(Mengenang Kembali
Tiga Seminar Minangkabau (II)
OLEH H Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie
Mantagibaru kali menurunkan tiga tulisan wartawan senior almarhum Kamardi
Rais. Ia salah seorang yang berprofesi jurnalis sekaligus sosok ninik mamak
yang memahami adat istiadat dan budaya Minangkabau, serta menjadi Ketua Umum
LKAAM Sumbar.
Tiga tulisan Kamardi ini
memotret fenomena yang terjadi dalam tiga kali peristiwa budaya, yakni seminar
tentang Minangkabau yang digelar berturut-turut (1968, 1969, dan 1970). Setelah
ini, tak ada seminar Minangkabau yang sedalam dan selengkap ini digelar.
Berikut tiga tulisan itu diturunkan
secara berkala per minggu, tentu setelah dilakukan penyuntingan.
Tibalah saatnya saya menguraikan seminar kedua yang juga
berlangsung di Padang 23-26 Juli 1969 persis setahun setelah seminar Hukum
Waris dan Hukum Tanah bulan Juli 1968.
Seminar kedua ini juga suatu kenangan yang tak bisa saya
lupakan terutama karena berlangsung dalam atmosfir kebebasan intelektual.
Topik seminar adalah “Sejarah Masuknya Islam ke
Minangkabau” tapi lebih terfokus kepada Perang Padri (1803-1837). Perang Padri
merupakan episode sejarah perkembangan Islam di Minangkabau dirangsang oleh
sebuah buku yang dikarang oleh putra Batak Ir. Magaraja Onggang Parlindungan Tuanku Rao yang diterbitkan pada tahun 1964 oleh Penerbit Tanjung Pengharapan
Jakarta.
Kalau selama ini kita membaca sejarah Minangkabau dan
sejarah Perang Padri kadangkala tak melepaskan dahaga bagi seorang musafir yang
berkelana di padang pasir sejarah.
Di dalam buku Tuaku
Rao yang mengisahkan tentang Perang Padri diceritakan soal yang se-kecil-kecilnya,
angka tahun, dan lain-lain.
Namun yang sinis dari buku Tuanku Rao juga ada. Misalnya, sayang brothers from Minangkabau tak punya sejarah. Hanya mambeo saja pada penulis asing.
Kitab Tambo?
Hanya dua persen yang dapat diterima selebihnya dogeng semata, kata
Parlindungan pula.
Pada tahun 1964 sampai tujuh puluhan itu orang
pandai-pandai, para sarjana dan peminat sejarah berusaha mendapatkan buku Tuanku Rao tersebut.
Karena itu betapa besarnya minat orang untuk jadi peserta
seminar “Masuknya Islam ke Minangkabau” tersebut. Apalagi setelah diulas pers,
bahwa seorang ahli bom tarik yang bernama Ir Onggang Parlindungan telah
menyatakan kesediannya datang ke Padang sebagai narasumber. Tentunya menyangkut
Perang Padri yang dimuat di dalam bukunya Tuanku
Rao yang menghebohkan itu.
Parlindungan datang dengan pakai sarung, kopiah sampir
yang dirajut kayaknya kopiah orang Gorontalo (Sulawesi). Malamnya dia tampil
dengan kopiah haji (putih) tetap pakai sarung. Kontras dengan penampilan Buya
Hamka dengan stelan jas lengkap dengan dasi dan berpeci hitam.
Ulama-ulama lainnya saya lihat banyak tampil tidak pakai
sarung. Profesor Mahmud Yunus yang ulama tamatan Mesir (Rektor IAIN Imam Bonjol),
H. Mansur Dt. Nagari Basa, Ketua Pengadilan Tinggi Agama Sumbar, Buya Moh.
Nurman, A. Rivai Yunus, Buya Iskandar Zulkarnaini, Buya ZAS (Zainal Abidin
Syuib) tokoh Muhammadiyah datang dengan stelan jas atau pakai safari.
Hamka dan
Parlindungan
Hamka dalam seminar tersebut menceritakan bahwa ia
mendapat kiriman buku Tuanku Rao dari
salah seorang muridnya Sofyan Tanjung.
Ketika itu Hamka masih meringkuk dalam tahanan Orde Lama
pada tahun 1965. Ia belum kenal dengan pengarang buku Tuanku Rao tersebut yang bernama Ir. Magaraja Onggang Parlindungan.
Pada kulit dalam buku tersebut tertera Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku
Rao.
Di tengah tertulis “Teror
Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak”. Lalu pada bahagian bawahnya tertera penerbit Tanjung Pengharapan.
Setelah saya keluar dari tahanan, kata Hamka, karena komunis
tidak jadi berkuasa di negeri ini. Orang-orang PKI diburu orang di seantaro Indonesia.
Istilahnya ganyang Orde Lama dan ganyang G30S/PKI. Maka mulailah saya
berkenalan dengan Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan.
“Saban Jumat, lanjut Buya, Parlindungan menjemput dia ke
rumah, kemudian terus ke Masjid Agung, salat Jumat yang imam dan khatibnya saya
sendiri,” kata Buya.
“Saya baca dalam buku Tuanku
Rao bahwa isi buku itu adalah dokumen pribadi yang ditinggalkan oleh ayah
Parlindungan, yakni Sutan Mertua Raja, guru sejarah di Pematang Siantar.
Menyebut nama ayahnya itu teringatlah Buya ke zaman
Jepang ketika dia dan orang tua itu sama-sama jadi anggota Syu Sangi Kai (Badan Perwakilan di Daerah Sumatera Timur). Sutan Mertua
Raja adalah orang tua yang sangat dihormati Buya dan dikaguminya. Dengan
keadaan begitu rasanya bertambah dekat Buya dengan Onggang Parlindungan, jelas
Hamka.
Yang menarik pula, setiap kali Buya Hamka menceritakan
Parlindungan dan ayahnya Sutan Mertua Raja, maka Parlindungan yang duduk persis
depan podium selalu mengangkat kedua tangannya dan dibawa ke mukanya sembari berucap:
“Insya Allah! Alhamdulillah!”
Menurut Buya Hamka setelah dia membaca Tuanku Rao, maka ia berdecak kagum. Tapi
semakin asyik membacanya, pikirannya terusik, “Apakah benar semua yang ditulis Parlindungan itu?”
Parlindungan mengatakan bahwa Haji Piobang orang
Payakumbuh atau salah seorang dari Trio Haji yang pulang dari Mekah pada tahun
1803 bersama Haji Miskin dan Haji Sumanik.
“Betulkah Haji
Piobang itu berpangkat kolonel dalam tentara Turki Yanitsar Cavalery? Benarkah
Tuanku Rao itu orang Batak? Betulkah Tuanku Tambusai itu juga orang Batak? Betulkah Tuanku Imam Bonjol yang tokoh
sentral Padri itu seorang pengecut yang
berperang itu adalah Tuanku Tambusai?
Semua itu, menurut Buya Hamka adalah cerita yang dikarang-karang
pengarang buku Tuanku Rao semata.
Banyak yang berbeda antara kejadian yang sebenarnya dengan apa yang diceritakan
oleh Ir. Onggang Parlindungan.
Buya Hamka di luar teks mencontohkan tentara yang takut
perang di zaman Aagresi Belanda II tahun 1949 dulu. Buya waktu itu berada di Koto
Tinggi, Suliki. Di antara anggota tentara ada juga yang takut perang, bahkan
takut mendengar letusan senapan. Kalau ada kontak senjata antara pasukan
Republik dengan serdadu Belanda di Lampasi, Payakumbuh atau sampai ke Dangung-Dangung
(Guguk), maka tentara yang pengecut itu sudah mundur arah ke Manggani atau lari
naik gunung. Jangan-jangan ia cuci muka dengan embun di langit? Seloroh Buya.
Peserta seminar hiruk pikuk mendengar ilustrasi Buya
tersebut. Onggang Parlindungan berdiri dari kursinya lalu bertepuk tangan lama
sekali.
“Nah, kira-kira seperti itulah gambaran pengecutnya
Tuanku Imam Bonjol zaman perang Padri tersebut yang dilukiskan oleh Ir.
Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao
tersebut,” kata Hamka.
Demikianlah yang saya kenang dalam seminar kedua ini
dengan kesimpulan bahwa Tuanku Rao yang pada mulanya dikagumi orang termasuk dikagumi
Buya Hamka sendiri.
Namun setelah diteliti secara cermat ditambah dengan
studi lapangan dan studi kepustakaan dari puluhan buku, maka dinyatakan oleh
Buya Hamka bahwa sebagian besar dari isi buku Tuaku Rao itu bohong dan dusta. Sebab Ir. Onggang Parlindungan
penyusun buku Tuanku Rao tak mampu
mengemukakan bukti dari apa yang dikatakannya.”Mana buktinya? Parlindungan
menjawab: ”Semuanya sudah saya bakar.”
Yang menarik dari seminar itu meski bagaimanapun tajamnya
perdebatan antara kedua tokoh (Hamka dan Parlindungan) namun setiap usai sidang
seminar kedua tokoh itu tetap berjalan seiring berpegangan tangan. Malah saya
baca buku Buya Hamka yang membantah buku Tuanku
Rao berjudul Antara Fakta dan Khayal
Tuanku Rao, Buya dan Parlindungan malah satu pesawat ke Padang dan selesai
seminar keduanya satu kapal ketika kembali ke Jakarta.
Buku bantahan Buya Hamka tersebut Antara Fakta dan khayal Tuanku Rao terbit sekitar 3 atau 4 tahun
pascaseminar masuknya Islam ke Minangkabau 1969.
Sekarang terjadi kontroversial tentang Tuanku Imam Bonjol
sebagaimana dimuat oleh Tempo 21 Oktober 2007 dengan judul “Kontroversi
Kebrutalan Kaum Padri”.
Bahkan ada putra Batak yang menggugat supaya gelar
kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol dicabut oleh pemerintah. Karena itu di samping
buku Greget Tuanku Rao yang terbit
sekarang hendaknya ditelaah pula buku bantahan Buya Hamka yang berjudul Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar