OLEH H. Kamardi Rais Dt. P. Simulie (Ketua Umum LKAAM
Sumbar)
Judul
yang diberikan kepada saya dalam ceramah ini adalah Orientasi Umum tentang Adat
Minangkabau sebagaimana tertera dalam makalah ini.
Suatu orientasi umum
tentulah amat luas cakupannya. Karena luasnya tentulah akan meminta waktu yang
panjang. Sementara waktu yang telah dijadwalkan belumlah tersedia untuk itu.
Barangkali yang dapat dikemukakan dalam ceramah ini hanya beberapa aspek saja
tentang adat tersebut.
Menurut
pendapat ahli Hikmat, di lapangan yang luas sulit untuk menggali lebih dalam
karena luasnya areal (lahan). Sementara kalau kita menggali sebuah sumur yang
sudah jelas lahannya kecil dan terbatas, maka penggalian sumur pastilah dalam.
Artinya
jika salah satu aspek yang kita bahas tentulah akan dapat kita kembangkan dan
kita gali lebih dalam.
Judul yang diberikan
kepada saya adalah orientasi
umum. Apakah yang dimaksud dengan orientasi? Dari kata apa asalnya orientasi
itu?
Banyak
di antara kita yang hanya pandai mengucapkan saja, tapi tidak tahu apa
pengertian suatu kata. Banyak orang yang begitu latah memakai bahasa asing
hanya dengan tujuan agar dia dianggap seorang yang keren atau seorang yang
intelektual.
Nah,
baiklah saya kemukakan di sini bahwa kata orientasi berasal dari kata Inggeris
: orient. Artinya timur.
Sementara kata orientasi berarti : tinjauan, tolehan atau pandangan.
Kok
begitu jauh antara kata : timur
dengan tinjauan?
Begini ceritanya.
Dulu,
orang Barat yang ahli tentang ketimuran, soal Asia yang merupakan belahan bumi
timur menyerukan kepada orang-orang di Barat se-samanya : Hei! Kalian ini
menghadaplah ke Timur, ke Orient! “Lama-lama kata orient atau timur itu menjadi
“ke timurlah, orient, oriental, oriented, orientation!”. Kemudian berarti :
tinjauan, pandangan atau yang dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
orientasi berarti : lakukanlah peninjauan untuk menentukan sikap kita).
Orientalis artinya ahli tentang ketimuran.
Jadi
Orientasi Umum artinya tinjauan kita secara umum tentang adat Minangkabau.
Apa yang dimaksud dengan adat?
Kata adat berasal dari
kata Arab : ‘Adah. Artinya sesuatu yang dikerjakan atau diucapkan berulang
kali. Dengan kata lain suatu tradisi yang berlaku secara turun temurun, suatu
kebiasaan.
Istilah lainnya dalam
bahasa Arab disebut ‘urf, artinya yang dikenal dan dianggap baik serta diterima
oleh akal sehat. Menurut para ahli usul fikih, antara ‘adah (adat) dan ‘urf
tidak jauh berbeda. Definisi antara ‘adah (adat) dengan ‘urf adalah sesuatu yang
telah menjadi kebiasaan manusia dalam hal mu’amalah (masalah sosial atau
hubungan manusia se-samanya).
Di negeri kita
Indonesia, kata ‘urf jarang terpakai. Yang lazim dipakai adalah kata Adat. Yang
dimaksud dengan Adat adalah “wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas
nilai-nilai budaya, norma, hukum dan aturan-aturan yang satu sama lainnya
berkaitan menjadi satu sistem”.
Tegasnya adat itu adalah
norma, aturan dan hukum yang bagi orang Minangkabau adalah aturan dan hukum
adat Minangkabau. Di samping itu adat juga berarti budaya yang telah
mentradisi.
Sebagai norma, contohnya
aturan perkawinan atau nikah-kawin menurut adat Minangkabau. Kita kawin di luar
kerabat. Itulah yang disebut dengan eksogami. Maksudnya kelak untuk menentukan
mana yang anak dan mana yang kemenakan dari hasil perkawinan itu. Oleh
karenanya nenek moyang kita menggariskan tidak boleh kawin se-suku atau dalam
satu payung mamak.
Terhadap masalah itu ada
aturan yang sudah membudaya disebut sebagai : “Nikah dengan si perempuan, kawin
dengan Ninik Mamak”. Artinya harus bertemu (setuju) mamak yang satu dengan
mamak yang lain yang kedua mamak itu harus berbeda payungnya. “Hutang syarak
tanggungjawab bapo, hutang adat baban mamak”.
Dalam pelaksanaannya sigai mencari enau. Artinya lelaki
yang pulang ke rumah isteri. Disebut matrilokal.
Ini beda dengan budaya lainnya seperti adat Jawa, Palembang dan sebagainya.
Inilah yang disebut juga
sebagai “adat japuik tabawo, arak iriang sapanjang jalan, badombai sapanjang
kampuang.” Atau “datangnyo dek bajapuik, sapanjang adat ka jadi sumando
di korong kampuang, ibu bapo di kampuang urang, tibo di condong nan ka
manungkek, singkek nan ka mauleh, panjang nan ka mangarek, ka jadi lawan baiyo,
banamo sumando ninik mamak”, dan seterusnya.
Tapi seandainya, kok
buruak nan ka tibo, pacah parahu dalam palayaran, krissi dalam perjalanan,
ratak rumah tanggo, kok rusak tak dapek dipa-elok-i, kusuik nan indak namuah
disalasaikan, kok karuah indak namuah dipajaniah, lah disusun lah dibujuak dek
mamak, tibolah karajo nan dihalalkan tapi dibanci Tuhan, carai jo talak tak
dapek diilakkan, mako anau tatap, sigai
nan baranjak, si suami pulang ke rumah familinya atau ka rumah ibunya. Kabau tagak kubangan tingga, luluak nan dapek
dibawo sado nan lakek di badan. Harato tapatan tingga, harato pambawo babaliak
ka nan punyo, sakutu dibalah, harato suarang babagi.”
Demikian tata barisnya
hukum adat Minangkabau yang disebut sebagai norma-norma adat.
Sejak kapan kata adat mulai dipakai?
Menurut
pendapat para ahli adat, kata adat itu berasal dari bahasa Arab sebagaimana
telah diterangkan di atas. Tapi sebagian pakar pula berpendapat lain. Jika kita
berpegang pada pendapat bahwa kata adat berasal dari bahasa Arab tentulah kata
adat itu mulai dipakai setelah Islam masuk ke Minangkabau.
Dalam
seminar Masuknya Islam ke Indonesia di Medan pada tahun 1963, Hamka berpendapat
bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7.
Sementara
masuknya Islam ke Minangkabau setidaknya sudah ada pada abad ke-11. Sebab Datuk
Rajo Bagindo telah mengembangkan Islam ke Brunai, Serawak dan Sulu (Philipina
Selatan) pada abad ke-14. di Minangkabau Timur para pedagang Arab sudah bergaul
dengan penduduk tempatan, kawin-mawin sambil berdakwah. Karena itu Islam masuk
dari sungai Siak sehingga orang-orang yang agak alim disebut “orang Siak”.
Kemudian Syekh Burhanuddin pada abad ke-16 juga mengembangkan Islam dari
Ulakan, Pariaman. Masykurlah pepatah : “adat manurun, syarak mandaki”.
Tom
Pires melaporkan bahwa pada tahun 1512, Raja Alam Minangkabau yang bernama Cunci
Teras telah masuk Islam. Sementara menurut Hamka, Raja Alif adalah Raja Pagaruyung pertama yang
masuk Islam. Hamka tak menyebutkan nama. Apakah Raja Cunci Teras adalah Raja
Alif? Disebut Raja Alif karena raja itu tercatat sebagai yang pertama. Dalam
mamangan orang-orang tua, “mangaji dari alif, babilang dari aso.”
Baiklah
kalau kita ambil patokan abad ke-14, 15 atau abad ke-16 Islam masuk ke
Minangkabau, artinya baru 5 abad kita mengenal nama a d a t sebagai sebutan dari suatu kebudayaan yang sudah tua yakni
kultur Minangkabau.
Adat
kita disebutkan sebagai “adat lamo, pusako usang”. Oleh karena itu ada
pendapat lain yang mengatakan bahwa kata adat memang kita pakai sejak Islam
masuk ke Minangkabau. Sebelumnya untuk kata adat itu disebut buek.
“Baa buek urang di siko?”
Artinya bagaimana adat (buek) orang di sini?
Kata buek yang artinya adat itu tertera di dalam kitab Tambo
yang ditemukan di nagari Sulit Air, Kabupaten Solok. Tambo itu ditulis dengan
aksara Minang yang pada tahun 70-an dulu disimpan oleh Pakih Taim. Aksara
Minang tersebut berderet ke bawah. Beda dengan aksara Minang yang ditemukan di
Pariangan, nagari tertua di Minangkabau yang berderet dari kiri ke kanan
seperti huruf Laten.
Sementara
itu masih ada pendapat lain yang dikemukakan oleh M. Rasjid Manggis Dt. Rajo
Panghulu, seorang ahli adat dari Bukittinggi. Kata adat yang kita pakai
sekarang sebetulnya selaras dan nyaris sama bunyinya dengan kata Sanskerta
yakni : A dan DATO. A artinya tidak, sedangkan DATO artinya sesuatu yang berupa kebendaan. Jadi A-DATO berarti tidak kebendaan
tidak berupa materil, tapi berupa moril (moral) yakni suatu ajaran baik dan
buruk yang diterima masyarakat yang tercermin dalam sikap dan perbuatan
seseorang. Moralitas adalah adat sopan santun di tengah masyarakat.
Mana
yang benar antara berbagai ragam pendapat tersebut baiklah kita serahkan kepada
para ahlinya. Yang jelas yang kita pakai sekarang adalah kata ADAT sebagai
label dari norma dan budaya yang kita terima dan kita anut dari nenek moyang
yang sebaris berpantang lupa, setitik berpantang hilang.
Sejak kapan adat kita mulai berdiri ?
Pertanyaan ini rada
sulit menjawabnya. Sebab kitab Tambo yang menjadi acuan adat kita tidak
menjelaskan masalah tersebut. Tambo tidak mengenal ruang dan waktu. Tak ada
angka tahun dan tak ada penanggalan.
Tambo hanya bercerita
tentang alam Minangkabau yang terdiri dari Luhak nan Tigo (Tanah Data, Agam dan
Limo Puluah Koto), Lareh nan Duo (Koto Piliang dan Bodi Caniago) yang
masing-masingnya didirikan oleh Tokoh legendaris Minangkabau, Datuk
Katumaggungan dan Datuk Parpatih nan Sabatang.
Paparan Tambo yang lain
adalah menyangkut dengan hukum yakni Undang na ampek parkaro: Undang-undang Nagari, Undang Dalam Nagari,
Undang-undang Luhak dan Undang-undang nan Duo Puluah. Kemudian Cupak nan Duo:
Cupak Usali dan Cupak buatan, dan lain-lain.
Tambo hanya meng-kiaskan
bahwa adat Minang tersebut adalah Adat
lamo, pusako usang. Maksudnya
adat kita itu bukan baru kemaren disusunnya, tapi sudah lama. Sedangkan pusaka
yang kita terima ini sejak dari dahulunya, pusaka yang sudah turun temurun,
jawat berjawat. Inilah yang dikatakan:
Biriek
tabang ka samak
Tibo di
samak tabang ka halaman
Hinggok
di tanah bato
Dari
Niniek turun ka mamak
Dari
mamak turun ka kamanakan
Pusako
pun baitu juo
Meskipun Tambo tidak
menyebutkan angka tahun, namun jika kita arif dan jeli membaca yang tersirat
dari pantun, gurindam adat di dalam Tambo, maka kita kan diberitahu tentang apa
yang masih belum kita ketahui.
Kata pantun di dalam
Tambo :
Dimano
titiak palito
Dibaliak
telong nan batali
Dari
mano turun niniak kito
Dari
lereng Gunung Marapi
Marilah kita arifi bahwa
pantun Melayu atau gurindam adat bukan sekedar persamaan bunyi (a-b-a-b) antara
sampiran dengan isi, tapi sampiran pantun pun berguna dan berarti. Bahwa titik
cahaya dari pelita itu datang dari atas untuk menerangi alam ini. Inilah budaya
yang universal. Bacalah baris kedua dari sampiran pantun di atas : “Di balik
telong nan batali” katanya.
Apa itu telong ? Telong berasal dari kata
tanglung yakni lampu minyak orang Cina. Kenapa nenek moyang kita mengambil kata
telong (tanglung)? Jika dikatakan di balik lampu nan barapi, bisa, kan?.
Kalau kita dalami, kita
gali apa yang tersirat dari kata telong, itu berarti titik api (budaya Minang), posisinya berada di balik cahaya lampu
orang Cina (telong). Kapan itu?
Kita ketahui budaya Cina
telah berkembang sejak zaman Lao-Tse dengan ajaran Taoismenya. Sejarah
mencatatnya bahwa ia hidup sekitar 500 tahun sebelum Isa. Pemikir Cina yang
lain adalah Kong Futse dengan ajaran Konghucu-nya. Ia hidup sekitar abad ke-5
sebelum Masehi dan lebih muda sedikit dari Lao-Tse.
Lalu nenek moyang orang
Minang mempercayai bahwa ia keturunan Sultan Iskandar Zulkarnain (Alexander the
Great) Raja Macedonia yang amat perkasa. Ia dengan pasukannya menaklukan Mesir,
Parsi sampai ke India. Menurut catatan sejarah ia hidup pada tahun 356–323 SM.
Dengan itu dapat dipatok
dan direka bahwa adat dan kebudayaan Minang se-zaman dengan budaya Cina Lao-Tse
dan Kongfutse (dibalik tanglung) yakni sekitar 300 tahun sebelum Isa.
Dalam masa berabad-abad
lamanya (sekitar 15 abad) karena agama Hindu pernah singgah di nusantara ini
dan agama Budha pernah pula mampir ke sini, maka tak ayal lagi nenek moyang
kita beragama Hindu dan Budha. Tapi dengan masuknya Islam ke Minangkabau, maka
adat Minang menjadi adat Islami. Sebagaimana tergambar dalam membangun rumah
gadang Minang, pada mulanya rumah gadang itu berdiri di atas tanah, dengan
datangnya Islam maka Islamlah yang menjadi sendi adat. Islam datang memperkokoh
berdirinya adat itu. Pada mulanya filosofi adat Minang adalah “Adat basandi
Syarak, Syarak basandi Adat”. Lahirlah fatwa adat:
Simuncak
mati tarambau
Ka
lurah mambawo ladiang
Lukolah
paho kaduonya
Adat jo
syarak di Minangkabau
Bak aue
jo tabiang
Sanda
manyanda kaduonyo
Adat
Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah
Kemudian
setelah Islam jadi sendi adat, namun sisa-sisa kepercayaan Hindu atau Budha
masih ada di kalangan masyarakat.
Pada
tahun 1803 pulanglah tiga orang haji dari Mekah. Mereka adalah Haji Miskin (Pandai
Sikek) dari Luhak Agam, Haji Sumanik (Batusangkar) dari Luhak Tanah Datar dan
Haji Abdur Rahman (Piobang) dari Luhak Limo Puluah Koto. Ketiganya membawa
faham Wahabi ingin melakukan gerakan puritan di Minangkabau. Ingin memurnikan
ajaran Islam yang dianut oleh masyarakat Minangkabau pada abad ke-19 itu.
Tanaman kopi yang subur di Luhak Tanah Datar, Agam dan Limo Puluah Koto serta
komoditi lainnya yang dijual ke Minangkabau Timur telah membuat masyarakat
berkeadaan dan berkecukupan. Kondisi yang demikian itu kadangkala membuat
masyarakat lupa daratan dengan hidup berfoya-foya dan tak tahu lagi mana yang
halal dan yang haram. Mereka sembahyang (sholat), berpuasa dan lain-lain, tapi mereka juga menyabung
ayam, minuman keras dan berjudi. Tiga orang Haji yang pulang dari Mekah
sebagaimana diceritakan di atas ingin syariat agama Islam ditegakkan seperti
yang diteladankan oleh Nabi Muhammad s.a.w.
Pada
tahun 80-an terbit sebuah buku yang berjudul “Islamic Revivalism in a Changing
Peasant Economy” sebuah studi tentang masa riuh di Minangkabau, 1784-1847
(Goenawan Muhammad, 1984). Buku tersebut hasil penelitian sejarah oleh
Christine Dobbin.
Kekerasan
pun tak dapat dielakkan. Tuanku nan Renceh, salah seorang dari Harimau nan
Salapan, dengan mata merah dan pedang berkilat dari atas bukit Kamang
mengumumkan perang atas kemaksiatan itu atau penyimpangan dari ajaran agama
Islam yang murni. Inilah cikal bakal Perang Padri yang dipimpin oleh Tuanku
Imam Bonjol (1821-1837).
Menurut
Christine Dobbin, Haji Miskin meninggalkan kampungnya Pandai Sikek kemudian
tinggal di Kamang. Pada tahun 1811 ia pergi ke Payakumbuh membangun desa
(nagari) Air Tabit (Aie Tabik) yang
mempunyai hamparan persawahan yang luas di kaki gunung Sago. Sebelumnya sudah
berada di Aie Tabik, Haji Jalaluddin bergelar Pakih Sagir dibantu oleh Tuanku
nan Pahit bergelar Malin Putih, orang Bendang Aie Tabik.
Sebuah
catatan tua di Aie Tabik (ditulis dengan tulisan Arab Melayu, disimpan oleh
Datuk Makhudum (suku Bendang) cucu piut dari Tuanku nan Pahit bahwa pada tahun
1246 Hijriyah (1827 Masehi ?) ketiga orang tokoh puritan tersebut (Haji Miskin,
Pakih Sagir dan Tuanku nan Pahit) berangkat ke Lintau (Puncak Pato) menghadiri
Rapek Alam atau pertemuan besar Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cerdik Pandai atau
Tungku Tigo Sajarangan. Hasil dari Rapek Alam tersebut adalah sebuah Sumpah Satie bahwa Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah menggantikan filosofi yang lama : Adat Basandi Syarak, syarak Basandi Adat.
Tempat
marapekkan alam itu sekarang dikenal dengan bukit
Marapalam yang berasal dari Marapekkan alam. Konon pula nama Puncak Pato itu
berasal dari Puncak Kato . Itulah
puncak kata, tak ada lagi kata setelah itu.
Menurut
catatan tua itu juga sepulangnya Haji Miskin, Pakih Sagir dan Tuanku nan Pahit
dari “Marapekkan Alam” (Marapalam) di Puncak Pato (Puncak kato di Lintau)
tersiarlah kabar secara beranting bahwa tokoh pembaharuan tersebut harus
dilawan. Tuanku nan Tuo di Luhak Agam mengajarkan bahwa Islam agama damai,
bukan dengan kekerasan. Di kampung Haji Miskin sendiri, di Pandai Sikek
wanita-wanita kembali menguyah sirih, suatu hal yang dibenci oleh Haji Miskin.
Tuanku
nan Pahit membawa kelewang hilir mudik di Aie Tabik, mengamati batu tapakan siapa yang tidak basah pada setiap waktu
sholat, maka orang itu akan mendapat tamparan dan hukuman dari Tuanku nan
Pahit.
Banyak
juga penduduk yang tidak senang dengan cara pembaharuan seperti itu.
Nagari
Aie Tabik dianggap pusat pembaharuan tersebut dan tokohnya adalah H. Miskin dan
Tuanku nan Pahit, maka datanglah serangan dari berbagai nagari sekitar Aie
Tabik dengan bantuan datang dari Agam. Padahal H. Miskin sedang membangun
“Surau Gadang” (masjid raya) Sungai Landai dan Benteng Bukit Qowi (kuat). Dalam
suatu malam terjadilah “kalibat” (keributan) serangan mendadak ke Benteng Bukit
Qowi tersebut.
Dalam
catatan tersebut dikatakan bahwa H. Miskin pulang ke Rahmatullah sebagai syahid
dan dimakamkan di kaki Bukit Gadang Aie Tabik.
Sedangkan
Tuanku nan Pahit dituduh berbuat sewenang-wenang dan keresahan masyarakat
ditangkap Belanda di Patapaan (pertapaannya) di lereng gunung Sago di kawasan
nagari Sungai Kamunyang.
Demikianlah
ceramah yang dimintakan kepada saya menyangkut dengan Orientasi Umum tentang
Adat Minangkabau yang intinya adalah adat Minangkabau itu adalah adat Islami,
Syarak Mangato adat mamakai.
Tentu
belum semuanya orientasi umum tentang adat Minangkabau itu dipaparkan di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar