Kamis, 24 Agustus 2017

Runyamnya Danau Maninjau, Kala Urang Sibunian Manubo Ikan

Permasalahan Danau Maninjau memang kait mengait. Sengkarut dan runyam. Banyak harapan hidup digantungkan di sana. Dituntut program yang terintegrasi untuk menyelamatkan danau yang terkenal sebagai kampung Buya Hamka ini.
Danau Maninjau sejak dahulu kala sudah menjadi sawah-ladang anak nagari salingka danau. Hal itu bisa dimaklumi, karena luas Danau Maninjau sekitar 44 persen dari luas Kecamatan Tanjung Raya. Luas Kecamatan Tanjung Raya 244,03 Km2, termasuk  Danau Maninjau.

Menurut data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Agam, luas Danau Maninjau 9.950 hektare. Danau nan permai itu memiliki kedalaman 157 meter, dengan keliling danau 66 Km. Di sanalah anak nagari mencari nafkah, mandi, cuci, kakus, dan sebagai sumber air bersih. Itu dulu. Kini beda.
Anak nagari salingka Danau Maninjau mencari ikan di perairan Danau Maninjau. Dulu mereka menggunakan beragam alat tangkap. Sejak dari jaring, sampai pukat. Bahkan juga banyak yang mencari ikan dengan cara memancing.
Anak Nagari Tanjung Sani, terutama warga Jorong Pandan, Galapung, Batu Nanggai, Muko Jalan, dan Sigiran kebanyakan hidup dari hasil mencari ikan di Danau Maninjau. Hal itu bisa dimaklumi, karena mereka tidak memiliki hamparan sawah yang luas, seperti di Bayur, Koto Kaciak, Koto Gadang, dan Maninjau. Tanah untuk perkebunan juga tidak banyak, karena mereka menempati kaki bukit terjal.
Banyak ragam ikan yang bisa menjadi mata pencaharian di danau. Sebut saja asang, gariang, barau, kulari, bada, dan rinuak. Di samping itu pensi juga merupakan komoditas yang mampu menghidupi anak nagari salingka Danau Maninjau.
Memilih KJA
Seiring dengan kemajuan zaman, kini anak nagari memelihara ikan dalam jaring apung, yang lebih dikenal dengan keramba jala apung (KJA). Berkat KJA, yang dipelopori oleh salah seorang mahasiswa SPPD (sarjana penggerak pembangunan pedesaan), ekonomi anak nagari salingka Danau mulai terangkat. Mereka yang semula pergi merantau, karena hidup susah di kampung halaman, kembali pulang. Karena dengan KJA mereka bisa meraih penghasilan yang fantastis menurut ukuran warga kala itu.
Konsekuensinya juga merisaukan. Akibat residu pakan ikan, yang bercampur dengan kotoran ikan, dan diperparah dengan tubo belerang, menyebabkan musibah. Musibah tersebut telah menimbulkan kerugian yang tidak sedikit pagi petani KJA. Sebelum adanya KJA, ikan dan penghuni Danau Maninjau juga secara berkala diserang tubo belerang. Namun kejadiannya paling dua kali setahun. Pemicunya adalah angin darek. Angin yang bertiup kencang itu mengaduk isi perut danau. Endapan belerang di dasar danau akan mengapung ke permukaan. Peristiwa itu disebut warga sekitar sebagai “urang sibunian manubo ikan.” Ikan tersebut, menurut keyakinan warga kala itu, digunakan untuk baralek oleh sibunian tersebut.
Akhir-akhir ini ikan asli danau juga mulai langka. Sudah amat sulit mencari ikan jenis asang, gariang, dan kulari di perairan Danau Maninjau. Namun barau masih bisa diperoleh para pemancing, pertanda ikan jenis itu masih banyak. Kini yang banyak ditemukan dan gampang diperoleh adalah ikan jenis majalaya dan nila.
Nila jenis ikan paling banyak dibudidayakan di dalam KJA di Danau Maninjau. Menurut Sekretaris DKP Agam, Ermanto, S.Pi, M.Si, di perairan Danau Maninjau terdapat sekitar 12.000 unit KJA. Setiap harinya mampu menghasilkan ikan segar sekitar 30 ton. Namun pakan ikan yang ditebarkan setiap harinya mencapai 60 ton.
Pencemaran
Namun pascamaraknya KJA, ikan terlalu sering mati. Matinya ikan dalam jumlah banyak tersebut menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Tahun 1997, petani ikan dikejutkan dengan matinya ratusan ton ikan mereka. Kemudian, setiap tahun, selalu terjadi musibah, yang menimbulkan kerugian petani milaran rupiah. Awal Januari  2009, bencana matinya bagaikan mencapai puncaknya. Kerugian petani ikan mencapai Rp200 miliar lebih. Kala itu bupati Agam dijabat H. Aristo Munandar.
Air danau menjadi keruh, dan berminyak. Aroma tak sedap mencapai jalan raya, sehingga pengguna jalan harus menutup hidungnya ketika melintasi jalan dekat danau. Berbagai upaya dilakukan Pemkab Agam kala itu. Di antaranya, membatasi jumlah KJA, menganjurkan petani ikan menghentikan kegiatan untuk sementara waktu, sampai air danau kembali normal dan memberikan bantuan pengadaan benih ikan, agar petani ikan bisa kembali berusaha.
Menurut penelitian berbagai pihak, seperti LIPI, Universitas Bung Hatta, dan Unand Padang, penyebab matinya ikan akibat keracunan,dan kekurangan oksigen. Pakan ikan, yang bercampur dengan kotoran ikan menyebabkan perairan danau tercemar. Sedimentasi beracun tersebut juga memicu tumbuhnya sejenis ganggang dalam air danau. Ganggang berwarna hijau kecoklatan itu menyebabkan air Danau Maninjau kekurangan oksigen. Di sisi lain, cahaya matahari tidak bisa menembus ganggang tersebut, sehingga perairan danau kekurangan cahaya matahari.
Pemutar Turbin PLTA
Di sisi lain, air danau juga dimanfaatkan untuk memutar turbin PLTA Maninjau. Dari waktu ke waktu, debit air danau kian berkurang. Kondisi itu disebabkan banyak faktor. Antara lain akibat rusaknya hutan di perbukitan sekitar danau. Kerusakan hutan tersebut disebabkan peristiwa alam, seperti longsor, dan ulah manusia. Kegiatan penebangan kayu yang terus berlanjut, menyebabkan berkurangnya hutan sebagai daerah tangkapan air.
Konsekuensinya, banyak kali dan bandar yang bermuara ke Danau Maninjau, kering. Bahkan dari 100 lebih sungai dan bandar yang semula sebagai suplier air ke Danau Maninjau, kini yang masih berfungsi tinggal sekitar 30 buah. Makanya, semakin lama debit air danau semakin berkurang.
Menurut Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) Agam, Ir Aswirman, debit air Danau Maninjau telah menyusut sekitar 2 meter dari normal. Itu sebuah peringatan serius. Bila tidak bisa diatasi, maka kelangsungan PLTA Maninjau, dan KJA warga, terancam.
Pencemaran perairan Danau Maninjau sempat menimbulkan ketegangan antara warga Tanjung Raya dengan pihak manajemen PLTA Maninjau. Warga menuding keberadaan PLTA Maninjau menyebabkan air danau kotor dan tercemar. Alasan mereka, perubahan pengeluaran air danau dari Batang Antokan ke terowongan PLTA, menyebabkan pembersihan alami air danau terganggu.
Biasanya, pembersihan air danau berlangsung secara alami ke Batang Antokan. Pembersihan air danau dimaksud berlangsung kala angin darek bertiup kencang. Saat itu kotoran di dasar danau akan terangkat ke permukaan air, kemudian dihanyutkan aur ke Batang Antokan. Sejak PLTA Maninjau beroperasi, pembersihan air danau seperti itu tidak bisa lagi. Terowongan mengambil air bukan dari permukaan air danau, tetapi di bawah permukaan air. Kondisi itu menyebabkan kotoran yang mengapung di permukaan air danau tidak bisa hanyut ke sana. Pemikiran demikian ada benarnya juga, seperti disampaikan dedengkot pariwisata Agam, Idham Rajo Bintang, dan beberapa pemuka masyarakat Maninjau.

Atas tuntutan warga, akhirnya beberapa tahun lalu pihak PLTA Maninjau berkenan membuka pintu air. Dengan adanya penggelontoran tersebut, kotoran dan ganggang yang mengapung dipermukaan air danau, hanyut ke Batang Antokan. (Laporan Miazuddin)

Baca Juga 
Perambahan Hutan di Agam: Air Danau Maninjau Terancam Kering

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...