Sabtu, 09 September 2017

Hamka: Sebagian Besar Isi Buku “Tuanku Rao” Bohong dan Dusta

(Mengenang Kembali Tiga Seminar Minangkabau (II)
OLEH H Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie
Mantagibaru kali menurunkan tiga tulisan wartawan senior almarhum Kamardi Rais. Ia salah seorang yang berprofesi jurnalis sekaligus sosok ninik mamak yang memahami adat istiadat dan budaya Minangkabau, serta menjadi Ketua Umum LKAAM Sumbar. 
Tiga tulisan Kamardi ini memotret fenomena yang terjadi dalam tiga kali peristiwa budaya, yakni seminar tentang Minangkabau yang digelar berturut-turut (1968, 1969, dan 1970). Setelah ini, tak ada seminar Minangkabau yang sedalam dan selengkap ini digelar. Berikut  tiga tulisan itu diturunkan secara berkala per minggu, tentu setelah dilakukan penyuntingan. 
Tibalah saatnya saya menguraikan seminar kedua yang juga berlangsung di Padang 23-26 Juli 1969 persis setahun setelah seminar Hukum Waris dan Hukum Tanah bulan Juli 1968.
Seminar kedua ini juga suatu kenangan yang tak bisa saya lupakan terutama karena berlangsung dalam atmosfir kebebasan intelektual.
Topik seminar adalah “Sejarah Masuknya Islam ke Minangkabau” tapi lebih terfokus kepada Perang Padri (1803-1837). Perang Padri merupakan episode sejarah perkembangan Islam di Minangkabau dirangsang oleh sebuah buku yang dikarang oleh putra Batak Ir. Magaraja Onggang Parlindungan Tuanku Rao yang diterbitkan pada tahun 1964 oleh Penerbit Tanjung Pengharapan Jakarta.

Kalau selama ini kita membaca sejarah Minangkabau dan sejarah Perang Padri kadangkala tak melepaskan dahaga bagi seorang musafir yang berkelana di padang pasir sejarah.
Di dalam buku Tuaku Rao yang mengisahkan tentang Perang Padri diceritakan soal yang se-kecil-kecilnya, angka tahun, dan lain-lain.
Namun yang sinis dari buku Tuanku Rao juga ada. Misalnya, sayang brothers from Minangkabau tak punya sejarah. Hanya mambeo saja pada penulis asing.  
Kitab Tambo? Hanya dua persen yang dapat diterima selebihnya dogeng semata, kata Parlindungan pula.
Pada tahun 1964 sampai tujuh puluhan itu orang pandai-pandai, para sarjana dan peminat sejarah berusaha mendapatkan buku Tuanku Rao tersebut.
Karena itu betapa besarnya minat orang untuk jadi peserta seminar “Masuknya Islam ke Minangkabau” tersebut. Apalagi setelah diulas pers, bahwa seorang ahli bom tarik yang bernama Ir Onggang Parlindungan telah menyatakan kesediannya datang ke Padang sebagai narasumber. Tentunya menyangkut Perang Padri yang dimuat di dalam bukunya Tuanku Rao yang menghebohkan itu.
Parlindungan datang dengan pakai sarung, kopiah sampir yang dirajut kayaknya kopiah orang Gorontalo (Sulawesi). Malamnya dia tampil dengan kopiah haji (putih) tetap pakai sarung. Kontras dengan penampilan Buya Hamka dengan stelan jas lengkap dengan dasi dan berpeci hitam.
Ulama-ulama lainnya saya lihat banyak tampil tidak pakai sarung. Profesor Mahmud Yunus yang ulama tamatan Mesir (Rektor IAIN Imam Bonjol), H. Mansur Dt. Nagari Basa, Ketua Pengadilan Tinggi Agama Sumbar, Buya Moh. Nurman, A. Rivai Yunus, Buya Iskandar Zulkarnaini, Buya ZAS (Zainal Abidin Syuib) tokoh Muhammadiyah datang dengan stelan jas atau pakai safari.
Hamka dan Parlindungan
Hamka dalam seminar tersebut menceritakan bahwa ia mendapat kiriman buku Tuanku Rao dari salah seorang muridnya Sofyan Tanjung.
Ketika itu Hamka masih meringkuk dalam tahanan Orde Lama pada tahun 1965. Ia belum kenal dengan pengarang buku Tuanku Rao tersebut yang bernama Ir. Magaraja Onggang Parlindungan.
Pada kulit dalam buku tersebut tertera Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao.
Di tengah tertulis “Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak”. Lalu pada bahagian bawahnya tertera penerbit Tanjung Pengharapan.
Setelah saya keluar dari tahanan, kata Hamka, karena komunis tidak jadi berkuasa di negeri ini. Orang-orang PKI diburu orang di seantaro Indonesia. Istilahnya ganyang Orde Lama dan ganyang G30S/PKI. Maka mulailah saya berkenalan dengan Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan.
“Saban Jumat, lanjut Buya, Parlindungan menjemput dia ke rumah, kemudian terus ke Masjid Agung, salat Jumat yang imam dan khatibnya saya sendiri,” kata Buya.
“Saya baca dalam buku Tuanku Rao bahwa isi buku itu adalah dokumen pribadi yang ditinggalkan oleh ayah Parlindungan, yakni Sutan Mertua Raja, guru sejarah di Pematang Siantar.
Menyebut nama ayahnya itu teringatlah Buya ke zaman Jepang ketika dia dan orang tua itu sama-sama jadi anggota Syu Sangi Kai (Badan Perwakilan di Daerah Sumatera Timur). Sutan Mertua Raja adalah orang tua yang sangat dihormati Buya dan dikaguminya. Dengan keadaan begitu rasanya bertambah dekat Buya dengan Onggang Parlindungan, jelas Hamka.
Yang menarik pula, setiap kali Buya Hamka menceritakan Parlindungan dan ayahnya Sutan Mertua Raja, maka Parlindungan yang duduk persis depan podium selalu mengangkat kedua tangannya dan dibawa ke mukanya sembari berucap: “Insya Allah! Alhamdulillah!”
Menurut Buya Hamka setelah dia membaca Tuanku Rao, maka ia berdecak kagum. Tapi semakin asyik membacanya, pikirannya terusik, “Apakah benar semua yang ditulis Parlindungan itu?”
Parlindungan mengatakan bahwa Haji Piobang orang Payakumbuh atau salah seorang dari Trio Haji yang pulang dari Mekah pada tahun 1803 bersama Haji Miskin dan Haji Sumanik.
Betulkah Haji Piobang itu berpangkat kolonel dalam tentara Turki Yanitsar Cavalery? Benarkah Tuanku Rao itu orang Batak? Betulkah Tuanku Tambusai itu juga orang Batak? Betulkah Tuanku Imam Bonjol yang tokoh sentral Padri itu seorang pengecut yang berperang itu adalah Tuanku Tambusai?
Semua itu, menurut Buya Hamka adalah cerita yang dikarang-karang pengarang buku Tuanku Rao semata. Banyak yang berbeda antara kejadian yang sebenarnya dengan apa yang diceritakan oleh Ir. Onggang Parlindungan.
Buya Hamka di luar teks mencontohkan tentara yang takut perang di zaman Aagresi Belanda II tahun 1949 dulu. Buya waktu itu berada di Koto Tinggi, Suliki. Di antara anggota tentara ada juga yang takut perang, bahkan takut mendengar letusan senapan. Kalau ada kontak senjata antara pasukan Republik dengan serdadu Belanda di Lampasi, Payakumbuh atau sampai ke Dangung-Dangung (Guguk), maka tentara yang pengecut itu sudah mundur arah ke Manggani atau lari naik gunung. Jangan-jangan ia cuci muka dengan embun di langit? Seloroh Buya.
Peserta seminar hiruk pikuk mendengar ilustrasi Buya tersebut. Onggang Parlindungan berdiri dari kursinya lalu bertepuk tangan lama sekali.
“Nah, kira-kira seperti itulah gambaran pengecutnya Tuanku Imam Bonjol zaman perang Padri tersebut yang dilukiskan oleh Ir. Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao tersebut,” kata  Hamka.
Demikianlah yang saya kenang dalam seminar kedua ini dengan kesimpulan bahwa Tuanku Rao yang pada mulanya dikagumi orang termasuk dikagumi Buya Hamka sendiri.
Namun setelah diteliti secara cermat ditambah dengan studi lapangan dan studi kepustakaan dari puluhan buku, maka dinyatakan oleh Buya Hamka bahwa sebagian besar dari isi buku Tuaku Rao itu bohong dan dusta. Sebab Ir. Onggang Parlindungan penyusun buku Tuanku Rao tak mampu mengemukakan bukti dari apa yang dikatakannya.”Mana buktinya? Parlindungan menjawab: ”Semuanya sudah saya bakar.”
Yang menarik dari seminar itu meski bagaimanapun tajamnya perdebatan antara kedua tokoh (Hamka dan Parlindungan) namun setiap usai sidang seminar kedua tokoh itu tetap berjalan seiring berpegangan tangan. Malah saya baca buku Buya Hamka yang membantah buku Tuanku Rao berjudul Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, Buya dan Parlindungan malah satu pesawat ke Padang dan selesai seminar keduanya satu kapal ketika kembali ke Jakarta.
Buku bantahan Buya Hamka tersebut Antara Fakta dan khayal Tuanku Rao terbit sekitar 3 atau 4 tahun pascaseminar masuknya Islam ke Minangkabau 1969.
Sekarang terjadi kontroversial tentang Tuanku Imam Bonjol sebagaimana dimuat oleh Tempo 21 Oktober 2007 dengan judul “Kontroversi Kebrutalan Kaum Padri”.

Bahkan ada putra Batak yang menggugat supaya gelar kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol dicabut oleh pemerintah. Karena itu di samping buku Greget Tuanku Rao yang terbit sekarang hendaknya ditelaah pula buku bantahan Buya Hamka yang berjudul Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...