OLEH Nasrul Azwar
Landjoemin Datoek Toemanggoeng—namanya ditulis
sesuai dengan ejaan saat itu—salah seorang
pegiat pers pribumi yang aktif dan bervisi modern pada awal abad-20. Dia
juga sosok yang dekat dengan Belanda.
Media yang dia gawangi majalah Tjahja Hindia dan sebuah surat kabar
Harian Neratja. Surat kabar Harian Neratja dinilai saat itu sudah modern
karena telah mampu menampilkan foto-foto dalam terbitannya dan tata lelak yang
lebih baik dari media lainnya. Selain itu, surat-surat kabar merupakan media pers
milik orang Indonesia.
Selain yang dua disebutkan di atas, dia
juga mengelola beberapa surat kabar berkala pribumi antara lain Soeloeh Peladjar dan Pedoman Prijaji. Harian Neratja kemudian berubah nama menjadi
Harian Hindia Baroe. Sebelum
mendirikan media, Landjoemin pernah sebagai wartawan di Bintang
Timoer.
Surat kabar Harian Neratja yang dipimpin Landjoemin Datoek Toemanggoeng mengakomodir
pemikiran kaum muda saat itu. Para intelektual muda yang didominasi dari
Sumatera mencurahkan tulisannya di surat kabar ini. Kaum muda itu antara lain Djamaluddin,
Bahder Djohan, Siti Danilah, Agus Salim, Abdul Muis, Kasuma Sutan Pamuntjak,
dan Muhammad Yamin.
“Muhammad Yamin menerjemahkan novel Saidjah dan Adinda karya Eduard Douwes
Dekker atau Multatuli sebagai kisah bersambung di surat kabar yang dimuat di Harian
Neratja,” tulis Suryadi di rubrik “Minang
Saisuak” Singgalang, Minggu, 6 April
2014.
Landjoemin Datoek Toemanggoeng selalu
memberi dorongan kepada anak-anak muda untuk menulis dan menuangkan gagasannya
di surat kabar yang dia kelola, termasuk yang mendapat perhatian “khusus”
darinya ialah Djamaluddin.
Tulisan Djamaluddin pertama kali
diterbitkan di majalah Mingguan Tjahaja
Hindia dengan inisial nama “Dj”. Selanjutnya, tulisan Djamaluddin tak
terbendung hadir di dua media yang diasuh sosok yang disebut juga tokoh pers
pribumi ini.
Suatu kali, Landjoemin Datoek
Toemanggoeng menyarankan kepada Djamaluddin agar menggunakan nama pena alias
nama samaran saat menulis. Nama yang diusulkan Landjoemin ialah “Adi Negoro”. Nama yang terkesan “barbau” Jawa ini
diharapkan bisa memikat pembaca yang berasal etnik Jawa, yang menurut
Landjoemin jumlahnya cukup banyak dan bisa cepat terkenal.
Saran itu diterima Djamaluddin. Maka,
setiap tulisannya yang terbit di media, Djamaluddin selalu memakai Adi Negoro
sehingga nama itu lebih populer ketimbang nama aslinya. Malah ada yang menulis
kedua nama ini: Djamaluddin Adi Negoro. Persatuan Wartawan Indonesia
mengabadikan nama “Adi Negoro” untuk
penghargaan karya jurnalistik wartawan sebagai penghormatan terhadap jasa-jasa
Djamaluddin bagi perkembangan pers nasional.
Sementara itu, sebelum memberikan nama nom de plume kepada Djamaluddin,
Landjoemin Datoek Toemanggoeng sudah
lebih dulu menggunakan “Noto Negoro” pada setiap tulisan-tulisannya.
Dikutip dari artikel yang ditulis Suryadi
yang dimuat di blog https://niadilova.wordpress.com/2014/04/07/minang-saisuak-170-lanjumin-gelar-datuak-tumangguang/,
Landjoemin Datoek Toemanggoeng berasal
dari Nagari Sungai Pua, Agam. Landjoemin merupakan kemenakan Tuanku Lareh Sungai
Pua bergelar Datuak Tumangguang Sutan Sulaiman. Menilik dari gelar adat yang
disandangnya, Landjoemin merupakan salah seorang kepala kaum di Nagari Sungai
Pua.
Dari penusuran riwayat hidup Landjoemin
Datoek Toemanggoeng, belum ditemukan informasi kapan di dimana ia dilahirkan. Dalam sebuah
artikel yang juga ditulis Suryadi, peneliti di Universitas Leiden Belanda, yang
banyak memublikasikan tentang perjuangan
orang Minang dulu, menyebutkan, Landjoemin memperistri perempuan Minang bernama
Chailan Sjamsoe. Jika ditulis secara lengkap namanya: Rangkayo Chailan Sjamsoe Datoek Toemanggoeng.
Chailan Sjamsoe juga aktivis perempuan dan pers lahir di Bukittinggi pada 6
April 1905 dan meninggal dunia di Jakarta dalam usia 57 tahun, 23 November
1962.
“Karir Landjoemin jajaran Pemerintahan
Kolonial Belanda terbilang sukses. Dia salah seorang anak Minangkabau yang
mencapai pangkat Patih di tanah Jawa. Tamat Stovia mendapat pekerjaan jadi juru
tulis Patih di Weltevreden/Batavia pada tahun 1908. Kemudian berturut-turut
menjadi Asisten Wedana dan Wedana. Sejak 1916 diperbantukan pada kantor
Inlandsche Zaken sebelum akhirnya diangkat menjadi Patih di Weltevreden.
Lanjumin pernah pula menjadi anggota Gemeenteraad Batavia dan Volksraad,” tulis
Suryadi yang menyelesaikan S1 di Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra (kini
Ilmu Budaya) Universitas Andalas Padang.
Landjoemin Datoek Toemanggoeng
mengembangkan penerbitan dan persuratkabaran lebih banyak di Pulau Jawa
ketimbang di Minangkabau. Minangkabau bisa dikatakan tak ada jejaknya sama
sekali.
Menurut Suryadi, Landjoemin Datoek
Toemanggoeng disebut-sebut sebagai “Bapak Pers Pribumi” karena banyak
berkecimpung dalam perjuangan pers nasional dan persuratkabaran.
“Landjoemin lebih banyak berkiprah di
Jawa (Batavia), bukan di Minangkabau. Dia juga mengelola satu percetakan (drukkerij) yang bernama Evolutie yang
mendapat subsidi dari Pemerintah Hindia Belanda. Lanjumin adalah salah seorang
mentor Djamaluddin (Adinegoro), adik Muhammad Yamin, putra Talawi, Sawahlunto,”
tulisnya.
Dari penelusuran pustaka yang dilakukan
terkait dengan kiprah Landjoemin Datoek Toemanggoeng, sejarahwan Jepang Takashi Shiraishi dalam
buku Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat
di Jawa 1912-1926 (1997),
menyinggung sepak terjang Landjoemin sebagai seorang wartawan sekaligus
politisi.
Tentang Landjoemin Datoek Toemanggoeng,
dalam buku itu, Takashi Shiraishi menggambarkan wartawan ini sebagai berikut:
Sebagaimana
kebanyakan aktivis pergerakan yang tidak masuk ke CSI/PSI atau PKI, mau tidak
mau Misbach harus memutuskan sikapnya. la menegaskan pilihannya dengan tampil
sebagai propagandis PK l/SI Merah pada kongres PKI dan SI Merah di Bandung dan
Sukabumi pada awal Maret 1923. Datoek Toemenggoeng Landjoemin, kolega Salim di Neratja akhir 1910, yang kemudian menjadi
pejabat yang ditempatkan di kantor Penasihat Urusan Bumiputra, dan dengan
segera menjadi agen Algemeene
Recherchedienst yang
membantu pembuangan H. Batoeah dan Natar Zainuddin, pemimpin komunis Sumatra
Barat, melaporkan pidato Misbach dalam kongres tersebut.
Peristiwa bersejarah “Kongres PKI/SI
Merah di Bandung dan Sukabumi pada awal Maret 1923 (tanggalnya tak disebutkan) ditulis
di Harian Neratja yang ia kelola.
Kongres ini penting karena dihadiri tokoh-tokoh pergerakan antara lain Soekarno.
Saat itu, H. M. Misbach, seorang tokoh
pemikir politik tentang komunisme dengan Islam yang baru bebas dari penjara, yang
banyak menuangkan pemikirannya di surat kabar Medan Moeslimin dan Islam
Bergerak, menyerang secara terbuka dengan kritikan keras dalam pidatonya terhadap
Oemar Said Tjokroaminoto, dan KH Ahmad Dahlan. Sementara Landjoemin Datoek
Toemanggoeng hadir di sana dengan menulis laporan penting di surat
kabarnya. Ini petikannya:
Di tengah tepuk tangan
keras yang bergema itu Haji Mohammad Misbach menaiki podium.
Pembicara itu mulai
memperkenal kan dirinya: Saya bukan Haji, tapi (sekadar) Mohammad Misbach.
Sseorang Jawa, yang telah memenuhi kewajibannya sebagai muslim dengan melakukan
perjalanan suci ke Mekah dan Medinah.
Dengan mendasarkan pada
Quran. Pembicara itu berpendapat bahwa ada beberapa hal yang bersesuaian antara
ajaran Quran dan komunisme.
Misalnya, Quran
menetapkan bahwa merupakan kewajiban setiap muslim untuk mengakui hak asasi
manusia. Dan pokok ini juga ada dalam prinsip-prinsip program komunis.
Selanjutnya, adalah
perintah Tuhan bahwa (kita) harus berjuang melawan penindasan dan penghisapan.
lni juga salah satu sasaran komunisme.
Sehingga benar jika
dikatakan bahwa ia yang tidak dapat menerima prinsip-prinsip komunisme itu bukan
muslim sejati. Dan itulah sebabnya mengapa Yang Maha Kuasa dengan keras
mengutuk ibadat dan salat yang dilakukan PEB: sebab setiap yang percaya padanya
terikat kewajiban membasmi penindasan. penekanan dan penghisapan dan ini yang
diabaikan oleh seksi agama PEB.
Komunisme tidak loleran
pada diskriminasi pangkat dan ras. Dan demikian mengutuk keberadaan kelas-kelas
di masyarakat. Slogannya adalah: sama rasa, sama rata!)
Dalam tesis Tri Ahmad Faridh berjudul
“Ajaran Komunisme dan Islam dalam Perspektif H.M. Miscbach (1876-1926)” yang ia
ajukan untuk raih gelar Magister dalam Program Studi Dirasah Islamiyah UIN
Sunan Ampel pada 2017, juga menyinggung keberadaan Landjoemin Datoek
Toemanggoeng sebagai wartawan dan sekaligus saksi sejarah dalam kongres
tersebut.
Kendati demikian, Landjoemin Datoek
Toemanggoeng hingga kini belum diperoleh informasi yang valid terkait dengan
kematiannya. Jika mengacu kepada tulisan Sriyanti dalam blognya http://sriyanti0520.blogspot.co.id/2014/06/sejarah-sumatera-barat.html,
, Landjoemin Datoek Toemanggoeng meninggal tahun 1947 (tanpa tanggal) karena
peristiwa berdarah “Gerakan Baso” yang dipimpin Abdul Rahman Tuanku Nan Putiah
dan Burhan Malin Kuniang Tuanku Nan Hitam, keduanya bersaudara serta pengikut tulen Tan
Malaka.
“Seperti juga beberapa kekuatan
revolusioner fanatik di Jawa, “Gerakan Baso” umumnya juga mengarahkan
sasarannya kepada orang-orang yang dianggap terlibat dengan kekuasaan kolonial
Belanda contohnya Landjoemin Datoek Toemanggoeng bekas perwira tinggi dan
anggota Volksraad zaman Kolonial Belanda yang juga bapak angkat Chaerul Saleh,
diculik dan dibunuh,” tulis Sriyanti.
Sosok Landjoemin Datoek Toemanggoeng
memang belum banyak ditulis dan diteliti. Maka, sudah penting agaknya tokoh
multitalenta, ditelisik riwayat perjalanannya, dan sangat berpeluang dilakukan
mahasiswa sejarah di Unand, UNP, UIN Imam Bonjol, dan peminat sejarah lainnya.
Daftar Acuan
Suryadi,
Harian Singgalang, Minggu, 6 April
2014
Suryadi,
Harian Singgalang, Minggu 7 Mei 2017
http://sriyanti0520.blogspot.co.id/2014/06/sejarah-sumatera-barat.html
Anwar
Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam:
Menangkap Makna Maqashid Al Syariah, (Jakarta: Kompas, Juni 2010
Takashi
Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme
Rakyat di Jawa 1912-1926 Terjemahan Hilmar Farid (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1997)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar