OLEH Gus tf Sakai (Sastrawan)
Sering
kita lupa, otak terdiri dari dua bagian: kiri dan kanan. Bila batok kepala
dibelah, benda berwarna kuning keabuan, bervolume lebih-kurang 1,7 liter dan
terdiri dari seratus miliar sampai satu triliun sel saraf yang terbelit dalam
lapis pembungkus, itu memang tampak seperti satu kesatuan. Tetapi, sejak paruh
akhir abad ke-20, bukan hanya kenyataan bahwa otak terpisah atas kiri dan
kanan, kita juga diantarkan pada kesadaran bahwa benda maha mencengangkan itu tak
lagi bisa dilihat sebagai jalinan fisik semata.
Lebih
dari sekedar jalinan fisik (material) glia
dan neuron, ada rahasia akal budi—yang
oleh Descartes disebut “jiwa rasional”—bersemayam di dalamnya. Walau dalam
uraiannya Descartes lebih menekankan pada proses pancaindera, semua bermula
dari aktivitas otak kiri dan kanan. Kiri yang responsiabelnya selalu ditandai
dengan analisis, dan kanan dengan kecenderungan untuk bertindak.
Tetapi
mungkin wajar kita lupa. Dunia ilmu dan pendidikan, boleh dikata, adalah dunia
otak kiri. Seni, sebagai basis otak kanan, berhadapan dan “dikeroyok” oleh
sains, ekonomi, sosial, politik, hukum, agama, filsafat, ringkasnya semua
bidang atau teks lain berbasis otak kiri yang sejak lama kita terima di
sekolah. Lama-kelamaan pula, kita jadi terbiasa untuk hanya menggunakan otak
kiri, tak sadar ada mekanisme lain yang hanya bisa dilihat dan dipahami melalui
otak kanan yang perannya justru sangat utama dalam proses kesempurnaan budi.
Lebih tinggi, lebih rendah
Adalah
ironi bahwa seni, khususnya sastra, pernah menempati posisi sangat penting
dalam jagat masa lalu kita. Para sastrawan, dalam sejarah kerajaan-kerajaan
Nusantara, adalah orang-orang terhormat, para penasihat, empu-empu, yang merupakan
“orang dalam” dan tak jarang jadi penentu kebijakan istana. Sampai jauh
kemudian, Sutan Takdir Alisjahbana, misalnya, masih menyebut sastrawan sebagai
pujangga (melibatkan kata empu juga),
sebuah kata yang terkesan dominan, ekslusif, dan elitis. Bahkan HB Jassin
mengatakan bahwa pujangga bisa disamakan dengan pesuruh Dewi Kesenian yang
diturunkan ke dunia untuk menjadi penunjuk jalan bagi bangsanya.
Dalam
zaman modern sekarang di mana kesamaan, keterbukaan, dan inklusivitas
menggantikan segala hal yang dominan, ekslusif, dan feodalistik, pengertian
sastrawan seperti di masa lalu itu tentu saja sangat berlebihan dan tak lagi
relevan. Seiring dengan perubahan zaman, sebagaimana apa pun di dunia selalu
berubah, sastrawan kini menjelma jadi orang biasa, tak lagi istimewa, sama
dengan orang-orang lain yang menekuni dan bekerja dalam bidang berbeda.
Hal
yang juga tak terhindarkan, jenis sastranya juga berubah. Jenis yang saya
maksud tentu bukan berkaitan dengan bentuk seperti puisi, cerpen, novel, dan
lain-lain, melainkan kepada teknik dan cara ungkapnya. Kita tahu, karya-karya
sastra zaman kerajaan penuh risalah, aturan-aturan, petunjuk, petuah, dan dilanjutkan
dengan bertendens pada zaman pergerakan dan perjuangan kemerdekaan, yang menempatkan
pengarang berada di posisi “lebih tinggi” daripada pembaca.
Perbedaan
posisi ini, pengarang “lebih tinggi” dan pembaca “lebih rendah”, mengharuskan
cara ungkap satu arah di mana pengarang bertugas memberi dan si pembaca hanya menerima.
Dengan kata lain, pembaca berada dalam kondisi pasif, suatu kondisi yang sangat
berlawanan dengan semangat modern yang menghendaki setiap manusia harus aktif,
progresif, bahkan tak jarang harus merebut. Maka, pertanyaan yang segera
menghadang: karya sastra jenis apa, dan dengan cara ungkap bagaimana, yang sesuai
dengan perubahan zaman?
Diskursif, figuratif
Cara
ungkap memberi adalah cara ungkap
diskursif yang penuh bahasa merumuskan. Dalam konsep perumusan, setiap makna
diperketat dan selalu mengarah ke satu atau tunggal. Bila A yang disampaikan
pengarang, maka A pula yang diterima atau dimaknai pembaca. Inilah yang
menyebabkan pembaca jadi pasif. Kondisi akan berbeda bila berlaku hal
sebaliknya: A yang disampaikan pengarang, tetapi pembaca tidak hanya
memaknainya sebagai A, melainkan boleh sebagai B, C, D, dan seterusnya sampai tak
berhingga.
Apa
yang disampaikan pengarang boleh berbeda dengan yang diterima atau dimaknai
pembaca, tak lain, inilah kondisi yang mampu menyebabkan pembaca menjelma
aktif. Maka cara ungkap yang digunakan pengarang haruslah figuratif, di mana
bahasa selalu mengarah dan bergerak ke perluasan makna. Dalam sastra kita
mengenal bahasa berkias, kata-kata simbolik, dan berbagai ragam gaya bahasa.
Semua itu digunakan pengarang, sesungguhnya, tak lain, memang untuk memperluas
makna. Tetapi, aktif yang kita maksud, seperti kita kutip Descartes tentang
“jiwa rasional” di depan, tentu adalah penekanan pada terbukanya pancaindera.
Keterbukaan
indera, inilah hakikat aktif dalam membaca sastra. Seluruh kata dan bahasa yang
digunakan pengarang, tak lain, sasarannya adalah indera. Dengan demikian, tubuh
sastra adalah tubuh indera yang pada setiap kata, pada setiap kalimat setiap
alinea, di sekujur halaman setiap lembar sampai lembar terakhirnya, pembaca
mampu membayangkan, melihat, mendengar, meraba, mencecap merasakan, bahkan
seperti ikut hadir, berada, dalam dunia cerita. Inilah sastra kita ke depan.
Karena mampu membuka mengaktifkan segenap indera, mari kita sebut saja ia sastra
kepekaan.
Dalam
sastra kepekaan, pengarang tidak berada dalam posisi memberi, melainkan membangkitkan.
Pengarang atau sastrawan tidak berada di tempat lebih tinggi, melainkan di
tempat sama; setara dengan pembaca. Tak ada lagi bahasa petunjuk,
kalimat-kalimat petuah. Manusia modern bukanlah seorang pasif, yang nyaman
dalam posisi menerima, kecuali ikut memberi, menciptakan makna sesuai dengan
pengalaman hidup mereka yang beragam dan berbeda.
Penjara
Semua
kini jadi mudah: tugas pengarang hanya satu, membuka indera, maka peka akan jadi
milik pembaca. Setiap kali pembaca membaca, akan bangkit sesuatu dalam diri
pembaca sesuai dengan pengalaman hidup pembaca; manusia modern yang aktif,
progresif, dan selalu ingin merebut. Dalam seni, sebenarnyalah, pembaca merebut
makna. Pembaca merebut makna dari si pengarang untuk menerjemahkan diri mereka.
Karena sesungguhnya, sama seperti si pengarang, pembaca adalah juga makhluk
kreatif.
Sebagai
sesama makhluk kreatif, esai kecil ini ingin ditutup dengan kembali ke bagian
awal: otak kiri dan kanan. Begitulah otak kiri, sejak kanak-kanak, sejak kita pertama
belajar bicara, merumuskan sesuatu dengan bahasa (lalu, ironis, diteruskan tak
putus-putus bertahun-tahun di sekolah), membuat kita terpenjara dalam rumusan. Kita
telah hidup dalam semacam “dunia diskursif” di mana segala sesuatu telah
selesai (dirumuskan) dan kita tinggal menerima. Karena otak kiri, dalam sistem
kerjanya, pertama-tama memang meletakkan manusia sebagai penerima. Berbeda dari sistem kerja otak kanan (teks seni) yang
mengharuskan manusia tegak sebagai pemberi.
Kiranya,
apa yang membuat kita merasa sulit dan tak nyaman dengan seni, adalah tuntutan
bahwa kita harus kreatif. Karena sebenarnyalah, memang, selama ini kita telah
“dijajah” oleh teks-teks otak kiri yang membiasakan kita berada dalam posisi
pasif. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar