OLEH Nasrul Azwar
Dalam sebuah buku antologi artikel Mesin
Ketik Tua (Paparan, Ulasan, dan Komentar Wartawan Tua) yang ditulis “H Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie (PPIM: 2005), dikisahkan
konsistensi dan komitmen Kasoema terhadap perjuangan pers nasional.
Kasoema menyebut Haluan, surat
kabar yang dia dirikan bersama-sama dengan teman seperjuangannya, ialah koran republik di
daerah pendudukan Belanda di Bukittinggi. Tekanan dan represif terhadap Haluan, terutama saat pendudukan
Belanda, sudah sering dialami jajaran redaksi, juga tentunya saat PRRI.
Suatu kali, kisah Kamardi Rais, Mr. Hins seorang
petinggi Belanda mendatangi Kantor Haluan
di Bukittinggi. Hins mendesak agar tulisannya dimuat harian ini. Tulisan yang
akan diturunkan ity berisi seruan kepada penduduk dan pegawai negeri untuk
kembali ke kota.
“Hins menamakan seruan itu “Aksi Polisional”. Hentikan
segala serangan gerilya dan tentara Republik kembali ke kota,” kata Kamardi Rais mengutip apa yang
diceritakan Kasoema pada dirinya.
“Saya dan Pak Adaham Hasibuan dibentak-bentak oleh Mr. Hins
yang berpangkat Asisten Residen Belanda. Kata kami berdua, tulisan itu tak bisa
kami muat dengan alasan bisa-bisa kami sebagai pengasuh atau penerbitan kami
jadi berbahaya dan ini akan menimbulkan polemik,” tulis Kamardi Rais mengaku
bertemu pertama kali dengan A Kasoema pada tahun 1954 saat dirinya melamar jadi
wartawan saat Haluan berkantor di Gedung
Bagindo Aziz Chan sekarang.
“Macam apa kalian ini, hah? Tahu kode etik pers?
Polemik boleh. Kalian jangan berlagak pilon, ya? Ayoh, jangan sampai
tidak dimuat itu artikel,” ancam Hins dengan suara lantang dan kemudian dia
pergi.
Dengan berbagai pertimbangan, Kasoema dan Adaham Hasibuan memutuskan
memuat artikel itu. Setelah artikel itu dimuat, ternyata keesokan paginya
Kasoema menemukan surat yang dimasukkan orang di bawah pintu. Rupanya surat itu
dari Kolonel Dahlan Djambek, komandan pasukan Republik yang menakutkan bagi
Belanda di Bukittinggi.
Isi tulisan Kolonel Dahlan Djambek secara jelas membalas
tulisan Mr. Hins. Kolonel Dahlan Djambek mengatakan Belanda pembohong dan
penipu.
“Mengapa kamu di sini? Kembalilah kamu ke negerimu di Eropa
sana. Ini Tanah Air kami, milik moyang kami,” balas Dahlan Djambek dalam
tulisan yang dimuat di Haluan sebagai
jawaban tulisan Mr Hins itu.
A Kasoema dan Adaham Hasibuan telah memperhitungkan
risikonya secara matang. Semua prosedur kerja jurnalistik sudah dipenuhi.
Siangnya, setelah tulisan jawaban Dahlan Djambek terbit, Mr.
Hins datang ke kantor Haluan dengan wajah marah dan tak ramah.
“Siapa yang bikin tulisan itu?” tanya Mr. Hins sembari
menunjuk sebuah tulisan di Haluan.
Mr Hins beranggapan, redaksi Haluan yang menulisnya
tapi setelah diperlihatkan bukti bahwa itu artikel ditulis Kolonel Dahlan
Djambek, Mr. Hins kagat lalu pergi
meninggalak Kantor Haluan.
“Kisah itu menggambarkan Kasoema seorang pejuang pers
nasional yang gigih, tekun, penuh disiplin, dan teguh memegang prinsip. Inilah
yang barangkali perlu diteladani oleh para pengelola pers sekarang,” kata
Kamardi Rais.
Menurut Kamardi Rais, Haluan
merupakan salah satu surat kabar pejuang pers dan pers perjuangan, baik dalam
menegakkan kemerdekaan RI, maupun dalam membela kebenaran dan keadilan.
“Saya mengenal Pak Kasoema sebagai
sosok pendiam,
sedikit kalem. Beliau tak suka banyak bicara,” kata Kamardi Rais.
Surat kabar Haluan
yang diterbitkan pertama kali pada 1 Mei 1948 ini termasuk salah satu surat
kabar tua di Indonesia. “Tua” dalam pengertian surat kabar yang terbit sebelum
tahun 1950 yang masih bertahan hingga hari ini, antara lain harian Waspada yang terbit Sejak tahun 1947, di
Medan, Sumatera Utara, Kedaulatan Rakyat¸terbit
1945 di Jogjakarat, Pedoman Rakyat di
Makassar pada 1949), dan Suara Merdeka
pada 1950 di Semarang.
Rentang waktu pada tahun 1956 hingga 1958, harian Haluan ikut berpartisipasi secara
aktif dalam pergerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
bersama Dewan Banteng sehingga pemerintah berkuasa melarang terbit harian ini
selama 10 tahun, sejak 1959-1969. Mesin cetak pun disita militer. Setelah
melewati proses yang panjang, Haluan terbit
kembali pada 1 Mei 1969.
“Keterlibatan Haluan
dan mendukung penuh perjuangan gerakan PRRI dibayar mahal awak redaksinya. Tiga
orang redakturnya hilang entah di mana. Kata orang dibunuh di Bukit Lampu. Tiga
wartawan itu adalah Bung Darwis Abbas (Pemimpin Redaksi), Tengku Alang Yahya
(Wakil Pemred), dan Bung Sofyan Manan (Redaktur Senior),” cerita Kamardi Rais,
yang pernah dua periode sebagai Ketua PWI Sumbar ini (1982-1989) ini.
Selain kehilangan tiga orang jajaran redaksi, Kasoema, Annas
Lubuk, dan Munir Rahimi, seorang wartawan muda Haluan di Ambarawa ditahan
aparat penguasa selama 3,5 tahun.
Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie dikenal sebagai pemangku
adat Minangkabau yang disegani karena kedalaman ilmu dan pengetahuannya san
juga seorang wartawan yang yang jadi saksi sejarah peristiwa PRRI. Kamardi Rais
lahir di Aie Tabik, Payakumbuh, Sumatera Barat, 12 Maret 1933, meninggal dunia
di Padang pada 25 Oktober 2008 pada umur 75 tahun.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Payakumbuh, tahun 1954
dia memulai kariernya sebagai wartawan di Harian Penarangan. Kamardi juga pernah menjadi Pemimpin Redaksi Harian Semangat di Padang.
Pada tahun 1987 dia terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi
Sumatera Barat. Dan sejak tahun 1999 hingga akhir hayatnya, Kamardi Rais memimpin
Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat.
Saat terbit kembali pada 1 Mei 1969, tercatat
nama-nama jurnalis muda yang ikut mengawaki harian ini, antara Rivai Marlaut,
Chairul Harun, M. Joesfik Helmy, Sjafri Segeh, Anas Lubuk, A. Pasni Sata, Rusli
Marzuki Saria, Basri Segeh, R. Datuk Tuo dan sebagainya. Generasi berikutnya
muncul generasi Darman Moenir, Masri Marjan, Beny Aziz, Nasrul Djalal dan generasi
selanjutnya dijalankan wartawan zaman now
seperti Eko Yanche Edrie, Ismet Fanany, Rusdi Bais dan Hendra Dupa dan lainnya.
Sejak 1 November 2010, Harian Haluan berada di bawah pemodal baru H.
Basrizal Koto (Basko Group) dengan bendera PT Haluan
Sumbar Mandiri.
Selain Kamardi Rais, akademisi dari UNP
dan juga wartawan Haluan selama 17
tahun, sejak 1973-199o, Prof Dr Yalvema Miaz, MA, PhD, mengaku memiliki kesan
yang tak bisa dilupakan saat bergabung dengan Haluan yang didirikan Kasoema dengan susah payah itu. Saat Yalvema
Miaz bergabung dengan Haluan,
pemimpin redaksinya Annas Lubuk.
Saat awal bergabung bersama dengan, banyak para
mantan penulis muda koran Aman Makmur
yang diberedel rezim berkuasa waktu itu, ramai-ramai pindah menulis ke Harian Haluan.
Yalvema Miaz salah seorang yang ikut menulis di Haluan bersama dengan yang lainnya
seperti Wall Paragoan, Darman Moenir dan Masri Marjan (almarhum), dan Suhasril
Sahir. Dia termasuk salah seorang wartawan yang kreatif dan produktif.
“Saya dan Wall Paragoan (terakhir wartawan Sinar Harapan Jakarta) boleh dikatakan
sebagai "anak muda" yang dianggap paling kreatif menulis, tapi bukan
sekadar puisi atau cerpen, malahan berita dan features. Berita yang saya kumpulkan hampir setiap hari dimuat pada
halaman depan, tidak jarang selalu menjadi berita headline (berita utama),” kata Yalvema Miaz seperti dikutip dari http://www.kabarindonesia.com yang dilansir pada
tanggal 24 Apr 2008.
Suatu hari, cerita Yalvema Miaz, Kasoema dan
Annas Lubuk, Pemimpin Umum dan Pemimpin
Redaksi Harian Haluan memanggilnya. Dalam
pertemuan itu, Yalvema Miaz dimutasikan ke
Bukittinggi dan dipercaya sebagai Kepala Kantor Perwakilan Haluan Wilayah Sumatera Barat bagian utara. Sebelumnya sudah ada
Perwakilan (Biro) Riau dan Jambi.
“Pada 2 Januari 1974 dengan sedan Holden-nya Pak
Kasoema bersama Nyonya dengan sopir Alfian Kasoema, saya pun diantarkan ke kota
sejuk ini. Hari itu tak seorangpun yang saya kenal di kota ini, kecuali petugas
rumah makan ACC di dekat Jam Gadang atau Simpang Raya di sebelah Masjid Raya
Pasar Atas, karena di sini tempat saya minum dan makan tiap hari,” kata Yalvema
Mia yang pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan Kepala Dinas
Pemuda dan Olahraga Kota Bukittinggi ini.
Saat menjabat Kepala Kantor Perwakilan, usianya
masih tergolong muda, yakni 23 tahun, yang saat itu harus memikul tanggung
jawab manejer yang membawahi beberapa orang wartawan dan mendistribusikan tidak
kurang 3.000 eksemplar koran Haluan.
“Waktu itu, semua tanggung jawab saya jalankan
dengan baik,” kata Guru Besar pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri
Padang ini.
Kasoema, wartawan tiga zaman yang tak suka banyak bicara ini
wafat Jumat malam, 23 Maret 2001 di Padang. Dan dia dikenanag sebagai tokoh
pers perjuangan. MN
Daftar Acuan
1.
H Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie dalam buku Mesin Ketik Tua (Paparan, Ulasan, dan
Komentar Wartawan Tua) yang diterbitkan Pusat Pengakajian Islam Minangkabau
(PPIM) Sumatera Barat pada Mei 2005.
2.
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=21&dn=20080424081918
wawancara Muhammad Subhan dengan Yalvema Miaz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar