(Mengenang Kembali Tiga Seminar Minangkabau (III-Habis)
OLEH H Kamardi Rais
Datuak Panjang Simulie
Mantagibaru kali menurunkan tiga tulisan wartawan senior almarhum Kamardi
Rais. Ia salah seorang yang berprofesi jurnalis sekaligus sosok ninik mamak
yang memahami adat istiadat dan budaya Minangkabau, serta menjadi Ketua Umum
LKAAM Sumbar. Tiga tulisan Kamardi ini
memotret fenomena yang terjadi dalam tiga kali peristiwa budaya, yakni seminar
tentang Minangkabau yang digelar berturut-turut (1968, 1969, dan 1970). Setelah
ini, tak ada seminar Minangkabau yang sedalam dan selengkap ini digelar.
Berikut tiga tulisan itu diturunkan
secara berkala per minggu, tentu setelah dilakukan penyuntingan.
Seminar ketiga (III) di Luhak Nan Tuo, Batusangkar, digelar
1-7 Agustus 1970. Seminar ini berlevel nasional yang Ketua Panitia Pusatnya
adalah almarhum Prof. Dr. Bahder Djohan, mantan Menteri PPK dan mantan Rektor
Universitas Indonesia. Penasihatnya Bung Hatta, Buya Hamka, dan lain-lain.
Di Sumatera Barat, Panitianya Pemerintah Daerah Sumatera
Barat, Centre for Minangkabau Studies (Mochtar Naim), LKAAM Sumbar, IKIP Padang,
Unand dan Wali Kota Padang Drs. Achirul Yahya. Panitia Pelaksana di Batusangkar
adalah Bupati Mahyuddin Algamar.
Seminar ini tidak seperti seminar biasa. Biasanya dihadiri
peserta sekitar 70-90 orang. Tapi seminar di Batusangkar ini dihadiri lebih 200
orang, ditambah peninjau. Diperkirakan peserta seminar sampai 300-400 orang. Setiap nagari di
Minangkabau mengutus 1-2 orang sebagai peserta dan peninjau.
Nagari Pagaruyung menyembelih kerbau untuk menjamu
tamu-tamu yang datang. Makan bajamba di bawah pohon beringin tiga sesaing.
Konon beringin tiga sesaing itu ditanam oleh Rajo Tigo Selo: Rajo Alam di
Pagaruyung, Rajo Adat di Buo dan Rajo Ibadat di Sumpur Kudus.
Di bawah pohon beringin yang tumbuh agak ke pinggir jalan
raya Pagaruyung tersebut, ada batu kasur. Konon batu kasur itu tempat ujian
bagi anak-anak raja yang akan diutus ke rantau. Dulu anak raja yang bergelar
Rajo Mahmud lolos ujian setelah tidur semalaman di batu kasur tersebut, di alas
dengan jelatang nyiru. Kalau masih menggarut (gatal dan perih) tidak akan
lolos. Nyatanya Rajo Mahmud lolos. Dia dijemput oleh Datok Undang yang
berempat: Undang Luak Rembau, Undang Luak Jelebu, Undang Luak Johol dan
Panglima Tampin.
Raja Mahmud menyeberang selat Malaka dan dirajakan di
Negeri Sembilan Tanah Melayu. Bertolak dari Pagaruyung tahun 1770 dan
dinobatkan di Penajis 1773.
Kembali ke seminar yang ketiga ini bertopik : “Sejarah
dan Kebudayaan Minangkabau”. Acara pembukaan bertempat di rumah adat Kota
Batusangkar dengan pidato Ketua Panitia Pusat Prof. Dr. Bahder Djohan. Sambutan
Ketua Umum Pucuk Pimpinan LKAAM Sumatera Barat, Baharuddin Dt. Rangkayo Basa,
sambutan Gubernur Sumbar Harun Zain dan sambutan Menteri Penerangan RI
Budiardjo disampaikan oleh Staf Menteri Ismail Hasan, S.H.
Sambutan dari Tan Seri Samad Idris, Menteri Belia dan
Sukan Malaysia yang berasal dari Negeri Sembilan dan nenek moyangnya dari
Sumanik (Batusangkar) dibacakan oleh Drs. Saafruddin Bahar (Sekum LKAAM
Sumbar).
Besok harinya dilakukan studi excursi ke nagari tertua Minangkabau Pariangan Padang Panjang
dengan kuburan panjang Datuk Tan Tejo Gurhano, ke Balairung panjang di Tabek dan
ke negeri-negeri Basa Ampek Balai, dan lain-lain.
Lebih dari 30 makalah dan makalah bahasan dibentangkan
oleh para pakar dan tokoh-tokoh ternama seperti Buya Hamka, Bung Hatta, Prof.
Dr. Bahder Djohan, Drs. M. D. Mansur, Dt. Perpatih Sabatang (Batusangkar),
Fachrudin HS Dt. Majo Indo (Payakumbuh), Dra. Asmaniar Idris, A.A. Navis, dan lain-lain.
Kertas kerja dari LKAAM Sumbar ditulis oleh M. Rasjid
Manggis Dt. Rajo Panghulu dan Kamardi Rais Dt. P. Simulie yang ditunjuk oleh Mubeslub
LKAAM di gedung Dodik Simpang Haru, Padang, Mei 1970.
Yang menarik waktu itu adalah komisi seminar yang dipimpin
oleh Drs. M. D. Mansur. Pukul 08.00 WIB dalam jadwal acara tertera bahwa Dr. H.
Moh. Hatta akan tampil membahas makalah Buya Hamka ”Islam dan Minangkabau”.
Ternyata sampai pukul 08.20 WIB, Bung Hatta belum juga tampil di sidang
seminar.
Pimpinan sidang Drs. M. D. Mansur mengetuk palu tiga
kali, diiringi dengan kata-kata bahwa yang kita cintai dan amat kita hormati
Doktor H. Moh. Hatta sampai saat ini belum muncul di ruang seminar.
“Telah terjadi yang belum pernah terjadi selama ini.
Sampai pukul 08.30 Wib Bung Hatta belum datang,” kata moderator itu. Sidang
kita skor sampai Bung Hatta datang,” sambungnya.
Tang-tang-tang palu moderator berdentang tiga kali pula.
Peserta yang penuh sesak di Gedung Nasional itu melangkah
gontai ke luar gedung lalu berkerumun mengelilingi atraksi talempong Unggan
yang terkenal, Sikantuntang, dan lain-lain.
Ternyata kurang 15 menit sidang seminar diskor, mobil
Bupati Tanah Datar Mahyuddin Algamar berhenti di depan Gedung Nasional, membawa
Bung Hatta bersama sesprinya, Pak Wangsawijaya, Prof. Dr. Bahder Djohan, Dokter
Rasidin (bekas Wali Kota Padang) dan lain-lain.
Bung Hatta dibimbing masuk ruangan dan para peserta ”bagaduru” masuk sidang seminar kembali.
Setelah sidang dibuka Drs. M. D. Mansur sidang
menjelaskan bahwa Bung Hatta yang kita cintai sebenarnya kesehatannya
terganggu. Walau pun demikian ia masih bersemangat untuk hadir dalam seminar.
Keterlambatannya selama 30 menit karena Beliau memeriksa matanya yang sakit.
Aksara Minangkabau
Pada hari keempat seminar, Drs. Ibrahim Buchari dari
Jakarta mengatakan bahwa budaya Minang yang sudah tua itu kok tak punya aksara?
Kita mengenal ada tulisan Rencong, Lontara, Rejang Lebong, dan lain-lain. Tapi
Minang kok tidak ada.
Dalam diskusi itu, tiba-tiba munculah seorang bekas camat
Pariangan. Dia membentangkan semacam spanduk kecil dari kertas. Jangan bilang
orang Minang tak punya aksara katanya. Inilah aksara Minang tersebut, kata
bekas camat tersebut di depan forum seminar.
Bung Hatta tampak senyum-senyum melihat aksara tersebut dan
Buya Hamka menganggukkan kepalanya.
Karena foto kopi belum ada, maka banyak orang menyalin
aksara Minang yang ditemukan di sebuah rumah di Pariangan. Saya pun ikut
menyalinnya. Kenapa tulisan itu tidak dipakai atau berkembang?
H Fachruddin HS Dt. Majo Indo, pengarang Tafsir Alquran
dan mantan Kepala Penerangan Agama Provinsi Sumatera Tengah (Kapenapste)
menduga, mungkin karena Islam sudah masuk Minangkabau, orang Minang tertarik
untuk mengembangkan huruf Arab-Melayu, maka aksara Minang tidak dipakai lagi.
”Mungkin juga”! Komentar Buya Hamka.
Kiblat ke Baitullah
Kesimpulan seminar yang tujuh hari itu dibacakan oleh
Buya Hamka pada penutupan seminar di lapangan PSBS Batusangkar. Bahwa sejarah
Minangkabau hendaklah segera ditulis setelah seminar ini oleh para sarjana kita
bersumber kepada: 1) Peninggalan purbakala; 2) Tulisan yang terdapat di
Nusantara; 3) Penulisan asing; 4) Kitab-kitab Tambo yang terdapat pada berbagai
nagari; dan 5) Sumber-sumber lainnya.
Tentang orang Minang jati dirinya adalah moyangnya turun
dari Gunung Marapi, sekarang menjadi bangsa Indonesia dan berkiblat ke
Baitullah. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar