Pertunjukan Komunitas Seni Nan Tumpah |
Festival
Seni Pekan Nan Tumpah 2017 telah diakhiri dengan penampilan konser nyanyian
puisi dari Sanggar Seni Dayung-Dayung
Kayutanam dan pengumuman pemenang Liga
Baca Puisi Kreatif (LBPK) yang pemuncaknya diraih Deni Saputra dari ISI Padang
Panjang dan Rahmat Hidayat, salah seorang penggerak Sanggar Seni Binuang Sakti di
Lubuk Alung, Jumat malam, 29 September 2017.
Sepekan
peristiwa budaya ini digelar, 23-29 September 2017, panitia berhasil meraup
penonton lebih kurang 2.000 orang. Artinya, rata-rata semalam iven dua tahunan
ini ditonton 285 orang selama 7 hari.
Festival
yang digawe Komunitas Seni Nan Tumpah (KSNT) yang dimulai sejak 23 September
2017 di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat ini, menghadirkan tujuh seni
pertunjukan (teater, tari, musik), pameran foto, dan final Liga Baca Puisi
Kreatif.
Provinsi
Sumatera Barat, yang pada 2018 nanti dikesankan oleh Badan Ekonomi Kreatif
(Bekraf) sebagai salah satu provinsi yang diberi perhatian untuk pengembangan
sektor seni pertunjukan, selain fashion,
tentu akan memberi efek bagi pelaku seni dan juga pada manajemen pengeloaan
sebuah iven festival di daerah yang memiliki sekolah seni dan tebaran komunitas
seni di pelbagai kota dan kabupaten ini.
Menurut
saya, jika Bekraf merealisasikannya di Sumbar, eksistensi Festival Seni Pekan
Nan Tumpah—paling tidak keberhasilan mereka mengumpulkan ribuan penonton muda
dan potensial dapat dijadikan patokan dasar—posisi festival ini tak bisa lagi
dipandang sebelah mata. Empat kali pagelaran ini dilaksanakan sejak 2011,
kualitas tata kelola festival, memperlihatkan grafik yang positif.
Sherli Lab |
Kendati
di Sumatera Barat, tentunya, selain Festival Seni Pekan Nan Tumpah, ada lagi
festival seni lainnya yang dilakukan secara berkala, tapi bagi saya,
pengelolaan festival yang dilakukan Komunitas Seni Nan Tumpah ini menarik
dibincangkan. Alasannya ialah: Pertama,
inilah sebuah festival yang mulai dilaksanakan pertama kali tahun 2011 pada 24-29 Mei, dengan militansi yang tinggi yang dilandasi semangat kerja
berkesenian komunitas ini. Tentu saja dengan berbagai rintangan dan kendala.
Paling tidak masalah klasik yang dihadapi ialah pendanaan namun sukses
menjaring dan merawat penontonnya.
Saat pertama
digulirkan, nama iven budaya ini “Pesta Puisi” diisi dengan dua pertunjukan
teater, peluncuran album musikalisasi puisi, diskusi dan lomba baca puisi
kreatif.
“Kegiatan perdana ini dilakukan juga untuk mengenang
sastrawan Indonesia asal Sumatera Barat, almarhum Hammid Jabbar,” kata Mahatma
Muhammad, pimpinan Komunitas Seni Nan Tumpah.
Dua tahun
kemudian, pada 2013, iven ini namanya diganti menjadi Festival Seni Pekan Nan
Tumpah, yang selanjutnya digunakan secara konsisten. Festival kedua ini
menampilkan 8 komunitas seni pertunjukan yang ada di Sumatera Barat digelar 24 sampai
dengan 27 Desember 2013.
Delapan
komunitas yang tampil cukup reprentatif, yakni Komunitas Seni Nan Tumpah,
Teater Alam Bengkulu, Sanggar Seni Dayung-dayung, Parewa Dance Company, Teater
Wadjah, Fiza Dance Company, dan Kelompok Musikalisasi Puisi Nan Tumpah Muda, juga ada Pameran Foto Seni, peluncuran
2 buku naskah drama teaterawan Sumatera Barat, yakni A.Alin De dan Muhammad
Ibrahim Ilyas.
“Pekan Nan
Tumpah 2013 juga berhasil menjaring sedikitnya 1300 penonton baru seni di
Sumatera Barat, yang membeli tiket dari total 1.864 yang tercatat di buku tamu,”
terang Mahatma lagi.
Galang Dance Community |
Kemudian
festival ini dilanjutkan pada 2015, menampilkan 6 kelompok seni. Fokus
perhatian saat iven ini diusing ialah merealisasikan sekalgus mengedepankan
proses berkelanjutan dan belajar dari segala kekurangan 2 festival yang telah
diselenggarakan sebelumnya.
Festival Seni
Pekan Nan Tumpah yang diadakan sejak 22-26 Desember 2015 ini tampil Teater Imaji,
Rumah Drama dan Penulisan Kreatif, Komunitas Tari Galang Grup Musik orkestra
Seruni dari UNP, yang semuanya dari Kota Padang, Teater Sakata (Padang Panjang),
dan Sanggar Seni Dayung-dayung (Kayutanam). Tercatat peningkatan jumlah
penonton yang cukup baik, yakni kurang lebih 2000 orang selama lima hari
penyelenggaraan.
Pekan Nan
Tumpah 2017 yang baru usai digelar, menghadirkan 7 seni pertunjukan, pameran foto, dan LBPK. 7
seni pertunjukan itu Galang Dance Community Padang, Sherlilab Padang Panjang (tari),
Komunitas Seni Hitam Putih Padang Panjang, Teater Jengkal Bengkulu (teater),
Sanggar Seni Dayung-Dayung Kayutanam, Kelompok Musik Balega Padang Panjang dan
Komunitas Seni Nan Tumpah, pameran seni rupa dari Randy Otong.
Dari empat festival itu, bisa dikatakan
bahwa dari aspek dan faktor yang inheren dengan sebuah pertunjukan, yakni
penonton, terlihat meningkat. Aspek yang selama ini jarang menjadi perhatian
pelaku seni, terutama di Sumatera Barat, sudah dijawab dengan sangat baik oleh
KSNT, komunitas yang digerakkan anak-anak muda ini, dengan penataan manajemen
penonton terukur dan sistematis.
Menjaring penonton dan mengawalnya
menjadi “pelanggan” setia untuk sebuah iven festival, butuh strategi dan
militansi. Dituntut konsistensi yang kuat berdisiplin. Selain itu,
mengidentifikasi penonton, termasuk kecenderungan pilihan seninya, jelas
merupakan faktor yang tak bisa dianggap remeh. Tampaknya, KSNT pada aspek ini,
merawat penontonnya sekaligus terus sembari menjaring penonton baru, bisa
dikatakan berhasil.
Penonton yang didominasi usia
remaja-pelajar-mahasiswa ini, tentu bukan sesuatu hal yang mudah untuk merawat
selera mereka terhadap kesenian di antara teknologi yang memanjakan hidup
mereka.
Selain itu, terkait dengan branding kegiatan ini sudah mencapai
sasaran yang dimaksud walaupun masih perlu ditingkatkan untuk membuka lebih
lebar sosialisasi dan pengenalan, dan menjadikan iven ini sebagai isu di
pelbagai media. Tentu untuk mencapai ini, kedisiplinan dan konsistensi terhadap
apa yang sudah disepakati peserta dengan penyelenggara bisa dijalankan dengan
baik.
“Keterlambatan kami membranding kegiatan ini di pelbagai media,
yang berdampak menjadi singkatnya waktu penyebarluasan kegiatan, bukan semata
pada panitia, tapi rekan-rekan seniman yang terkadang tak berdisiplin
memberikan data-data grupnya. Tapi ini jadi catatan kita,” kata Mahatma.
Namun demikian, di luar dari
penyelenggaraan Festival Seni Pekan Nan Tumpah, yang empat kali pagelarannya
dilakukan di kawan Taman Budaya Sumatera Barat, poin penting yang harus kita
kritisi bersama ialah soal fasilitas dan elemen-eleman dasar dari sebuah gedung
pertunjukan.
Kondisi faktual gedung Teater Utama
Taman Budaya Sumatera Barat, jelas sangat bertolak belakang dengan semangat
memajukan kesenian di daerah ini. Gedung dengan kapasitas kursi mencapai 500
itu, tanpa alat pendingin ruangan, yang katanya rusak dan belum bisa
diperbaiki, kentara sekali mengusik kenyamanan penonton.
“Panas dan berkeringat begini,
bagaimana kita bisa nyaman menikmati seni,” kata salah seorang penonton dari
Padang Panjang. Selain itu, gedung itu
bocor jika hujan lebat.
Kendati sekarang sudah ada Dinas
Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, yang di bawahnya ada UPT Taman Budaya
Sumatera Baratm, tapi belum tampak sama sekali menaruh perhatian pada gedung
ini, walau Taufik Efendi dan Muasri, dua kepala ini ikut pula memberi sambutan
saat pembukaan festival ini. Tapi, saya perhatikan, hanya pembukaan saja yang
hadir, setelah itu hingga penutupan, tak terlihat batang hidungnya.
Kedua, soal masa depan
keberadaan kesenian di Sumatera Barat (tentu saja Indonesia) berada pada
generasi milenial (identifikasi untuk generasi yang lahir direntang 1990-2000),
yang kini secara militan menghidupi kesenian itu, berada di tangan mereka.
Saya tak ingin mengatakan yang tua-tua
harus menyiapkan mereka untuk hal begitu, tapi dengan cara kerja yang sangat
jauh bedanya dengan generasi sebelumnya, saya meyakini dunia kesenian akan
berkembang sangat dahsyat. Komunitas Seni Nan Tumpah, satu dari sekian banyak
komunitas dan personal yang kini terus bergerak untuk capaian itu.
Ketiga, jika festival ini
dilanjutkan pada 2019 nanti, beberapa hal penting yang harus jadi perhatian KSNT
ialah soal menata dan memilih isu. Bagian tema ini harus dikelola dengan baik
karena kekuatan sebuah festival juga bagaimana kuratornya mengemas isu.
Memunculkan isu bisa dilakukan dengan
menggelar semacam Diskusi Kelompok
Terarah (Focus Group Discussion) sesama
sutradara yang diproyeksikan akan menjadi peserta Festival Seni Pekan Nan
Tumpah.
Kolabiorasi Kelompok Imaji dengan Dayung Dayung |
Selain itu, untuk memperluas jangkauan
dan identifikasi beragam isu, bisa juga dibuka diskusi serupa dengan melibatkan
para direktur-direktur festival di Sumatera Barat, dan pengamat budaya,
aktivis, serta akademisi.
Hasil dari semua pemikiran itu,
dijadikan bahan dan titik berangkat untuk melahirkan tema dan isu, yang kelak
akan terkoneksi dengan garapan dan juga pameran.
Bagi saya, perkara yang berada di luar
konten dan teks seni, KSNT sudah berhasil menemukan formula dan sistemnya
tinggal merawat mengembangkannya secara konsisten. Kini, saatnya mengelola isu
dan tema yang akan diangkat ke atas panggung sekaligus menarik untuk “dijual”.
Keempat, KSNT membangun teks
semangat kewirausahaan di tubuhya. Kepada saya, Mahatma mengatakan, selain
tetap menjaga intesitas berkesenian dan berkreativitas, KSNT mengembangkan
usaha-usaha ekonomi yang dikelola secara terpisah dengan manajemen KSNT.
“Usaha-usaha kreatif itu, seperti
Percetakan dan Penerbitan Kasangiangan, usaha jualan roti, parfum, kopi dan
lain sebagainya berkontribusi signifikan terhadap keberhasilan penyelenggaraan
Festival Seni Pekan Nan Tumpah,” kata Mahatma.
Strategi yang dilakukan KSNT layak
ditiru komunitas-komunitas seni lainnya yang memang sangat inspiratif. ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar