OLEH Puti
Reno Raudha Thaib (Ketua Umum Bundo Kanduang Sumbar)
"Parade Busana Adat Minang" di acara 17 Agustus 2017 |
Upacara adat yang
dilakukan oleh umumnya masyarakat Minangkabau baik di ranah maupun di rantau
terkadang menyimpang dari apa yang telah dibuat sebelumnya oleh orang-orang tua
terdahulu. Mungkin hal itu dapat dilihat sebagai perkembangan citarasa dan
penyesuaian terhadap zaman, tetapi dapat pula dilihat sebagai sesuatu yang
disengaja untuk dikeroposkan, disimpangkan, diperdangkal dan bisa juga dianggap
sebagai usaha untuk melakukan pembusukan terhadap adat dan budaya Minangkabau
itu sendiri.
Kapan mulainya,
siapa yang memulai dan siapa yang bertanggung jawab terhadap semua hal itu, tak
seorang pun dapat dituding atau dituduh. Paling umum yang dilakukan orang
adalah mengungkapkan rasa ketidakpuasan terhadap penyimpangan tersebut dengan
berbisik-bisik, bergunjung, tanpa mau mencari sebab akibat dari suatu perubahan
yang terjadi.
Harus diakui pula,
bahwa apapun yang terjadi di tengah masyarakat, tergantung dari masyarakat itu
sendiri. Begitu hukum alam yang berlaku. Namun, bagaimanapun juga, setiap adat
dan budaya harus punya rujukan yang jelas. Jika terjadi penyimpangan atau
perkembangan haruslah diketahui dulu sebab akibatnya. Kenapa perubahan itu
terjadi, kenapa harus dilakukan perubahan, serta sekian pertanyaan berikutnya.
Dalam hal ini
peranan perempuan dalam upacara adat pun terjadi pergeseran yang besar sekali.
Banyak sekali hal-hal yang menurut kepantasan adat tidak lagi dianggap sebagai
suatu kepantasan, bahkan dianggap sudah kuno. Anak daro yang menyongsong
marapulai sampai ke tengah halaman dalam sebuah acara baralek, misalnya, adalah sesuatu yang sangat jauh panggang dari
api, kalau dikaitkan dengan peranan perempuan yang dianggap mulia dalam tatanan
masyarakat penganut sistem matrilineal.
Menurut adat, tidak
seorang pun perempuan dibenarkan bicara di depan umum, baik dalam majelis
perkawinan apapun. Tetapi sekarang, yang mengantarkan pasambahan adalah
perempuan. Banyak contoh lainnya. Namun di balik semua itu, jelas bahwa peranan
perempuan dalam upacara adat Minangkabau hari ini, merupakan cerminan
pergeseran yang sangat luar biasa terjadi dalam memposisikan perempuan
Minangkabau.
Pembicaraan saya
kali ini akan menukik pada beberapa persoalan perempuan itu sendiri. Namun saya
tidak bermaksud untuk menggurui, mencarikan jalan keluar dari perubahan yang
sedang berlangsung. Paling-paling saya hanya akan membanding antara apa yang
pernah dialami dulu dan sekarang, apa yang saya pelajari dari berbagai bacaan
dengan apa yang dilaksanakan di lapangan. Perbandingan-perbandingan itu
penting, setidaknya untuk sebagai “kaca diri” terhadap kehidupan sosial budaya
kita dulu dan hari ini.
Pengertian dan Makna Upacara
Bagi orang
Minangkabau yang ahli semantik atau mereka yang punya kecenderungan demikian,
akan selalu mempertengkarkan antara pengertian kata “upacara” dan “acara”.
Antara kata “alek” dan “baralek”, antara kata “sambah dan “pasambahan”. Antara
kata “adat” dan “’adat”, serta “adat dan “paradatan”.
Banyak sekali
kata-kata idiom bahasa Minangkabau yang tidak seharusnya dicarikan padanan kata
dengan bahasa Indonesia. Namun hal ini dilakukan karena pencarikan padanan kata
Minangkabau dengan kata dalam bahasa Indonesia dianggap sebagai usaha untuk
“mensosialisasikan” adat dan budaya Minangkabau itu sendiri.
Untuk pembicaraan
kali ini, saya tidak akan melayani perbedaan dan pengertian semantik. Biarlah
hal itu menjadi milik dan perdebatan para ahlinya. Saya hanya berpegang dalam
pengertian sederhana dari kata upacara. Upacara sebagaimana kita pahami bersama
adalah serangkaian kegiatan bersama untuk mendapatkan atau mencapai berbagai
tahapan kegiatan. Tahapan-tahapan kegiatan tersebut, dinamakan acara. Oleh
karena itu, dapat dipahami bahwa dalam sebuah upacara ada beberapa acara. Kata
orang itulah yang disebut sebagai mata acara.
Upacara adat menurut
adat Minangkabau begitu juga. Pada setiap upacara adat ada beberapa mata acara di
dalamnya. Dalam upacara baralek,
misalnya, ada acara-acara penunjangnya, maminang,
manjapuk marapulai, hidangan makan, tagak gala bagi marapulai (khusus untuk
masyarakat di daerah pasisie dan rantau), manjapuik,
basandiang dan seterusnya. Oleh karena itu, saya tidak akan bicara detail
akan tetapi upacara yang banyak dan beragam itu, karena masing-masingnya punya
variasi dari setiap nagari dan lingkungan adat budayanya.
Berbagai Macam Upacara
Menurut kajian
sosiologi, masyarakat Minangkabau ini disebut sebagai masyarakat tradisional
yang profan. Maksudnya adalah masyarakat yang meletakkan sesuatu pada
tempatnya; upacara adat diatur secara norma-norma dan nilai-nilai adat, sedang
upacara agama diatur pula oleh norma-norma dan ajaran-ajaran agama. Dengan
demikian orang Minangkabau mengenal dua bentuk upacara:
1.
Upacara peradatan terdiri dari: upacara menaiki rumah
gadang, baralek (pinang maminang, maetong hari, manjapuik marapulai,
basandiang, dan sebagainya), tagak pangulu, kematian, tagak gala (tagak gala
penghulu dan tagak gala untuk calon marapulai di daerah pesisir)
2.
Upacara keagamaan terdiri dari: upacara akikah, khatam
Alquran, sunnat rasul, nikah, maulud nabi, bahkan ketika salah seorang akan
naik haji juga dibuatkan upacara tersendiri (dan beberapa lagi).
Selain kedua bentuk
upacara tersebut, ada pula yang disebut “permainan” kata pamenan” juga sering
diperdebatkan para ahli semantic dengan membedakan kata “pamenan” dan
“pamainan”. Ada “pamenan mato” dan tidak sama dengan “pamainan mato”. Di dalam
berbagai upacara pamainan, barandai, basilek, juga pacu kuda, buru babi,
dsbnya, masing-masingnya mengandung berbagai acara pula.
Jadi, acara-acara
pada setiap upacara masing-masing akan berbeda jauh sekali, dan semua itu
dianggap oleh masyarakat Minangkabau umumnya sebagai “acara” saja. Salah kaprah
terjadi, karena dalam pembukaan acara buru babi juga janangnya memegang carano,
hal itu dianggap sama nilaibya dengan carano yang disuguhkan ke tengah majelis
adat ketika akan terjadi perundingan-perundingan adat.
I.
Kedudukan
Perempuan
Sebagaimana yang
sering saya ceramahkan tentang kedudukan dan peranan perempuan Minangkabau,
secara sepintas saya akan ulangi lagi disini untuk mencari modus tentang
kedudukan perempuan dalam berbagai upacara adat dan budaya Minangkabau.
System matrilineal
yang dikenal oleh orang MInangkabau “katurunan saparuik” telah menempatkan
perempuan pada posisi yang sangat strategis. Keturunan harus dihitung menurut
garis ibu. Warisan dan kesukuan merupakan milik merupakan milik perempuan di
dalam kaum tersebut, sedangkan para lelakinya adalah pemegang hak pengaturan.
Sebagaimana yang ditemukan dalam dunia modern. Pemilik, atau pemegang saham
terbesar adalah perempuan. Perempuan itu dalam istilah ekonominya adalah owner.
Sedangkan laki-lakinya adalah pengatur, dalam istilah ekonominya adalah
manajer.
Pemilik (perempuan)
memiliki semuanya dan sebagai tugasnya adalah mengawasi dan mengkontribusikan
segala hasil dari sawah lading milik kaum kepada anggota-anggota kaum sesuai
kesepakatan antar kaum. Sedangkan manajer (laki-laki) mengatur segala masalah
pengembangan, perluasan dan pertahanan semua harta pusaka milik kaumnya. Salah
kaprah terjadi, karena perempuan tidak mengerti dengan posisinya sedangkan
laki-laki menganggap harta pusaka kaum milik pribadinya.
Dalam berbagai pembicaraan
tentang kedudukan perempuan dikatakan bahwa perempuan itu adalah sebagaimana
yang dipresentasikan oleh kalimat-kalimat bijaksana penuh makna: turun nan sakali sejumaat (perempuan
harus punya jadwal yang jelas untuk bepergian), karajo manjaik jo manyulam (mengerjakan sesuatu dengan teliti,
detail dan mengayam keindahan dengan rasa seni yang dalam, menjahit dan
persoalan keluarga dan kaumnya yang retak atau robek), duduak dianjuang paranginan (menempatkan diri pada tempat
ketinggian untuk mengetahui semua persoalan di dalam kaum, harus tahu di hulu
dan dihilir persoalan keluarga dan kaumnya), unduang-unduang ka sarugo (penentu apakah kaum itu akan menjadi
orang-orang saleh, beriman atau sebaliknya), payuang panji ka madinah (penjadi pelindung, pemberi arah dan
contoh teladan dalam budi pekerti yang sesuai dengan sunnah rasulullah), induak bareh amban paruak (sebagai
benteng terakhir untuk suatu kaum apakah mereka akan hidup berkecukupan atau
menjadi pengemis, aluang bunian (penyimpanan
rahasian seluruh masalah kaum dan seluruh cacat cela/ aib serta kelebihan
anggota kaumnya, dsbnya.
Dari apa yang telah
diperkatakan oleh berbagai kalangan tentang kedudukan perempuan Minangkabau yang
jauh berbeda dengan kedudukan perempuan dalam tradisi budaya yang bukan
matrilineal, sejatinya perempuan Minangkabau harus dapat memposisikan dirinya
sebagaimana yang dikatakan demikian. Adat Minangkabau tidak member peluang
sedikitpun bagi perempuan menjadi “liar”. Semua harus ada “junjungan”nya.
Bagaimana kalau tanaman melata tidak diberi junjungan? Tanaman itu akan mati,
akan terinjak-injak dan tidak akan sanggup memberikan buah yang sempurna.
Begitu hebat peranan
perempuan yang telah dianalogikan dalam bahasa-bahasa sastra yang indah dan
dengan makna yang dalam.
II.
Peranan
perempuan dalam berbagai upacara
Perempuan
Minangkabau sesuai dengan konstelasi adat budaya serta agamanya mempunyai etika
dan moral yang terjaga dengan baik. Perempuan harus dapat menjaga citranya
sebagai perempuan Minangkabau yang nantinya akan menjadi “mande” (ibu bagi
keturunannya), yang akan menjadi “bundo kanduang” (perempuan tertua dalam kaum)
bagi seluruh anggota kaumnya. Oleh karena itu, perempuan tidak boleh kehilangan
citra di tengah pandnagan kaumnya, apalagi di tengah masyarakat yang lebih
luas. Perempuan yang kehilangan citranya, sama artinya dengan mempermalu
seluruh anggota kaum. Oleh karena itu, di dalam berbagai ungkapan dalam cerita
Minangkabau, ketika seorang penghulu mengumpulkan kaumnya, pertanyaan yang
dilontarkan anggota kaumnya adalah; dimana jando dapek malu. Artinya perempuan
mana pula yang telah membuat malu.
Oleh karena itu
perempuan tidak boleh kehilangan citranya, (jadi, politik pencitraan dalam
masyarakat Minangkabau sudah berlangsung sejak lama), maka segala sesuatunya
harus punya aturan yang jelas. Aturan-aturan yang jelas ini sering diplesetkan
oleh pejuang jender atau aktivis perempuan sebagai kungkungan. Dengan pongahnya
mereka mengatakan bahwa perempuan Minangkabau itu telah tertungkung oleh
tradisinya sendiri. Pertanyaan kita pada pejuang jender itu tentulah ini;
silahkan beri contoh, tradisi mana di dunia ini yang tidak mengungkung anggota
masyarakatnya perlu saya tegaskan lagi disini bahwa apabila kita telah berada
dalam sebuah komunitas (Apakah komunitas itu namanya adat, agama, dsbnya) kita
harus takhluk dan mengikuti yang berlaku dalam komunitas itu.
Dalam kaitan ini,
kita harus memaklumi bahwa tidak pada semua upacara perempuan itu harus
berbicara. Ada tempat-tempat atau ruang yang khusus disediakan baginya. Dia
adalah perempuan, pemilik (owner/pemegang
otoritas), tidak mungkin para pemilik harus lebih lantang dari laki-laki (manajer).
Lalu timbul
pertanyaan, pada ruang-ruang apa sajakah itu perempuan itu boleh atau
dibenarkan bicara?
Pertama, perempuan
akan bicara bahkan bertindak apabila tidak ada lagi laki-laki yang berani atau
mampu berbicara dan bertindak. Pada posisi ini, perempuan benar-benar harus
berada pada posisi yang menentukan. Jika tidak demikian, maka keberadaan suatu
kaum akan bisa sirna, karena laki-lakinya tidak berdaya (mungkin karena tekanan
politik, tekanan senjata dan kekuasaan, tekanan hutang yang telah mereka perbuat
sebelumnya, hutang yang telah mereka perbuat sebelumnya, hutang malu dsbnya).
Kedua, perempuan
akan bicara ada sesuatu yang kabur dan tidak jela bagi laki-laki yang tengah
memutuskan berbagai perkara. Dalam menentukan hari baralek misalnya, suara perempuan
mutlak harus diikuti. Karena, merekalah yang tahu kapan “waktu yang baik” bagi
pasangan suami istri bila tidur pertama kali. Merekalah yang tahu, kapan “hari
baik” untuk memulai sesuatu kegiatan di dapur dan penghidangan. Merekalah yang
mengerti dan tahu pasti, siapa yang harus dijadikan penghulu jika terjadi
pertengkaran para lelaki dalam memilih penghulunya.
Ketiga, perempuan
akan bicara secara terbuka di dalam majelis yang dihadari oleh perempuan semua,
seperti dalam acara turun mandi, tujuh bulanan, manjalang mintuo atau malam
bainai. Dengan demikian jelas, bahwa pidato pasambahan yang dilakukan dalam
sebuah acara umum (Waktu itu dihadiri oleh para datuk dan pnghulu, oleh apra
laki-laki dan bujang-bujang) seperti yang sering kita alami ketika upacara
baralek sekarang, adalah suatu penyimpangan yang luar biasa. Pertanyaan kita
tentulah, kenapa harus perempuan yang mengantarkan pidato pasambahan? Tidakkah
ada lagi laki-laki yang mampu untuk bapasambahan? Atau itu ditujukan untuk
komersialisasi diri perempuan itu?
III.
Penutup
Kita harus
menyadari, bahwa kebudayaan akan terus berkembang. Akan tetapi sesuatu
perkembangan yang sudah berada di luar norma-norma dan nilai-nilai adat dan
agama tentulah harus diperhatikan dengan bersungguh-sungguh. Perempuan dalam
ajaran adat Minangkabau adalah mulia. Perempuan adalah manusia yang mulia dan
harus dimuliakan, yangterhormat dan dihormati. Apalagi kau dikait-kaitkan
dengan ajaran-ajaran yang terkandung dalam ABS-SBK.
Persoalannya
sekarang adalah, apakah kita sebagai orang Minangkabau masih ingin atau masih
mau menghormati perempuannya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai yang sudah
ditanamkan sebelumnya atau akan “mampasuna-sunakan” perempuan dalih kesetaraan
jender, kesamaan hak, globalisasi, peranan domestic, keterkungkungan perempuan
dan lain sebagainya itu?
Jawabannya adalah
tergantung dari sikap budaya perempuan itu sendiri. Dia mau jadi hamba sahaya
nafsu dengan mengkomersialkan dirinya atau akan tetap terus menjadi perempuan
utama dalam kehidupan ini?
Perlu dicatat,
perempuan tidak akan dicatat sejarah jika hanya ingin merubah-ubah saja demi
uang, demi popularitas, demi kecantikan, demi sanjungan-sanjungan tanpa suatu
pencerahan dan kemaslahatan masyarakat umum.
Sekian, terlebih
terkurang, banyak maaf. ***
Padang,
22 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar