OLEH
Buya Masoed Abidin (Ulama)
Di
bawah ini adalah sebuah penjelasan model kepemimpinan dalam suatu masyarakat di
Minangkabau, Sumatera Barat, yang masih dipraktekan sampai hari ini.
Kepemimpinan
yang mengutamakan kebajikan dan kebijaksanaan ini bersumber kepada kitabullah
dan sunnah, tanpa mempertentangkan adat dan agama tapi menyatukannya dalam
bentuk kepimpinan yang telah mengakar pada kondisi masyarakat Nusantara, jadi
bukan dipaksakan dari budaya Spanyol ataupun Arab dan juga bukan kepemimpinan
model demokrasi yang tidak lain adalah pintu belakang dari kapitalisme global
(jaringan lintah darat perbankan), dimana praktek riba dihalalkan atas nama
‘suara rakyat’.
Bagi
masyarakat Minang dalam melaksanakan “Adaik Basandi Syara’, Syara’ Basandi
Kitabullah disimpulkan lagi dengan Kalimat “Syara’ mangato Adaik mamakai” yang
artinya Islam mengajarkan, memerintahkan menganjurkan sedangkan Adat
melaksanakannya, dalam arti yang sesungguhnya bahwa Islam di Minangkabau
diamalkan dengan gaya adat Minang dan serta jelas adat Minang dilaksanakan
menurut ajaran Islam dengan landasan dan acuan dari Alquran dan Sunnah Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wassalam yang intinya bahwa “Adat Minangkabau Itu Adalah
Agama Islam”.
Penghulu dan Ninik Mamak
di Minangkabau
Penghulu
(dalam bahasa Minang disebut Pangulu) dan ninik mamak di Minangkabau mempunyai
peranan yang sangat penting dan menentukan dalam kekuatan kekerabatan adat
Minang itu sendiri, tanpa penghulu dan ninik mamak suatu nagari di Minangkabau
diibaratkan seperti kampung atau negeri yang tidak bertuan karena tidak akan
jalan tatanan adat yang dibuat: Elok
nagari dek pangulu sumarak nagari dek nan mudo.
Pangulu
berasal dari kata pangka dan hulu (pangkal dan hulu). Pangkal artinya
tampuk atau tangkai yang akan jadi pegangan, sedangkan hulu artinya asal atau
tempat awal keluar atau terbitnya sesuatu, maka pangulu di Minangkabau artinya
yang memegang tampuk tangkai yang akan menjadi pengendali pengarah pengawas
pelindung terhadap anak kemenakan serta tempat keluarnya sebuah aturan dan
keputusan yang dibutuhkan oleh masyarakat anak kemenakan yang dipimpin pangulu,
Tampuak tangkai didalam suku nan mahitam
mamutiahkan tibo dibiang kamancabiak tibo digantaiang kama mutuih
Pengertian Ninik Mamak
Ninik
mamak adalah merupakan satu kesatuan dalam sebuah lembaga perhimpunan Pangulu
dalam suatu kanagarian di Minangkabau yang terdiri dari beberapa Datuk-datuk
kepala suku atau pangulu suku atau kaum yang mana mereka berhimpun dalam satu
kelembagaan yang disebut Kerapatan Adat Nagari (KAN).
Di antara
para datuk-datuk atau ninik mamak itu dipilih salah satu untuk menjadi ketuanya
itulah yang dinamakan Ketua KAN. Orang-orang yang tergabung dalam KAN inilah
yang disebut ninik mamak, Niniak mamak
dalam nagari pai tampek batanyo pulang tampek babarito.
Pengertian Datuak
(Datuk)
Datuak
(Datuk) adalah gelar pusako adat dalam suatu suku atau kaum yang diberikan
kepada seseorang dalam suku atau kaum itu sendiri dengan dipilih atau ditunjuk
dan diangkat oleh anak kemenakan suatu suku atau kaum yang bersangkutan melalui
upacara adat dengan syarat-sayarat tertentu menurut adat Minang.
Seorang
Datuak dia adalah panghulu dalam suku atau kaumnya dan sekaligus menjadi ninik
mamak dalam nagarinya, dengan pengertian yang lebih rinci lagi: Datuak
gelarnya, Panghulu Jabatannya dan Ninik mamak lembaganya dalam nagari.
Sebagai
Datuak dia harus menjaga martabatnya karena gelar datuak yang disandangnya
adalah gelar kebesaran pusaka adat dalam suku atau kaumnya, banyak pantangan
dan larangan yang tidak boleh dilanggar oleh seseorang yang bergelar datuak dan
tidak sedikit pula sifat-sifat positif yang wajib dimilikinya.
Sebagai
Panghulu dia harus tau tugas dan tanggung jawabnya terhadap saudara dan
kemenakannya dalam membina, mengayomi, melindungi dan mengatur pemanfaatan
harta pusaka tinggi dan tanah ulayat untuk kemakmuran saudara dan kemenakannya,
namun dia juag harus tetap menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai
kepala keluarga di rumah tangganya terhadap anak dan istrinya: Anak dipangku jo pancarian, kamanakan
dibimbiang jo pusako.
Sebagai
anggota Ninik Mamak dia adalah perwakilan dari kaumnya (dalam istilah Minang
disebut Andiko) dalam pemerintahan nagari yang mewakili konstituennya untuk
menyampaikan dan memperjuangakan aspirasi kaum yang dipimpinnya serta untuk
membantu menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul pada anak kemenakannya
dalam nagari: Andiko didalam kampuang
kusuak nan kamanyalasai karuah nan kamampajaniah.
Berbagai
permasalahan anak kemenakan yang berhubungan dengan hidup bernagari dan
berkorong kampung dibahas oleh ninik mamak dari berbagai pengulu kepala suku
atau atau datuk – datuk kaum bersama alim ulama cerdik pandai serta
pemerintahan nagari di Balai Adat yang disebut Balerong dalam Kerapatan Adat
Nagari (KAN): Balerong ditanah Minang
tampek duduk nak samo randah, tampek tagak nak samo tinggi, tampek duduak
bajalan baiyo, tampek tagak bakato bamolah, tampek manjari bana nan saukua nak
tibo kato dimufakat, tampek mahukum nak samo adia, tampek mambagi nak samo
banyak.
Hasil
musyawarah dan mufakat inilah yang dijadikan pedoman dalam menata kehidupan
bermasyarakat di dalam suatu kenagarian dan disinilah dirumuskan Adat nan
diadatkan beserta adat istiadat yang
disesuaikan dengan kebutuhan situasi kondisi serta perkembangan masyarakat dan
kemajuan zaman yang tentunya tetap mengacu kepada landasan: Adat Basandi Syarak
Syarak Basandi Kitabullah.
Dalam
melaksanakan tugasnya Pangulu
dipanggil dengan sebutan Urang nan gadang
basa batuah, dia gadang pada kaumnya dia basa pada sukunya dan dia batuah
dalam nagari, gadang dalam kaumnya artinya seorang pengulu dia dibesarkan atau
dituakan selangkah dalam kaumnya, dan basa pada sukunya artinya dia menjadi
panutan, pemimpin pengatur dalam sukunya, sedangkan batuah dalam nagari artinya
seorang pangulu karena dia ninik mamak maka apa-apa yang dikatakan dan
diperbuatnya juga menjadi acuan sehingga dia disegani dan dihormati dalam
nagari.
Seorang
panghulu adalah pucuk pimpinan dalam kaumnya pada suatu unit pemerintahan dalam
nagari, panghulu dibantu oleh tiga unsur perangkat adat, yaitu:
Malin
yang membidangi persoalan agama; Manti sebagai pelaksana kebijakan; Dubalang
yang bertanggung jawab terhadap keamanan. inilah yang disebut urang nan ampek
jinih, yaitu Panghulu, Malin, Manti dan dubalang.
Memilih
dan mengukuhkan seorang Panghulu atau Datuak. Seorang Datuak atau panghulu
dipilih dan diangkat apabila terjadi beberapa hal dalam suatu suku atau kaum:
Apa
bila Datuak atau Panghulu yang terdahulu talah meninggal dunia _(Patah tumbuah
hilang baganti).
Apa
bila Datuak atau Panghulu yang saat ini sedang menyandang gelar datuak telah
berusia lanjut atau dalam keadaan sakit berat dan tidak mungkin atau sanggup
lagi untuk menjalankan tugas-tugasnya sebagai Datuak atau Panghulu. (Hilang
dicari lapuak diganti).
Apa
bila Datuak yang sedang menyandang gelar Datuak atau Panghulu saai ini
mengundurkan diri minta diganti. (Malatak-an gala).
Apa
bila terjadi pelanggaran moral, adat dan agama serta hukum yang berlaku lainnya
oleg orang yang menyandang gelar Datuak atau Panghulu saat ini dan anak
kemenakan sepakat untuk menggantinya. (Mambuek cabuah jo sumbang salah).
Kalau
ada Datauk atau panghulu yang sudah lama tidak di angkat karena sesuatu hal dan
saat ini sudah memnuhi syarat untuk diangkat (Mambangkik Batang Tarandam).
Dalam
tatanan adat Minangkabau ada 2 cara memilih seorang pangulu atau datuak:
Menurut
adat Suku Bodi Chaniago dan pecahannya (banyak lagi nama suku suku yang lain
pecahan dari suku asal Bodi dan Chaniago ata Koto Piliang) seorang pangulu atau
datuak dipilih secara musyawarah mufakat oleh anak kemenakan suku tersebut
berdasarkan syarat-syarat tertentu dengan mempertimbangkan mungkin dan patut,
dalam istilah adat disebut: Hilang dicari
lapuak diganti, duduak samo randah tagak samo tinggi, duduak saamparan tagak
sapamatang.
Menurut
adat suku Koto Piliang dan pecahannya seorang panghulu atau datauak dipilih
berdasarkan keturunan dan pergiliran gelar panghulu tersebut dalam suku atau
kaum itu berdasarkan syarat-syarat tertentu dengan mempertimbangkan mungkin dan
patut, dalam istilah adat disebut: Ramo
ramo sikumbang jati katik endah pulang bakudo, patah tumbuah hilang baganti
pusako lakek kanan mudo”, rueh tumbuah dimato.
Syarat-syarat
seseorang dipilih menjadi seorang pangulu atau datuak :
Memenuhi
4 sifat Nabi, yakni sidik, tabligh, amanah, dan fathanah.
Kemudian
memiliki kearifan antaranya, loyalitas yang tinggi terhadap kaum, suku, anak
kemenakan dan nagari.
Berilmu
pengetahuan tentang adat dan agama dan lain lain.
Adil
dalam memimpin anak kemenakan dan keluarga.
Berani
dalam menegakkan kebenaran dan mencegah kebathilan.
Taat
menjalankan ajaran agama dan adat.
Tidak
cacat moral dimata masyarakat dalam nagari.
Mungkin dan patut, ini yang paling dipertimbangkan,
karena ada orang yang mungkin tapi tidak patut, dan ada yang patut tapi tidak
mungkin, contohnya adalah ada orang yang memenuhi syarat-syarat diatas tetapi
di hidup di rantau yang jauh, di mungkin menjadi panghulu tetapi tidak patut
karena dia jauh dirantau sedangkan dia akan mengayomi dan mengurus anak
kemenakannya dikampung, atau ada yang tinggal dikampung namun tidak memenuhi
syarat jadi panghulu, dia patut jadi panghulu tapi tidak mungkin karena kurang
persyaratan, yang masuk menurut logika, batamu
mungkin jo patuik sasuai ukua jo jangko takanak barih jo balabeh lah tibo
wakatu jo musimnyo disitu alek dibuek.
Seorang
penghulu dalam masyarakat Minangkabau sebenarnya bukanlah sembarang orang,
tetapi adalah orang-orang pilihan.
Untuk
bisa diangkat sebagai seorang penghulu harus memenuhi beberapa kriteria dan
persyaratan yang melekat pada diri orang bersangkutan. Artinya, syarat-syarat
seorang penghulu itu tidak ditentukan oleh syarat-syarat sebagaimana adanya pada
pemimpin formal (pemerintahan).
Seseorang
untuk diangkat menjadi panghulu untuk memimpin kaumnya harus terdapat beberapa
sifat dan martabat seorang panghulu.
Budi yang baik dan
bicaranya yang halus
merupakan sisi yang tidak bisa diabaikan dari sosok seseorang untuk bisa
diangkat menjadi penghulu di kaumnya.
Dalam
hal ini sosok panghulu itu tergambar dari sifat dan martabat yang ada pada
seorang panghulu.
Adapun
martabat seorang penghulu di Minangkabau, yaitu: Pertama, berakal dan kuat
pendirian; Kedua, berilmu, berpaham, berma’rifat; Ketiga, ujud yakin, tawakal
pada Allah; Keempat, kaya dan miskin pada hati dan kebenaran; Kelima, murah dan
mahal pada laku dan perangai yang berpatutan; Keenam, hemat dan cermat,
mengenai awal dan akhir; Ketujuh, ingat dan ahli pada adat.
Dengan
martabat seorang penghulu yang demikian, maka wajarlah apabila dalam masyarakat
Minagkabau seorang penghulu sangat disegani dan dihormati, terutama oleh
kaummnya.
Di
samping sifat tersebut, seorang panghulu seperti telah disebutkan di atas harus
memakai *sifat yang empat*, dan menyempurnakan dengan syarat yang kelima yakni:
Pertama Siddiq. Artinya benar dan tidak merubah yang benar
kepada yang salah. Kedua Tabligh, kuat berbuat pada kebaikan . Seorang penghulu
menyampaikan hukum syarak kepada seluruh rakyat ataukaum kerabatnya. Ketiga Amanah, memperbaiki parak parik pagar
nageri (memelihara negeri). Seorang penghulu tidak menyembunyikan hukum syarak
kepada yang sepatutnya.
Kempat, Fathanah. Kesempurnaan cerdik dan kuat
menghasilkan pekerjaan negeri seorang penghulu memelihara agama dan harta,
dalam hubungan ini soal memelihara agama itu ada empat perkaranya, yakni; Iman,
Islam, Tauhid dan Ma’rifat. Kelima menyelesaikan
benang kusut dalam nagari sama kepada
anak buah, dan sama kepada handai tolan serta kaumnya.
Dengan
demikian, dari eksistensi, martabat serta sifat dari seorang penghulu dalam
masyarakat adat Minangkabau seperti yang dikemukakan di atas, bisa dibayangkan
betapa sejuknya kehidupan suatu kaum di Minangkabau di bawah kepemimpinan
penghulunya.
Artinya,
seorang panghulu tidaklah seorang penguasa melainkan seorang pemimpin. Meskipun
kemudian masih bisa diperdebatkan, adakah sosok ideal yang sempurna
danseratuspersen dari seorang penghulu dengan martabat dan sifat penghulu yang
demikian ? Mungkin.
Tetapi,
setidaknya nilai-nilai itu harus ada sekalipun terdapat sisi lebih dan kurang,
tetapi ukur dan jangkanya terhadap seseorang penghulu itu sudah ditetapkan.
Kemudian
yang kita lihat dalam keseharian dari martabat dan sifat penghulu itu adalah
kadarnya. Apalagi dalam konteks ini seorang penghulu timbul dari mufakat dan
ini yang kemudian membedakannya dengan pemimpin formal yang timbul dari suatu
pemlihan dalam perebutan kekuasaan.
Dalam
masyarakat Minangkabau yang sejati, seorang penghulu memimpin kaumnya adalah
kehendak kaumnya. Seseorang tidak bisa menjadi penghulu karena kehendak
dirinya.
Bahwa
sifat-sifat seorang panghulu seperti dikemukakan di atas ditambah lagi sifat
penghulu itu dengan cerdik, tahu dan pandai serta fasih lidahnya berkata-kata
dengan lunak lembut yang menjadi kunci bagi hati segala manusia.
Setelah
pangulu dipilih dengan musyawarah mufakat secara adat antara anak kemenakan
dalam suatu suku atau kaum maka segenap anak kemenakan atau kaum tersebut
mempersiapkan acar pengukuhan pada sebuah upacara adat perjamuan Baralek gadang
dalam nagari dan ini disebut malewakan
kanan rami, bia basuluah mato hari bagalanggang mato rang banyak.
Dalam
perjamuan baralek gadang pengukuhan
seorang panghulu terdapat beberapa symbol-simbol adat diantaranya adalah mambantai kabau, kabau didabiah tanduak dibanam darah dikacau dagiang dilapah (menyembelih kerbau, kerbau disembelih,
tanduk ditanam, darah dikacau daging dimakan) pengertian menyembelih kerbau
adalah membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri seorang panghulu.
Tanduk ditanam artinya membuang
sifat-sifat hewani yang cendrung melukai dan membinasakan dari jiwa seorang
panghulu pemimpin adat.
Sedangkan
pengertian darah dikacau adalah mendinginkan
darah yang panas dalam hati seorang pemimpin karena seorang panghulu harus
berjiwa teduh mengayomi dia harus tau kalau dia adalah pemimpin tidak boleh
berhati dan berdarah panas dalam menghadapi orang yang dipimpinnya.
Pengertian
daging dilapah adalah bahwa seorang ninik
mamak dia adalah tempat mengadu anak kemenakannya dikala susah dan kelaparan,
dengan harta pusaka tinggi dan ulayat yang diaturnya adalah untuk kemakmuran
anak kemenakannya, “Kok panghulu lai
dinan bana bumi sanang padi manjadi taranak bakambang biak anak kamanakan
basanang hati urang kampuang sato manyukoi”.
Marawa
dipancangkan (mengibarkan umbul-umbul) dimedan perhelatan.
Marawa
3 warna: kuning, merah dan hitam berdiri kokoh menjulang tinggi ke udara namun
ujungnya menjulai tunduk ke bawah dengan pengertian: Warna kuning melambangkan
kekuasaan seorang panghulu (mahukum adia
bakato bana). Warna merah melambangkan keberanian (barani karano bana, takuaik karano salah). Warna hitam melambangkan kesabaran dan
ketabahan seorang panghulu dalam mengahadapi anak kemenakannya.
Berdiri
kokoh menjulang tinggi artinya seorang panghulu harus mempunyai wibawa dan
kharismatik di tengah-tengah kaum dan masyarakat dalam nagari.
Ujung marawa menjulai
tunduk ke bawah
melambangkan walau panghulu orang yang ditinggikan seranting dan didahulukan
selangkah namun dia tetap harus melihat kebawah memperhatikan dan mengayomi
orang yang dipimpinnya dengan rendah hati memakai ilmu padi semakin berisi
semakin tunduk.
Malatuihan badia
sadantam (meletuskan
bedil sedantam) nan gaganyo karonggo bimi
dantangnyo sampai kalangik (gegernya kerongga bumi gaumnya sampai ke
langit) itulah ikrar seorang panghulu kepada manusia dan janjinya kepada Allah
sebagai sumpah jabatan yang mesti dipertanggung jawabkan.
Kedaulatan Seorang
Datuak atau Pangulu
Kedaulatan
seorang datuak atau panghulu di Minangkabau tidak lebih seperti kekuatan
seorang ketua sebuah organisasi dia ada karena dipilih dan diangkat oleh
kaumnya “nan diamba gadang dianjuang tinggi”, gadangnyo karano diamba tinggunyo karano
dianjuang, apa bila anak kemenakan meninggikan dia maka tinggilah dia,
tinggi dimata anak kemenakan dan tinggi dimata urang nagari tapi kalau anak
kemenakan sudah tidak menghormatinya lagi maka dengan sendirinya hilang pulalah
kehormatan seorang datuak atau panghulu.
Pemberhentian
seorang Datuak atau panghulu tidaklah harus menunggu satu priode masa jabatan
karena tidak ada batasan masa jabatan seorang Panghulu atau datuak di Ranah
Minang, kalau seorang datuak atau panghulu telah berbuat sumbang salah menurut
adat dan agama maka gelar datauak atau pengulunya sudah bisa dilucuti atau
diberhentikan jadi datauak atau pangulu dan menggantinya dengan yang lain. “Kalau
punco mararak ulu kalau pasak mambaok guyah kalau tungkek mambaok rabah mohon
datuak baganjua suruik banyak nan lain kapangganti”.
Batasan
antara Datuak atau Panghulu dengan anak kemenakan yang dipimpinnya hanyalah
sebatas kejujuran dalam mungkin dan patuik, oleh sebab itu maka seorang pangulu
haruslah adil dan bijak sana dalam memimpin anak kemenakannya, “Jikoklah
tagak dinan cupiang manampuah jalan baliku, bakato indak dinan bana, mahukum
indak dinan adia mambagi bak kato surang disinan baju balipeknyo mamak diganti
jonan lain”.
Kekuasaan
ninik mamak dalam adat Minangkabau hanyalah
*“tinggi sarantiang jumbo-jomboan sarangguik runtuah badaram,
didahulukan cuman salangkah bajarak tungkai-tungkaian sahambua lompeklah tibo
sadatiak wakatu nampak satitiak salah
basuo baitu ukua jo jangko di dalam alam Minangkabau”.
Seorang
panghulu yang sebenar-benarnya penghulu tumbuh dan berkembang dalam konteks
fisolofi kepemimpinan dan bukan dalam konsteks kekuasaan.
Seorang
panghulu sebagai pemimpin bagi kaumnya, menempatkan kekuasaan itu adalah
menjadi urusan yang kesekian dan agaknya hanya penunjang bagi menjalankan
amanah kepemimpinan yang dipikulnya. Karena kekuasaan bagi seorang panghulu
lahir secara alamiah dan hal itu terpancar dari martabat dansifat-sifat yang
harus dimilikinya.
Kewibawaan
dan keseganan pada panghulu bukan karena dia punya kekuasaan, tetapi karena
kepemimpinan panghulu itu terdapat kandungan martabat dan sifat yang ada dalam
dirinya.
Namun
demikian di tangan panghulu berhimpun kekuasaan yang besar dalam menjalankan
tugas membimbing dan mengatur anak kemenakannya, ninik mamak mampunyai fungsi
eksekutif sebagai pelaksana kekuasaan, fungsi legislatif sebagai pembuat aturan
dan fungsi yudikatif sebagai pengambil keadilan, fungsi ini dilakukan oleh
ninik mamak yang disebut “uarang nan ampek jinih” (panghulu, malin, manti dan
dubalang) yang mana pangulu sebagai koordinatornya.
Itulah
sebabnya panghulu dan urang nan ampek jinih disebut Bak
kayu gadang ditangah koto ureknyo tampek baselo batangnyo tampek basanda
dahannyo tampek bagantuang daun rimbunnyo tampek bataduah, tampek bahimpun
hambo rakyat, pai tampek batanyo pulang tampek babarito, sasek nan kamanyapo
tadorong nan kamanyintak, tibo dikusuik kamanyalasai tibo dikaruah mampajaniah,
mahukum adia bakato bana.”
Panghulu
dan ninik mamak adalah ulil amri yang wajib ditaati dan dipatuhi karena dia
adalah pemimpin yang dipilih oleh anak kemenakannya sendiri Tutua
sakapa digunuangkan kakok satitiak dilauikkan” dia dimuliakan dihormati dan
dijaga martabatnya oleh anak kemenakannya karena panghulu di Minangkabau adalah
lambang kebesaran suatu suku atau kaum yang wajib dijaga dan dimuliakan.
Namun
Panghulu dan ninik mamak bukanlah seperti raja-raja yang harus disembah dan
dipuja setinggi langit dan dia tidak boleh dikultuskan seperti dewa-dewa bangsa
lain, di Minang Kabau tidak ada istilah bangsawan walaupun dia seorang datuk
apalagi hanya keturunan datuk, di Minang Kabau semua derajat manusia sama tidak
ada bedanya, pemimpin adat hanyalah ditinggikan seranting didahulukan selangkah
dan dituakan dalam kaum.
Dalam
pakaian panghulu mulai dari Salauk (Tutup kepala) baju, salempang, celana,
keris, ikat pinggang dan sandal semuanya mempunyai arti dan makna yang sangat
luas untuk dipahami oleh seorang yang bergelar Datuak atau pengulu.
Tatanan
masyarakat Minangkabau memakai falsafaf “Kamanakan
barajo ka mamak, mamak barajo kapangulu, pangulu barajo kamufakat, mufakat
barajo kanan bana, bana badiri sandirinyo, itulah inyo hukum Allah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar