OLEH H. Kamardi Rais Dt. P. Simulie
Pada
judul tulisan ini, saya meletakkan kata dan
di antara kata Melayu dan Minangkabau. Kata dan memang berfungsi sebagai kata penghubung dalam satu kalimat.
Tapi yang saya maksudkan lebih dari itu bahwa kata dan itu menunjukkan kesetaraan dan kesamaan tipe.
Itulah
yang saya katakan: Melayu dan Minangkabau bagaikan dua sisi mata uang. Sisinya
yang berbeda, sedangkan logamnya atau materi kertasnya sama. artinya yang satu
itu juga.
Nenek
moyang orang Minang sering berpantun, sering kata pantun itu ia ganti dengan sebutan lain.
Misalnya “menurut hadis Melayu...”, dan seterusnya. Walaupun pantun itu dalam
bahasa Minang, ia masih ingat Melayu karena rumpunnya memang Melayu.
Nah,
kalau kita lihat dalam konteks bangsa dan negara kita Indonesia, maka Melayu
adalah salah satu suku bangsa, misalnya Melayu Deli, Melayu Riau, dan
lain-lain. Yang lainnya adalah suku Jawa, Sunda, Bugis, Minangkabau, dan
seterusnya.
Tapi,
kalau ditanya selanjutnya, apa ras kita, maka akan kita jawab bahwa biar pun
orang Jawa, orang Minang, orang Bugis, Banjar, Betawi, Sunda, dan lain-lain adalah
orang Indonesia yang rasnya Melayu.
Kalau
kita membicarakan Melayu dari segi kesejarahannya akan kita temukan berbagai
pendapat, hipotesis, analisis dari bermacam sumber pula.
Menurut
M. Rasjid Manggis Datuk Rajo Penghulu yang bertemu dengan Prof. Dr. Hussain
Nainar, seorang antropolog dari Madras University, India, yang mengunjungi
Sumatera Barat pada tahun 1950-an menyebutkan, bahwa kata “melayu” berasal dari
dari kata “malai”. Kata itu berasal dari bahasa Tamil yang artinya gunung. Malai-ur lama-lama menjadi malayu berarti suku bangsa pegunungan.
Tepatnya adalah penduduk yang mendiami pesisir pegunungan Dekkan, yakni
Malabar.
Sementara
itu seorang peneliti bangsa Belanda, Prof. Kern menegaskan bahwa bangsa dari
Asia Tengah yang mula turun ke daerah Selatan adalah Proto-Maleiers (Melayu
Tua) yang disusul kemudian oleh Deutro-Maleiers (Melayu Muda). Umumnya, kata
Kern, wilayah Nusantara ini didatangi oleh bangsa-bangsa yang turun dari India
Selatan atau India Belakang.
Kedatangan
mereka tidaklah serentak atau sekaligus tapi mereka datang secara bergelombang,
berangsur-angsur, tahap demi tahap sesuai dengan kondisi desakan musuh yang
mendesak dan menghalau mereka dari daerah utara.-1)
Sementara
itu kita simak pula pendapat yang dikemukakan oleh J. J. de Hollander (1893)
yang menyebutkan bahwa Pulau Perca (Pulau Andalas atau Pulau Sumatera) ini
boleh dianggap sebagai tanah air orang Melayu.
Mereka
agaknya adalah keturunan beberapa orang yang selama air bah besar telah
meninggalkan bahtera Nabi Nuh dan menetap di pantai timur Sumatera, antara
muara sungai di Palembang dan Jambi.
Apa
yang dikemukakan oleh J. J. de Hollander ini berbeda jauh dengan pendapat para
ahli atau para pakar sejarah yang kita baca dan kita pelajari selama ini.
Dalam
cerita itu dikatakan bahwa orang Melayu menganggap dirinya penghuni asli di Pulau
Sumatera bahagian selatan atau tengah, tapi dari cerita itu dikatakan mereka
datang setelah kiamat Nabi Nuh Alaihis Salam. Artinya mereka adalah pendatang
juga. Bukan diciptakan Al Khalik sejak semula jadi di Pulau Perca. Asumsinya di wilayah yang begitu luas itu
masih kosong, belum ada penghuni. Tak ada perlawanan atau rintangan ketika
mereka datang yang menandakan pulau itu kosong hingga rombongan itu sampai
menembus ke daerah pedalaman Sumatera Tengah. Diceritakan pula bahwa rombongan
tersebut kemudian menetap di hulu Sungai Batanghari.
Kalau
J. J. de Hollander menyebutkan daerah pedalaman Sumatera Tengah dan kemudian
menetap di hulu Sungai Jambi (Batanghari), bukankah itu artinya mereka adalah
orang Melayu yang kemudian dikenal dalam sejarah sebagai Minangkabau?
Tapi
Hollander juga mempersoalkan kata “Melayu”, apakah kata itu memang berasal dari
bahasa Melayu? Mungkinkah kata itu berasal dari kata Jawa: “layu”, yang dalam
bahasa Inggris disebut withered yang
juga berarti lemah, layu, lunglai?
Entah
berapa kurun zaman setelah itu, orang Hindu atau Jawa Hindu menyerang Sumatera Tengah
dan berhasil mengembangkan kekuasaannya yang begitu luas, maka orang Melayu
meninggalkan daerahnya. Jika memang orang-orang Melayu itu terdesak atau kalah,
tidak juga mungkin mengabadikan kata Jawa “layu” untuk nama sukunya. Orang
mencari nama tentulah yang bagus, indah, bermakna atau beriwayat.
J.
J. de Hollander tidak menyebutkan peristiwa tersebut sebagai Ekspedisi Pamalayu
(1275). Ia mengatakan bahwa pada tahun 1160 sejumlah besar orang Melayu
meninggalkan daerahnya menyusur pantai ke utara sampai di muara Sungai
Indragiri. Dari sana mereka menuju Pulau Bintan (Bintang) dan menetap di pulau
itu. Pimpinannya dikenal sebagai Tri Buwana. Kemudian salah seorang putra Tri
Buwana kawin dengan putri Ratu pulau tersebut.
Selanjutnya
dari sebagian rombongan menuju ke Malaka dan kemudian menetap di ujung tenggara
tanah semenanjung yang disebut Ujung Tanah. Belum diketahui apakah di tanah semenanjung tersebut sudah didiami oleh ras
Melayu atau belum. Ketika itu para pendatang dari Sumatera disebutkan sebagai “orang di bawah angin”.
Yang
menarik dari cerita J. J. de Hollander tersebut,-2)
bahwa asal muasal orang di Tanah Melayu (Malaya—sekarang Malaysia) datang dari
Sumatera bukan seperti jalur biasa bahwa penduduk Nusantara ini berasal dari
India belakang dan mestinya yang didiami mereka lebih dahulu tentulah jazirah
Tanah Melayu sebelum ke Sumatera melalui muara sungai yang menganga di timur
pulau tersebut.
Tapi,
sudahlah, saya tidak mempersoalkan masalah perihal kedatangan mereka. Porsi ini
biarlah kita serahkan kepada para ahlinya, para pakar sejarah kita. Yang jelas
perjalanan sejarah dan kebudayaan orang Melayu dan Minangkabau pada prinsipnya sama.
Orang Melayu berbahasa Melayu yang kini ditetapkan sebagai bahasa Indonesia dan
mengembangkan demokrasi dalam bentuk musyawarah dan mufakat serta beragama
Islam
Tegasnya
dapat dikatakan bahwa bahasa Minang adalah juga rumpun bahasa Melayu. Bahasa
Melayu memang merupakan “Lingua Franca”, bahasa pergaulan dan bahasa perantara
sejak dari dahulu. Bahasa Minang hanya berubah sedikit dari bahasa Melayu
sehingga ada yang mengatakan bahwa bahasa Minang adalah dialek atau perubahan
logat semata.
Tentang
musyawarah dan mufakat yang menjadi dasar demokrasi antara Melayu dan Minang
ternyata juga sama. Orang Minang mengatakan, duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang. Artinya
kalau kita duduk seorang saja, hanya berpikir sendiri, maka sempitlah pikiran
kita. Tapi kalau kita duduk bersama (berdua, bertga atau lebih banyak lagi),
maka pikiran kita akan lapang. Bulek aie
ka pambuluah, bulek kato ka mufakat. Kok picak satapiak, bulek sagolek.
Picaklah buliah dilayangkan, bulek lah buliah digolongkan. Baiyo-iyo jo adiak, batido-tido
jo kakak, baajun-ajun jo urang sumando.
Di
dalam pantun adat dikatakan :
Balaie biduak nak rang Tiku
Bakayuah sambie manungkuik
Singgah sabanta di pantai Sasak
Basilang kayu dalam tungku
Di sinan api makonyo hiduik
Apo nan dijarang akan masak
Berkaitan
dengan Islam yang menjadi anutan orang Melayu memang sama betul dengan filosofi
orang Minang, Adat basandi syarak, syarak
basandi Kitabullah. Tegasnya adat Minang itu adalah adat Islami. “Syarak mangato, adat mamakai. Manusia
bersifat khilaf, Tuhan bersifat qadim”.
Selanjutnya
kalau kita ingin sedikit gambaran tentang hubungan antara suku Minang dengan
suku Melayu, baiklah kita ambil cuplikan jalannya sejarah antara Minangkabau
dengan Melayu di nusantara Indonesia ini.
Tentunya
puak Melayu yang terdekat dengan Minangkabau adalah Melayu Riau. Inilah yang
akan saya ceritakan.
Ada
pada suatu masa sekitar tahun 1723 Kerajaan Siak Sri Indrapura berjaya kembali.
Ingatlah kisah “Tuan Bujang” yakni Tuan Rajo Kaciak (Rajo Kecil) putra Sultan
Mahmudsyah II dari Kerajaan Johor yang mangkat dibunuh oleh Laksamana Megat
Seri Rama. Putra Sultan Mahmud Syah tersebut yang dipanggil sebagai Rajo Kaciak
(Raja Kecil) diselamatkan orang ke Pagaruyung (Minangkabau).
Di
Pagaruyung ia dipanggil sebagai “Tuan Bujang” dan setelah ia dididik di
Pagaruyung dan setelah ia menjadi dewasa, ditetapkanlah para pembantunya. Di
antaranya yang memegang jabatan penting penting adalah Datuk Limo Puluah, Datuk
Tanah Datar, Datuk Pesisir ditambah dengan Datuk Kampar.
Tuan
Bujang yang disebut Raja Kecil dilepas kembali ke Siak Seri Indrapura dari
Pagaruyung bersama ke empat pembatu tersebut di atas yang ketika telah berada di Siak, maka Pembantu
yang berempat tersebut dipanggilkan orang sebagai Datuk Ka Ampek Suku.
Dari
Siak Raja Kecil itu berupaya merebut haknya kembali sebagai pewaris Kerajaan
Johor yang ditinggalkan oleh ayahnya yang mati terbunuh. Upaya Tuan Bujang
(Raja Kecil) ternyata berhasil. Beberapa tahun kemudian ia pergi ke pulau
Bintan dan terus ke Siak. Pada tahun 1723 Kerajaan Siak Seri Indrapura berjaya
kembali dan Datuk Ka Ampek Suku (Datuk Limo Puluah, Datuk Tanah Datar, Datuk
Pesisir dan Datuk Kampar) diangkat sebagai Orang Besar Kerajaan Siak sampai ke
era Sultan Syarif Kasim pada tahun 1946.
Ketika
Penulis berkunjung ke Istana Sultan Siak pada tahun 1998 yang lalu, Datuk-Datuk
Ka Ampek Suku tersebut diabadikan sebagai nama jalan di kota Siak tersebut. Dan
setelah saya memasuki Istana yang indah itu terpampang sebuah moto: “Berbapak
ke Johor, beribu ke Minangkabau”.
Pada
tahun 1770, empat puluh tujuh tahun kemudian ketika Raja Kecil sudah tiada,
hubungan kedua suku yang serumpun itu kembali terjadi.
Orang
Minang yang suka merantau sejak dari dulunya ternyata telah ikut meneroka di
Negeri Sembilan Semenanjung Tanah Melayu. Pada mulanya para perantau Minang itu
setelah sampai di Malaka dan membuka perkampungan di Nanning kemudian ke Rembau
Seri Menanti. Setelah ramai orang Minang di sana, maka atas kesepakatan Datuk
Undang dijemputlah seorang anak raja dari Pagaruyung untuk dirajakan di Negeri
Sembilan.
Utusan
Datuk Undang yang sampai di Pagaruyung tersebut berhasil mendapatkan anak raja
Pagaruyung yang bernama Raja Mahmud kemudian bergelar Rajo Malewar.
Setelah
dilepas di Pagaruyung, maka untuk menyeberang ke Tanah Melayu singgah dulu di
Kesultanan Siak. Oleh Sultan Siak disiapkan 40 orang para pendekar yang handal
dan pelaut yang tangguh agar kepergian Raja Malewar selamat sampai ditujuan,
yakni Negeri Sembilan. Kebetulan wilayah penerukaan baru orang Minangkabau di
Negeri Sembilan tersebut berada di bawah Sultan Johor.
Pada
tahun 1773 Raja Malewar dinobatkan sebagai Yam Tuan Negeri Sembilan dan
bersemayam di Seri Menanti. Raja-raja Negeri Sembilan dengan sebutan Duli Yang
Maha Mulia Yang Dipertuan Besar Negeri
Sembilan yang sudah silih berganti sejak
Raja Malewar sampai ke DYMM Tuanku Jaafar ibni Tuanku Abdur Rahman yang
sekarang adalah keturunan Pagaruyung. Di Negeri Sembilan tersebut sampai
sekarang juga punya adagium “Barajo ka Johor, batali ka Siak, ba Tuan ka Minangkabau”.
Demikianlah
hubungan tali darah, tali adat dan tali budaya antara Melayu dan Minangkabau
sudah terpatri sejak dari dahulu kala.
Ketika
saya tampil memberikan makalah dalam suatu seminar di hotel Sahid kota
Pekanbaru tahun lampau berdua dengan Tokoh Lembaga Adat Riau, Bapak Tenas
Efendy, saya tutup makalah saya dengan pantun yang berbunyi sebagai berikut:
Alah bakayuah biduak ka ilie
Jikok ka ilie banyak singgah
Sambia lalu kito maimbau
Antah ko lukah di dalam aie
Antah aie di dalam lukah
Baitu Malayu jo Minangkabau
Lalu
Tuan Tenas Efendy pun menutup makalahnya dengan seuntai pantun pula.
Ketuku batang ketukal
Dua batang keladi mayang
Sesuku kita se-asal
Se-nenek kita se-moyang
Persisnya
antara Melayu dan minangkabau bagaikan mata uang dua sisi. Menurut pandangan
saya antara kedua puak suku tersebut, antah air di dalam lukah, entah lukah di dalam
air.
Padang,
6 November 2002 M/1 Ramadhan 1423 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar