CATATAN SILATURAHMI MANDE BAPUISI
ANTARKOMUNITAS
OLEH Nasrul Azwar (Presiden AKSI)
Penampilan para pembaca puisi,
musikalisasi, pantomim, serta seni tradisi Minang dalam “Silaturahmi Mande
Bapuisi, Rekonstruksi 28 dalam Hari Puisi”. (Foto Panitia)
|
Bebatuan bata sebagian masih tersusun relatif
rapi, kendati tak utuh. Inilah sisa sebuah kawasan pertahanan perang dan
sekaligus tempat pengintaian musuh yang digunakan bangsa kolonial Portugis.
Posisinya sangat strategis. Saat ini dikembangkan sebagai salah satu destinasi
wisata Pesisir Selatan.
Kawasan yang berada persis di tengah
jantung Pulau Cingkuak itu, disebut Benteng Pulau Cingkuak. Benteng yang
dibangun Portugis sekitar tahun 1500-an ini berada di Jorong Pulau Cingkuk, Nagari
Painan, Kecamatan IV Jurai, Pesisir Selatan. Menuju pulau yang luasnya 4,5 hektare itu, menaiki
perahu bermesin tempel dari dermaga kecil di Pantai Carorok, tak sampai 15
menit, karcisnya pulang-pergi Rp21 ribu per orang. Katanya, Rp1.000 untuk
asuransi penumpang perahu.
Benteng Pulau Cingkuk ini merupakan basis
pertahanan kolonial Portugis di Pantai Barat Sumatera. Selain untuk benteng,
Portugis juga memungsikan pulau ini untuk mengumpulkan hasil tambang emas
salido yang dibawa ke negaranya. Makanya, di sini ada dermaga kecil.
Kini, kawasan bersejarah ini, sudah masuk
dalam situs cagar budaya Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, namun
tak terlihat adanya perawatan khusus terhadap situs sejarah ini. Rerumputan
liar tumbuh membungkus dinding benteng. Bebatuan dibiarkan berlumut, dan ada
beberapa yang berserakan.
Di tengah bangunan Benteng Pulau Cingkuak
inilah para pencinta dan komunitas seni, penyair, pambaca puisi dan aktivis
budaya literasi, serta masyarakat sekitar pada Minggu 15 Oktober 2017, berkumpul dalam satu tujuan yang mengebatnya,
yakni Silaturahmi Mande Bapuisi, Rekonstruksi 28 dalam Hari Puisi
antarkomunitas dan pencinta seni dari berbagai kota dan kabupaten di Sumbar.
Sebelum memasuki kawasan Benteng Pulau
Cingkuak itu, persis di depan pintu gerbang yang melengkung dengan jalan agak
mendaki, rombongan pegiat seni sekitar seratusan, disambut dengan tarian
tradisi Minang sebagai bentuk penghormatan pada tetamu. Tarian dengan
mengedepankan gerakan silat ini dibawakan Kelompok Bayang Palito Remasdafa,
Talaok, Pessel, sebuah sanggar yang sedang berkembang baik. Dalam rombongan
terlihat Riri Satria, putra Pesisir Selatan yang juga salah seorang inisiator
kegiatan, penyair Sosialwan Leak dari Solo, dan lain sebagainya. Tak ada
pejabat dari pihak Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan yang hadir.
Kata Sulthan Indra Muhidin Muda, Ketua
Pelaksana Acara ini, pihak pejabat terkait di Pesisir Selatan, kendati tak
hadir di kegiatan yang cukup penting ini, mereka membantu secara moral dan doa
dari jauh. “Mereka dukung secara moral dan dan doa dari jauh saja,” tegasnya.
Hal senada juga dikatakan Arbi Tanjung, inisiator kegiatan ini, kegiatan
ini tetap akan jalan walau tak ada bantuan dari pemerintah. “Bulan depan
mungkin di Bonjol kita laksanakan,” kata Arbi lagi.
Galibnya kegiatan antarkomunitas seni
ini, yang memang dikesankan jauh dari hinggar-bingar kemegahan dengan lelampu
dan perangkat bunyi yang digital, tentu dengan ruang berhawa dingin dan harum, mereka
melantunkan syair, menyanyikan puisi, berpantomim, menampilkan tari tradisi
Minang dan randai, di atas panggung seadanya dan sederhana.
Di Pulau Cingkuak ini, panggung dibuat di
atas tanah yang agak tinggi dengan tiang batang kekayuan beratap dedaunan. Ada
tali plastik warna merah yang disusun seperti sarang laba-laba di sisi kiri
yang tak layak disebut panggung itu, yang luasnya 2 kali 2 meter saja. Di sana
perangkat pengeras suara ditaruh. Ada pula 4 kursi dan 2 gitar, yang membuat
“panggung” terlihat sempit. Tapi bagi yang tampil, itu bukan masalah.
Dari atas panggung yang memang sangat
sederhana itulah penyair Sosiawan Leak dari Kota Solo Jawa Tengah, Syarifuddin
Arifin, Riri Satria dari Jakarta, Sulthan Indra Muhidin Muda, Maulida Rahman
Siregar, Soetan Radjo Pamoentjak dan Refdinal dari Komunitas Sarunai
Bukittinggi, Romi Sastra, M. Jemmi Visgun Batusangkar, pantomim Zam Mime, Okta
Piliang, Yeyen Kiram, Endut Ahadiat, Hermawan, Osmulyadi dan John Wahid
(perupa), musikalisasi puisi dari Teater IB Padang, Sanggar Bayang Palito dari
Nagari Bayang dan seterusnya, membekaskan eksistensinya dalam kreativitas di
benteng ciptaan kolonial Portugis itu.
Menurut Sulthan Indra Muhidin Muda, kegiatan
silaturahmi pegiat seni antarkomunitas seni di Sumatera Barat ini, selain
membuka lebih luas ruang ekspresi, juga dikesankan untuk memperkenalkan lebih
luas destinasi wisata andalan Pesisir Selatan ini.
“Kita memilih Pulau Cingkuak agar
destinasi wisata di Pesisir Selatan dikenal secara masif dan luas. Kita dorong
dengan kapasitas kita lewat seni. Kita kenalkan lewat karya-karya kreatif
pembacaan puisi, musikalisasi dan penampilan seni tradisi lainnya. Ini pertama
kali kegiatan seni digelar di Pulau Cingkuak. Kita telah lakukan pembicaraan
dengan pihak Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan, tapi mereka kurang respek. Tapi tak masalah. Kegiatan tetap
jalan sesuai dengan yang direncanakan. Kehadiran kawan-kawan komunitas dan para
senior, sangat membantu kesuksesan acara ini,” ujar Sulthan Indra Muhidin Muda,
yang juga ‘rang pasisia’ ini.
Dia mengaku kecewa karena minimnya
respons Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan ini.
“Bupati yang sebelumnya menyatakan
bersedia hadir, tapi karena ada peluncuran Tour de Singkarak 2017 di Jakarta, beliau
berhalangan. Semestinya bisa saja diwakilkan,” tambahnya.
Selain pemanggungan puisi, anak-anak usia
sekolah dasar yang hadir, juga diajak menggambar dan mewarnai. Perupa Sumbar
Jhon Wahid memfasilitasinya.
“Anak-anak antusias dan penuh minat mengikutinya.
Mereka dikenalkan cara mewarnai objek gambar-gambar yang dekat dengan
lingkungannya,” kata Jhon Wahid.
Konsep dasar kegiatan, menurut Yeyen
Kiram, salah seorang motivator dan pendorong kegiatan anak-anak muda ini,
memang berangkat dari keikutsertaan dan partisipasi aktif masyarakat di mana
kegiatan dilaksanakan.
“Ini cara mendekatkan karya sastra dan
seni kepada masyarakat. Iven lintas komunitas ini sudah sekian kalinya
dilaksanakan sejak di Harau, Kubu Gadang, Parabek, Bukittinggi, hingga di Pulau
Cingkuak ini, partisipasi dan keterlibatan masyarakat menjadi hal penting dan
keniscayaan. Jika tak bisa melibatkan masyarakat, acara dinilai gagal. Beda
jika aparat pemerintah tak hadir, kegiatan tetap dianggap sukses,” ujar Yeyen
Kiram, pegiat di Komunitas Tigo Sandiang ini.
Sementara Endut Ahadiat, doktor peneliti
sastra dari Universitas Bung Hatta, menilai, pemerintah harus membuka diri
lebih luas cakrawala terhadap perkembangan kesenian di Sumatera Barat.
“Pendekatan aparat pemerintah yang selama
ini harus ditokok dulu baru bergerak, seharusnya sudah ditinggalkan. Inisiatif
dan cepat tanggap dengan perkembangan dan gerakan seni yang diinisiasi
anak-anak muda, harus jadi perhatian dan penting bagi aparat pemerintah.
Keberhasilan program, harus didukung bersama dan pemerintah harus fasilitasi
dan akomodir apa yang sedang berlangsung di tengah masyarakat. Intinya, aparat
pemerintah jangan lagi bekerja dengan cara-cara birokratif,” jelas Endut.
Memimpikan
Festival Sastra
Masyarakat sastra dan literasi di
Sumatera Barat hingga kini belum memiliki sebuah iven atau festival sastra yang
cakupannya cukup luas, minimal se-Sumatera, yang dikesankan hadir secara
berkala dan berkesinambungan.
Sebelumnya, ada dua kali festival sastra Padang Literary Biennale yang digagas anak muda
yang terhimpun dalam Komunitas Kandangpadati, sukses digelar di Padang, dengan militansi pendanaan swadaya, yakni
pada 2012 dan 2014, tapi sudah terhenti untuk yang ketiga kalinya. Saat itu,
banyak harapan ditumpukan masyarakat sastra Sumbar pada Padang Literary
Biennale (PLB) ini sebagai representasi sebuah festival sastra yang berwibawa dan indipenden. Tapi napas kegiatan
yang penting begini tak begitu panjang. Tapi, saya yakin PLB ini akan terus
dilajutkan. Sayang sekali jika terhenti.
PLB ini, tentu jauh berbeda dengan iven yang dikelola dan milik
dinas-dinas pemerintah yang bisa dilakukan setiap tahun dengan dana yang
melimpah tapi jauh dari kualitas dan mengesankan sebuah proyek.
Di luar sastra, Sumatera Barat memang punya festival yang cukup
memberi arti bagi perkembangan kesenian, terutama seni pertunjukan, dengan
cakupan program cukup luas, yakni Kaba Festival dan Pekan Seni Nan Tumpah.
Sementara itu, sastra dan literasi itu sendiri, yang memiliki sejarah
panjang dan penting dalam percaturan sastra di Indonesia, tampaknya masih
konsisten mengandalkan kegiatan-kegiatan sastra di luar Sumatera Barat untuk
mengukuhkan eksistensi pegiatnya. Tak bisa dipungkiri, nyaris perjalanan kreatif
para pelaku sastra dan pegiat sastra, menguat keberadaannya karena mengikuti
iven-iven sastra di pelbagai kota di Indonesia, bukan iven di kampungnya
sendiri, Sumbar.
Pemikiran demikian mencuat dalam rangkaian iven “Silaturahmi Mande
Bapuisi, Rekonstruksi 28 dalam Hari Puisi” yang sehari sebelumnya, Sabtu malam (14/10/2017)
digelar bincang sastra di Ruang Chairil Anwar Taman Budaya Sumatera Barat.
Ada tiga narasumber pemancing diskusi,
yakni Sosiawan Leak, Riri Satria, dan Nasrul Azwar. Bincang sastra dengan
sajian kopi panas dan goreng pisang ini, dihadiri Agus Sri Danardana (Kepala
Balai Bahasa Sumatra Barat), Emral Djamal (penyair dan budayawan), Alizar
Tanjung, Yetti AKA, Kabati, dan pegiat sastra lainnya.
Menurut Riri Satria, aktivis di Komunitas
Dapur Sastra Jakarta dan salah seorang penasihat dalam iven Minangkabau Culture
and Art Festival, yang sukses digelar di TIM Jakarta beberapa waktu lalu,
sebuah festival, terlepas dari skalanya, tak akan bisa dipisahkan dengan
manajemen dan tata kelolanya.
“Festival bukan semata melibatkan
personal seniman atau sastrawan semata. Festival itu bersifat publik dan untuk
mencapai hasil yang maksimal dan luas, serta jadi pembicaraan masyarakat,
dituntut tata kelola dan manajemen yang ketat dan disiplin. Kerjanya harus
direncanakan. Tak ada sporadis. Saya yang berlatar belakang ilmu manajemen
sudah menerapkannya di pelbagai kegiatan, terutama di Komunitas Dapur Sastra
Jakarta dan beberapa kegiatan festival lainnya,” kata lulusan program Master of Information Technology
Swiss-German University (MIT-SGU).
Selain itu, tambah pengajar manajemen di
Universitas Indonesia ini, keterlibatannya secara tak langsung dalam “Silaturahmi
Mande Bapuisi, Rekonstruksi 28 dalam Hari Puisi” ini, tak lebih memberikan
semacam motivasi dan mendorong para pegiat sastra dan literasi di Sumbar cara
menata dan mengelola sebuah kegiatan atau festival seni.
“Dengan keterbatasan di sana-sini, kita
tetap bisa laksanakan kegiatan ini sesuai yang kita rencanakan kendati belum
maksimal dan perlu dibenahi banyak hal. Tapi modal militansi dan semangat itu,
jadi pijakan kita menata manajemen festival untuk masa yang akan datang,” kata
pemilik buku antologi buku puisi “Jendela” dan “Winter in Paris” yang sedang
proses cetak ini.
Sosiawan Leak, sastrawan antikorupsi ini,
selain pemancing diskusi juga membaca puisi malam itu, menilai, secara umum,
tingkat apresiasi publik terhadap sastra meningkat. Hal ini terlihat dari
masifnya iven sastra, perbicangan buku sastra, hadirnya komunitas-komunitas
sastra dan literasi, di pelbagai kota hingga kabupaten, dan kecamatan
sekalipun.
“Bagi saya ini sesuatu yang perlu kita
simak dan apresiasi dengan baik. Posisi sastra sangat penting dalam kehidupan
berbagai bidang, termasuk politik dan ekonomi. Keberadaan sastrawan pun sangat
berperan,” kata Sosiawan malam itu
bersama Riri membagikan buku kumpulan “Puisi Menolak Korupsi” kepada beberapa
orang yang hadir.
Sastra terus berjalan tanpa kehadiran
negara di sana. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar