OLEH Gus tf Sakai
Ketika Isbedy—melalui SMS—mengatakan bahwa
kongres kali ini bukan hanya membicarakan anatomi cerpen tetapi juga sejumlah
topik lain termasuk ideologi, saya segera tertarik pada ideologi. Ketertarikan
saya bukan karena ideologi menurut sementara pendapat memberikan sumbangan pada
dunia sastra, melainkan karena sejak lama saya berpikir sebaliknya: ideologilah
yang mengerdilkan sastra, membuat teks sastra jadi miskin dan bagai berada di
bawah (dalam bayang-bayang) teks lain seperti sains, agama, dan filsafat.
Saya tak mengatakan teks sastra bisa lebih besar
dari teks sains, agama, dan filsafat walaupun memiliki anasir yang
mendukungnya, tetapi membandingkan semua teks itu dengan teks sastra
sebenarnyalah tak tepat. Bukan hanya karena mereka bekerja dalam tataran (juga
karakter bahasa) yang berbeda, tetapi lebih dari itu karena sastra bergulat
dengan cara sebaliknya: menghancurkan yang telah ada. Jadi, di manakah tempat
ideologi? Tempat “menuju suatu konsep”? Bahkan sebenarnya, tempat “isi”?
Apa yang membuat saya jadi betah dan jatuh cinta
kepada sastra, kiranya, karena di dalamnya saya berada dalam suatu keadaan
(determinasi) di mana saya tak ada. Suatu kondisi yang bagi teks lain niscaya
fatalistik, tetapi yang bagi sastra adalah gairahnya, energinya. Sebab hanya
dengan ketak-adaan, hanya dengan kelenyapan terus-menerus, keberlahiran
terus-menerus menjadi mungkin. Maka “ideologi”, “konsep”, “isi”, segala jalan
di mana kebenaran telah lebih dulu didudukkan, akan menutup sepuluh, seratus,
seribu, ketakberhinggaan kebenaran lain tempat di mana sastra menemukan
dirinya.
Menjadi ada
Begitu orang pertama entah siapa mulai
memikirkan alam (kosmos), sejak saat itu pula manusia diringkus pertanyaan
kenapa dan bagaimana sesuatu menjadi ada. Seseorang merasa tak berharga dan
sia-sia akan kelahirannya, bila tak berhubungan dengan sesuatu yang membuat ia
menjadi ada. Demikianlah kemudian “menjadi ada” menjelma jadi tuan, dan manusia
dalam teks apa pun merelakan diri jadi hambanya. Tidakkah dalam filsafat,
misalnya, “menjadi ada” itu hidup dalam logos? Juga dalam agama, sang tuan
“menjadi ada” menjelma dalam rujukan tunggal institusi spiritual. Dan dalam
sains ia bertahta dalam apa yang kita kenal sebagai metodologi.
Menjadi ada jelas bukan masalah. Bagi siapa pun
yang masih waras, ia justru niscaya. Tetapi bagi teks sastra yang sejatinya
adalah kompleksitas, menjadi ada mesti kembali ke ketak-adaan. Dan karenanya
tiada kata final: kehadiran disambut oleh ketakhadiran. Maka logos, dogma,
metodologi, suatu kerangka diskursif, konsep, segala yang tersusun dalam suatu
sistem atau formula, akan mengafirmasi dan meringkus teks sastra dalam suatu
kebenaran tunggal.
Masing-masing akan bersikukuh pada kebenaran
sendiri. Semua akan bersitumpu pada titik pandang sendiri. Dua orang yang
tengah membaca sebuah teks sastra yang sama, misalnya, bisa berada dalam posisi
berseberangan dan bahkan bertentangan. Sebagai contoh bisa kita lihat dalam Derabat, Cerpen Pilihan Kompas 1999, antara
kata pengantar yang ditulis oleh Ahmad Sahal di satu pihak dan kata penutup
yang ditulis oleh Toeti Heraty di pihak lain.
Cerpen-cerpen yang berhasil, bagi Ahmad Sahal,
adalah cerpen-cerpen yang ambigu; yang mengganggu cara pandang, dan karenanya
“mengintensifkan pandangan kita terhadap kenyataan”. Maka, menilai cerpen Saran “Groot Majoor” Prakoso (YB
Mangunwijaya), Panggil Aku: Peng Hwa
(Veven SP Wardhana), dan Penjaja Air Mata
(Prasetyohadi) ia pun menulis: “Berhadapan
dengan cerpen-cerpen semacam itu, entah kenapa saya merasa tidak ada sesuatu
yang mengejutkan. Secara politis, “pesan” cerpen-cerpen tersebut niscaya benar
adanya karena mengajukan komitmen sosial yang tinggi ... mungkin karena terlalu
berat diganduli dengan “isi” yang membawakan amanat komitmen sosial semacam
itu, cerita jadi terlalu “lurus”, bahasanya diskursif dan memilah ....”
Suatu penilaian yang segera kita maklumi karena Ahmad Sahal, meski secara
implisit, melandaskan pembacaannya pada pemikiran post-strukturalis yang
menempatkan kebenaran pada makna tekstual.
Sebaliknya dengan Toeti Heraty, cerpen Panggil Aku: Peng Hwa atau cerpen Penjaja Air Mata justru memperoleh
apresiasi yang baik. Cerpen-cerpen yang dinilai “mampu mengganggu” oleh Ahmad
Sahal, oleh Toeti Heraty malah dinilai sebagai: “... semakin fantastis dan mistis. Semula bertolak dari situasi konkret tapi
kemudian menampilkan hypertrofi, jaringan-jaringan hasil imajinasi disisipkan
di sana-sini. Benar-benar membuat kita bertanya, apa yang salah pada
penghayatan kita? Apa yang membuat kita terlalu cepat meninggalkan realitas
bermasalah ke surealisme, hypperrealisme. Ini adalah escapisme sebagai gejala pelarian diri ke alam yang
bebas tanpa komitmen ....” Kalimat-kalimat yang segera kita kenali
berlandaskan filsafat analitik, yang bagai diturunkan Tuhan membela
realisme—karena memang itulah kebenarannya. Kalimat terakhir Toeti malah
langsung mengingatkan kita kepada cemooh Moore, “Bila seorang filsuf dihadang
oleh akal sehat, ia segera bertahan dengan jalan melarikan diri ke kegelapan.”
Secara luas, di wilayah pembaca, betapa selama
ini kita demikian permisif, begitu pemurah, membiarkan teks sastra tereduksi
oleh logos filsafat. Teks sastra yang dianggap sebagai sarana untuk
menyampaikan masalah-masalah sosial, misalnya, berkebenaran pada Marxisme.
Tanpa adanya realisme sosialis, pembaca takkan menemukan jalannya untuk dengan
begitu gampang mengukur baik-buruknya suatu teks sastra dari sejauh mana ia
mampu mengangkat dan menyelesaikan persoalan sosial. Dalam perkembangan
kesusastraan kita, menurut hemat saya, kepembacaan dengan landasan kebenaran
ini setidaknya telah berdosa terhadap beberapa karya cemerlang Pramudya Ananta
Toer. Kompleksitas menjadi abai, menjelma hanya bagian dari suatu ordinat
kepentingan politik. Begitu pun sebaliknya, anggapan bahwa teks sastra
merupakan alat bagi perjuangan kesenian yang berkebenaran pada sejumlah teks
filsafat yang mengacu kepada filsafat humanisme universal. Apakah kepembacaan
golongan ini ingin mereduksi teks sastra agar tak turut campur, misalnya, dalam
bangunan masyarakat industri kapitalis?
Pada kepembacaan yang mendudukkan karya sastra
sebagai tuntunan tingkah laku sehari-hari, teks sastra dilihat atau diposisikan
tak ubahnya bagai agama. Berbagai kebenaran filsafat yang bersumber dari para
filsuf Eropa abad pertengahan dijadikan acuan, sehingga teks sastra mungkin
akan lebih baik kalau ditulis hanya oleh nabi. Sedangkan kepembacaan yang
berkebenaran bahwa teks sastra mestinya memiliki hubungan tukar-menukar, dalam
perkembangan kesenian di negara kita, tampak seolah ingin menempatkan karya
seni sebagai bagian tak terpisahkan dari zaman yang chaos yang mestinya chaotik dan permisif.
Nilai estetik sebagai modal (dalam bidang apa
pun berlaku hukum ekonomi!) begitu saja dipertukarkan dengan modal kekuasaan
atau politik. Tidaklah salah kalau ada pejabat, atau pengusaha, tiba-tiba
menjelma jadi penyair dan ramai-ramai baca puisi. Modal estetik, karena
hubungan tukar-menukar, adalah juga milik modal-modal lain dan karenanya berhak
atas tenaga estetik. Kekuasaan diperindah, kerakusan ekonomi diperhalus. Bahkan
hubungan tukar-menukar ini juga diberlakukan di tataran intrinsik, menjelma
kolaborasi antara berbagai teks seni. Kadang saya berpikir, apakah itu
kolaborasi? Dan sering saya harus menjawab, “Seseorang (satu jenis teks seni)
terbunuh di tengah keramaian (pameran berbagai teks seni).” Begitulah umumnya
kepembacaan yang berkebenaran pada postmodernisme yang, mungkin karena bagi
sementara kalangan tergolong baru, diapresiasi secara rendah. Atau apakah memang
hal demikian yang dimaksudkan oleh paralogy-nya
Lyotard?
Adalah
perangkap
Bila kita lihat kembali Kisah Seribu Satu Malam (abad ke-9) lalu membandingkan nenek moyang
cerpen itu dengan narasi-narasi yang muncul lebih kemudian seperti fabel, fabliau, atau exemplum,
apa yang muncul di kepala kita adalah penilaian bahwa narasi pertama ternyata
lebih kaya. Kenyataan itu agaknya bisa dilihat sebagai contoh paling tua ketika
teks sastra diganduli oleh semacam acuan, moral pada fabel atau khotbah pendeta pada exemplum,
ketika itu pula teks sastra menjadi miskin. Kisah
Seribu Satu Malam selalu teringat, dikenang, sedangkan narasi yang disebut
kemudian relatif tak dikenal.
Pada teks sastra modern, hal ini juga
menjelaskan kenapa banyak cerpen Anton Chekov tak terlupakan, atau Edgar Allan
Poe bisa disebut “bapak cerpen”, sedangkan cerpen-cerpen awal abad ke-20 yang
mengklaim diri dengan dadaisme yang pernah begitu melimpah dan bertaburan di
Eropa kini entah berada di mana. Di Indonesia, saya mengenang sejumlah cerpen M
Kasim yang dikumpulkan dalam Teman Duduk
(1936) sementara sudah lupa pada banyak cerpen yang “secara tegas berpihak pada
rakyat dan mengabdi kepada rakyat” (1950) atau cerpen-cerpen eksperimental yang
ditulis ketika filsafat eksistensialis merasuki sastrawan Indonesia di tahun
60-an.
Di wilayah penciptaan, Goenawan Mohamad dalam
tulisannya Kesusastraan, “Pasemon”
pernah mengatakan kesusastraan Indonesia menemukan momentum awalnya dalam masa
pergerakan nasional. “Pergerakan nasional” adalah juga semacam gandulan, tempat
di mana sebuah konsep pada gilirannya juga akan mereduksi teks sastra. Sutan
Takdir Alisjahbana misalnya menyebut bahwa teks sastra selain memberi kita
perasaan indah, mestilah memberi faedah. Sastrawan disebut pujangga, sebuah
kata yang terkesan dominan dan elitis. Bahkan HB Jassin menyebut pujangga bisa
disamakan dengan pesuruh Dewi Kesenian yang diturunkan ke dunia untuk menjadi
penunjuk jalan bagi bangsanya. Sungguh mulia. Tetapi, kenyataan yang kini harus
kita terima, Sutan Takdir Alisjahbana lebih kita kenal pikiran-pikirannya
ketimbang teks sastranya.
Pada suatu masa sastrawan kita tersadar betapa
“dorongan” keindonesiaan terasa bagai menjajah. Maka di paruh akhir 70-an
mereka melakukan perlawanan dan menoleh kepada tradisi. Maka lahirlah teks-teks
sastra yang beratribut lokal seperti Jawa, Sunda, Dayak, Bugis, Batak, Minang,
dan lain-lain. Tetapi, apa yang sebenarnya terjadi, mereka memang lolos dari
“perangkap” keindonesiaan, tetapi segera disambut oleh “perangkap” (teks lain,
kebenaran lain) etnosentrisme.
Karena melihat teks sastra dari (kebenaran) teks
lain pulalah polemik sastra kontekstual di tahun 80-an tak membekaskan apa-apa.
Dan kini muncul polemik tentang “cerpen koran”, yang marak sejak Harian Kompas membukukan cerpen-cerpen
terpilihnya setiap tahun sejak awal 90-an. Beberapa kritik tentang “cerpen
koran” ini antara lain menyebutkan: pragmatis, hanya memperalat bahasa sebagai
kendaraan cerita; bergerak di permukaan, kurang pendalaman; bersifat sangat
aktual, mengutamakan plot secara berlebihan, terjebak pada realitas koran;
mereduksi realitas, tipis tokoh, dan topikal.
Apa yang terjadi, sebenarnya, teks sastra telah
dilihat dari (kebenaran) teks koran. Saya tak tahu kapan ini bermula, tetapi
saya duga ketika Seno Gumira Ajidarma dalam sebuah tulisannya menyebut soal
“pembocoran fakta”. Sering sebuah soal, karena menggunakan istilah baru jadi
mengecoh, membuat kita berpikir tentang substansi baru. Padahal sebenarnya
tidak. “Pembocoran fakta” atau apa pun namanya, teks sastra yang mencoba
mengangkat dan menggugat fakta yang telah diterima sebagai kenyataan
sebenarnya, sudah lama dikenal. Dalam kesusastraan Rusia, misalnya, telah
dimulai sejak Ivan Turgenev dan Nicolai Gogol, dan mencapai puncaknya pada
Alexander Solzhenitsyn. Kepulauan Gulag
Solzhenitsyn mungkin bisa disebut sebagai teks sastra besar yang “membocorkan
fakta” kenyataan Rusia tahun 1918-1956. Tak jauh-jauh dan bahkan lebih tua,
dalam kadar tertentu, tidakkah Max
Havelaar (1859) mengindikasikan hal yang sama?
Adalah tak mungkin teks sastra lahir tanpa
fakta. Tetapi fakta dalam teks sastra bagai amuba: membelah, membelah, menjadi
membelum. Inilah representasi, ada (unjuk) hilang untuk ada (unjuk). Begitulah
ia masuk ke kompleksitas. Begitulah ia kini tak bisa dilihat dari (kebenaran)
teks lain—dalam hal ini fakta, atau sebelumnya koran—kecuali teks sastra.
Begitulah lahir Kepulauan Gulag. Atau
dalam karakter berbeda Sampar Albert
Camus. Atau dalam karakter berbeda lagi karya-karya George Orwell. Atau Karel
Capek yang bahkan menyertakan kliping koran dalam teks sastranya.
Untuk menyelamatkan teks sastra khususnya cerpen
koran, kiranya, teks sastra harus berada di atas teks lain. Kata di atas tentu saja tak dimaksudkan dalam
arti yang komparatif superlatif, melainkan suatu keadaan di mana teks-teks lain
cair, luruh, lesap, sehingga dalam kepembacaan si pembaca tak lagi mengenali
atau melihat teks lain kecuali teks sastra. Sejauh sebuah teks bisa diluruhkan
dan dibawa ke kelenyapan, seorang sastrawan tak perlu khawatir. Sains, agama,
filsafat, sama saja. Koran, majalah, jurnal, tak ada bedanya.
Maka, menurut hemat saya, kelirulah sementara
pendapat yang mengatakan cerpen yang dimuat di koran lebih rendah daripada
cerpen yang dimuat di jurnal. Teks sastra yang bagus, dimuat di mana pun akan
tetap bagus. Teks sastra yang buruk, dimuat di jurnal pun takkan tertolong. Nirwan
Dewanto, pengamat pertama yang melontarkan kritik tentang cerpen koran, saya
kira, juga tak bermaksud demikian. Kesediaannya menangani rubrik sastra sebuah
koran justru memperlihatkan ia sebenarnya menaruh harapan.
Tak
beridentitas
Dalam sebuah tulisannya, Sapardi Djoko Damono
mengatakan harus ada jarak yang aman antara sastrawan dan “kejadian” yang
diceritakannya. “Jarak yang aman”, saya kira, juga semacam jalan di mana
sastrawan akan mampu meluputkan diri dari perangkap teks lain. Tentu saja
“jarak” dimaksud tak bisa diartikan sebagai sesuatu yang apriori, melainkan
sebaliknya, sastrawan harus berada pada suatu kondisi di mana ia senantiasa
dalam keadaan terbuka dan berterima. Maka kepekaan adalah niscaya, karena teks
lain, untuk bisa cair, untuk bisa luruh dan lesap, mesti datang dengan atau dalam
otomatisasi.
Dalam otomatisasi, tak lebih, sastrawan hanyalah
obyek (sekaligus medium) bagi bahasa—bahasa yang hakikatnya juga terbuka dan
dialogis. Dengan karakternya yang figuratif (bermajas, metaforis), bahasa
memperdengarkan banyak suara; dan karena sifatnya yang aneka ragam, selalu akan
menegasi (menolak) keinginan tunggal sang pencerita. Dengan demikian, sungguh
tak mungkin sastrawan diposisikan sebagai “penunjuk jalan”. Karena sastrawan
tak dapat, dan takkan pernah, “memberitahu” apa pun. Ia bukanlah sumber
informasi, dan karenanya ia tak pernah tegak sebagai pemberi. Posisinya yang tepat tak lain: hanya sebagai pembangkit. Teks sastra yang baik selalu
menempatkan pembacanya sebagai subyek, tempat di mana seseorang (pembaca)
menemukan, dan menemukan lagi, sesuatu dalam dirinya (pembaca).
Karena hanya medium, sastrawan harus selalu
berada pada posisi netral. Ia bukanlah jenis manusia yang berpihak, apalagi
egois. Ia adalah orang yang tak berlabel bahkan tak beridentitas. Ia akan
mencopot pakaiannya tak peduli apakah pakaiannya itu kelompok, golongan,
partai, suku, atau bahkan agama. Ia yang sendiri, yang kecil—titik sangat kecil
dalam keluasan kosmos, akan tak lebih kecil lagi oleh apa pun kecuali oleh
pakaiannya. Kebesarannya adalah ketiadaannya, karena hanya dengan ketiadaan ia
bisa berada di tempat itu semua: “di atas” teks itu semua. Ia juga penerobos
ruang, penerobos waktu. Ia “pencipta dunia”.
Demikianlah Jorge Luis Borges, misalnya, dalam Tlön, Uqbar, Orbis Tertius, menciptakan
dunia Tlön. Atau dalam The Garden of
Forking Paths (diterjemahkan Hasif Amini dengan cantik jadi Taman Jalan Setapak Bercecabang) memperlihatkan
bagaimana teks sastra berada “di atas” teks sains. Atau yang lebih mutakhir, In Samarkand (1989) Amin Maaluof “di
atas” teks sejarah, atau Life of Pi
(2001) Yann Martel “di atas” teks agama.
Di Indonesia, bukan tak pernah kita menemukan
cerpen di mana yang ada hanya teks sastra dan sang pencerita juga tiada.
Sutardji Calzoum Bachri dalam Hujan
(1990), misalnya, hanya dengan Ayesha dan hujan ia berhasil membuka segenap
indera. Sapardi Djoko Damono dalam Ketika
Gerimis Jatuh (2003) menutup cerpen sederhananya hanya dengan sealinea
kalimat berita: Di rumah, beberapa kali
telepon berdering, tetapi serentak dengan itu dunia lain entah apa
berebutan bangkit dalam diri pembaca. Cerpen yang memperlihatkan teks lain
lesap dalam teks sastra, bisa dilihat dalam Tuah
Tanah (2001) Nukila Amal “di atas” teks sejarah. Atau Magainin (2003) Dinar Rahayu “di atas” teks mitologi.
Jalan keberartian yang ditempuh dengan
pelenyapan, bagaimanapun, tentulah berat. Dalam ruang waktu progresif, di
tengah pragmatisme di mana setiap kehadiran hanya bisa dibaca lewat tampilan
artifisial (pamer) bahkan snobis, ketiadaan identitas seolah bagai kelenyapan
ganda. Maka pertanyaannya: bagaimanakah seorang sastrawan, obyek tak
beridentitas itu, bisa mampu terus bertahan?
Kembali ke
keasingan
Baiklah kita kembali ke bagian awal. Apa yang
membuat setiap teks rela menghambakan diri kepada tuan “menjadi ada”, kiranya,
karena mereka tak tahan pada keasingan. Maka setiap teks, apakah itu sains,
agama, filsafat, sejarah atau teks apa pun, menyusun formula demi kehadiran.
Mereka percaya, dalam satu pusaran besar perubahan kosmos, selalu ada keajekan;
dan dalam keyakinan pada keajekan itulah mereka menaruh konsep, rumus-rumus,
dan patokan.
Maka, jawaban pun disusun. Epistemologis,
ontologis, aksiologis, atau jawaban logis apa pun mereka bangun untuk tetap
berada dalam kehadiran. Kenyataan diatur dalam kausalitas oleh hukum-hukum
alam, kata sains. Logos bilang, ada hubungan yang tak terpisahkan antara bahasa
dan kenyataan. Sementara kata agama, kenyataan ada dalam kitab suci dan
institusi spiritual. Tetapi, dalam ruang waktu modern, apakah sebenarnya
kenyataan?
Kenyataan hanyalah kesemuan, pseudo, tipu daya.
Sains yang terlahir paling belakang tetapi tampil sebagai teks paling
berpengaruh, diawali dengan fisika, malah telah meremukkan kenyataan jadi
partikel-partikel mahakecil sub-atomik. Lewat mekanika kuantum, sains justru
mengantarkan kita kepada ketakpastian kenyataan. Dan lihatlah kini realitas
palsu yang disemburkan oleh teknologi komunikasi massa. Apa yang kita sangka
sesuatu yang nyata sebenarnya hanyalah ilusi, maya. Realitas telah jatuh ke
dalam samudera luas rekayasa model, iklan, citra, halusinasi. Dalam kenyataan
seperti itu, ideologi, kebenaran, dan bahkan Tuhan takkan dapat bertahan.
Kenyataan telah kembali ke ketaknyataan.
Dalam ruang waktu modern, tak pelak, telah
terjadi keterputusan hubungan antara simbol dengan makna. Seseorang bisa
menyebut birokrasi dibutuhkan untuk efektivitas dan efisiensi, tetapi seseorang
lain melihat birokrasi hanyalah alat atau mekanisme canggih bagi perebutan
“proyek”. Seseorang mengatakan sekolah adalah wadah mengasah otak dan kreasi,
tetapi seseorang lain melihat institusi tersebut tak lebih tempat pamer
pakaian, kendaraan atau mobil baru, bahkan prestise. Kenyataan telah kembali ke
ketaknyataan. Kenyataan telah kembali ke keasingan.
Maka sebenarnya, sastrawan telah berada di
tempat yang tepat, tempat yang ia inginkan: keasingan, ketakberidentitasan.
Maka tak tepatlah pertanyaan bagaimana bisa mampu terus bertahan, kecuali
memang mesti selalu membuat diri dalam keadaan terbuka dan berterima. Urusan
sastrawan, kiranya—sekali lagi, hanya dan hanya: menghancurkan yang telah ada. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar