Selasa, 31 Oktober 2017

Festival Seni Nan Tumpah 2017, Napas Panjang Mengelola Penonton

OLEH Nasrul Azwar (Presiden Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI)
Pertunjukan Komunitas Seni Nan Tumpah
Festival Seni Pekan Nan Tumpah 2017 telah diakhiri dengan penampilan konser nyanyian puisi  dari Sanggar Seni Dayung-Dayung Kayutanam dan pengumuman pemenang  Liga Baca Puisi Kreatif (LBPK) yang pemuncaknya diraih Deni Saputra dari ISI Padang Panjang dan Rahmat Hidayat, salah seorang penggerak Sanggar Seni Binuang Sakti di Lubuk Alung, Jumat malam, 29 September 2017.

Sepekan peristiwa budaya ini digelar, 23-29 September 2017, panitia berhasil meraup penonton lebih kurang 2.000 orang. Artinya, rata-rata semalam iven dua tahunan ini ditonton 285 orang selama 7 hari.
Festival yang digawe Komunitas Seni Nan Tumpah (KSNT) yang dimulai sejak 23 September 2017 di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat ini, menghadirkan tujuh seni pertunjukan (teater, tari, musik), pameran foto, dan final Liga Baca Puisi Kreatif.
Provinsi Sumatera Barat, yang pada 2018 nanti dikesankan oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) sebagai salah satu provinsi yang diberi perhatian untuk pengembangan sektor seni pertunjukan, selain fashion, tentu akan memberi efek bagi pelaku seni dan juga pada manajemen pengeloaan sebuah iven festival di daerah yang memiliki sekolah seni dan tebaran komunitas seni di pelbagai kota dan kabupaten ini.
Menurut saya, jika Bekraf merealisasikannya di Sumbar, eksistensi Festival Seni Pekan Nan Tumpah—paling tidak keberhasilan mereka mengumpulkan ribuan penonton muda dan potensial dapat dijadikan patokan dasar—posisi festival ini tak bisa lagi dipandang sebelah mata. Empat kali pagelaran ini dilaksanakan sejak 2011, kualitas tata kelola festival, memperlihatkan grafik yang positif.
Sherli Lab
Kendati di Sumatera Barat, tentunya, selain Festival Seni Pekan Nan Tumpah, ada lagi festival seni lainnya yang dilakukan secara berkala, tapi bagi saya, pengelolaan festival yang dilakukan Komunitas Seni Nan Tumpah ini menarik dibincangkan. Alasannya ialah: Pertama, inilah sebuah festival yang mulai dilaksanakan pertama kali tahun 2011 pada 24-29 Mei, dengan militansi yang tinggi yang dilandasi semangat kerja berkesenian komunitas ini. Tentu saja dengan berbagai rintangan dan kendala. Paling tidak masalah klasik yang dihadapi ialah pendanaan namun sukses menjaring dan merawat penontonnya.
Saat pertama digulirkan, nama iven budaya ini “Pesta Puisi” diisi dengan dua pertunjukan teater, peluncuran album musikalisasi puisi, diskusi dan lomba baca puisi kreatif.
“Kegiatan  perdana ini dilakukan juga untuk mengenang sastrawan Indonesia asal Sumatera Barat, almarhum Hammid Jabbar,” kata Mahatma Muhammad, pimpinan Komunitas Seni Nan Tumpah.
Dua tahun kemudian, pada 2013, iven ini namanya diganti menjadi Festival Seni Pekan Nan Tumpah, yang selanjutnya digunakan secara konsisten. Festival kedua ini menampilkan 8 komunitas seni pertunjukan yang ada di Sumatera Barat digelar 24 sampai dengan 27 Desember 2013.
Delapan komunitas yang tampil cukup reprentatif, yakni Komunitas Seni Nan Tumpah, Teater Alam Bengkulu, Sanggar Seni Dayung-dayung, Parewa Dance Company, Teater Wadjah, Fiza Dance Company, dan Kelompok Musikalisasi Puisi  Nan Tumpah Muda, juga ada Pameran Foto Seni, peluncuran 2 buku naskah drama teaterawan Sumatera Barat, yakni A.Alin De dan Muhammad Ibrahim Ilyas.
“Pekan Nan Tumpah 2013 juga berhasil menjaring sedikitnya 1300 penonton baru seni di Sumatera Barat, yang membeli tiket dari total 1.864 yang tercatat di buku tamu,” terang Mahatma lagi.
Galang Dance Community
Kemudian festival ini dilanjutkan pada 2015, menampilkan 6 kelompok seni. Fokus perhatian saat iven ini diusing ialah merealisasikan sekalgus mengedepankan proses berkelanjutan dan belajar dari segala kekurangan 2 festival yang telah diselenggarakan sebelumnya.
Festival Seni Pekan Nan Tumpah yang diadakan sejak 22-26 Desember 2015 ini tampil Teater Imaji, Rumah Drama dan Penulisan Kreatif, Komunitas Tari Galang Grup Musik orkestra Seruni dari UNP, yang semuanya dari Kota Padang, Teater Sakata (Padang Panjang), dan Sanggar Seni Dayung-dayung (Kayutanam). Tercatat peningkatan jumlah penonton yang cukup baik, yakni kurang lebih 2000 orang selama lima hari penyelenggaraan.
Pekan Nan Tumpah 2017 yang baru usai digelar, menghadirkan  7 seni pertunjukan, pameran foto, dan LBPK. 7 seni pertunjukan itu Galang Dance Community Padang, Sherlilab Padang Panjang (tari), Komunitas Seni Hitam Putih Padang Panjang, Teater Jengkal Bengkulu (teater), Sanggar Seni Dayung-Dayung Kayutanam, Kelompok Musik Balega Padang Panjang dan Komunitas Seni Nan Tumpah, pameran seni rupa dari Randy Otong.
Dari empat festival itu, bisa dikatakan bahwa dari aspek dan faktor yang inheren dengan sebuah pertunjukan, yakni penonton, terlihat meningkat. Aspek yang selama ini jarang menjadi perhatian pelaku seni, terutama di Sumatera Barat, sudah dijawab dengan sangat baik oleh KSNT, komunitas yang digerakkan anak-anak muda ini, dengan penataan manajemen penonton terukur dan sistematis.
Menjaring penonton dan mengawalnya menjadi “pelanggan” setia untuk sebuah iven festival, butuh strategi dan militansi. Dituntut konsistensi yang kuat berdisiplin. Selain itu, mengidentifikasi penonton, termasuk kecenderungan pilihan seninya, jelas merupakan faktor yang tak bisa dianggap remeh. Tampaknya, KSNT pada aspek ini, merawat penontonnya sekaligus terus sembari menjaring penonton baru, bisa dikatakan berhasil.
Penonton yang didominasi usia remaja-pelajar-mahasiswa ini, tentu bukan sesuatu hal yang mudah untuk merawat selera mereka terhadap kesenian di antara teknologi yang memanjakan hidup mereka.
Selain itu, terkait dengan branding kegiatan ini sudah mencapai sasaran yang dimaksud walaupun masih perlu ditingkatkan untuk membuka lebih lebar sosialisasi dan pengenalan, dan menjadikan iven ini sebagai isu di pelbagai media. Tentu untuk mencapai ini, kedisiplinan dan konsistensi terhadap apa yang sudah disepakati peserta dengan penyelenggara bisa dijalankan dengan baik.
“Keterlambatan kami membranding kegiatan ini di pelbagai media, yang berdampak menjadi singkatnya waktu penyebarluasan kegiatan, bukan semata pada panitia, tapi rekan-rekan seniman yang terkadang tak berdisiplin memberikan data-data grupnya. Tapi ini jadi catatan kita,” kata Mahatma.
Namun demikian, di luar dari penyelenggaraan Festival Seni Pekan Nan Tumpah, yang empat kali pagelarannya dilakukan di kawan Taman Budaya Sumatera Barat, poin penting yang harus kita kritisi bersama ialah soal fasilitas dan elemen-eleman dasar dari sebuah gedung pertunjukan.
Kondisi faktual gedung Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat, jelas sangat bertolak belakang dengan semangat memajukan kesenian di daerah ini. Gedung dengan kapasitas kursi mencapai 500 itu, tanpa alat pendingin ruangan, yang katanya rusak dan belum bisa diperbaiki, kentara sekali mengusik kenyamanan penonton.
“Panas dan berkeringat begini, bagaimana kita bisa nyaman menikmati seni,” kata salah seorang penonton dari Padang Panjang.  Selain itu, gedung itu bocor jika hujan lebat.
Kendati sekarang sudah ada Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, yang di bawahnya ada UPT Taman Budaya Sumatera Baratm, tapi belum tampak sama sekali menaruh perhatian pada gedung ini, walau Taufik Efendi dan Muasri, dua kepala ini ikut pula memberi sambutan saat pembukaan festival ini. Tapi, saya perhatikan, hanya pembukaan saja yang hadir, setelah itu hingga penutupan, tak terlihat batang hidungnya. 
Kedua, soal masa depan keberadaan kesenian di Sumatera Barat (tentu saja Indonesia) berada pada generasi milenial (identifikasi untuk generasi yang lahir direntang 1990-2000), yang kini secara militan menghidupi kesenian itu, berada di tangan mereka.
Saya tak ingin mengatakan yang tua-tua harus menyiapkan mereka untuk hal begitu, tapi dengan cara kerja yang sangat jauh bedanya dengan generasi sebelumnya, saya meyakini dunia kesenian akan berkembang sangat dahsyat. Komunitas Seni Nan Tumpah, satu dari sekian banyak komunitas dan personal yang kini terus bergerak untuk capaian itu.
Ketiga, jika festival ini dilanjutkan pada 2019 nanti, beberapa hal penting yang harus jadi perhatian KSNT ialah soal menata dan memilih isu. Bagian tema ini harus dikelola dengan baik karena kekuatan sebuah festival juga bagaimana kuratornya mengemas isu.
Memunculkan isu bisa dilakukan dengan menggelar semacam  Diskusi Kelompok Terarah (Focus Group Discussion) sesama sutradara yang diproyeksikan akan menjadi peserta Festival Seni Pekan Nan Tumpah.
Kolabiorasi Kelompok Imaji dengan Dayung Dayung
Selain itu, untuk memperluas jangkauan dan identifikasi beragam isu, bisa juga dibuka diskusi serupa dengan melibatkan para direktur-direktur festival di Sumatera Barat, dan pengamat budaya, aktivis, serta akademisi.
Hasil dari semua pemikiran itu, dijadikan bahan dan titik berangkat untuk melahirkan tema dan isu, yang kelak akan terkoneksi dengan garapan dan juga pameran.
Bagi saya, perkara yang berada di luar konten dan teks seni, KSNT sudah berhasil menemukan formula dan sistemnya tinggal merawat mengembangkannya secara konsisten. Kini, saatnya mengelola isu dan tema yang akan diangkat ke atas panggung sekaligus menarik untuk “dijual”.
Keempat, KSNT membangun teks semangat kewirausahaan di tubuhya. Kepada saya, Mahatma mengatakan, selain tetap menjaga intesitas berkesenian dan berkreativitas, KSNT mengembangkan usaha-usaha ekonomi yang dikelola secara terpisah dengan manajemen KSNT.
“Usaha-usaha kreatif itu, seperti Percetakan dan Penerbitan Kasangiangan, usaha jualan roti, parfum, kopi dan lain sebagainya berkontribusi signifikan terhadap keberhasilan penyelenggaraan Festival Seni Pekan Nan Tumpah,” kata Mahatma.

Strategi yang dilakukan KSNT layak ditiru komunitas-komunitas seni lainnya yang memang sangat inspiratif. ****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...