Harun, Leon Agusta, AA Navis, serta lainnya.
Sementara itu, Rusli Marzuki Saria belum berprofesi sebagai wartawan, tapi tetap menulis puisi dan karya sastra lainnya. Untuk menyambung hidupnya di Kota Padang, dia bekerja sebagai tenaga tata usaha di Koperasi Batik Fajar Putra. Koperasi ini satu-satunya koperasi batik luar Jawa yang menjadi anggota GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia). Dia berkerja di sini sejak 1962 hingga menyatakan berhenti pada 1969, dan memilih profesi sebagai wartawan.
Sekira April 1969, A Kasoema pemilik harian Haluan menawarkan dan mengajak Chairul Harun, Syafri Segeh, Rusli Marzuki Saria, Leon Agusta, Annas Loeboek, Sy. Dt.Tuo F untuk menerbitkan kembali harian Haluan. Tawaran yang dinilai menarik penuh tantangan dari A Kasoema ini, mereka sambut gembira. Admistrasi dan kelengkapan sebuah penerbitan surat kabar disiapkan. Sebulan disiapkan, tepat pada tanggal 1 Mei 1969, harian Haluan lahir kembali dengan sambutan publik yang mengembirakan.
Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya 18 Desember 1968 mingguan Singgalang terbit pertama kalinya yang dipelopori Nasrul Siddik, Salius Sutan Sati, Nazif Basir dan Basril Djabar.
Pertama kali bekerja di surat kabar Haluan, Rusli Marzuki Saria ditugaskan sebagai Sekretaris RedaksiHaluan. Dirinya bersentuhan dengan dapur redaksi dan mengatur lalu lintas penugasan wartawan, dan tentu bertugas dalam pencatatan honorarium wartawan.
Galibnya surat-surat kabar, orang pertama yang menerima komplain dari narasumber berita atau pihak yang merasa kurang senang dengan pemberitaan ialah Sekretaris Redaksi.
Dikisahkan Rusli Marzuki Saria, semasa jadi Sekretaris Redaksi di Haluan, bisa dikatakan dalam satu pekan itu, ada-ada saja yang datang ke kantor dengan pelbagai perilaku.
“Ada yang datang ke kantor sambil membentak-bentak dan marah. Dan bertanya sembari menghardik, Siapa yang menulis berita ini? Mana wartawannya!” kisahnya.
Ada lagi peristiwa yang hingga kini sulit dilupakannya, yaitu saat dirinya mendapat ancaman todongan pistol di kepalanya dari seorang oknum tentara ABRI (semasa Orde Baru masih bernama ABRI), yang memaksanya untuk menyebutkan sumber berita dan wartawan yang menulis berita terkait dengan sepak terjang oknum militer itu. 
“Oknum tentara dari ABRI itu menodongkan pistol ke kepala saya. Dia datang ke kantor Haluandi Jalan Koto Marapak pagi-pagi sekali. Tapi saya maklum karena saat itu Sumatera Barat baru lepas dari suasana PRRI dan masih berbau mesiu senjata. Selain itu, Haluan sendiri pernah memihak PRRI,” cerita sosok yang masih berenergi walau usianya sudah memasuki 81 tahun ini.
Selain banyak meliput peristiwa-peristiwa budaya dan sastra, Rusli Marzuki Saria pernah ditugaskan meliput di Pengadilan Negeri Padang. Dirinya sangat kenal dengan Humas Pengadilan Negeri saat itu, yaitu Asma Samiak Ibrahim, SH. Sebagai Humas, dia sangat telaten melayani pertanyaan wartawan.
“Jika ada kasus dan perkjara yang rumit dan perlu pendalaman, biasanya kasus kriminal dan perzinaan, Asma akan berkata: “Baca sajalah BAP-nya!” Kalimat ini jadi pemeo di lingkungan wartawan yang bermarkas di kantor ini,” ujarnya.
Kemampuannya dasar menulis yang dia miliki tak begitu menyulitkan dirinya sebagai jurnalis. Pada 1971, Rusli Marzuki Saria dipercaya sebagai penanggung jawab rubrik “Sastra dan Budaya” di surat kabar tempatnya berkarier harian Haluan.
“Saya tak pernah bayangkan menjadi penanggung jawab dan bekerja menyeleksi tulisan-tulisan yang berkaitan dengan fiksi dan pemikiran budaya di sebuah surat kabar sebesar Haluan,” ujar Rusli Marzuki Saria yang namanya berinisial “RMS” dalam tulisan reportasenya.
Rusli Marzuki Saria menangani dua rubrik, yakni “Remaja Minggu Ini” (RMI) dan “Budaya Minggu (BM).” Dua rubrik ini cukup fenomenal dalam kancah kepenulisan, terutama di Provinsi Smatera Barat, Riau, Bengkulu, dan Jambi. Dua rubrik ini tak pernah berpindah tangan sampai Rusli Marzuki Saria pensiun dari harian Haluan pada 1999. RMI terbit setiap hari Minggu, sedangkan BM hadir setiap Selasa.
Selain mengasuh dua rubrik itu, Rusli Marzuk Saria, secara regular juga bertanggung jawab sebagai managing editor, yang tugasnya menyortir berita-berita nasional dan internasional yang bersumber dari kantor-kantor berita internasional seperti BBC, VOA, dan berita radio Australia. Berita-berita itu dikirimkan lewat radiogram, teleks, telefaks, dan lainnya.
Pada tahun 1977,selama 2 bulan Rusli Marzuki Saria mendapat tugas liputan latihan perang Angkatan Laut Indonesia-Australia di Laut Karang Pasifik. Perjalanan reportasenya dilanjutkan mengunjungi Kota Cairns dan Townsville yang merupakan sebuah kota di Australia di bagian timur laut negara bagian Queensland. Lalu dia menuju Kota Dilli Provinsi Timor-Timur (saat masih dalam NKRI), menulis laporan tentang berbagai hal yang humanis terkait dengan konflik di provinsi termuda di Indonesia itu. Kota Kupang di Provinsi Nusa Tenggara Timur pun tak luput dari perhatiannya.
Pada tahun 1984 berangkat ke Jerman Barat atas undangan Kedutaan Besar Jerman Barat. Dia datang mewakili harian Haluan. Banyak kota di Jerman Barat ini didatanginya. Selain Haluan, banyak surat kabar lainnya yang diundang Pemerintah Jerman Barat. Era ini, karier Rusli Marzuki di dunia kewartawanan terus bersinar.  .
Selain meliput ke luar negeri, hampir semua kota-kota di Indonesia sudah ia kunjungi, baik untuk keperluan liputan, diundang untuk menghadiri berbagai kegiatan kewartawanan, juga memberi materi pelatihan wartawan.
Semasa meniti karier sebagai wartawan, Rusli Marzuki Saria telah mengikuti Karya Latihan Wartawan (KLW) yang digelar pada tahun 1973, KLW XVI di Jakarta 1978, KLW di Medan, KLW di Jogjakarta pada 1991 dan 1992. Dia pernah masuk 10 besar terbaik di lingkungan wartawan dalam penataran P-4 pola 120 jam di Padang. 
Pada tahun 1997, Rusli Marzuki bersama istrinya menunaikan ibadah haji. Selain beribadah haji, dia juga menuliskan laporan perjalanannya ke Tanah Suci yang rubriknya diberi nama “Parewa Naik Haji” di harian Haluan. Pembacanya merasa cukup senang dengan rubrik ini.
Selain itu, dalam organisisi profesinya, yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Rusli Marzuki Saria termasuk salah seorang wartawan yang sangat loyal terhadap harian Haluan. Semenjak dia masuk Haluan pada 1 Mei 1969 hingga pensiun pada Juli 1999, tak pernah beranjak atau pindah ke media atau surat kabar lainnya.
Perjalanannya selama 30 tahun mengarungi dunia kewartawanan, telah mengantarkannya banyak menerima ganjaran atas capaian dan prestasinya.
Bentuk penghargaan atas pengabdiaan dan kesetiannya pada dunia kewartawanan Rusli Marzuki Saria menerima apresiasi antara lain Piagam Penghargaan 30 Tahun Kesetiaan Profes dari PWI Pusat pada 2006, Penghargaan Tuah Sakato atas karya, prestasi dan dedikasi yang berguna bagi daerah dan masyarakat Sumatera Barat dan dapat diteladani dari Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Pemerintah Jerman Barat memberikan penghargaan dari Friedrich Ebert Stiftung (FES) pada 22 September 1978 untuk Rusli Marzuki Saria.
Dalam organisasi pers, Rusli Marzuki Saria pernah menjadi Wakil Bendahara PWI Sumbar tahun 1975-1980, bendahara (1980-1984), dan Ketua I Bidang Organisasi (1984-1988), dan mengikuti Kongres PWI di Menado tahun 1983.
Kendati Rusli Marzuki Saria sudah pensiun dari Haluan, dia tetap setiap Minggu mengisi rubrik “Parewa Sato Sakaki” yang menggunakan bahasa Minang dengan beragam dialek. Rubrik ini dirawatnya selama 8 tahun sejak 1999 hingga 2007. Kumpulan tulisan ini akan diterbitkan Kabarita dalam bentuk buku pada 2018 ini dengan judul sama dengan nama rubrik itu: Parewa Sato Sakaki. 
Sebagai salah seorang yang ikut berperan menerbitkan kembali Haluan setelah dilarang pemerintah selama 10 tahun, Rusli Marzuki Saria yang punya saham sebagai salah seorang pendiri, menjualnya kepada ahli waris A Kasoema. 
“Sebelum Haluan dijual ke Basrizal Koto pada tahun 2010, saham saya sebagai pendiri saya jual ke pemilik Haluan,” kata Rusli Marzuki Saria.
Sosok yang akrab dengan anak muda ini dilahirkan di Kamang, Agam, Sumbar, 26 Februari 1936. Menamatkan SR di Labuah Silang, Kota Payakumbuh. Rusli Marzuki Saria merupakan satu-satunya anak laki-laki dari 17 orang bersaudara. Ayahnya Wali Nagari Kamang dan pengusaha bendi yang berhasil dan memiliki istri 23 orang. Rusli Marzuki Saria merupakan anak tertua dengan dua adik perempuan dari satu ayah dan satu ibu.
Pada 4 Mei 1963 Rusli Marzuki Saria menyunting Hanizar Musa yang perhelatannya dilakukan di Kamang, kampung halamannya. Pasangan yang kini masih dipanjangkan usianya oleh Yang Maha Kuasa, dikarunia 4 orang anak, 2 laki-laki, dan 2 perempuan.
“Keempat anak saya tamat di Perguruan Tinggi tapi tak ada yang mengikuti jejak ayahnya sebagai penulis. Semua sudah berumah tangga dan saya sudah punya 10 cucu,” kata Rusli Marzuki Saria, yang hingga kini selalu ikut menghadiri kegiatan sastra yang dilakukan anak-anak muda di Sumatera Barat.
Dia mengaku hingga kini terus membaca, menulis, membaca karena tak ada kata berhenti belajar bagi seorang wartawan. “Bagi wartawan berlaku belajar sepanjang hidup.”

Daftar Acuan
1.       Eva Krisna, Tahhiha Darman Moenir, dan Krisnawati, 2011, Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat. Padang: Balai Bahasa Sumatera Barat.
2.      PWI Sumbar, 2011. Jejak Langkah Wartawan Senior. Padang: PWI Sumbar
3.      Wawancara dengan Rusli Marzuki Saria di kediamannya Wisma Warta Ulak Karang, Padang, Sabtu, 16 Desember 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...