Setiap Hari Berjalan dari Payakumbuh-Bukittinggi
OLEH Nasrul Azwar
Gustinar |
Gustinar, dua pekan lalu, tak bisa
beranjak dari dipannya. Ia demam. Panas-dingin badannya. Tulangnya rangkik-rangkik. Ngilu semua sendi. Ia
tak bisa berjualan. Dua hari dirinya terkapar.
“Hari ini masih terasa. Badan ini belum
sehat benar. Tapi saya pikir, jika tak manjojo (jualan), kami mau makan dengan
apa, Dek?” katanya kepada saya di Pasa Ateh, Bukittinggi, Minggu (3/4/2016),
siang.
Gustinar mengaku menguat-nguatkan dirinya
agar bisa berjualan. Awalnya, ia belum bisa manjojo
terlalu jauh. Saat bertemu dengannya, tampak pancaran matanya masih kuyu,
bibirnya terlihat pecah-pecah. Tapi semangat berdagangnya masih menyala.
Gustinar seperti mewakili militansi masyarakat kecil mencari rupiah yang halal.
“Setelah deman, saya berjualan di sekitar
Payakumbuh saja. Ini baru saya ke Bukittinggi. Tapi masih sering berhenti
berjalan jika saya merasa panek,” jelasnya.
Sosok perempuan 51 tahun ini, seorang ibu
dengan lima anak, berjualan berbagai jenis makanan khas Payakumbuh dengan
menggunakan gerobak dorong satu roda. Gerobak ini biasa digunakan untuk membawa
material bagi pekerja bangunan.
Setelah salat Subuh, ia pamit kepada
anak-anak dan kedua orangtuanya yang kini terbaring sakit. Ia berangkat
mendorong gerobaknya yang penuh makanan ringan itu. Gustinar tinggal di Koto
Nam Ampek Payakumbuh, tak jauh dari terminal kota.
Berlahan, saat jalanan masih lengang,
derit roda gerobak yang sumbunya kering itu, membelah pagi. Menapak tepi jalan
raya, ia menuju Kota Bukttinggi. Pekerjaan seperti ini ia lakukan setiap hari.
Hanya sakit yang bisa hentikannya.
Berjalan kaki dengan mendorong gerobak
dari Payakumbuh ke Bukittinggi, yang jaraknya mencapai 30 km itu, bisakah Anda
bayangkan bagaimana militansinya Gustinar berjuang untuk bisa memeroleh lima
puluh ribuan rupiah setiap hari?
Sepanjang jalan itu, sesekali ia singgah
di lapau-lapau pinggir jalan. Ia ambil titipan makanan, lalu menukarnya dengan
yang baru. Ada yang habis, ada yang tersisa. Lalu, pemilik lapau
menyerahkan hasil penjualannya. Cara
berdagang sangat kekeluargaan yang masih terpelihara.
Gustinar cerita, pekerjaan berdagang
makanan ringan itu, sudah ia jalani seperempat abad lamanya.
“Sudah dua puluh lima tahun berdagang
seperti ini. Mulai bajojo dengan dengan menggunakan katidiang (bakul) sampai
pakai gerobak. Sejak dulu, jualan ini saja. Tak pernah ganti-ganti,” katanya,
seraya menyilakan saya mencoba salah satu makanan, yang sudah tinggal setengah
gerobaknya itu.
Sepanjang 25 tahun karirnya berjualan
dengan gerobak dorong ini, pengalaman yang paling mengesankan baginya, ia
kisahkan ialah saat dirinya hamil anak pertamanya.
“Saya terjatuh di parit lapangan Kantin
Bukittinggi. Terperosok. Saat itu usia kandungan saya sudah sembilan bulan.
Tiga hari setelah jatuh itu, saya melahirkan anak yang sehat. Sekarang anak
saya itu sudah berkeluarga. Punya satu anak. Mereka tinggal di Payakumbuh juga,
bukan bersama saya. Masih mengontrak,” cerita Gustinar. “Terjatuh yang membawa
hikmah,” gumamnya.
Di atas gerobak yang ia bawa setiap hari
itu, ada bermacam-macam jenis makanan khas Kota Batiah. Sejak dari batiah, galamai, bareh rendang, kipang,
rakik maco dan kacang, hingga kerupuk kuning berbentuk roda.
Gustinar menjelaskan, makanan ringan yang
ia bawa itu titipan dari pedagang-pedagang di Payakumbuh. Ia menerima harga
selisihnya saja.
“Sekitar dua ribuan rupiah per bungkus
saya peroleh jika terjual. Tak banyak-banyak. Sehari terjual sekitar 20 bungkus
malah bisa 50 bungkus,” jelas Gustinar.
Saat berbincang dengan saya, ekspresi
Gustinar terlihat sedih. Kakinya terlihat kering. Ia mengenakan sandal jepit
japang. Sudah usang dan kumal.
“Sebulan sepasang sandal habis,” katanya.
Ini artinya, dalam setahun ia habiskan 12
pasang sandal, dan sepanjang 25 tahun itu perjalanannya, kaki Gustinar
menghabiskan 300 pasang sandal. Selain menghabiskan ratusan pasang sandal itu,
sejak ia bajojo pakai gerobak, sudah 3 buah gerobak dorong yang digunakan.
“Yang pertama sudah patah-patah sumbunya.
Umurnya cukup lama. Hampir 10 tahun. Yang kedua hilang dicuri orang. Ini yang
baru setahun lalu dibeli,” katanya sambil menunjuk gerobak yang ia gunakan saat
ini.
Tapi yang Gustinar sedihkan bukan perkara
sandal atau gerobak dorongnya, tapi kedua orangtuanya, yang sejak setahun lalu,
tinggal bersamanya. Kedua orangtuanya kini terbaring sakit. Jika ia bajojo, tak
ada yang menjaganya.
“Tak ada yang mengurusi mereka saat saya
pergi bajojo. Ayah sesak napas sakitnya. Ibu kena stroke. Kalau bisa, saya
berharap berjualan di rumah saja. Tapi saya tak punya modal,” terang Gustinar.
Gustinar berharap betul, Pemerintah Kota
Payakumbuh bisa membantunya dan memberikan pinjaman modal untuk berdagang di
rumah. “Jika saya berjualan di rumah, saya bisa kontrol kedua orangtua dan
anak-anak.”
Suami?
“Suami saya tiga bulan lalu mengalami
kecelakaan. Mobil yang ia bawa menabrak seseorang hingga meninggal. Kini ia di
sel polisi di Sungai Rumbai. Suami kerja sebagai sopir travel,” jelasnya.
Gustinar mengaku pernah membesuk suaminya
di tahanan polisi. “Cuma sekali saja. Banyak pitih habis ke sana.”
Gustinar representatif dari masyarakat
kelas bawah yang terus bertahan untuk menghidupi keluarganya. Dalam pandangan
sosiologis, Gustinar dan mungkin jutaan lagi dalam derita yang serupa, disebut
kemiskinan struktural.
Revrisond Baswier, salah seorang pengajar
di UGM mengatakan, kemiskinan sruktural adalah kemiskinan yang disebabkan
oleh faktor-faktor buatan manusia
seperti kebijakkan perekonomian yang tidak adil, penguasaan faktor-faktor
produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan perekonomian
internasional yang lebih menguntungkan negara tertentu.
“Kemiskinan struktural merupakan bentuk
disfungsionalitas lembaga negara dalam mengejawantahkan amanat undang-undang
untuk melindungi kepentingan rakyatnya sehingga menyebabkan kebijakkan yang
memiskinkan rakyat,” kata Revrisond. ***
#PedagangKecil #MilitansiRakyatBadarai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar