OLEH Nasrul Azwar
Sejak kecil cita-cita Rivai
Marlaut menjadi wartawan dan penulis. Hanya itu yang ada dalam pikirannya. Kedua
orangtuanya menambatkan
harapan agar Rivai Marluat menjadi seorang insinyur, ahli teknik. Untuk
mewujudkan cita-cita itu, orang tuanya memasukkan Rivai kecil ke sekolah Ambacht
bagian besi tetapi sekolah itu tak
membuatnya menjadi seorang teknisi.
Kekerasan hatinya menjadi seorang wartawan dan penulis, dia buktikan
dengan merantau meninggalkan kampung halamannya, Koto Baru, Solok. Pada usia 23
tahun, usia yang tageh-tagehnya,
Rivai muda berkelana ke Pulau Jawa. Di Jawa, sekira tahun 1935, Rivai Marlaut
bergabung dengan surat kabar Pemandangan
yang dipimpin Saeroen, sebuah surat kabar umum tapi menaruh perhatian pada budaya
Betawi. Pemimpin Redaksi Soeroen menempatkannya Rivai Marlaut pada “Desk Luar
Negeri” hingga dia pindah.
Demikian besar cita-citanya, dalam usia remaja 16- 20-an,
Rivai Marlaut sudah memamah habis surat kabar Pewarta Deli yang terbit
di Medan yang dipimpin Adinegoro dan surat kabar Sinar Soematera Padang
yang dipimpin oleh Burhanuddin Ananda.
Di dunia kewartawanan, Rivai Marluat menemukan gairahnya. Buktinya,
setahun bekerja di Pemandangan, dia
“melompat” menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Peredaran Zaman pada 1936. Dia juga aktif di Redaksi Harian Tjahaja Timur dan majalah Perundingan.
Perjalanan perantauan Rivai Marluat terus membesar dan menjelma menjadi
sosok yang sangat aktif di kancah tulis-menulis ini. Dia perpindah dari kota ke
kota lainnya demi “membesarkan” media yang diasuhnya: Medan, Palembang,
Bandung, Jakarta, Yogyakarta, dan lainnya, merupakan kota-kota yang secara
berkala diturutnya.
Pada 1948 di Bukittinggi,
A Kasoema bersama dengan Adaham Hasibuan
dan Amarullah Ombak Lubis, menerbitkan surat kabar Haluan. Rivai Marlaut pun “pulang
kampung” ke ranah Minang setelah sekian tahun berkelana di perantauan dalam
perjalanan jurnalistiknya. Dia ikut membidani terbitnya surat kabar Haluan. Rivai Marlaut dipercaya sebagai
pemimpin redaksinya hingga tahun 1950-an.
Dasar sosok yang tak mau diam, Rivai Marlaut pun pergi lagi merantau dan
berhenti dari Haluan. Dia kembali ke
Padang setelah Harian Haluan
diterbitkan kembali pada pada 1 Mei 1969, yang sebelumnya dilarang terbit
selama 10 tahun karena ditengarai mendukung PRRI. Rivai Marlaut menjadi Pemimpin Redaksi Haluan pada tahun 1970-an.
Selama merantau setelah
berhenti dari Haluan pada era
1950-1n, Rivai Marlaut bekerja sebagai
wartawan lepas di pelbagai media antara lain, Kantor Berita Antara, Merdeka, Harian Rakyat, Patriot, dan Suara Merdeka. Dan terakhir di Kota Medan sebagai Redaktur
Pelaksana surat kabar Bukit Barisan.
Selain sebagai jurnalis, Rivai Marluat juga banyak menulis
karya sastra berupa novel. Karyanya diterbitkan secara berseri di Harian Haluan, misalnya, Dokter Haslinda yang sangat lekat di hati pembaca Haluan
di era itu.
Sebuah artikel yang cukup komprehensif tentang Rivai Marlaut ditulis H
Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie dalam buku Mesin Ketik Tua (Paparan, Ulasan, dan Komentar Wartawan Tua) yang
diterbitkan Pusat Pengakajian Islam Minangkabau (PPIM) Sumatera Barat pada Mei
2005.
Artikel yang ditulis Kamardi Rais, yang juga seorang wartawan senior ini, sebagai in
memoriam atas berpulangnya Rivai Marlaut pada 20 April 1994 di Padang dalam umur
82 tahun. Rivai Marlaut lahir Koto Baru, Solok, pada 12 Oktober 1912.
“Keluarga besar pers Sumatera Barat khususnya, dan Indonesia
umumnya, berkabung. Berduka cita atas kepergiannya. Pergi untuk tidak kembali
lagi. Seperti diibaratkan oleh mamang orang-orang tua kita. Bagi Pak Rivai, “Cupak
sudah penuh, gantang sudah melimpah,” tulis Kamardi Rais.
Menurut
Kamardi Rais, jasa terbesar dari Rivai Marlaut ialah perannya ikut mendirikan Kementerian Penerangan (Deppen RI) semasa Pemerintahan
Orde Baru berkuasa kendati akhirnya ditutup setelah reformasi di saat Presiden
Abdurrahman Wahid.
Rivai Marlaut menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat (SR) di Koto Baru, Solok,
Sekolah Teknik Besi di Padang, Sekolah Menengah Pertama di Jakarta, HIS, dan Ambacht,
serta berlanjut ke MULO.
Semasa aktif menulis karya fiksi berupa novel, Rivai Marlaut telah
melahirkan empat buah novel, yaitu Kimono
Hanyut, Korban Kerondong Rumba, Effendi di Lantai Dansa, dan Dokter Haslinda. Keempat novel itu
dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Haluan,
namun edisi buku cetakan sulit mendapatkannya.
Dikisahkan Kamardia Rais,
cendekiawan, tokoh dan pemangku adat Minangkabau ini, yang meninggal dunia di
Padang pada 25 Oktober 2008 lalu dalam usia umur 75 tahun, yang mengenal sosok
Rivai Marlaut, punya kenangan yang sulit dilupakan karena peristiwanya
berkaitan dengan orang nomor 2 di Indonesia, yakni Wakil Presiden Adam Malik.
Pada tahun 1982, Wakil Presiden Adam Malik berkunjung ke
Sumatera Barat. Adam Malik juga seorang wartawan, tentu banyak sahabatnya di
Padang. Galibnya pejabat negara, pengawalan terhadap dirinya cukup ketat.
Saat Adam Malik menuju pesawatnya di Bandara Tabing Padang
yang akan membawanya kembali ke Jakarta, tiba-tiba secara spontan, Wakil
Presiden berbalik, lalu berbisik kepada Gubernur Azwar Anas. Dalam posisi
membelakang pada pesawat yang akan mengangkutnya, Bung Adam menunjuk ke arah
barisan para penjabat yang mengantarnya di Bandara Tabing.
“Tolong Pak Anas! Ketua PWI Padang tadi, mana?” tanya Adam Malik kepada Azwar Anas.
“Telunjuk Wakil
Presiden itu sudah jelas sasarannya kepada saya sendiri yang waktu itu jadi
Ketua PWI Cabang Sumatera Barat. Saya keluar dari barisan para pengantar yang
terdiri dari para kakanwil/kepala dinas dan ketua organisasi setelah dijemput
Pak Azwar Anas dan Pak Karseno,” ujar Kamardi Rais.
Kamardi Rais pun berjalan menuju Bung Adam yang sedang
menunggu dekat tangga pesawat.
Apa katanya?
“Eh, Ketua! Saya lupa. Mana itu Rivai Marlaut? Sombong kali
dia. Saya dengar dia Pimpinan Redaksi Harian Haluan, ya?” kata Bung Adam
Malik.
Sambil menjabat tangan Wapres itu sekali lagi, lalu saya
jawab: “Sebenarnya kemarin Pak Rivai Marlaut bersama saya ikut menyambut Bung
di sini. Dia ada berjabat tangan dengan Bung. Mungkin Bung sudah lupa pada
dia!”
“Mana pula saya yang lupa. Waktu berjabat tangan itu dia
tidak bilang apa-apa. Saya kangen sekali sama dia. Tolong beri tahu dia. Kirim
surat pada saya. Nanti saya balas. Atau kalau ke Jakarta, suruh dia mampir ke
rumah saya,” ujar Adam Malik, yang oleh Pak Rivai Marlaut jika menulis tentang
Adam Malik selalu menambahkan embel-embel di depan nama Adam Malik dengan “Si
Kancil Adam Malik”.
Setelah Adam Malik naik pesawat dan take off meninggalkan
Padang, Kamardi Rais ke rumah Rivai Marlaut di Wisma Warta Padang untuk menyampaikan
pesan Wakil Presiden Adam Malik.
“Setelah itu saya tidak tahu, apakah Pak Rivai sempat
menulis surat kepada Adam Malik atau tidak. Atau mungkin Pak Rivai singgah ke
rumah orang nomor dua di Indonesia itu? Yang jelas tidak lama setelah itu Pak
Adam sakit dan kemudian wafat,” kenangnya.
Semasa hidupnya, Rivai Marlaut bukan semata hanya bergaul di
lingkungan wartawan saja. Seiring semakin kuat pengukuhan dirinya pada profesi
wartawan, komunikasi dengan kaum politisi, pelaku usaha, kaum intelektual, para
pejabat tinggi negera lainnya, terus terjalin dengan baik.
Rivai kenal dan dekat dengan Bung Sjahrir yang dijuluki The Atomic Prime Minister atau Perdana
Menteri Atom. Selain itu, Rivai Marlaut juga mengenal Moh. Natsir, Ali
Sastroamidjojo, Assaat, bahkan dengan Bung Karno, Bung Hatta, dan tokoh
legendaris Tan Malaka.
“Tak heran jika Wakil Presiden Adam Malik berbalik saat
mengingat Rivai Marlaut karena begitu luasnya pergaulannya,” kata Kamardi Rais
lagi.
Semasa hidupnya, Rivai Marlaut dianugerahi Piagam
Penghargaan 70 Tahun dari PWI Pusat yang diserahkan di Yogyakarta pada Hari
Pers Nasional pada 9 Februari 1986.
“Wartawan tua tak pernah mati! The old journalist never die! Andaipun telah tutup usia, namun
jasa dan teladannya akan hidup selamanya,” kata Kamardi Rais. MN
Daftar Acuan
1.
H Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie.2005. Mesin Ketik Tua (Paparan, Ulasan, dan
Komentar Wartawan Tua). Pusat Pengakajian Islam Minangkabau (PPIM) Sumatera
Barat: Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar