OLEH Nurmatias (Peneliti)
Prolog
Kenapa perlu memahami nilai sejarah bagi pembentukan karakter bangsa? Sebuah
pertanyaan mendasar yang perlu kita kuak kembali melihat bingkai kondisi anak
bangsa yang cenderung tak dinamis-ke arah kemunduran dewasa ini. Bahkan
persoalan mengenai karakter bangsa kini menjadi sorotan utama masyarakat.
Betapa tidak? Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan,
kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang
konsumtif, mafia hukum, dan sebagainya seolah hadir tiada henti. Bahkan hal itu
pun menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan di berbagai
kesempatan. Setidaknya gambaran mengenai permasalahan tersebut menggelitik kita
untuk bertanya kembali. Adakah yang salah dengan karakter bangsa ini?
Begitu pentingnya persoalan
karakter bangsa ini, Presiden Republik Indonesia pertama Soekarno bahkan
berupaya mengedepankan istilah national character building sebagai salah
satu program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah di masa itu serta menjadi
proses integral yang melibatkan keanekaragaman unsur-unsur kebangsaan. Bahkan
para pendiri bangsa (founding fathers) Indonesia bersepakat bahwa membangun
jati diri atau membangun karakter bangsa mesti dilaksanakan secara
berkesinambungan dari kemajemukan masyarakat Indonesia. Bingkai itu sendiri
tidak terlepas dari nilai sejarah dengan corenya masa lalu yang merekat
antara unjung satu denga ujung yang lainnya.
Coba kita renungkan
dalam-dalam, ketika kita tidak punya masa lalu mungkin kita meraba segala
sesuatu yang akan kita kerjakan untuk masa depan. Bahkan, ketika kita tidak
punya masa lalu, maka kita, ekstremnya akan menjadi orang gila yang lupa
ingatan; tidak tentu arah. Begitu permasalahan yang muncul, baik pada skala
individu maupun berbangsa dan bernegara. Kita tidak punya tempat berpijak untuk
memutuskan sesuatu karena tidak punya suatu pedoman yakni pengalaman.
Pengalaman yang semestinya merujuk kepada masa lalu sebagai bahan pertimbangan
untuk memutuskan suatu kebijakan atau keputusan.
Sebagai
sebuah peristiwa masa lalu, history as past actuality, maka pristiwa
sejarah memuat tentang pristiwa kehidupan manusia, baik kehidupan manusia yang baik maupun yang buruk. Ketika kehidupan
manusia tersebut baik maka sejarah akan menceritakan pada generasi berikutnya tentang
semua kebaikan dari kehidupan seseorang (tokoh), masyarakat,
maupun tentang suatu Negara. Begitu juga sebaliknya. Pada tingkat micro
misalnya, seorang manusia akan mendapat pujian dari perjalanan sejarah bila ia
baik dipandang oleh kaum atau masyarakatnya. Sebut saja Gandhi yang melegenda
sebagai pahlawan bagi bangsa India karena kekuatan jiwanya yang sangat berani
menentang penjajahan Inggris. Sebaliknya sebut saja Hitler, dengan kekejamannya
pada rakyatnya, maka namanya menjadi “momok” dalam cerita sejarah.
Bahkan, tidak jarang dia dibuat sedemikian rupa sebagai orang yang benggis,
kejam dan tidak berprikemanusian. Apakah demikian yang terjadi, jawabnya
tergantung kepada cerita sejarah yang
kita baca. Lebih efektif lagi bahwa masa lalu yang mensyiratkan nilai sejarah
itu sendiri sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa. Itulah sebetulnya
hakekat nilai sejarah itu sendiri bila kita pahami dengan baik.
Berfondasikan
kepada hal tersebut, tulisan ini sesungguhnya ingin menyigi lebih jauh tentang
pentingnya memahami nilai sejarah bagi pembentukan karakter bangsa.
Nilai Sejarah
Tidak
jarang peristiwa sejarah mengandung berbagai macam nilai -“pelajaran”,“ajaran”
bahkan, pengalaman dari sisi kehidupan manusia. Cerita sejarah akan
mengambarkan kepada pengikutnya, yang membacanya dan akhirnya akan terikut arus
oleh rangsangan yang digambarkan oleh cerita sejarah serta berpengaruh terhadap
segala kegiatan manusia. Sejarah memang bukanlah seperti ilmu eksakta yang
mamakai hukum-hukum umum, melainkan memakai hukum yang lahir dari studi kasus.
Hal ini bukan berarti pula bahwa cerita sejarah bisa disusun seenaknya, sebab
kisah sejarah punya kaidah-kaidah tertentu yang menunjuk kepada fakta yang
benar dan fakta yang benar tersebut dibutuhkan dalam penulisan sejarah.
Dari
sudut kegunaannya, sejarah sangat
penting bagi setiap orang, apakah ia sebagai ahli, ilmuan, birokrat,
wiraswasta, petani, nelayan, pedagang, orang terlantar dan sebagainya. Orang
yang tidak tahu sejarahnya dapat diibaratkan sebagai orang yang buta, baik buta
mata maupun buta ingatan. Apabila diumpamakan dengan seseorang yang berpergian
kesuatu tempat, maka dia lupa atau tidak tahu dari mana ia berasal, mau kemana
tujuannya, kemana ia akan kembali, apa yang akan diperbuatnya. Begitulah
keadaannya bila seseorang tidak tahu lagi dengan sejarahnya sehingga,
terhapusnya masa lampau, maka terhapus dan hilanglah identitas individu atau
kelompoknya. Seseorang yang kehilangan ingatannya terhadap masa lampau dengan
sendirinya akan kehilangan identitasnya. Hingga hilanglah suatu kesempatan
untuk membentuk karakter bangsanya.
Sesungguhnya
kekuatan sejarah terletak pada fungsi atau kegunaannya. Banyak di antara kita
yang mempertanyakan fungsi atau kegunaan dari sejarah. Kita sudah cukup bosan
mendengar ungkapan-ungkapan misalnya, “Belajarlah dari sejarah , jangan sekali-kali melupakan sejarah, sejarah
telah membuktikan, sejarahnya kelabu, sejarah berulang, sejarah yang membuat
demikian dan sebagainya. Tetapi, ada benarnya kita pikirkan
ungkapan-ungkapan tersebut. Kita lihat ungkapan-ungkapan tersebut, maka secara
tersirat membuktikan kepada kita bahwa sejarah mempunyai fungsi atau kegunaan.
Walaupun barangkali orang yang mengucapkan ungkapan-ungkapan tersebut tidak
tahu apa sebenarnya sejarah, namun apabila dia memahami arti sejarah, maka
pasti dia akan berpikir panjang terlebih dahulu sebelum mengucapkan
ungkapan-ungkapan tersebut.
Banyak di antara kita
menganggap bahwa sejarah adalah wujud perjuangan, kepahlawanan, atau mungkin
perang kemerdekaan, sekaligus segala sesuatu yang berbau perjuangan dengan
senjata dan sebagainya. Oleh karena itu, walaupun banyak kalangan yang tidak
tahu arti sejarah, tetapi mereka yakin
bahwa sejarah tersebut berguna bagi setiap generasi.
Untuk lebih jelasnya
kegunaan sejarah dan tersirat didalamnya nilai sejarah, maka dapat diuraikan
sebagai berikut. Pertama, fungsi inspiratif, yaitu sejarah membangkitkan inspirasi atau semangat untuk
mengejar ketinggalan yang disebabkan oleh pristiwa masa lalu serta berusaha
semaksimal mungkin agar supaya masa lalu yang jelek tidak akan terulang
kembali.
Kedua, fungsi edukatif, yaitu sejarah berfungsi sebagai pendidik insan akademis,
menciptakan tenaga propesional dalam bidang kesejarahan sesuai dengan tuntutan
yang ditetapkan sebagai sejarawan atau ahli sejarah.
Ketiga, sejarah berfungsi mencari riwayat masa lampau, yaitu guna melestarikan
identitas kelompok, memperkuat daya tahan
kelompok, guna kelangsungan
hidup; keluarga, klen atau suku bangsa.
Keempat, sejarah yang berasaskan manfaat, yang berfungsi sebagai pelajaran dan
teladan masa lalu, sekaligus kumpulan pengalaman praktis yang harus diterapkan
atau harus dihindari dalam bahtera hidup.
Kelima, sejarah berfungsi sebagai sarana untuk bahan memahami makna hidup dan
mati, yaitu berdasarkan eksistensi manusia dipermukaan bumi, yang tentunya
memerlukan kebutuhan mental dan spritual. Sebagaimana tidak dapat dipungkiri,
di dalam Alquran dijelaskan bahwa sejarah merupakan ilmu yang sangat penting
dalam kehidupan umat Islam. Alquran merupakan kitab suci sekaligus pedoman
dalam menjalani kehidupan di dunia maupun di akhirat. Dalam hubungannya dengan
sejarah, maka dinul Islam memandang
bahwa sejarah dan penulisannya merupakan persoalan yang sangat penting. Hal ini
dapat dilihat dari kenyataan bahwa Alquran merupakan sumber utama ajaran Islam.
Alquran, baik dari segi penamaan surat-suratnya, maupun dari segi ayat-ayatnya,
banyak mengungkapkan fakta sejarah sebagai cerminan bagi manusia. Bahkan,
ditemukan ayat-ayat dalam Alquran yang memerintahkan kepada manusia agar
melakukan perjalanan untuk meneliti keadaan suatu masyarakat tentang
pristiwa-pristiwa yang telah terjadi pada masa lalu. Upaya tersebut, nantinya
dapat menjadi bahan studi perbandingan antara kebenaran dan ketidakbenaran
sehinga, dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan.
Keenam, sejarah berfungsi sebagai rekreatif, yaitu si pembaca kisah sejarah dapat
berkelana dalam ruang dan waktu yang tidak terbatas. Pembaca kisah sejarah
dapat mengetahui pusat-pusat peradaban, kebudayaan, perindustrian dan
sebagainya yang ada di dunia, tanpa mengunjungi tempat-tenpat tersebut.
Sebagai sebuah bentuk
penanaman nilai, persoalan itu sendiri tidak terlepas dari aktivitas manusia
dalam hidupnya yang membawa perubahan pada masa lampau. Sejarah tidak hanya
menyangkut sesuatu yang lampau saja, tetapi juga sesuatu yang aktual, hidup,
dan sebenarnya juga mempunyai suatu ikatan antara masyarakat tersebut dengan
masa lampaunya. Oleh karena itu, apabila suatu bangsa melupakan sejarahnya,
maka dapat dikatakan bangsa tersebut akan terlepas dari akar kehidupan yang
memberikan identitas bangsa, yaitu warisan masa lampaunya.
Di sinilah sesungguhnya
perlunya pelestarian nilai-nilai sejarah. Perlunya pelestarian nilai-nilai
sejarah tidak terlepas dari hakekat dari
sejarah itu sendiri, sebagai kaidah masa lampau dari manusia. Masa lampau
adalah prologue, totalitas pengalaman manusia di masa lampau manfaatnya
amat berharga dipetik untuk dijadikan bekal menghadapi masa depan yang
terentang dihadapan kita. Begitulah ungkapan yang dilontarkan oleh Ortega Y
Gasset ketika memahami masa lampau itu sendiri. Berbicara tentang masa
lampau, sesungguhnya ada di dalam
memori manusia. Memori yang dibangun atau terbangun tersebut tidak
terlepas dari aktifitas manusia itu sendiri, baik yang bersifat membangun
maupun merusak, secara sadar atau tidak sadar.
Dalam zaman modern saat sekarang ini, akumulasi berbagai macam kejadian yang dialami oleh manusia membuat kita
tersadar dan bangkit untuk mengambil ikhmah dari kesemua hal tersebut. Ketika ikhmah yang kita ambil tersebut telah
tertanam dalam diri manusia maka disaat itu pulah manusia sadar bahwa dirinya
tidak terelapas dari masa lampau.
Masa lampau itu sendiri
hanya bisa kita pahami dengan perspektif kesejarahan. Sebab sejarah itu sendiri
tidak terlepas untuk mengungkapkan aktifitas manusia dimasa lampau itu sendiri.
Untuk itu kita sesungguhnya perlu belajar sejarah. Cicero mengatakan bahwa
tidak belajar dari sejarah berarti kita akan tetap menjadi kanak-kanak untuk
selamanya.
Tidak terlepas dari
persoalan diatas, yang sering dipertanyakan adalah bagaimana media dalam
menanamkan nilai-nilai sejarah dalam masyarakat. Persoalan ini sering
mengelinding ketika berbagai persoalan nilai-nilai sejarah dimunculkan,
terutama generasi muda. Dalam peroperasian nilai-nilai sejarah dalam kehidupan
masyarakat, terutama generasi muda dapat dilakukan dengan dua jalur, yakni :
Pertama, pendidikan formal. Pendidikan sebenarnya adalah pewarisan nilai-nilai,
baik nilai budaya, sejarah dan sebagainya. Di dalamnya berfungsilah sekolah,
dalam hal sekolah sebagai preserver dan transmitter dari culture
hiratage sebagai instrumet for transforming culture.
Pengalaman menunjukkan
bahwa penanaman nilai termasuk pelestarian nilai, apa yang berharga dan
bernilai yang diinginkan oleh generasi muda khususnya dapat dilakukan secara
formal melalui berbagai media. Dalam
domain ini, adapun langkah yang diambil dalam pelestarian nilai-nilai sejarah
dapat dilakukan terutama dalam materi bahan ajar (kurikulum) disekolah-sekolah.
Materi pembelajaran sejarah
harus memiliki misi pembentukan karakter bangsa (nation building). Hal
itu dilakukan dengan tujuan materi sejarah mampu membangun jati diri bangsa.
Nilai-nilai yang dikembangkan dari peristiwa sejarah harus bisa tertanam dalam
diri siswa.
Hal ini tidak terlepas
dimana kurikulum sejarah dari waktu ke waktu cenderung lebih berpihak kepada
penguasa (sebagai alat legitimasi kekuasaan) dan tidak memberikan ruang pada
materi sejarah lokal. Padahal, banyak peristiwa lokal yang bernilai edukatif,
inspiratif, dan rekreatif yang perlu diajarkan kepada anak didik.
Pembelajaran sejarah lokal
di daerah tertentu pada gilirannya mampu mengantarkan siswa untuk mencintai
daerahnya. Kecintaan siswa pada daerahnya akan mewujudkan ketahanan daerah.
Ketahanan daerah merupakan kemampuan suatu daerah yang ditunjukkan oleh
kemampuan warganya untuk menata diri sesuai konsep yang diyakini kebenarannya
dengan jiwa yang tangguh, semangat tinggi, serta dengan memanfaatkan alam
secara bijaksana.
Semangat yang terkandung
pada era otonomi daerah adalah kemandirian. Yakni, masyarakat secara sadar
membangun dirinya menjadi manusia yang amanah dan mampu memanfaatkan sumber
daya, baik manusia dan alam, untuk kemaslahatan masyarakat. Sejarah lokal
sangat berarti bagi anak didik kita.
Dengan mempelajari sejarah
lokal, anak didik kita akan memahami perjuangan nenek moyangnya dalam berbagai
kegiatan kemasyarakatan. Nilai-nilai kerja keras, pantang mundur, dan tidak
kenal menyerah perlu diajarkan kepada anak-anak kita. Budaya instan yang
diajarkan media massa, baik media cetak maupun elektronika, merupakan bencana
yang bisa mengancam setiap saat dan harus ditanggulangi.
Penulisan buku sejarah
lokal tentunya sangat mendesak dilakukan. Selanjutnya perlu diikuti oleh
kegiatan edukasi yang lain agar generasi muda memperoleh peluang untuk tumbuh
menjadi manusia seutuhnya yang amanah, sehingga daerah menjadi tempat mengabdi
yang menarik bagi generasi muda. Daerah akan menjadi makmur dan mampu menjadi
sumber penghidupan bagi masyarakat di negara ini.
Kedua, pendidikan informal. Media dalam pelestarian
nilai-nilai sejarah dalam domain ini dapat dalam bentuk kegiatan lawatan
sejarah, arung sejarah, dan sebagainya..[1]
Kegiatan ini bertujuan
membangkitkan kesadaran sejarah dan menyamakan persepsi di kalangan generasi
muda dari berbagai keragaman budaya menjadi semangat persatuan untuk memperkokoh
ketahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia; menghidupkan ingatan kolektif
bangsa melalui penanaman nilai-nilai sejarah kepada generasi bangsa; membuka
cakrawala yang luas kepada generasi bangsa tentang keragaman budaya bangsa
Indonesia dan simpul-simpul yang merajut keberagaman; memperkenalkan
obyek-obyek peninggalan sejarah dan budaya guna menumbuhkan sikap gemar
melestarikan, melindungi, dan memelihara peninggalan sejarah dan tradisi;
menemukan dan mempraktikkan formula baru bagi dunia pendidikan tentang
metodologi pengajaran sejarah yang menarik dan tidak membosankan; mendorong
perjalanan wisata sejarah lokal dan Nusantara.
Ini dilatarbelakangi oleh
kondisi dimana isu krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia sejak
beberapa tahun terakhir ini gencar diperbincangkan di berbagai forum. Pada
umumnya permasalahan yang dipandang sangat serius bagi masa depan bangsa ialah
ancaman meluasnya gejala disintegrasi bangsa, konflik antar etnik, narkoba,
agama, kesenjangan ekonomi sosial, politik dan budaya.
Bila permasalahan ini terus
menggelinding dan semakin tak terkendali, maka bisa jadi merupakan ancaman
serius bagi kelangsungan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Sehubungan dengan itu,
perlu kiranya ada perhatian dan tanggapan dari pemerintah secara perlahan-lahan
dan pasti segera berakhir krisis multidimensional yang melanda kehidupan bangsa
tersebut, terutama generasi muda dan pelajar sebagai generasi penerus. Satu di antara
alternatif yang dapat dilakukan untuk memperkukuh integrasi bangsa ialah
melalui kegiatan "Lawatan Sejarah”. Lawatan sejarah adalah suatu kegiatan
perjalanan mengunjungi situs bersejarah (a trip to historical sites)
yang merupakan simpul-simpul perekat keindonesiaan yang mengandung nilai-nilai
perjuangan dan persatuan untuk memperkokoh integrasi bangsa.
Karakter Bangsa
Istilah
“karakter” (character) dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Yunani
yang artinya “membentuk ke dalam tulisan” (to inscrib). Hal ini
mencerminkan bahwa karakter bukanlah sesuatu yang ada secara alamiah/dibawa
sejak lahir, melainkan suatu proses bentukan yang dipengaruhi oleh berbagai
masukan yang diterima seseorang dari lingkungannya, mulai dari keluarga,
lingkup pertemanan, sekolah, tempat pekerjaan, dan seterusnya. Kamus Webster”s
New World Dictionary (Third Collenge Edition) mengartikan karakter sebagai
watak yang kuat (moral strenght self discipline fortitude).
Keberhasilan
Jepang sebagai suatu kekuata ekonomi dunia yang bangkit pasca kehancuran Perang
Dunia II merupakan salah satu contoh yang mencolok mengenai pentingnya
pembangunan karakter bangsa. Sejak awal, bagsa Jepang menyadari pentingnya
identitas nasional yang kuat untuk menopang keberhaslan di bidang-bidang
pembangunan lainnya.
Di
Indonesia sendiri, pembangunan karakter bangsa (nasional) merupakan suatu
proses panjang yang dapat dilacak jejaknya kebangkitan kesadaran nasional tahun
1908 (dengan berdirinya Budi Utomo), Sumpah Pemuda 1928, dan selanjutnya
berpuncak pada Proklamasi 1945.
Ditinjau
dari faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya karakter bangsa telah
diselidiki oleh sejumlah ahli. Montesquie, misalnya membahas masalah karakter
bangsa dengan mengunakan istilah esprit general, dimana dalam istilah
ini tercakup karakteristik-karakteristik moral dan kebiasaan-kebiasaan berfikir
dan berperlaku yang berasal dari suatu kombinasi unik antara lingkungan alam
atau ilkilm, agama, hukum, kebijaksanan pemerintah (maxims of government),
sejarah, nilai-nilai dan tata krama sopan santun sosial (more and manners).
Bagan unsur-unsur pembentukan karakter bangsa
Pentingnya Nilai Sejarah
dalam Pembentukan Karakter Bangsa
Pentingnya nilai sejarah
dalam pembentukan karakter bangsa bukanlah dalam tataran slogan saja, namun
lebih menukik lagi sebagai modal dasar untuk merawat dan membentuk karakter
bangsa ini. Sebab melalui pemahaman nilai sejarah kita dapat melakukan
rekonstruksi peristiwa yang terjadi berikut latar belakang serta akibat-akibat
yang ditimbulkan oleh adanya peristiwa tersebut (Krisna Akhbar Tanjung, 2010 :
283). Bahkan pendidikan sejarah dengan muatan nilai sejarah dalam upaya
pelestarian dan pemberdayaan warisan budaya bukan sekedar melalui pendidikan
formal semata, melainkan seumur hidup (long life education). Pendidikan
sejarah perlu dilakukan sebagai bagian dari upaya-upaya besara preservasi dan
konservasi warisan budaya baik yang bersifat natural, tangible maupun
yang intangible. . Sebab, pendidikan sejarah merupakan sarana penguatan
dan pendalaman nation and character building, sebagaimana yang telah
diajarkan oleh Bung Karno yang terkenal dengan kata “Jas Merah” (Jangan
Sekali-kali Meninggalkan Sejarah).
Pendidikan sejarah (historical
education) dalam arti tidak sekedar suatu proses transmisi pengetahuan
secara kognitif melainkan internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam
pelajaran sejarah sebagai bagian dari pembentukan karakter. Ditengarai kondisi sekarang ini
sekolah-sekolah kendur dalam pembentukan karakter, menumbuhkan kreativitas dan
inovasi, termasuk masalah kebangsaan seperti nasionalisme (Kompas, 23
Desember 2009). Kemudian kita tidak dapat menafikan bahwa pendidikan di
Indonesia saat ini lebih mengedepankan penguasaan aspek keilmuan, kecerdasan,
dan mengabaikan pendidikan karakter. Pengetahuan tentang kaidah moral yang
didapatkan dalam pendidikan moral atau etika di sekolah-sekolah saat ini semakin
ditinggalkan.
Salah-satu usaha untuk
membentuk karakter bangsa ini adalah dengan memahami nilai sejarah. Dalam hal
ini persoalan pendidikan dan pelajaran sejarah sangat dipentingkan. Pendidikan
adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi
peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam
mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan
bangsa yang lebih baik di masa depan.
Keberlangsungan itu
ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan
bangsa. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses pewarisan budaya dan karakter
bangsa bagi generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan karakter
bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa
mendatang. Jadi pendidikan karkter bangsa ialah usaha terencana untuk mewriskan
watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil
internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan
sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.
Menurut Susanto Zuhdi (2010
: 407), yang menempatkan mata pelaran sejarah ke dalam dua ranah pembahasan.
Sebagai ranah subjektif, sejarah begitu bermakna dan penting bagi suatu
komunitas karena nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Dalam ranah
ini, belajar sejarah berarti memperoleh pemahaman dan kesadaran tentang waktu,
yang bermanfaat untuk bersikap terhadap situasi yang berubah dan
berkesinambungan. Itulah pemahaman sejarah yang paling praktis bagi pembeljaran
sejarah. Dalam ranah objektif, sejarah bertujuan membekali anak didik
dengan pemikiran kritis, sejalan dengan adagium bahwa tidak ada sejarah
tanpa pertanyaan. Selain itu sejarah adalah ruang perdebatan.
Pembentukan peserta didik
memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air adalah tujuan pendidikan sejarah.
Sebab memang dari sejarah itulah bangkitnya nasionalisme sebagai antitesa kolonialisme
dan tumbuhnya cinta tanah air sebagai sikap patriotisme yang terpanggil untuk
membela dan menjaganya dari pengurasan sumber daya alam oleh kolonial Belanda.
Kegiatan eksploitasi ini dikenal dalam sejarah sebagai drainage politiek.
Praktik berjalan karena cultuurstelsel yang bersendikan kerja paksa yang memberi
keuntungan pada negara Belanda (Soekarno, 1989 : 37).
Pada dasarnya sejarah
memperlihatkan dua arah yang tidak terdapat dalam ilmu-ilmu sosial lainnya,
yakni untuk tujuan membangun pemikiran kritis dan memperoleh kesadaran dan pemahaman
yang akhirnya menjadi faktor terbentuknya karakter dan identitas. Kekritisan
dan kesadaran itu mendorong lahirnya sikap peserta didik yang mampu menjadi
pembelajar sejarah dalam dua ranah tersebut.
Oleh sebab itu diperlukan
suatu kurikulum dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang merangkum kedua ranah tersebut.
Pengungkapan nilai-nilai sejarah perjuangan bangsa perlu diangkat kembali
tetapi bukan melalui pelaksanaan yang bersifat indoktrinatif. Model kurikulum
sebagaimana dikemukakan Nana Supriatna khususnya mengenai “konstruksi
pembelajaran sejarah kritis” adalah sesuai untuk mendukung tujuan mata
pelajaran sejarah dalam konteks ilmu pengetahuan sosial (Nana Supriantna,
2007).
Metoda orientasi kepada
masalah (problem oriented) seperti yang dikemukakannya sejalan dengan
pendapat John Berger yang mengatakan bahwa
munculnya kesadaran sejarah pengalaman mencari makna untuk kehidupan
kita dan mencoba memahami sejarah melalui upaya kita menjadi agen aktif. Upaya
untuk membangun kesadaran sejarah tidak cukup dengan menguasai pengetahuan
sejarah tetapi juga dengan cara dikonstruksi dan direpresentasikan (Berger
dalam Susanto Zuhdi, 2010 : 409).
Sejarah nasional yang
komprehensif akan lebih dapat dipahami jika didukung dan dilengkapai oleh perspektif
lokal dan tema sejarah sosial. Memang tidak semua sejarah lokal terkait dengan
sejarah nasional. Justru disinilah adanya peluang yang besar untuk
mengembangkan materi muatan lokal. Sedangkan sejarah sosial memberi pencerahan
kepada peserta didik bahwa bahwa sejarah tidak hanya mengenai orang besar,
raja, dan kaum elite, materi yang umunya dalam ranah sejarah politik, tetapi
menunjukkan bahwa kelompok sosial di dalam masyarakat seperti wong cilik dan
kaum “terpinggirkan” misalnya, yang juga berperan dalam dalam sejarah.
Di era otonomi daerah
sekarang ini, kekuatan paling dominan
dan domainnya untuk mengelola kekayaan kesejarahan dengan nilai
sejarahnya merupakan kewenangan pemerintah daerah. Penguatan akan hal ini di dasarkan pada
Undang-Undang nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintah
Daerah dan Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan
pemerintah bidang kebudayaan.[2]
Kecendrungan yang terjadi selama ini kurangnya pemahaman, apresiasi, dan
komitmen pemerintah daerah di dalam pengelolaan kekayaan kesejarahan. Akibatnya
makin menurunnya kualitas pengelolaan kekayaan kesejarahan.
Pengelolaan kekayaan
kesejarahan belum sepenuhnya menerapkan prinsip tata pemerintahan yang baik (good
governance) sebagai kegiatan wajib sehingga kualitas layanannya kurang
optimal, baik dalam pengelolaan kekayaan budaya yang berwujud (tangible)
maupun pengelolaan kekayaan budaya yang bersifat tidak berwujud (intangible).
Salah-satu bentuk
pengelolaan kekayaan budaya yang bersifat tidak berwujud (intangible)
tersebut yakni pelestarian nilai-nilai sejarah. Disamping itu, pembangunan
dalam bidang kebudayaan umumnya dan kesejarahan khususnya sampai saat ini masih
menghadapi beberapa permasalahan sebagai akibat dari berbagai perubahan tatanan
kehidupan, termasuk tatanan sosial budaya yang berdampak pada terjadinya
pergeseran nilai-nilai di dalam kehidupan masyarakat khususnya generasi muda.
Meskipun pembangunan dalam
bidang kebudayaan khususnya kesejarahan yang dilakukan melalui revitalisasi dan
reaktualisasi nilai budaya dan pranata sosial kemasyarakatan telah menunjukkan
hasil yang cukup menggembirakan yang ditandai dengan berkembangnya
pemahaman terhadap pentingnya kesadaran
multikultural dan menurunnya eskalasi konflik horizontal yang marak
pascareformasi, secara umum masih dihadapi permasalahan dalam domain
pengelolaan kebudayaan dan kesejarahan, antara lain (1) rendahnya apresiasi dan
kecintaan terhadap budaya lokal, dan sejarah lokal; (2) semakin pudarnya
nilai-nilai solidaritas sosial, keramahtamahan sosial dan rasa cinta tanah air
yang pernah dianggap sebagai kekuatan pemersatu dan ciri khas bangsa Indonesia,
serta semakin menguatnya nilai-nilai
materialisme; dan (3) belum memadainya kemampuan bangsa dalam mengelola
keragaman budaya termasuk pelestarian nilai-nilai sejarah dan budaya pada
tingkat lokal.
Epilog
Sesungguhnya pada hakikatnya
karakter bangsa Indonesia berarti akhlak, budi pekerti, watak dan kepribadian
yang menjadi ciri-ciri bangsa Indonesia. Ciri-ciri itu didasarkan pada
nilai-nilai dan norma yang merupakan budaya bangsa Indonesia. Salah-satunya
terbingkai pada nilai sejarah. Sebuah nilai yang dapat dimaknai dari akar masa lalu
bangsa Indonesia sendiri.
Memahami nilai sejarah
dalam pembentukan karakter bangsa sangat berperan sekali bagi masyarakat
khususnya generasi muda memeliki peran yang sangat vital, terutama dalam
membangkitkan kesedaran sejarah dan budaya serta menyamakan persepsi di
kalangan generasi muda dari berbagai keragaman budaya menjadi semangat
persatuan untuk memperkokoh ketahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
menghidupkan ingatan kolektif bangsa melalui penanaman nilai-nilai sejarah dan
budaya kepada generasi bangsa; membuka cakrawala yang luas kepada generasi
bangsa tentang keragaman budaya bangsa Indonesia dan simpul-simpul yang merajut
keberagaman; memperkenalkan obyek-obyek peninggalan sejarah dan budaya guna
menumbuhkan sikap gemar melestarikan, melindungi, dan memelihara peninggalan
sejarah dan tradisi. Ujung semua kegiatan yang dilakukan adalah pengenalan
terhadap generasi muda terhadap budaya dan sejarah mereka dalam rangka
pembangunan karakter pekerti bangsa
Semua itu tak akan tercapai
bila persoalan kebijakan terutama dalam kurikulum sekolah mengabaikan
unsur-unsur mata pelajaran kesejarahan. Faktanya jam pelajaran sejarah yaang
diajarkan di sekolah-sekolah dari tahun ketahun semakin berkurang.
Sebuah keironian bila kita
ingin membentuk karakter bangsa melalui pemahaman nilai-nilai kesejarahan. Maka
tak salah rasanya melalui sebuah kebijakan yang baik dalam dunia pendidikan
agar menempatkan kurikulum dan jam pelajaran sejarah yang lebih profersional
dan dijadikan sebagai mata pelajaran strategis dalam pembentukan karakter
bangsa.
Akhirnya, dengan semangat
pemahaman nilai sejarah untuk membentuk karakter bangsa mari kita bergerak
lebih aktif dari segala elemen baik pemerintah, masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat dan sebagainya terutama bergerak labih aktif untuk melakukan
pelestarian nilai-nilai sejarah dalam
masyarakat terutama generasi muda. Hal ini tidak terlepas dari persoalan untuk membangun
masa depan yang lebih baik dari masa yang lalu, maka diperlukan kegigihan dalam
membentuk karakter bangsa. Wassalam.
Daftar Pustaka
Adishakti, Laretna T, 2003, Teknik Konservasi Kawasan
Pusaka, Jurusan Arsitektur, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang,
2009, Rencana Strategis tahun 2009-2014 Padang : BPSNT press.
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2009, Rencana
Strategis Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2009-2014. Jakarta :
Kemenbudpar.
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2010, Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Jakarta : Kemenbudpar.
Kompas, 23 Desember 2009.
Nana Supriatna, 2007, Konstruksi Pembelajaran Sejarah
Kritis. Bandung : Historia Utama Press.
Sidharta, Eko Budihardjo, 1989, Konservasi Lingkungan dan
Bangunan Bersejarah di Surakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Soekarno, 1989, Indonesia Menggugat : Pidato Pembelaan Bung
Karno di Depan Pengadilan Kolonial Bandung 1930. Jakarta : CV Haji
Masagung.
Susanto Zuhdi, 2010, ”Identitas Bangsa, Sejarah dan
Pendidikan Sejarah di Indonesia” dalam Endang Sri Hardiati dan Rr. Triwurjani
(Penyunting), Pentas Ilmu di Ranah Budaya : Sembilan Windu Prof. Dr.
Edi Sedyawati. Jakarta .
[1] Kegiatan
ini merupakan icon dari kegiatan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terutama oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan,
dan di daerah dilaksanakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional
(BPSNT) sebagai UPT (Unit Pelaksana Teknis) dari Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata Republik Indonesia.
[2] Persoalan ini secara jelas terdapat dalam UU Nomor 32 tahun 2004
pasal 22 berbunyi : dalam menyelenggarakan otonomi daerah, daerah mempunyai
kewajiban (iii) melestarikan nilai sosial budaya. Kemudian di dalam PP nomor 38 tahun 2008, dijelaskan
secara terperinci tentang pembagian tugas pada tingkat daerah yakni untuk
bidang sejarah tugas dari pemerintah daerah yakni Penulisan sejarah lokal dan
sejarah kebudayaan daerah ; Pemahaman sejarah wilayah, sejarah lokal dan
sejarah kebudayaan daerah; Inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan
publikasi sejarah; Pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap
pengembangan sejarah; Peningkatan pemahaman sejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar