Permasalahan Danau Maninjau memang kait
mengait. Sengkarut dan runyam. Banyak harapan hidup digantungkan di sana.
Dituntut program yang terintegrasi untuk menyelamatkan danau yang terkenal
sebagai kampung Buya Hamka ini.
Danau Maninjau sejak dahulu kala sudah
menjadi sawah-ladang anak nagari salingka danau. Hal itu bisa dimaklumi, karena
luas Danau Maninjau sekitar 44 persen dari luas Kecamatan Tanjung Raya. Luas
Kecamatan Tanjung Raya 244,03 Km2, termasuk Danau Maninjau.
Menurut data yang diperoleh dari Dinas
Kelautan dan Perikanan (DKP) Agam, luas Danau Maninjau 9.950 hektare. Danau nan
permai itu memiliki kedalaman 157 meter, dengan keliling danau 66 Km. Di
sanalah anak nagari mencari nafkah, mandi, cuci, kakus, dan sebagai sumber air
bersih. Itu dulu. Kini beda.
Anak nagari salingka Danau Maninjau mencari
ikan di perairan Danau Maninjau. Dulu mereka menggunakan beragam alat tangkap.
Sejak dari jaring, sampai pukat. Bahkan juga banyak yang mencari ikan dengan
cara memancing.
Anak Nagari Tanjung Sani, terutama warga
Jorong Pandan, Galapung, Batu Nanggai, Muko Jalan, dan Sigiran kebanyakan hidup
dari hasil mencari ikan di Danau Maninjau. Hal itu bisa dimaklumi, karena
mereka tidak memiliki hamparan sawah yang luas, seperti di Bayur, Koto Kaciak,
Koto Gadang, dan Maninjau. Tanah untuk perkebunan juga tidak banyak, karena
mereka menempati kaki bukit terjal.
Banyak ragam ikan yang bisa menjadi mata
pencaharian di danau. Sebut saja asang, gariang, barau, kulari, bada, dan
rinuak. Di samping itu pensi juga merupakan komoditas yang mampu menghidupi
anak nagari salingka Danau Maninjau.
Memilih
KJA
Seiring dengan kemajuan zaman, kini anak
nagari memelihara ikan dalam jaring apung, yang lebih dikenal dengan keramba
jala apung (KJA). Berkat KJA, yang dipelopori oleh salah seorang mahasiswa SPPD
(sarjana penggerak pembangunan pedesaan), ekonomi anak nagari salingka Danau
mulai terangkat. Mereka yang semula pergi merantau, karena hidup susah di
kampung halaman, kembali pulang. Karena dengan KJA mereka bisa meraih
penghasilan yang fantastis menurut ukuran warga kala itu.
Konsekuensinya juga merisaukan. Akibat
residu pakan ikan, yang bercampur dengan kotoran ikan, dan diperparah dengan
tubo belerang, menyebabkan musibah. Musibah tersebut telah menimbulkan kerugian
yang tidak sedikit pagi petani KJA. Sebelum adanya KJA, ikan dan penghuni Danau
Maninjau juga secara berkala diserang tubo belerang. Namun kejadiannya paling
dua kali setahun. Pemicunya adalah angin darek. Angin yang bertiup kencang itu
mengaduk isi perut danau. Endapan belerang di dasar danau akan mengapung ke permukaan.
Peristiwa itu disebut warga sekitar sebagai “urang sibunian manubo ikan.” Ikan
tersebut, menurut keyakinan warga kala itu, digunakan untuk baralek oleh
sibunian tersebut.
Akhir-akhir ini ikan asli danau juga
mulai langka. Sudah amat sulit mencari ikan jenis asang, gariang, dan kulari di
perairan Danau Maninjau. Namun barau masih bisa diperoleh para pemancing, pertanda
ikan jenis itu masih banyak. Kini yang banyak ditemukan dan gampang diperoleh
adalah ikan jenis majalaya dan nila.
Nila jenis ikan paling banyak
dibudidayakan di dalam KJA di Danau Maninjau. Menurut Sekretaris DKP Agam,
Ermanto, S.Pi, M.Si, di perairan Danau Maninjau terdapat sekitar 12.000 unit
KJA. Setiap harinya mampu menghasilkan ikan segar sekitar 30 ton. Namun pakan
ikan yang ditebarkan setiap harinya mencapai 60 ton.
Pencemaran
Namun pascamaraknya KJA, ikan terlalu
sering mati. Matinya ikan dalam jumlah banyak tersebut menimbulkan kerugian
yang tidak sedikit. Tahun 1997, petani ikan dikejutkan dengan matinya ratusan
ton ikan mereka. Kemudian, setiap tahun, selalu terjadi musibah, yang
menimbulkan kerugian petani milaran rupiah. Awal Januari 2009, bencana matinya bagaikan mencapai
puncaknya. Kerugian petani ikan mencapai Rp200 miliar lebih. Kala itu bupati
Agam dijabat H. Aristo Munandar.
Air danau menjadi keruh, dan berminyak.
Aroma tak sedap mencapai jalan raya, sehingga pengguna jalan harus menutup
hidungnya ketika melintasi jalan dekat danau. Berbagai upaya dilakukan Pemkab
Agam kala itu. Di antaranya, membatasi jumlah KJA, menganjurkan petani ikan
menghentikan kegiatan untuk sementara waktu, sampai air danau kembali normal
dan memberikan bantuan pengadaan benih ikan, agar petani ikan bisa kembali
berusaha.
Menurut penelitian berbagai pihak,
seperti LIPI, Universitas Bung Hatta, dan Unand Padang, penyebab matinya ikan
akibat keracunan,dan kekurangan oksigen. Pakan ikan, yang bercampur dengan
kotoran ikan menyebabkan perairan danau tercemar. Sedimentasi beracun tersebut
juga memicu tumbuhnya sejenis ganggang dalam air danau. Ganggang berwarna hijau
kecoklatan itu menyebabkan air Danau Maninjau kekurangan oksigen. Di sisi lain,
cahaya matahari tidak bisa menembus ganggang tersebut, sehingga perairan danau
kekurangan cahaya matahari.
Pemutar
Turbin PLTA
Di sisi lain, air danau juga dimanfaatkan
untuk memutar turbin PLTA Maninjau. Dari waktu ke waktu, debit air danau kian
berkurang. Kondisi itu disebabkan banyak faktor. Antara lain akibat rusaknya
hutan di perbukitan sekitar danau. Kerusakan hutan tersebut disebabkan
peristiwa alam, seperti longsor, dan ulah manusia. Kegiatan penebangan kayu
yang terus berlanjut, menyebabkan berkurangnya hutan sebagai daerah tangkapan
air.
Konsekuensinya, banyak kali dan bandar
yang bermuara ke Danau Maninjau, kering. Bahkan dari 100 lebih sungai dan bandar
yang semula sebagai suplier air ke Danau Maninjau, kini yang masih berfungsi
tinggal sekitar 30 buah. Makanya, semakin lama debit air danau semakin
berkurang.
Menurut Kepala Badan Pengelola Lingkungan
Hidup (BPLH) Agam, Ir Aswirman, debit air Danau Maninjau telah menyusut sekitar
2 meter dari normal. Itu sebuah peringatan serius. Bila tidak bisa diatasi,
maka kelangsungan PLTA Maninjau, dan KJA warga, terancam.
Pencemaran perairan Danau Maninjau sempat
menimbulkan ketegangan antara warga Tanjung Raya dengan pihak manajemen PLTA
Maninjau. Warga menuding keberadaan PLTA Maninjau menyebabkan air danau kotor
dan tercemar. Alasan mereka, perubahan pengeluaran air danau dari Batang
Antokan ke terowongan PLTA, menyebabkan pembersihan alami air danau terganggu.
Biasanya, pembersihan air danau
berlangsung secara alami ke Batang Antokan. Pembersihan air danau dimaksud
berlangsung kala angin darek bertiup kencang. Saat itu kotoran di dasar danau
akan terangkat ke permukaan air, kemudian dihanyutkan aur ke Batang Antokan.
Sejak PLTA Maninjau beroperasi, pembersihan air danau seperti itu tidak bisa
lagi. Terowongan mengambil air bukan dari permukaan air danau, tetapi di bawah
permukaan air. Kondisi itu menyebabkan kotoran yang mengapung di permukaan air
danau tidak bisa hanyut ke sana. Pemikiran demikian ada benarnya juga, seperti
disampaikan dedengkot pariwisata Agam, Idham Rajo Bintang, dan beberapa pemuka
masyarakat Maninjau.
Atas tuntutan warga, akhirnya beberapa
tahun lalu pihak PLTA Maninjau berkenan membuka pintu air. Dengan adanya
penggelontoran tersebut, kotoran dan ganggang yang mengapung dipermukaan air
danau, hanyut ke Batang Antokan. (Laporan Miazuddin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar