Sabtu, 09 September 2017

PRRI Lahir di Padang, Awalnya Gerakan Koreksian Kemudian “Dihajar” Pusat

OLEH H. Kamardi Rais Dt. P. Simulie
“Ketika orang menaikkan bendera putih ketundukkan kepada musuh, namun kami tetap berjuang dengan mengorbankan harta dan jiwa untuk menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang tercinta ini di bawah pimpinan PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) yang berkantor di bawah pohon-pohon kayu dalam rimba raya Sumatera.” (Ketua Dewan Banteng Letkol Ahmad Husein)
Kolonel Ahmad Husein, duduk paling kanan, dalam pertemuan rapat yang membahas PRRI
Pada penghujung tahun 1957 situasi Tanah Air kita semakin panas. Seakan-akan bara api yang siap nyala membakar daun-daun kering yang berserakan di persada Tanah Air. Belum setahun gerakan-gerakan daerah seperti pengambilalihan jabatan Gubernur Sumatera Tengah oleh Ketua Dewan Banteng A. Husein dari tangan gubernur sipil Ruslan Muljohardjo, Gubernur Sumatera Utara Komala Pontas oleh Simbolon, Gubernur Sumatera Selatan Winarno oleh Barlian. Kabinaet Ali II memang sudah jatuh digantikan oleh Kabinet Djuanda yang dibentuk oleh formatur tunggal Bung Karno. Keadannya semakin tidak berdaya menyelesaikan kemelut Tanah Air yang chaos di segala bidang: politik, ekonomi, sosial, keamanan, dan pemerintahan.

Tokoh Proklamator Bung Hatta yang sudah menjadi orang partikelir mengecam Pemerintah Djuanda yang sudah reot dan peot. Bagaimana Kabinet Djuanda akan menjadi suatu pemerintahan yang kuat jika pembetukannya menyalahi konstitusi yang sedang berlaku. Ingatlah Pasal 51 UUDS (UUD 1950) yang mengamanatkan bahwa presiden menunjuk seorang atau lebih untuk menjadi formatur kabinet. Kenyataannya presiden yang kebetulan adalah Ir. Soekarno menunjuk pribadi Soekarno sebagai formatur kabinet (4 April 1957) mengganti Kabinet Ali yang telah jatuh.
Betul-betul bodohkah rakyat Indonesia yang telah merdeka dari kungkungan penjajahan kolonial sebagai hasil perjuangan rakyat sendiri dengan pengorbanan harta, jiwa dan raganya?
Tindakan presiden itu dapat digambarkan dalam sebuah karikatur.Presiden Soekarno seolah-olah berdiri di depan kaca lalu ia menunjuk pribadi Soekarno yang ada dalam kaca itu untuk menjadi formatur kabinet.
Padahal di dalam UUD Sementara 1950 yang sedang berlaku dikatakan bahwa presiden (yang presiden itu sudah jelas orangnya) menunjuk seseorang atau lebih (artinya orang lain, bukan bayangan Soekarno dalam kaca) untuk menjadi formatur kabinet.
Daerah-daerah bergolak makin unjuk gigi. Sebutlah suara Dewan Banteng dari Padang, Dewan Gajah dari Sumatera Utara, meski Panglimanya Kolonel M. Simbolon telah didaulat oleh Letkol Djamin Ginting. Suara dari Dewan Garuda antara lain Panglima TT II Sriwijaya, Letkol Barlian langsung mengendalikan pemerintahan karena Gubernur Sumatera Selatan Winarno telah meninggalkan bumi Sriwijaya. Barlian mengingatkan penduduk Sumsel kalau pergi ke luar daerah hanya boleh membawa uang sebanyak Rp2.500/orang dan Rp5.000/keluarga. Letkol Ventje Sumual dari Permesta tampil di depan ribuan rakyat Sulawesi Utara di Manado. Tomohon dan Tondano tentang tujuan perjuangan daerah seperti Dewan Banteng, Dewan Garuda, Permesta, dan lain-lain.
Kongres Ulama dan Adat
Sebelumnya Kongres Alim Ulama se-Sumatera di Bukittinggi (17 Maret 1957) dan Kongres Kaum Adat se-Sumatera juga di Bukittinggi (19 Maret 1957) yang dihadiri oleh para utusan mulai dari Aceh sampai ke Lampung menyerukan kepada segenap pihak, mulai dari Presiden sampai ke rakyat bawah harus patuh dan taat kepada konstitusi, undang-undang dan peraturan yang berlaku. Jangan daerah bergolak saja yang diminta taat kepada atasan, tapi Presiden Soekarno, Kabinet Djuanda, Pimpinan Militer, Pimpinan Parpol harus sama-sama taat kepada undang-undang dan harus memberikan teladan yang baik.
Suara Kongres Alim Ulama se-Sumatera dengan tokoh utamanya Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Sulaiman Ar. Rasuli Candung, H. Fachruddin HS Dt. Majo Indo dan Kongres Adat se-Sumatera dengan pentolannya Mamanda Dt. Simarajo Simabur (Ketua PB MTKAAM), Dt. Ratih (Payakumbuh), M. Rasyid Manggis Dt. Rajo Panghulu (Bukittinggi) bergema di seluruh Indonesia disiarkan oleh seluruh radio dan surat kabar. Hanya surat kabar Harian Rakyat (terompet PKI), Suluh Indonesia (terompet PNI) dan Harian Bintang Timur yang bernada sumbang terhadap suara koreksian yang marak waktu itu di seluruh penjuru tanah air.
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia oleh Kabinet Djuanda dikecam Bung Hatta. Menurut Bung Hatta suatu bangsa yang akan mengangkat perjuangan besar tidaklah memulainya dengan memiskinkan rakyatnya. Sekarang kehidupan perekonomian rakyat amat morat-marit. Beras sulit. Setelah nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing ternyata tenaga pribumi belum bisa menggantikan tenaga asing. Akibatnya perusahaan-perusahaan itu stagnan, tak jalan, macet. Kapal-kapal KPM milik Belanda yang dinasionalisasi ditambatkan saja di Tanjung Periok sehingga hubungan menjadi terputus ke berbagai daerah. Ini keadaan yang sangat fatal terhadap perekonomian. Dengan apa barang-barang diangkut? Hatta memperingatkan.
Dalam bidang pemerintahan, Permesta (Perjuangan Rakyat Sementara) di Sulawesi yang dipimpin oleh Letkol Ventje Sumual meresmikan Propinsi Sulawesi Utara di Manado, 27 Juni 1957. Pemerintahan Djuanda melongo saja. Anehnya Kolonel Dahlan Djambek yang Deputy III KSAD hadir dalam acara tersebut.
Sementara itu, Ketua Dewan Banteng Letkol Ahmad Husein yang menguasai Sumatera Tengah (sipil dan militer) meresmikan Propinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi menjadi tiga propinsi. Untuk Riau diangkatnya Mayor Syamsi Nurdin jadi gubernurnya. Sedangkan untuk Gubernur Jambi ditetapkannya Djamin Dt. Bagindo (seorang tenaga sipil senior). Sedangkan untuk Propinsi Sumatera Barat Mayor Sofyan Ibrahim sebagai KSS (Kepala Staf Sipil) dengan Mr. Abu Bakar Jaar (pamong senior) sebagai pelaksana. Ketiganya di bawah Ketua Dewan Banteng, Letkol A. Husein.
Setelah Pemerintah Pusat dikritik lamban, mungkin juga karena sudah malu, maka Djuanda mulai bertindak dengan meresmikan pula Propinsi Riau versi Pusat dengan ibu kotanya Tanjung Pinang. Gubernur pertamanya adalah Mr. S.M. Amin. Djuanda juga memecah Sumatera Barat dengan memasukkan V Koto Bangkinang ke Propinsi Riau dan daerah Kerinci dimasukkannya ke Propinsi Jambi. Sebelumnya daerah V Koto yang terdiri dari Kuok, Bangkinang, Salo, Air Tiris dan Rumbio masuk ke wilayah Kabupaten 50 Koto dengan ibu kotanya Payakumbuh.
Sementara daerah Kerinci sebelumnya termasuk Kabupaten Pesisir Selatan dan  Kerinci (PSK) dengan ibu kotanya Sungai Penuh. Pernah salah seorang Bupati PSK yang bernama Bachtiar Datuk Pado Panghulu orang Koto nan Ampek (Payakumbuh) disebut sebagai Bupati Atom.
Rapat-rapat akbar atau rapat raksasa sering digelar di Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, Solok, Pariaman, dan lain-lain, yang intinya  menentang kebijakan Pemerintah Pusat yang tidak becus. Rapat-rapat raksasa tersebut diorganisir oleh BARST (Badan Aksi Rakyat Sumatera-Tengah) yang dipimpin oleh Letkol Yazid Abidin.
Di Bandung rapat raksasa SUNDA TUNGGAL dengan Front Anti Komunis (FAK) dengan pembicara Isa Anshari (Bomber Masyumi). Di Kalimantan Panglima Tentara dan Teritorium Tanjung Pura tanpa setahu KASAD mengganti namanya dengan TT VI Lambung Mangkurat. Kemudian masyarakat Tapanuli serentak membangun Dewan Sisingamangaraja. Sementara Letkol Wahab Makmur menyiapkan diri untuk jadi Panglima TT I menggantikan Simbolon membuat repot Panglima TT I Bukit Barisan, Letkol Djamin Gintings.
Dewan Tak Ada dalam Konstitusi
Daerah-daerah bergolak yang pada umumnya daerah luar Jawa menentang kebijasanaan Presiden Soekarno dan Djuanda. Aksi-aksi daerah-daerah bergolak tersebut pada mulanya hanya mengoreksi tindakan Pusat yang tidak benar. Adanya lembaga Dewan Nasional menurut konsepsi Presiden tidak ada dalam konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara R.I.) Protes keras yang dialamatkan kepada Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Djuanda adalah Pasal 44 UUDS tentang Alat Perlengkapan Negara yang hanya ada lima yakni : Presiden dan Wakil Presiden, Kabinet (menteri-menteri), Parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat), Mahkamah Agung dan Dewan Pengawas Keuangan (DPK).
Ketua Dewan Banteng, Letkol A. Husein menegaskan bahwa yang dibangun hanya Jakarta saja seperti membangun jalan Thamrin. Sedangkan asrama prajurit semuanya jadi reot tak layak huni. Kemana saja devisa negara yang dihasilkan oleh daerah-daerah? Tanya Ahmad Husein. Pantun Ahmad Husein yang terkenal adalah Pinjaik panjuluak bulan/tibo di bulan patah tigo/di langik hari nan hujan/ di bumi satitiak tido.
Musyawarah Nasional
Jalan keluar dari kemelut tanah air maka Presiden dan PM Djuanda mengadakan Munas (Musyawarah Nasional) di Jakarta. Munas juga dimaksudkan untuk merekat kembali Dwi Tunggal Soekarno-Hatta yang sudah menjadi “Dwi Tanggal”.
Untuk menghadapi Munas pada bulan September 1957 guna untuk menyatukan sikap, maka para pimpinan daerah bergolak seperti Dewan Banteng (Sumteng), Dewan Gajah (Sumut), Dewan Garuda (Sumsel dan Permesta) bertemu di Palembang, tanggal 7-8 September 1957.
Koran-koran yang jadi terompet PKI dan pendukung Soekarno melansir berita dengan judul huruf-huruf “banner” bahwa Ahmad Husein takut datang ke Jakarta menghadiri Munas tanggal 10-14 September 1957.
Apa yang terjadi ?
Ternyata Ketua Dewan Banteng itu nongol di Jakarta. Bahkan dengan wajah berseri-seri dan dalam keadaan segar bugar, berkaca mata hitam turun dari pesawat. Ia melambaikan tangannya seraya tersenyum kepada penyambutnya di Bandara Kemayoran. Ia disambut dengan pencak-silat Kumango, silat Piaman dan Lintau. Di belakanganya tampak penasihat delegasi Dewan Banteng Engku Moh. Sjafei Kayutanam, Mr. Abu Bakar Jaar, Ramawi Izhar (Komisaris Dewan Banteng Jakarta), Gubernur Jambi Djamin Dt. Bagindo. Sementara Penasihat Dewan Banteng Kolonel TB. Simatupang (mantan KSAP) bergabung dalam Munas. Dari Permesta juga hadir Letkol Ventje Sumual dan rombongan. Letkol Barlian dari Dewan Garuda Palembang juga hadir.
Pidato Ketua Dewan Banteng Letkol Ahmad Husein berkali-kali mendapat aplaus tepuk tangan dari peserta Munas. Menurut laporan pers pada waktu itu yang saya catat dalam buku harian yang saya beri nama “Acta Diurna”, Husein tidak sungkan-sungkan berbicara blak-blakan di depan Panglima Tertinggi APRI Bung Karno yang melihat tajam kepada Husein yang sedang di mimbar. Sementara tokoh Proklamator Bung Hatta tersenyum-senyum saja yang duduk di sebelah Bung Karno. Sedangkan PM Djuanda dan KSAD Nasution dilaporkan pers menekor penuh arti.
Berkata Husein:
“Ketika orang menaikkan bendera putih ketundukkan kepada musuh, namun kami tetap berjuang dengan mengorbankan harta dan jiwa untuk menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang tercinta ini di bawah pimpinan PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) yang berkantor di bawah pohon-pohon kayu dalam rimba raya Sumatera.”   
Tepuk tangan panjang sekali dari hadirin menyambut tekanan pidato Ahmad Husein. Laporan pers dalam buku harian saya “Acta Diurna” itu saya cocokkan lagi dengan menayakan kepada Bapak Moh. Sjafei yang hadir dalam Munas tersebut sebagai penasihat delegasi Dewan Banteng.
Ketika Operasi Badai Pasukan APRI yang mengepung Lintau bulan Juni 1958, kami menghindar sekitar 11 orang di tepi Batang Sinamar Kenagarian Halaban, 50 Kota. Saya tanyakan langsung kepada Bapak M. Sjafei jalannya sidang Munas yang berlangsung setahun sebelumnya, 10-14 September 1957 di Jakarta.
Kami yang menghindar menyelamatkan diri di tepi batang Sinamar adalah M. Sjafei (Menteri Pendidikan dan Kesehatan PRRI), Prof. Dr. Idris (Dekan Fakultas Pertanian Unand di Payakumbuh) dokter Musbar (Kepala RSU Payakumbuh), Mayor Makinuddin HS (Komandan Pertempuran Lima Puluh Kota), A. Chatib (Bupati 50 Kota beserta Ibu Tuti Chatib), Kapten CPM Ramli, Zainit (sekarang bergelar Dt. Muncak masih hidup di Situjuh Batur). Dia adalah ajudan Bapak Makinuddin HS dan sekitar 5 orang prajurit PRRI dari Kompi IV Batalion 2009 dan sejumlah pemuda Halaban yang mengawal di Ateh Koto (dekat jalan Payakumbuh-Lintau), kemudian ada staf Pak Sjafei, staf Bupati 50 Kota, staf Prof. Dr. Idris dan staf dokter Musbar.
Buku harian saya “Acta Diurna” tersebut saya bacakan di depan Bapak M. Sjafei. Beliau mengangguk membenarkan catatan saya itu bahwa memang begitu yang disampaikan Ahmad Husein. Lalu beliau berkomentar: “Ada yang menarik lagi,” katanya. Pada sidang Munas hampir akan ditutup, Ahmad Husein interupsi: “Saya mengusulkan agar peserta Munas ini pergi ziarah ke makam Jenderal Soedirman di TMP Semaki di Yogya,” katanya dengan suara lantang. Lalu hadirin menjawab : “SETUJU”!, Yang tak pergi : Soekarno, Hatta, Djuanda dan M. Sjafei karena kurang sehat. Selebihnya berangkat ke Yogya.
Husein Tasirobok
Yang lebih menarik lagi tambah M. Sjafei sidang pertama Munas, Letkol A. Husein termasuk diri saya, dan lain-lain tentu meninggalkan ruangan. Setelah memperhatikan Bung Karno, Hatta dan Djuanda telah menuju pintu, maka kami berusaha melalui jalan lain. Ternyata “basirobok” juga dengan Bung Karno, Bung Hatta dan PM Djuanda. Saya yang sudah tua, kata Bapak Sjafei (waktu itu usia sudah lebih 60 tahun) kaget begitu mendengar suara A. Husein dalam keadaan berdiri tegap sempurna secara militer : “Siaaap! Hormaat!” katanya menghormati Presiden. Lalu Presiden Soekarno membalas penghormatan  Letkol A. Husein. Seperti seorang bapak kepada anaknya Presiden menepuk bahu Ahmad Husein seraya berkata: “Eh, Overste! Kau pintar pidato, ya?” Lalu dijawab Husein tegas : “Siap! Kan Bapak yang mengajar!” Tampak Nasution senyum di belakang Djuanda. Kemudian Bung Karno berpaling kepada Hatta lalu berkomentar pula: “Engku!” Bung Karno memanggil M Sjafei. “Lihat! Bung Hatta stelan jasnya baru. Masih ada benangnya yang tertinggal,” kata Bung Karno sembari mengipaskan saputangannya ke baju Bung Hatta. Bung Hatta tak hilang akal: “Waduh! Harumnya sapu tangan Bung Karno,” semuanya tertawa, kemudian berlalu.
Suasana sidang Munas tersebut menghilangkan sejenak atmosfir hantam menghantam, hujat menghujat dan pembangkangan daerah-daerah bergolak yang oleh koran-koran Jakarta disebut perwira-perwira nakal seperti A. Husein, Sumual, Simbolon, Barlian, D.I. Somba, Saleh Lahade, Dahlan Djambek, Zulkifli Lubis, dan lain-lain. Rasanya tidak akan terjadi perang saudara antara Pusat dan Daerah beberapa bulan kemudian.
Ada yang berpendapat bahwa peristiwa kecil dialog seorang Presiden yang cukup berwibawa dan punya kharisma dengan seorang bawahannya Ahmad Husein ketika basirobok di salah satu yang Gedung  Proklamasi (tempat Munas) menggambarkan “jiwa belah” Pemerintah Pusat khusus dalam menghadapi Sumatera Barat plus Ahmad Huseinnya.
Pada tanggal 22 Desember 1956 (dua hari setelah Ahmad Husein mengambil alih jabatan Gubernur Sumatera Tengah Ruslan Muljohardjo), maka Kolonel Maludin Simbolon juga mengikuti jejak Ahmad Husein dengan mendaulat Gubernur Sumatera Utara St. Komala Pontas. Ternyata Pusat punya instruksi rahasia agar Kepala Staf TT I Letkol Djamin Gintings mendaulat Panglimanya Simbolon. Jika Djamin Gintings tak berhasil maka Letkol Wahab Makmur (Komandan Resimen II) TT I Bukit Barisan telah dipersiapkan pula. Maka pada tanggal 26 Desember 1956 Djamin Gintings berhasil mendaulat Kolonel Simbolon dan Simbolon menghindar ke daerah Dewan Banteng mungkin dengan pertimbangan agar tak terjadi pertumpahan darah dalam satu korps.
Tapi tindakan Ketua Dewan Banteng Ahmad Husein mulus saja pada 20 Desember 1956 itu di Gedung Nasional Bukittinggi.
“Bahkan pidato sambutan Gubernur Sumatera Tengah Ruslan Muljohardjo menegaskan, inilah jalan sebaik-baiknya agar pembangunan daerah dapat terlaksana di Republik ini,” kata Ruslan.
Tak ada yang mendaulat Ahmad Husein, misalnya Mayor Sofyan Ibrahim yang Kepala Staf Resimen IV atau Mayor Nurmathias yang Komandan Sektor di Bukittinggi. Malah Letkol Ahmad Husein yang disebut salah seorang perwira nakal itu dilantik lagi sebagai Komandan KDMST (Komando Daerah Militer Sumatera Tengah). Padahal Pemerintah Pusat tampak memperlihatkan muka masam kepada Kolonel Simbolon, Sumual, D J Somba, dan lain-lain.
Namun ada juga yang berpendapat mungkin karena daerah Sumatera Barat tempat lahirnya Bung Hatta, salah seorang Proklamator R.I.
Tapi ketika dari Padang dicetuskan PRRI, Pusat pulalah yang lebih dulu menghantam Padang dibandingkan dengan daerah Permesta.
Komentar orang pula karena Bung Karno melihat Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Prof. Soemitro ada di samping Husein. Partai Islam Masjumi dan PSI menolak Konsepsi Presiden termasuk I. J. Kasimo dari Partai Katholik.
Natsir, Moh. Roem, Djambek di Padang
Pada penghujung tahun 1957 itu para tokoh politik nasional yang beroperasi dengan Presiden Soekarno dan Djuanda banyak yang hengkang dari Jakarta.
Mohammad Natsir yang Ketua Umum Partai Islam terbesar Masjumi berdua dengan Mr. Moh. Roem berada di Medan menghadiri Dies Natalis UISU (Universitas Islam Sumatera Utara). Kebetulan Mr. Moh. Roem adalah Dewan Kurator Universitas Islam tersebut.
Sehabis acara Dies kedua tokoh Islam itu tidak langsung terbang ke Jakarta, tapi mampir ke Padang. Di Padang keduanya mengadakan pertemuan dengan tokoh Masjumi daerah seperti Buya Duski Samad yang menggantikan H. Mansur Daud Dt. Palimo Kayo sebagai Ketua Masjumi Sumatera Tengah, H. Darwis Taram Dt. Tumanggung (Koordinator Masjumi se-Sumatera), Zamzami Kimin (anggota konstituante), Sjarif Said (tokoh Masjumi Sumbar), Buchari Tamam, dan lain-lain.
Dua hari setelah itu, Mr. Moh. Roem kembali ke Jakarta, sedangkan Natsir tetap tinggal di Padang. Dalam pernyataannya kepada pers dikatakannya bahwa ia tidak akan kembali ke Jawa. Laut Jawa airnya keruh karena sungai-sunaginya banyak membawa lumpur. Lagi pula kapal yang saya tompang tak ada di Teluk Bayur, katanya. Ketika ditanya pendapatnya tentang Kabinet Djuanda, Natsir berkomentar singkat: “Pemerintah semakin merancah ke dalam rawa”, katanya.
Tak lama setelah itu Gubernur Bank Indonesia Mr. Sjafruddin Prawiranegara sampai di Palembang melakukan peninjauan ke Stanvac Sungai Gerong.
Besoknya terbit tulisannya berupa surat terbuka nasional di dalam surat kabar Batanghari Sembilan Palembang dan koran-koran Tanah Air lainnya. Dijelaskannya mengapa ia meninggalkan Jakarta. Jakarta sekarang sedang mengalami chaos yang amat sangat. Dan saya tak mau mati konyol dimangsa oleh binatang-binatang buas dalam tubuh manusia. Jakarta sekarang adalah bottle of conflicting interest and powers (pertempuran antara berbagai kepentingan dan kekuasaan). Setelah melakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh Sumatera Selatan dan Dewan Garuda, lusanya Sjafruddin Prawiranegara sudah berada pula di Padang di daerah Dewan Banteng. Tampak pula Amelz, Sjarif Usman, dan lain-lain.
Kolonel Dahlan Djambek Deputy KSAD yang rumahnya digranat ketika Kolonel itu sedang mandi dan diberitakan koran bahwa Pamen asal Sumatera Barat itu mengejar orangnya sampai ke jalan depan rumahnya sudah tampak pula di Padang.
Dalam suatu pertandingan bola di lapangan Banteng, sekarang lapangan Imam Bonjol Dahlan Djambek duduk sederet dengan Ketua Dewan Banteng Ahmad Husein, Sjarif Usman dan Ketua PSSI Pusat Mr. Maladi eks Kepala RRI Pusat dan eks Menteri Olagraga RI.
Mr. Maladi yang datang ke Padang pada tahun 1990-an dulu memberikan makalah dalam seminar PDRI di aula IKIP Padang tentang peranan Radio dalam era PDRI, 1949. Ditambahkannya, walaupun saya (Maladi) orang Pusat dan kebetulan Ketua PSSI saya aman saja di daerah Dewan Banteng. Saya duduk berdampingan dengan Ketua Dewan Banteng Ahmad Husein dan makan malam bersama Ahmad Husein. Ini bukti bahwa perjuangan Dewan Banteng bukan perang kesukuan, bukan anti Jawa. Saya tahu, tambah Maladi, bahwa Sekjen Dewan Banteng adalah Sulaiman yang juga orang Jawa.
Keterangan Mr. Maladi di luar teks tersebut mendapat sambutan dan simpati dari peserta Seminar. Pemakalah lainnya yang saya catat adalah Prof. Dr. Amura, Hubertus Victor Soedjono, eks KSAU PDRI dulu.
Yang menarik pula dari keterangan Maladi adalah sehabis pertandingan sepak bola sore itu yang dikerubungi orang bukan pemain bola atau seorang Maladi yang orang Jawa, tapi seorang Sersan yang berkumis dan berjenggot. Orang bilang bahwa sersan itu adalah Kolonel Zulkifli Lubis, wakil KSAD yang menghilang dari Jakarta. Tapi saya tak lihat wajah Kolonel Lubis, kata Maladi, S.H.
Rapat Sungai Daerah
Menjelang awal tahun 1958 ini tak ada tanda-tanda situasi politik akan mereda. Begitu pula situasi keamanan dalam negeri. Di Palembang saja kantor Redaksi SK Harian Batanghari Sembilan di Jln. Pagar alam, Palembang, di mana Penulis artikel ini bekerja digranat orang yang tak dikenal. Untung saja tak ada korban jiwa. Kebetulan Harian Batanghari Sembilan dipimpin oleh PM. Rasyad Nawawi salah seorang tokoh Dewan Garuda dan seorang tokoh Masjumi Sumatera Selatan dengan Pemrednya AC. Bawaihi dan Hamdani Said yang juga penyokong Dewan Garuda. Sama dengan situasi Dewan Banteng dengan Sk Haluan Padang di mana Pemrednya Bung Darwis Abbas adalah Ketua Seksi F Dewan Banteng.
Wartawan Annas Lubuk sering mengontak saya dengan titip pesan via seorang pedagang jeruk nipis dalam partai besar sampai ke Lampung dan Jakarta, Bachtiar orang Padangpanjang, minta saya segera meninggalkan Kota Mpek-Mpek. Panglima Anda, Barlian nampaknya ragu-ragu menghadapi situasi yang sudah memuncak. Maksudnya Letkol Barlian karena secara geografis Palembang dekat dengan Jakarta.
Memangnya Panglima TT II Sriwijaya, Letkol Barlianlah yang mengusulkan kepada Letkol Ahmad Husein supaya Dewan Perjuangan yang diketuainya mengundang Ventje Sumual (Permesta), Kolonel Simbolon, Dahlan Djambek, dan lain-lain ditambah dengan tokoh-tokoh politik seperti Sjafruddin Prawiranegara, Moh. Natsir, Burhanuddin Harahap dan lain-lain untuk bertemu di Jambi atau tempat yang ditunjuk dan dirasa aman.
Maksud Barlian agar Dewan-dewan Daerah tidak terlanjur dengan sikap siap perang dengan pusat.
Usul Letkol Barlian itulah yang direspons oleh Ahmad Husein. Kebetulan pada tanggal 20 Desember 1957 itu dia akan bertemu dengan Ventje Sumual di Singapura. Husein menunjuk Sungai Dareh di tepi Sungai Batanghari di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung (sekarang Kab. Dharmasraya).
Siap perayaan natal, Ventje Sumual akan ke Tokyo, sedangkan Husein kembali ke Padang.
Pulang dari Singapura, Husein mengabarkan kepada Barlian bahwa pertemuan Sungai Dareh akan dilangsungkan pada tanggal 8 Januari 1958 yang akan dihadiri para senior militer, seperti Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dahlan Djambek, Kolonel Maludin Simbolon, Letkol Ventje Sumual. Juga diundang para politisi, Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Prof. Soemitro Djojohadikusumo, Mr. Burhanuddin Harahap, Sjarif Usman, dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...