OLEH Nasrul Azwar (Presiden AKSI)
Pertunjukan tari-teater "The Margin of Our Land” di Anjungan Seni Idrus Tintin, Pekanbaru, Sabtu (28/10/2017) (Foto Denny Cidaik) |
Panggung
ditembak cahaya warna kekuningan membentuk motif petak seluas satu kali dua
meter di kiri pentas. Di ujung petak itu, seorang lelaki berdiri tanpa gerak.
Sekitar dua menit. Hening.
Lalu, lelaki itu
menghempaskan tubuhnya ke dalam petak cahaya. Dalam sorotan cahaya yang berganti-ganti,
sosok tubuh-tari muncul merepresentasikan simbol-simbol kekalutan sosial. Ada 9
tubuh yang tak nyaman dan gelisah di sana, bersamaan muncul 9 buah pancang yang
biasa digunakan pembatas tanah. Pancang itu simbol tanah ulayat yang sudah di
bagi-bagi. Dan kelak, pancang itu mereka jadikan senjata melawan investor atau
penguasa yang merampas tanah ulayat mereka.
Sekelompok kaum (suku) pemilik tanah ulayat pusaka tinggi (ganggam bauntuak) tersingkir dari lahan yang sudah mereka huni sejak beratus tahun silam secara turun-temurun. Tanah ulayat kaum itu dikuasa paksa dengan dalih hukum formal untuk pembangunan, yang membuat mereka tak berkutik saat tanah yang memberi mereka kehidupan itu, dikapling dengan garis polisi dan dijaga ketat militer.
Sekelompok kaum (suku) pemilik tanah ulayat pusaka tinggi (ganggam bauntuak) tersingkir dari lahan yang sudah mereka huni sejak beratus tahun silam secara turun-temurun. Tanah ulayat kaum itu dikuasa paksa dengan dalih hukum formal untuk pembangunan, yang membuat mereka tak berkutik saat tanah yang memberi mereka kehidupan itu, dikapling dengan garis polisi dan dijaga ketat militer.
Konflik pun tak terelakkan.
Semua kaum itu, dari tua-muda, ninik mamak, hingga bundo kanduang, melakukan
perlawanan mempertahankan hak milik mereka. Puncak perlawanan itu, bundo
kanduang membuang harga dirinya.
Demikian cerita
pertunjukan tari-teater "The Margin of Our Land” dipentaskan di Anjungan
Seni Idrus Tintin, Pekanbaru, Riau, Sabtu (28/10/2017) lalu. "The Margin
of Our Land”, yang hingga kini belum jelas alasan para kreatornya menggunakan
bahasa Inggris ini, berhulu dari tubuh satu sosok lelaki yang memamg terlihat
menonjol dalam memproduksi gerak di atas panggung daripada 10 penari
lainnya. Garak-gariknya tubuhnya terus
berhilir sebagai plot menuju klimaks cerita tentang tanah ulayat, yang dalam
kultur Minangkabau disebut dengan ganggam
bauntuak.
Tari-teater "The Margin
of Our Land", kolaborasi lima kreator seni dari Institut Seni Indonesia
(ISI) Padang Panjang berdurasi 60 menit itu, digarap secara penuh lima kreator
yang terdiri dari Ali Sukri (untuk koreografi), Kurniasih Zaitun (teater),
Sahrul N (dramaturg), Elizar (musik), dan Yusril Katil (skenografi), dan
diperkuat dengan 11 penari-aktor serta elemen pendukung lainnya.
Karya tari-teater ini memang
tak jauh berbeda dengan garapan-garapan seni pertunjukan yang dilakukan
Komunitas Seni Hitam-Putih selama ini, kendati mereka tidak membawa bendera
komunitas walau kreatornya sama.
Tari-teater “The Margin of
Our Land” merupakan bagian pertama dari tiga proyek garapan (trologi) seni yang
berbasis pada riset atau penelitian, penciptaan, dan penyajian seni.
Bagian pertama (“The Margin
of Our Land”) soal tanah ulayat, kedua mengangkat perkara reklamasi, dan ketiga
garis batas (terluar) Indonesia. Proyek besar ini didukung penuh Dirjen Dikti,
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
Menurut Sahrul N, Ketua Tim
Program Hibah Penelitian, Penciptaan, dan Penyajian Seni ini, penciptaan seni
yang berbentuk dance theatre
berangkat dari kondisi sosial budaya Minangkabau tentang tanah ulayat atau ganggam bauntuak yang kerap bermasalah.
"Kami menyajikannya
dalam bentuk pertunjukan seni di atas panggung dengan mengelaborasikan
tari-teater-musik. Karya ini berangkat dari riset dan penelitian,” kata Sahrul
N.
Menurutnya, dasar penciptaan
seni yang berbentuk dance theatre atau tari-teater ini mencoba memaksimalkan
potensi seni tradisi Minangkabau yang diolah menjadi bentuk kekinian (modern
dan kontemporer).
Ali Sukri, koreografer untuk
tari-teater “The Margin of Our Land” mengatakan, karya ini mereflesikan seni
kontemporer dengan basis idiom garak-garik dan simbol dalam seni tradisi dan
musik Minang dengan tafsir dan pemahaman dalam konteks kekinian.
“Titik inspirasi “The Margin
of Our Land” ialah tradisi silek tuo Minang dan seni ulu ambek yang hidup di
Padang Pariaman hingga kini,” kata Ali Sukri.
“Pun musik tradisi Minang,
sebagai pendukung utama “The Margin of Our Land” diberi makna baru dengan
memadukan teknologi saat ini,” tambah Elizar yang akrab disapa Aku ini. Dia
dibantu Indra Arifin menggarap musik dan bunyi untuk memperkuat suasana cerita
dalam “The Margin of Our Land” ini.
Menurutnya, dalam “The
Margin of Our Land” ini musik yang dimunculkan bukan nada-nada yang manis dan
tertata, tapi penekanannya lebih kepada musik eksperimentatif.
Terkait dengan teater dan keaktoran
laku pemain, menurut Kurniasih Zaitun atau Tintun, karya “The Margin of Our
Land” mengangkat konflik klasik yang kerap terjadi di ranah Minang, yaitu soal
tanah ulayat (ganggam bauntuak).
“The Margin of Our Land”
mengisahkan orang Minang yang tak bisa dipisahkan dengan tanah ulayat, yang
merupakan harga diri kaum (suku). Pemain dalam laku ini merepresentasikan
setiap karakter dan konflik yang menelikungnya dengan pemahaman yang kuat,”
jelas Kurniasih Zaitun yang memberikan penguatan pada laku keaktoran yang
sekaligus juga penari.
Bundo kanduang sebagai
benteng terakhir pemilik tanah ulayat di Minang, berada pada posisi dilematis.
“Konflik-konflik yang
menelikung itu dinarasikan dalam garak-garik tubuh penari, diliriskan aktor
teater dengan karakter yang kuat, dan musik yang dibangun sebagai penguat
suasana pertunjukan,” tambah perempuan sutradara ini.
“Tari-teater “The Margin of
Our Land” menawarkan garapan kreatif dengan basis riset dan studi lapagan ke
wilayah konflik, dan tentu saja diperkuat dengan studi pustaka. Konstruksi di
atas panggung divisualkan dengan mengedepankan roh dari tanah ulayat itu.
Perspektifnya terintegrasi dengan tata kelola lampu, properti, dan audionya,
serta komposisi tari," kata Yusril Katil yang bertindak sebagai skenografinya.
Lemah pada Aspek
transformabilitas
Garapan “The Margin Our
Land” telah melampaui batas-batas konvensional yang selama ini dipahami bersama
tentang teater, tari, musik, dan seni pertunjukan lainnya. Karya ini tidak lagi
membatasi dirinya pakem yang berlaku, semisal soal ruang panggung. Tak
ditemukan konsistensi para pemain masuk-keluar panggung pada satu arah. Semua
sisi panggung adalah pintu.
Pertunjukan tari-teater "The Margin of Our Land” di Anjungan Seni Idrus Tintin, Pekanbaru, Sabtu (28/10/2017) (Foto Denny Cidaik) |
Teks pertunjukan “The Margin
of Our Land” dengan pangatur laku pemain ialah Ali Sukri untuk koreagrafi,
sedangkan untuk teaterikal dengan segenap tanda-tandanya diolah Kurniasih
Zaitun, bukan lagi dipandang sebagai pemaknaan yang tunggal. Sementara musik, tata
lampu, dan skenografi cerita mempertegas serta mendorong pertunjukan menjadi
yang utuh. “The Margin of Our Land” merupakan sesuatu yang terintegrasi memproduksi
tanda-tanda di atas panggung. Peristiwa teater ialah memunculkan tanda-tanda
sebagai peristiwa budaya. “The Margin of Our Land” mempertemukan peristiwa
estetis panggung dengan realitas dalam kehidupan sosial masyarakat.
Realitas “The Margin of Our Land” ialah konflik dan sengketa tanah ulayat
yang kini masih berlangsung di Nagari Kapalo Hilalang, Kecamatan 2×11
Kayu Tanam, Padang Pariaman dengan Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman. Kedua
pihak saling klaim pemilik sah tanah seluas 669 hektare.
Menurut Benny Yohanes dalam
bukunya “Kreativitas Teater: Dari Teks ke Pemanggungan” (2016), yang mengutip Keir Elam, tanda-tanda
dalam presentasi teaterikal memiliki kemampuan generatif yang ditandai tiga
aspek tanda teaterikal, yaitu mobilitas, dinamisme, dan transformabilitas.
Ketiganya disebut fleksibilitas denotasional.
Keseluruhan teks panggung
pada “The Margin of Our Land” memang belum berhasil mempresentasikan ketiga
aspek itu, terutama aspek transformabilitas. Aspek ini jika diberi penilaian,
belum tergarap maksimal oleh lima kreator, terutama sisi membangun peristiwa di
atas panggung. Kesulitan mengetransformasikan realitas sosial menjadi prestasi
teaterikal, besar kemungkinan belum maksimal masuk ke objek yang diriset,
termasuk pemain dan pendukung lainnya.
Keir Elam membatasi adanya
semacam hukum transformasi dalam representasi pertunjukan yang tergantung pada
unsur-unsur tanda yang dapat dipertukarkan, pergantian timbal-balik, dari kode
atau sistem tanda yang melibatkan proses transkodifikasi antara unsur subjek
aktif (aktor) dan unsur objek pasif (benda) di atas panggung.
Maka dengan demikian, “The Margin of Our Land”, yang dikesankan sebagai episode pertama, untuk episode kedua dan ketiga tidak bisa tidak harus mempertimbangkan aspek yang ketiga ini. ***
Maka dengan demikian, “The Margin of Our Land”, yang dikesankan sebagai episode pertama, untuk episode kedua dan ketiga tidak bisa tidak harus mempertimbangkan aspek yang ketiga ini. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar