Kebakaran hebat yang meluluhlantakkan
Pasa Ateh Bukittinggi, Senin 30 Oktober 2017, sekitar pukul 05.45 WIB, menyisakan
duka mendalam. Seribu pedagang di sana tak bisa berdagang. Lebih kurang 1.043
kedai dan lapak pedagang kreatif lapangan tak bisa digunakan. Setengah dari
itu, ludes terbakar. Kebakaran serupa sudah sering terjadi.
Kendati begitu, perlu juga diketahui tentang
sejarah dan latar belakang kehadiran Pasa Ateh yang menjadi jantung ekonomi
masyarakat “Koto Rang Agam” ini.
Dalam penelusuran dokumentasi perihal hubungan
Agam dengan Bukittinggi dalam wilayah pemerintahan ke dua daerah itu, yang
mengesankan tidak kondusif, ternyata telah berlangsung lama. Perseteruan yang
paling mutakhir adalah soal diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 84
Tahun 1999 tentang tapal batas kedua daerah itu.
Pada tahun 1968, perseteruan dua daerah ini
menyangkut perkara Pasar Sarikat Bukittinggi. Ketika itu solusi sengketa ini, disepakati
masing-masing DPRD-GR membentuk Panitia Khusus. Namun kedua DPRD-GR pemerintahan
itu tidak berhasil mencapai kata sepakat alias kandas. Maka, penyelesaian Pasar
Sarikat diserahkan kepada masing-masing pemerintahan.
Konflik ini berawal dari dari tuntutan pemerintah Kabupaten Agam
dengan mengeluarkan “resolusi”. Agam merasa berhak menerima hasil Pasar Sarikat
Bukittinggi yang memang berada di daerah otonomi Nagari Kurai V Jorong.
Tuntutan ini dinilai Pemerintah Kotamadya Bukittinggi bersifat sepihak,
akhirnya memang tidak dapat dipenuhi.
Perselisihan ini tampaknya menjadi titik awal
konflik Agam–Bukittinggi, hingga kini. Padahal dalam sejarah kulturalnya, kedua
masyarakat ini badunsanak. Namun, dalam perspektif kekuasaan dan
pemerintahan, bagi Bukittinggi dan Agam, badunsanak ini bukan berarti
menjadi alasan yang tepat untuk membagi hasil dari aset yang dimiliki Kota
Bukittinggi.
Lalu, kini muncul bibit baru yang memperuncing
konflik kedua wilayah administrasi yang berbeda ini: PP Nomor 84 Tahun 1999
tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan Agam. Tampaknya, PP yang telah hampir berusia tujuh
tahun ini adalah satu pintu yang akan membuka luka lama hubungan yang tidak
enak kedua daerah itu. Dan tentu saja tidak diharapkan perselesihan serupa
terjadi di tingkat masyarakat bawah.
Memang, kita tidak dapat pula menutup mata,
permasalahan yang berkenaan dengan PP No 84/1999, sekarang soalnya bukan lagi
pro-kontra belaka. Akan tetapi, telah menjadi komoditas politik dan kepentingan
segelintir orang. Artinya, duduk perkara sesungguhnya dari PP tersebut seakan
telah diabaikan. Dan substansi dari PP itu pun tidak lagi menjadi pikiran
bersama. Seolah dengan terbitnya PP tersebut, semua pihak yang berkaitan dengan
itu, kehilangan akal sehat dan pikiran jernih. Yang muncul kepermukaan adalah statement
dari beragam kalangan yang cenderung bernada emosional, agitatif,
provokatif, dan kontraproduktif. Dan ini membuat masyarakat semakin kian
bingung.
Kita bersama pun tentu sepakat, bahwa musyawarah
menuju kemufakatan adalah pilihan yang paling tepat untuk membuka dialog dan
perbicangan ke arah penyelesaian sengketa PP No 84/1999 ini. Sikap mau
bermusyawarah ke arah yang saling menguntungkan – tidak ada pihak yang merasa
dirugikan – kiranya sangat perlu sekali diupayakan ke dua belah pihak: pro-kontra.
Budaya musyawarah untuk menuju satu kemufakatan, tampaknya telah lama
ditinggalkan, baik itu ditingkat elit kekuasaan maupun di tingkat masyarakat.
Konflik yang berkepanjangan dan tidak
berkesudahan semenjak terbitnya PP No 84/1999 pada tanggal 7 Oktober 1999
hingga kini, yang memang belum memperlihatkan titik terangnya. Ini jelas sekali
membuktikan bahwa budaya dan sikap musyawarah telah mulai ditinggalkan. Dan
kita cenderung menempuh jalan sendiri-sendiri untuk menyelesaikan persoalan.
Pada batas ini, pihak Agam mencoba mencari solusi dengan cara dan polanya
sendiri. Demikian juga dengan Bukittinggi, berjalan sendiri pula dengan
caranya. Dan juga sama halnya dengan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat, DPRD
kedua pihak, DPRD Sumatra Barat, tokoh-tokoh masyarakat kedua pihak, serta
masyarakat pun ikut di dalamnya. Sehingga akhirnya, PP 84/1999 tidak akan
pernah terselesaikan.
Melihat kondisi demikian, tentu kita merasa
prihatin. Mengapa jalur musyawarah tidak pernah ditempuh lagi? Padahal,
musyawarah dan duduk bersama dalam satu meja untuk menyelesaikan satu masalah,
misalnya, telah berabad-abad diajarkan nenek moyang kita. Dan sikap rela
bermusyawarah itu sangat kental terkandung dalam adat dan budaya Minangkabau. Indak ado kusuik nan indak
salasai (Tidak ada kusut yang tidak dapat diselesaikan). Maksudnya, tentu
saja, tidak ada persoalan yang tidak dapat diselesaikan, jika semua dilakukan
dengan bermusyawarah.
Sekaitan dengan itu, tentu, mencari jalan ke luar
dari perseteruan Agam – Bukittinggi yang berkenaan dengan PP No 84/1999 itu,
kandungan filosofis dari ungkapan adat di atas, jelas sangat perlu kita maknai
secara mendalam untuk mencari jalan penyelesaian sengketa PP tersebut. Dan dari
perjalanan panjang perkara PP itu, baik pihak Agam, Bukittinggi, DPRD ke dua
daerah, dan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat, serta tokoh-tokoh masyarakat
dari ke dua daerah, juga masyarakat, seperti telah melupakan makna dan
nilai-nilai filosofis adat Minangkabau dan juga mamangan
yang dikutip di atas. Sikap
egaliter, menghargai pikiran dan pendapat orang lain, seakan dengan sengaja
dipinggirkan.
Sikap demikian itu, jelas sangat merugikan bagi
masa depan masyarakat dan juga bangsa ini. Karena, apa pun bentuk penyelesaian
yang ditempuh tanpa musyawarah, jelas sangat berbahaya. Dan yang akan merasakan
sekali akibatnya tentu saja masyarakat atau publik. Selain itu—jika kelak
persoalan PP No 84/1999 diselesaikan tanpa jalan musyawarah—ia akan muncul
sebagai jalan penyelesaian yang bersifat instant. Dan ini akibatnya akan lebih
parah dan rumit. Maka, tidak ada jalan lain; penyelesaian pro-kontra PP No
84/1999 harus ditempuh dengan musyawarah, semua pihak diharapkan berbesar hati
dan berlapang dada, duduak barapak membincangkan permasalahan ini secara
jernih, arif, bijak, dan tetap mengacu pada kepentingan publik. Dan jelas ini
menjadi tantangan yang sangat penting bagi kepala daerah yang akan dipilih
langsung masyarakat ke dua wilayah itu nanti. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar