OLEH Gus
tf Sakai (Sastrawan)
Dalam sejumlah seminar atau pertemuan sastra,
dalam setiap workshop atau bengkel
penulisan prosa, selalu, pertanyaan inilah yang tak henti dan tak bosan
ditanyakan kepada saya: “Bagaimanakah proses kreatif Anda?” Untuk pertanyaan
ini, selalu pula saya akan tertegun, sejenak, dan dengan menyesal lalu
menjawab: “Entah, mungkin tak ada ....”
Lho, kenapa?
Tentu sangat mengherankan. Akan tetapi bagi saya tidak. Sebaliknya, justru
pertanyaan tentang proses kreatif itulah yang terasa ganjil. Bila pengertian proses adalah runtunan perubahan atau perkembangan yang berkelanjutan,
bagaimanapun saya memeriksa; menjenguk ke dalam diri setiap kali mencipta, hal
itu tak pernah bisa saya temukan, tak pernah bisa saya terangkan. Semuanya
terjadi begitu tiba-tiba, ajaib, mencengangkan. Satu letupan, dan tiba-tiba ia
menjelma. Ada. Bagaimana saya mesti menjelaskan itu?
Mungkin saja bisa saya jelaskan. Dengan tetap
mencari, misalnya. Tetapi itu namanya penjelasan yang dicari-cari. Dan hasilnya
sangat mungkin hanya akan mengada-ada, dusta, bual, atau omong kosong
semacamnya. Maka mari, saya mengajak, pertanyaan tentang proses kreatif
sementara kita lupakan. Sebagai “gantinya” saya akan bercerita tentang
pengalaman, sesuatu yang menurut saya lebih kongkret, yang mudah-mudahan lebih
berharga; dan siapa tahu merupakan faset lain dari apa yang sebenarnya kita
inginkan tentang topik yang kita bicarakan.
***
Mulanya saya akan bercerita soal pengalaman
tentang hal-hal yang memudahkan saya
dalam mengarang. Tetapi ketika pikiran itu dikelebati oleh pertanyaan
sebaliknya (kenapa bukan hambatan?
Hal-hal yang menyulitkan?), entah
kenapa saya tiba-tiba memutuskan untuk memilih yang berkelebat belakangan,
yakni hambatan. Mungkin bukan hanya
karena kemudahan sangat personal dan situasional sifatnya, tetapi karena
pengalaman tentang hambatan-lah yang
konon kata orang mengantarkan seseorang kepada keberhasilan (dalam hal
mengarang, kata keberhasilan mungkin lebih tepat disebut pencapaian).
Hambatan-hambatan itu, setelah saya pikir,
setidaknya ada tiga hal. Pertama,
bila saya terlalu terpaku pada bentuk penyajian yang telah ada.
Kita tahu, secara umum, ada dua bentuk atau cara
yang digunakan pengarang untuk menyajikan ceritanya. Pertama adalah bentuk
penyajian yang sangat terikat kepada plot,
sedangkan yang kedua adalah bentuk penyajian yang bertitik tolak pada, atau
mengandalkan, karakter. Bila sebelum
mengarang saya terlebih dulu berpikir dan menimbang bentuk penyajian mana yang
akan saya gunakan, maka biasanya karangan saya akan macet; hambatannya terasa
besar.
Dulu saya merasa aneh kenapa hambatan itu bisa
terjadi, karena logikanya bentuk-bentuk penyajian yang telah kita kenal itu
mestinya mempermudah. Belakangan saya paham itu wajar saja, karena sebenarnya
ada logika lain yang tengah bekerja. Logika yang mungkin lebih mendasar, lebih
substansif. Bila saya telah berpikir pada bentuk-bentuk penyajian yang sudah
ada, berarti saya telah mengikatkan diri dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam
masing-masing bentuk itu. Maka wajar potensi kemacetan jadi tinggi. Dalam
pikiran saya, tentulah terjadi sesuatu yang kontradiktif. Ikatan, atau
ketentuan-ketentuan yang telah lebih dulu saya tetapkan, berbenturan dengan
esensi proses kreatif yang tampaknya mensyaratkan diri kita dalam keadaan bebas
dan terbuka.
Hambatan kedua,
adalah bila saya terlalu percaya tokoh-tokoh cerita hadir dalam karangan saya
karena saya ciptakan. Dengan demikian, segala tindakan dan segenap pikiran si
tokoh hanya mungkin dan bisa tercipta bila saya menginginkan. Bila telah
begini, biasanya karangan saya juga bakal macet. Kenapa bisa? Aneh, bukankah
itu karangan saya?
Jawabannya, seperti hambatan pertama, juga saya
temukan belakangan. Bila “nyawa” dan “hidup” si tokoh saya percayai ada
sepenuhnya di tangan saya, rupanya si tokoh jadi tidak hidup; tidak berkembang.
Seorang tokoh, dengan demikian juga seorang manusia, punya watak sendiri, yang
sangat khas, yang membedakannya dengan manusia lain. Betapa bermacamnya
manusia, dan betapa beragam kebenaran dalam dirinya. Maka kesimpulannya, betapa
tak mungkin saya yang kecil ini, yang hanya sendiri ini, menentukan atau
mengendalikan tokoh-tokoh yang saya hadirkan; karena mereka bukan saya. Apa
yang bisa disampaikan oleh saya, yang hanya seorang ini, dibandingkan jagat
luas multidimensi, penuh misteri, unik, dengan kebenaran-kebenarannya sendiri?
Mungkin akan jadi lain dan bakal mudah, misalnya, kalau saya menulis
autobiografi. Dalam autobiografi, kita sepenuhnya menceritakan diri sendiri.
Hambatan ketiga, adalah bila saya berpikir
karangan yang saya tulis haruslah membawa pesan moral tertentu. Bila dalam
memperoleh ide karangan saya mulai berpikir tentang pesan moral apa yang harus
saya sampaikan dalam karangan, sudah bisa dipastikan karangan itu juga bakal
tak selesai.
Jawaban dari hambatan ini, mungkin saya temukan
paling belakangan, ketika saya tahu di mana sebenarnya posisi karya sastra di
tengah sekian banyak wacana atau “teks” lain. Karya atau teks sastra bukan teks
agama, filsafat, naskah pidato, risalah, di mana bahasa benar-benar hanya
merupakan alat untuk menyampaikan rumusan, aturan, metode, dan dogma-dogma.
Seperti halnya kasus hambatan pertama, ada sesuatu yang kontradiktif di sana.
Bahasa rumusan, aturan, bahasa diktum dan dogma-dogma adalah bahasa abstrak
yang diskursif. Sedangkan bahasa dalam sastra bersifat sebaliknya: kongkret,
eksperiensial, dan karenanya membebaskan.
***
Demikianlah tiga hambatan yang saya alami dalam
mengarang. Dan dalam konteks ketiadaan hambatan itu pula yang membuat cerpen Ulat dalam Sepatu, sebagai contoh,
lahir. Awalnya, hambatan kategori kedua saya pikir bakal menghadang, karena
memang saya sendirilah yang pada suatu kesempatan di suatu hari melihat sebuah
sepatu, butut, tergeletak, pada sebuah ruangan di Kantor Gubernur. Akan tetapi
setelah “memberikan” sifat lugu dan terutama pandangan hidup yang positif
(sifat dasar setiap manusia) kepada si tokoh, cerita itu akhirnya mengalir
sendiri; dan tiba-tiba menjelma, ada, seperti yang saya sebut di bagian awal.
Selain sepatu itu, yang saya ingat ketika saya
tiba-tiba sadar bahwa saya bakal menulis sebuah cerpen, adalah sebuah frase
atau ungkapan yang berbunyi duri dalam
daging. Agaknya ungkapan inilah yang bermetamorfosis secara ajaib menjadi ulat dalam sepatu. Simbol-simbol ini
hadir dan “menguasai” saya, tentu saja, dan tak dapat diabaikan, karena cerpen
itu lahir tahun 1997, di zaman Orde Baru. Akan lain misalnya bila “semua” itu
mendatangi saya di masa sekarang, pada waktu apa pun bisa diomongkan sepuas-puasnya
sebebas-bebasnya secara terbuka, tanpa simbol.
Pada akhirnya, apa yang dapat saya katakan,
melihat sepatu di Kantor Gubernur, berkelebatnya uangkapan duri dalam daging, hanyalah pemicu. Pemantik. Pada kenyataannya,
saya yakin, “dunia” cerpen itu telah ada dalam diri saya jauh sebelum itu.
Jadi, artinya juga, melihat sepatu di Kantor
Gubernur, berkelebatnya ungkapan duri
dalam daging, mungkin tak berkesan apa-apa atau takkan menjadi cerpen bagi
pengarang lain. Hal itu, tentu, bila “dunia” cerpen itu tak pernah bersemayam
dalam diri yang bersangkutan sebelumnya.
Dan karenanya juga, saya percaya, setiap orang
berbeda. Apa yang menarik bagi seseorang belum tentu menarik bagi orang lain.
Apa yang menurut saya penting, bagi orang lain mungkin tak berharga, semacam
sampah, dan apa yang saya tulis sangat mungkin hanya omong kosong saja .... ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar