OLEH H. Kamardi Rais Dt. P.
Simulie
“Ketika orang menaikkan
bendera putih ketundukkan kepada musuh, namun kami tetap berjuang dengan
mengorbankan harta dan jiwa untuk menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang
tercinta ini di bawah pimpinan PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia)
yang berkantor di bawah pohon-pohon kayu dalam rimba raya Sumatera.” (Ketua Dewan Banteng
Letkol Ahmad Husein)
Kolonel Ahmad Husein, duduk paling kanan, dalam pertemuan rapat yang membahas PRRI |
Pada penghujung tahun
1957 situasi Tanah Air kita semakin panas. Seakan-akan bara api yang siap nyala
membakar daun-daun kering yang berserakan di persada Tanah Air. Belum setahun
gerakan-gerakan daerah seperti pengambilalihan jabatan Gubernur Sumatera Tengah
oleh Ketua Dewan Banteng A. Husein dari tangan gubernur sipil Ruslan
Muljohardjo, Gubernur Sumatera Utara Komala Pontas oleh Simbolon, Gubernur
Sumatera Selatan Winarno oleh Barlian. Kabinaet Ali II memang sudah jatuh
digantikan oleh Kabinet Djuanda yang dibentuk oleh formatur tunggal Bung Karno.
Keadannya semakin tidak berdaya menyelesaikan kemelut Tanah Air yang chaos di segala bidang: politik,
ekonomi, sosial, keamanan, dan pemerintahan.
Tokoh Proklamator Bung
Hatta yang sudah menjadi orang partikelir mengecam Pemerintah Djuanda yang
sudah reot dan peot. Bagaimana Kabinet Djuanda akan menjadi suatu pemerintahan
yang kuat jika pembetukannya menyalahi konstitusi yang sedang berlaku. Ingatlah
Pasal 51 UUDS (UUD 1950) yang mengamanatkan bahwa presiden menunjuk seorang
atau lebih untuk menjadi formatur kabinet. Kenyataannya presiden yang kebetulan
adalah Ir. Soekarno menunjuk pribadi Soekarno sebagai formatur kabinet (4 April
1957) mengganti Kabinet Ali yang telah jatuh.
Betul-betul bodohkah
rakyat Indonesia yang telah merdeka dari kungkungan penjajahan kolonial sebagai
hasil perjuangan rakyat sendiri dengan pengorbanan harta, jiwa dan raganya?
Tindakan presiden itu
dapat digambarkan dalam sebuah karikatur.Presiden Soekarno seolah-olah berdiri
di depan kaca lalu ia menunjuk pribadi Soekarno yang ada dalam kaca itu untuk
menjadi formatur kabinet.
Padahal di dalam UUD
Sementara 1950 yang sedang berlaku dikatakan bahwa presiden (yang presiden itu
sudah jelas orangnya) menunjuk seseorang atau lebih (artinya orang lain, bukan
bayangan Soekarno dalam kaca) untuk menjadi formatur kabinet.
Daerah-daerah bergolak
makin unjuk gigi. Sebutlah suara Dewan Banteng dari Padang, Dewan Gajah dari
Sumatera Utara, meski Panglimanya Kolonel M. Simbolon telah didaulat oleh
Letkol Djamin Ginting. Suara dari Dewan Garuda antara lain Panglima TT II
Sriwijaya, Letkol Barlian langsung mengendalikan pemerintahan karena Gubernur
Sumatera Selatan Winarno telah meninggalkan bumi Sriwijaya. Barlian
mengingatkan penduduk Sumsel kalau pergi ke luar daerah hanya boleh membawa
uang sebanyak Rp2.500/orang dan Rp5.000/keluarga. Letkol Ventje Sumual dari
Permesta tampil di depan ribuan rakyat Sulawesi Utara di Manado. Tomohon dan
Tondano tentang tujuan perjuangan daerah seperti Dewan Banteng, Dewan Garuda,
Permesta, dan lain-lain.
Kongres Ulama dan Adat
Sebelumnya Kongres Alim
Ulama se-Sumatera di Bukittinggi (17 Maret 1957) dan Kongres Kaum Adat
se-Sumatera juga di Bukittinggi (19 Maret 1957) yang dihadiri oleh para utusan
mulai dari Aceh sampai ke Lampung menyerukan kepada segenap pihak, mulai dari
Presiden sampai ke rakyat bawah harus patuh dan taat kepada konstitusi,
undang-undang dan peraturan yang berlaku. Jangan daerah bergolak saja yang
diminta taat kepada atasan, tapi Presiden Soekarno, Kabinet Djuanda, Pimpinan
Militer, Pimpinan Parpol harus sama-sama taat kepada undang-undang dan harus
memberikan teladan yang baik.
Suara Kongres Alim Ulama
se-Sumatera dengan tokoh utamanya Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Sulaiman
Ar. Rasuli Candung, H. Fachruddin HS Dt. Majo Indo dan Kongres Adat se-Sumatera
dengan pentolannya Mamanda Dt. Simarajo Simabur (Ketua PB MTKAAM), Dt. Ratih
(Payakumbuh), M. Rasyid Manggis Dt. Rajo Panghulu (Bukittinggi) bergema di
seluruh Indonesia disiarkan oleh seluruh radio dan surat kabar. Hanya surat
kabar Harian Rakyat (terompet PKI), Suluh Indonesia (terompet PNI) dan Harian
Bintang Timur yang bernada sumbang terhadap suara koreksian yang marak waktu
itu di seluruh penjuru tanah air.
Nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia oleh Kabinet Djuanda dikecam Bung
Hatta. Menurut Bung Hatta suatu bangsa yang akan mengangkat perjuangan besar
tidaklah memulainya dengan memiskinkan rakyatnya. Sekarang kehidupan
perekonomian rakyat amat morat-marit. Beras sulit. Setelah nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing ternyata tenaga pribumi belum bisa menggantikan
tenaga asing. Akibatnya perusahaan-perusahaan itu stagnan, tak jalan, macet. Kapal-kapal KPM milik Belanda yang
dinasionalisasi ditambatkan saja di Tanjung Periok sehingga hubungan menjadi
terputus ke berbagai daerah. Ini keadaan yang sangat fatal terhadap
perekonomian. Dengan apa barang-barang diangkut? Hatta memperingatkan.
Dalam bidang
pemerintahan, Permesta (Perjuangan Rakyat Sementara) di Sulawesi yang dipimpin
oleh Letkol Ventje Sumual meresmikan Propinsi Sulawesi Utara di Manado, 27 Juni
1957. Pemerintahan Djuanda melongo saja. Anehnya Kolonel Dahlan Djambek yang
Deputy III KSAD hadir dalam acara tersebut.
Sementara itu, Ketua
Dewan Banteng Letkol Ahmad Husein yang menguasai Sumatera Tengah (sipil dan
militer) meresmikan Propinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi menjadi tiga propinsi.
Untuk Riau diangkatnya Mayor Syamsi Nurdin jadi gubernurnya. Sedangkan untuk
Gubernur Jambi ditetapkannya Djamin Dt. Bagindo (seorang tenaga sipil senior).
Sedangkan untuk Propinsi Sumatera Barat Mayor Sofyan Ibrahim sebagai KSS
(Kepala Staf Sipil) dengan Mr. Abu Bakar Jaar (pamong senior) sebagai
pelaksana. Ketiganya di bawah Ketua Dewan Banteng, Letkol A. Husein.
Setelah Pemerintah Pusat
dikritik lamban, mungkin juga karena sudah malu, maka Djuanda mulai bertindak
dengan meresmikan pula Propinsi Riau versi Pusat dengan ibu kotanya Tanjung
Pinang. Gubernur pertamanya adalah Mr. S.M. Amin. Djuanda juga memecah Sumatera
Barat dengan memasukkan V Koto Bangkinang ke Propinsi Riau dan daerah Kerinci
dimasukkannya ke Propinsi Jambi. Sebelumnya daerah V Koto yang terdiri dari
Kuok, Bangkinang, Salo, Air Tiris dan Rumbio masuk ke wilayah Kabupaten 50 Koto
dengan ibu kotanya Payakumbuh.
Sementara daerah Kerinci
sebelumnya termasuk Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci (PSK) dengan ibu kotanya Sungai
Penuh. Pernah salah seorang Bupati PSK yang bernama Bachtiar Datuk Pado
Panghulu orang Koto nan Ampek (Payakumbuh) disebut sebagai Bupati Atom.
Rapat-rapat akbar atau
rapat raksasa sering digelar di Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, Solok,
Pariaman, dan lain-lain, yang intinya
menentang kebijakan Pemerintah Pusat yang tidak becus. Rapat-rapat
raksasa tersebut diorganisir oleh BARST (Badan Aksi Rakyat Sumatera-Tengah)
yang dipimpin oleh Letkol Yazid Abidin.
Di Bandung rapat raksasa
SUNDA TUNGGAL dengan Front Anti Komunis (FAK) dengan pembicara Isa Anshari
(Bomber Masyumi). Di Kalimantan Panglima Tentara dan Teritorium Tanjung Pura
tanpa setahu KASAD mengganti namanya dengan TT VI Lambung Mangkurat. Kemudian
masyarakat Tapanuli serentak membangun Dewan Sisingamangaraja. Sementara Letkol
Wahab Makmur menyiapkan diri untuk jadi Panglima TT I menggantikan Simbolon
membuat repot Panglima TT I Bukit Barisan, Letkol Djamin Gintings.
Dewan Tak Ada dalam Konstitusi
Daerah-daerah bergolak
yang pada umumnya daerah luar Jawa menentang kebijasanaan Presiden Soekarno dan
Djuanda. Aksi-aksi daerah-daerah bergolak tersebut pada mulanya hanya
mengoreksi tindakan Pusat yang tidak benar. Adanya lembaga Dewan Nasional menurut
konsepsi Presiden tidak ada dalam konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara R.I.)
Protes keras yang dialamatkan kepada Presiden Soekarno dan Perdana Menteri
Djuanda adalah Pasal 44 UUDS tentang Alat Perlengkapan Negara yang hanya ada
lima yakni : Presiden dan Wakil Presiden, Kabinet (menteri-menteri), Parlemen
(Dewan Perwakilan Rakyat), Mahkamah Agung dan Dewan Pengawas Keuangan (DPK).
Ketua Dewan Banteng,
Letkol A. Husein menegaskan bahwa yang dibangun hanya Jakarta saja seperti
membangun jalan Thamrin. Sedangkan asrama prajurit semuanya jadi reot tak layak
huni. Kemana saja devisa negara yang dihasilkan oleh daerah-daerah? Tanya Ahmad
Husein. Pantun Ahmad Husein yang terkenal adalah Pinjaik panjuluak bulan/tibo di bulan patah tigo/di langik hari nan
hujan/ di bumi satitiak tido.
Musyawarah Nasional
Jalan keluar dari
kemelut tanah air maka Presiden dan PM Djuanda mengadakan Munas (Musyawarah
Nasional) di Jakarta. Munas juga dimaksudkan untuk merekat kembali Dwi Tunggal
Soekarno-Hatta yang sudah menjadi “Dwi Tanggal”.
Untuk menghadapi Munas
pada bulan September 1957 guna untuk menyatukan sikap, maka para pimpinan
daerah bergolak seperti Dewan Banteng (Sumteng), Dewan Gajah (Sumut), Dewan
Garuda (Sumsel dan Permesta) bertemu di Palembang, tanggal 7-8 September 1957.
Koran-koran yang jadi
terompet PKI dan pendukung Soekarno melansir berita dengan judul huruf-huruf “banner” bahwa Ahmad Husein takut datang
ke Jakarta menghadiri Munas tanggal 10-14 September 1957.
Apa yang terjadi ?
Ternyata Ketua Dewan
Banteng itu nongol di Jakarta. Bahkan
dengan wajah berseri-seri dan dalam keadaan segar bugar, berkaca mata hitam
turun dari pesawat. Ia melambaikan tangannya seraya tersenyum kepada
penyambutnya di Bandara Kemayoran. Ia disambut dengan pencak-silat Kumango,
silat Piaman dan Lintau. Di belakanganya tampak penasihat delegasi Dewan
Banteng Engku Moh. Sjafei Kayutanam, Mr. Abu Bakar Jaar, Ramawi Izhar
(Komisaris Dewan Banteng Jakarta), Gubernur Jambi Djamin Dt. Bagindo. Sementara
Penasihat Dewan Banteng Kolonel TB. Simatupang (mantan KSAP) bergabung dalam
Munas. Dari Permesta juga hadir Letkol Ventje Sumual dan rombongan. Letkol
Barlian dari Dewan Garuda Palembang juga hadir.
Pidato Ketua Dewan
Banteng Letkol Ahmad Husein berkali-kali mendapat aplaus tepuk tangan dari
peserta Munas. Menurut laporan pers pada waktu itu yang saya catat dalam buku
harian yang saya beri nama “Acta Diurna”, Husein tidak sungkan-sungkan
berbicara blak-blakan di depan Panglima Tertinggi APRI Bung Karno yang melihat
tajam kepada Husein yang sedang di mimbar. Sementara tokoh Proklamator Bung
Hatta tersenyum-senyum saja yang duduk di sebelah Bung Karno. Sedangkan PM
Djuanda dan KSAD Nasution dilaporkan pers menekor penuh arti.
Berkata Husein:
“Ketika orang menaikkan
bendera putih ketundukkan kepada musuh, namun kami tetap berjuang dengan
mengorbankan harta dan jiwa untuk menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang
tercinta ini di bawah pimpinan PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia)
yang berkantor di bawah pohon-pohon kayu dalam rimba raya Sumatera.”
Tepuk
tangan panjang sekali dari hadirin menyambut tekanan pidato Ahmad Husein.
Laporan pers dalam buku harian saya “Acta Diurna” itu saya cocokkan lagi dengan
menayakan kepada Bapak Moh. Sjafei yang hadir dalam Munas tersebut sebagai penasihat
delegasi Dewan Banteng.
Ketika
Operasi Badai Pasukan APRI yang mengepung Lintau bulan Juni 1958, kami
menghindar sekitar 11 orang di tepi Batang Sinamar Kenagarian Halaban, 50 Kota.
Saya tanyakan langsung kepada Bapak M. Sjafei jalannya sidang Munas yang
berlangsung setahun sebelumnya, 10-14 September 1957 di Jakarta.
Kami
yang menghindar menyelamatkan diri di tepi batang Sinamar adalah M. Sjafei (Menteri
Pendidikan dan Kesehatan PRRI), Prof. Dr. Idris (Dekan Fakultas Pertanian Unand
di Payakumbuh) dokter Musbar (Kepala RSU Payakumbuh), Mayor Makinuddin HS
(Komandan Pertempuran Lima Puluh Kota), A. Chatib (Bupati 50 Kota beserta Ibu
Tuti Chatib), Kapten CPM Ramli, Zainit (sekarang bergelar Dt. Muncak masih
hidup di Situjuh Batur). Dia adalah ajudan Bapak Makinuddin HS dan sekitar 5
orang prajurit PRRI dari Kompi IV Batalion 2009 dan sejumlah pemuda Halaban
yang mengawal di Ateh Koto (dekat jalan Payakumbuh-Lintau), kemudian ada staf
Pak Sjafei, staf Bupati 50 Kota, staf Prof. Dr. Idris dan staf dokter Musbar.
Buku
harian saya “Acta Diurna” tersebut saya bacakan di depan Bapak M. Sjafei.
Beliau mengangguk membenarkan catatan saya itu bahwa memang begitu yang
disampaikan Ahmad Husein. Lalu beliau berkomentar: “Ada yang menarik lagi,”
katanya. Pada sidang Munas hampir akan ditutup, Ahmad Husein interupsi: “Saya
mengusulkan agar peserta Munas ini pergi ziarah ke makam Jenderal Soedirman di
TMP Semaki di Yogya,” katanya dengan suara lantang. Lalu hadirin menjawab :
“SETUJU”!, Yang tak pergi : Soekarno, Hatta, Djuanda dan M. Sjafei karena
kurang sehat. Selebihnya berangkat ke Yogya.
Husein Tasirobok
Yang
lebih menarik lagi tambah M. Sjafei sidang pertama Munas, Letkol A. Husein
termasuk diri saya, dan lain-lain tentu meninggalkan ruangan. Setelah
memperhatikan Bung Karno, Hatta dan Djuanda telah menuju pintu, maka kami
berusaha melalui jalan lain. Ternyata “basirobok”
juga dengan Bung Karno, Bung Hatta dan PM Djuanda. Saya yang sudah tua, kata
Bapak Sjafei (waktu itu usia sudah lebih 60 tahun) kaget begitu mendengar suara
A. Husein dalam keadaan berdiri tegap sempurna secara militer : “Siaaap!
Hormaat!” katanya menghormati Presiden. Lalu Presiden Soekarno membalas
penghormatan Letkol A. Husein. Seperti
seorang bapak kepada anaknya Presiden menepuk bahu Ahmad Husein seraya berkata:
“Eh, Overste! Kau pintar pidato, ya?” Lalu dijawab Husein tegas : “Siap! Kan
Bapak yang mengajar!” Tampak Nasution senyum di belakang Djuanda. Kemudian Bung
Karno berpaling kepada Hatta lalu berkomentar pula: “Engku!” Bung Karno
memanggil M Sjafei. “Lihat! Bung Hatta stelan jasnya baru. Masih ada benangnya
yang tertinggal,” kata Bung Karno sembari mengipaskan saputangannya ke baju
Bung Hatta. Bung Hatta tak hilang akal: “Waduh! Harumnya sapu tangan Bung
Karno,” semuanya tertawa, kemudian berlalu.
Suasana
sidang Munas tersebut menghilangkan sejenak atmosfir hantam menghantam, hujat
menghujat dan pembangkangan daerah-daerah bergolak yang oleh koran-koran
Jakarta disebut perwira-perwira nakal seperti A. Husein, Sumual, Simbolon,
Barlian, D.I. Somba, Saleh Lahade, Dahlan Djambek, Zulkifli Lubis, dan
lain-lain. Rasanya tidak akan terjadi perang saudara antara Pusat dan Daerah
beberapa bulan kemudian.
Ada yang berpendapat
bahwa peristiwa kecil dialog seorang Presiden yang cukup berwibawa dan punya
kharisma dengan seorang bawahannya Ahmad Husein ketika basirobok di salah satu yang Gedung
Proklamasi (tempat Munas) menggambarkan “jiwa belah” Pemerintah Pusat
khusus dalam menghadapi Sumatera Barat plus Ahmad Huseinnya.
Pada tanggal 22 Desember
1956 (dua hari setelah Ahmad Husein mengambil alih jabatan Gubernur Sumatera
Tengah Ruslan Muljohardjo), maka Kolonel Maludin Simbolon juga mengikuti jejak
Ahmad Husein dengan mendaulat Gubernur Sumatera Utara St. Komala Pontas.
Ternyata Pusat punya instruksi rahasia agar Kepala Staf TT I Letkol Djamin
Gintings mendaulat Panglimanya Simbolon. Jika Djamin Gintings tak berhasil maka
Letkol Wahab Makmur (Komandan Resimen II) TT I Bukit Barisan telah dipersiapkan
pula. Maka pada tanggal 26 Desember 1956 Djamin Gintings berhasil mendaulat
Kolonel Simbolon dan Simbolon menghindar ke daerah Dewan Banteng mungkin dengan
pertimbangan agar tak terjadi pertumpahan darah dalam satu korps.
Tapi tindakan Ketua
Dewan Banteng Ahmad Husein mulus saja pada 20 Desember 1956 itu di Gedung
Nasional Bukittinggi.
“Bahkan pidato sambutan
Gubernur Sumatera Tengah Ruslan Muljohardjo menegaskan, inilah jalan
sebaik-baiknya agar pembangunan daerah dapat terlaksana di Republik ini,” kata
Ruslan.
Tak ada yang mendaulat Ahmad
Husein, misalnya Mayor Sofyan Ibrahim yang Kepala Staf Resimen IV atau Mayor
Nurmathias yang Komandan Sektor di Bukittinggi. Malah Letkol Ahmad Husein yang
disebut salah seorang perwira nakal itu dilantik lagi sebagai Komandan KDMST
(Komando Daerah Militer Sumatera Tengah). Padahal Pemerintah Pusat tampak
memperlihatkan muka masam kepada Kolonel Simbolon, Sumual, D J Somba, dan
lain-lain.
Namun ada juga yang
berpendapat mungkin karena daerah Sumatera Barat tempat lahirnya Bung Hatta,
salah seorang Proklamator R.I.
Tapi ketika dari Padang
dicetuskan PRRI, Pusat pulalah yang lebih dulu menghantam Padang dibandingkan
dengan daerah Permesta.
Komentar orang pula
karena Bung Karno melihat Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Prof. Soemitro
ada di samping Husein. Partai Islam Masjumi dan PSI menolak Konsepsi Presiden
termasuk I. J. Kasimo dari Partai Katholik.
Natsir, Moh. Roem, Djambek di Padang
Pada penghujung tahun
1957 itu para tokoh politik nasional yang beroperasi dengan Presiden Soekarno
dan Djuanda banyak yang hengkang dari Jakarta.
Mohammad Natsir yang
Ketua Umum Partai Islam terbesar Masjumi berdua dengan Mr. Moh. Roem berada di
Medan menghadiri Dies Natalis UISU (Universitas Islam Sumatera Utara).
Kebetulan Mr. Moh. Roem adalah Dewan Kurator Universitas Islam tersebut.
Sehabis acara Dies kedua
tokoh Islam itu tidak langsung terbang ke Jakarta, tapi mampir ke Padang. Di
Padang keduanya mengadakan pertemuan dengan tokoh Masjumi daerah seperti Buya
Duski Samad yang menggantikan H. Mansur Daud Dt. Palimo Kayo sebagai Ketua
Masjumi Sumatera Tengah, H. Darwis Taram Dt. Tumanggung (Koordinator Masjumi
se-Sumatera), Zamzami Kimin (anggota konstituante), Sjarif Said (tokoh Masjumi
Sumbar), Buchari Tamam, dan lain-lain.
Dua hari setelah itu,
Mr. Moh. Roem kembali ke Jakarta, sedangkan Natsir tetap tinggal di Padang.
Dalam pernyataannya kepada pers dikatakannya bahwa ia tidak akan kembali ke
Jawa. Laut Jawa airnya keruh karena sungai-sunaginya banyak membawa lumpur.
Lagi pula kapal yang saya tompang tak ada di Teluk Bayur, katanya. Ketika
ditanya pendapatnya tentang Kabinet Djuanda, Natsir berkomentar singkat: “Pemerintah
semakin merancah ke dalam rawa”, katanya.
Tak lama setelah itu
Gubernur Bank Indonesia Mr. Sjafruddin Prawiranegara sampai di Palembang melakukan
peninjauan ke Stanvac Sungai Gerong.
Besoknya terbit
tulisannya berupa surat terbuka nasional di dalam surat kabar Batanghari
Sembilan Palembang dan koran-koran Tanah Air lainnya. Dijelaskannya mengapa ia
meninggalkan Jakarta. Jakarta sekarang sedang mengalami chaos yang amat sangat. Dan saya tak mau mati konyol dimangsa oleh
binatang-binatang buas dalam tubuh manusia. Jakarta sekarang adalah bottle of conflicting interest and powers
(pertempuran antara berbagai kepentingan dan kekuasaan). Setelah melakukan
pertemuan dengan tokoh-tokoh Sumatera Selatan dan Dewan Garuda, lusanya
Sjafruddin Prawiranegara sudah berada pula di Padang di daerah Dewan Banteng. Tampak
pula Amelz, Sjarif Usman, dan lain-lain.
Kolonel Dahlan Djambek
Deputy KSAD yang rumahnya digranat ketika Kolonel itu sedang mandi dan
diberitakan koran bahwa Pamen asal Sumatera Barat itu mengejar orangnya sampai
ke jalan depan rumahnya sudah tampak pula di Padang.
Dalam suatu pertandingan
bola di lapangan Banteng, sekarang lapangan Imam Bonjol Dahlan Djambek duduk
sederet dengan Ketua Dewan Banteng Ahmad Husein, Sjarif Usman dan Ketua PSSI
Pusat Mr. Maladi eks Kepala RRI Pusat dan eks Menteri Olagraga RI.
Mr. Maladi yang datang
ke Padang pada tahun 1990-an dulu memberikan makalah dalam seminar PDRI di aula
IKIP Padang tentang peranan Radio dalam era PDRI, 1949. Ditambahkannya,
walaupun saya (Maladi) orang Pusat dan kebetulan Ketua PSSI saya aman saja di
daerah Dewan Banteng. Saya duduk berdampingan dengan Ketua Dewan Banteng Ahmad
Husein dan makan malam bersama Ahmad Husein. Ini bukti bahwa perjuangan Dewan
Banteng bukan perang kesukuan, bukan anti Jawa. Saya tahu, tambah Maladi, bahwa
Sekjen Dewan Banteng adalah Sulaiman yang juga orang Jawa.
Keterangan Mr. Maladi di
luar teks tersebut mendapat sambutan dan simpati dari peserta Seminar.
Pemakalah lainnya yang saya catat adalah Prof. Dr. Amura, Hubertus Victor
Soedjono, eks KSAU PDRI dulu.
Yang menarik pula dari
keterangan Maladi adalah sehabis pertandingan sepak bola sore itu yang
dikerubungi orang bukan pemain bola atau seorang Maladi yang orang Jawa, tapi
seorang Sersan yang berkumis dan berjenggot. Orang bilang bahwa sersan itu
adalah Kolonel Zulkifli Lubis, wakil KSAD yang menghilang dari Jakarta. Tapi
saya tak lihat wajah Kolonel Lubis, kata Maladi, S.H.
Rapat Sungai Daerah
Menjelang awal tahun
1958 ini tak ada tanda-tanda situasi politik akan mereda. Begitu pula situasi
keamanan dalam negeri. Di Palembang saja kantor Redaksi SK Harian Batanghari
Sembilan di Jln. Pagar alam, Palembang, di mana Penulis artikel ini bekerja
digranat orang yang tak dikenal. Untung saja tak ada korban jiwa. Kebetulan
Harian Batanghari Sembilan dipimpin oleh PM. Rasyad Nawawi salah seorang tokoh
Dewan Garuda dan seorang tokoh Masjumi Sumatera Selatan dengan Pemrednya AC.
Bawaihi dan Hamdani Said yang juga penyokong Dewan Garuda. Sama dengan situasi
Dewan Banteng dengan Sk Haluan Padang di mana Pemrednya Bung Darwis Abbas
adalah Ketua Seksi F Dewan Banteng.
Wartawan Annas Lubuk
sering mengontak saya dengan titip pesan via seorang pedagang jeruk nipis dalam
partai besar sampai ke Lampung dan Jakarta, Bachtiar orang Padangpanjang, minta
saya segera meninggalkan Kota Mpek-Mpek. Panglima Anda, Barlian nampaknya
ragu-ragu menghadapi situasi yang sudah memuncak. Maksudnya Letkol Barlian
karena secara geografis Palembang dekat dengan Jakarta.
Memangnya Panglima TT II
Sriwijaya, Letkol Barlianlah yang mengusulkan kepada Letkol Ahmad Husein supaya
Dewan Perjuangan yang diketuainya mengundang Ventje Sumual (Permesta), Kolonel
Simbolon, Dahlan Djambek, dan lain-lain ditambah dengan tokoh-tokoh politik
seperti Sjafruddin Prawiranegara, Moh. Natsir, Burhanuddin Harahap dan
lain-lain untuk bertemu di Jambi atau tempat yang ditunjuk dan dirasa aman.
Maksud Barlian agar
Dewan-dewan Daerah tidak terlanjur dengan sikap siap perang dengan pusat.
Usul Letkol Barlian
itulah yang direspons oleh Ahmad Husein. Kebetulan pada tanggal 20 Desember
1957 itu dia akan bertemu dengan Ventje Sumual di Singapura. Husein menunjuk
Sungai Dareh di tepi Sungai Batanghari di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung
(sekarang Kab. Dharmasraya).
Siap perayaan natal,
Ventje Sumual akan ke Tokyo, sedangkan Husein kembali ke Padang.
Pulang dari Singapura,
Husein mengabarkan kepada Barlian bahwa pertemuan Sungai Dareh akan dilangsungkan
pada tanggal 8 Januari 1958 yang akan dihadiri para senior militer, seperti
Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dahlan Djambek, Kolonel Maludin Simbolon,
Letkol Ventje Sumual. Juga diundang para politisi, Natsir, Sjafruddin
Prawiranegara, Prof. Soemitro Djojohadikusumo, Mr. Burhanuddin Harahap, Sjarif
Usman, dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar