OLEH H. Kamardi Rais Datuk
Panjang Simulie
Kata-kata tungku tigo sajarangan dan tali
tigo sapilin adalah sebuah ungkapan atau perumpamaan yang kita terima dari
nenek moyang kita dahulu. Pada masa kini ungkapan tersebut sudah amat populer.
Di mana-mana sering kita dengar ungkapan tungku tigo sajarangan dan tali tigo
sapilin. Kata-kata ini adalah lambang dari tiga unsur kepemimpinan di
Minangkabau yang sangat potensial, yaitu ninik mamak, alim ulama dan cadiak
pandai. Sedangkan tali tigo sapilin menggambarkan tiga landasan tempat berpijak
ketiga unsur kepemimpinan tersebut, yakni: adat, syarak, undang-undang.
Ketentuan adat menjadi pegangan ninik
mamak, hukum agama atau syarak pegangan para alim ulama dan undang-undang
dipegang atau landasan berpijaknya para cadiak pandai (cerdik cendekia).
Nenek moyang orang Minang gemar membuat
kata-kata kiasan, ibarat, perumpamaan, gurindam, andai-andai, pepatah, petitih,
pantun, dan sebagainya. Nenek moyang kita berguru kepada alam. Perumpamaan pun
sifatnya alamiah. Seperti contoh adanya tiga potensial masyarakat Minangkabau
sebagai ninik mamak, alim ulama dan cadiak pandai. Adat, agama dan undang
ditamsilkan dengan tali tigo sapilin.
Tungku adalah balok kayu atau batu yang
dipasang atau dihunjamkan ke tanah sebanyak tiga buah untuk penopang periuk
atau kuali untuk kita memasak. Jadi, tungku merupakan unsur penting atau sangat
potensial bagi suatu tempat perapian (dapur). Tungku menjadi unsur yang penting
tempat kayu menyala di bawah kuali atau periuk.
Kayu dalam tungku harus pula disilangkan,
jangan dilonjorkan semua. Kalau dilonjorkan, semua kayu di tungku itu tidak
akan menyala. Kayu itu harus disilangkan agar api hidup marak sehingga membakar
kuali atau periuk. Apa yang dimasak akan matang dan empuk. Demikianlah nenek
moyang kita mengambil sebuah perumpamaan dari alam yang terkembang. Mereka
berguru kepada alam, yaitu tungku sejerangan. Di dalam pantun adat dikatakan:
Pincalang biduak rang
Tiku
Mangayuah sambia
menungkuik
Basilang kayu di dalam
tungku
Di sinan api mako iduik
Kuali atau periuk dengan segala isinya,
baik lauk pauk, sayur mayur, rendang, nasi, atau lainnya adalah ibaratnya
masyarakat. Tiga unsur tungku sebagai penopangnya sehingga kuali atau periuk
atau belanga di atasnya terletak mapan. Tidak goyang, tidak goyah harus kuat
terhunjam di tanah, supaya yang dimasak jadi selamat, enak disantap bersama.
Jika tungku goyah, kedudukan kuali (masyarakat) tidak mapan lagi. Mungkin goyah
sedikit, akibatnya air di dalam belanga itu akan tumpah dan tercurah ke dalam
api, sehingga api padam. Tentang tali tigo sapilin akan menjadi kuat tak mudah
putus karena ketiga utas tali itu dipilin menjadi satu, yakni undang-undang
adat, hukum agama, undang-undang, dan peraturan.
Pemahaman tentang tungku tigo sajarangan
dengan penerapan tali tigo sapilin di tengah masyarakat Minangkabau diharapkan
berkembangnya budaya adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah, hidup
serasi di tengah warga yang beragam yang diatur undang-undang.
Ada baiknya dijelaskan masing-masing
unsur: unsur ninik mamak, yaitu penghulu adat. Ninik atau nenek menurut garis
keturunan ibu, yang menurunkan ibu dan paman kita yang disebut mamak. Bila
mamak sudah tiada, ia akan digantikan oleh kemenakannya yang laki-laki. Garis
keturunan yang demikian disebut matrilineal. Matrilineal terdiri dari dua kata.
Matri artinya ibu, lineal artinya garis. Jadi, matrilineal, artinya keturunan
menurut garis ibu.
Kekerabatan matrilineal berasal dari
nenek perempuan. Sedangkan yang jadi pimpinan adalah mamak, seorang laki-laki
di dalam kaumnya, sehingga disebut ninik mamak. Ninik mamak itu adalah seorang
penghulu adat, andika (andiko) di dalam kaumnya. Artinya orang yang dihormati,
menjadi tuanku dalam satu keturunan berasal dari nenek perempuan atau
kekerabatan menurut garis ibu. Kemudian seorang penghulu adat menyandang gelar
datuk.
Setiap laki-laki di dalam kaumnya adalah
mamak yang berhak tampil sewaktu-waktu jadi pemegang pemimpin kaum. Namun yang
menjadi andiko hanya seorang saja. Dia dipilih di antara anggota kaumnya yang
laki-laki. Di dalam fatwa adat disebutkan jadi penghulu sakato kaum. Artinya
harus dengan kesepakatan kaum. Jadi raja sepakat daulat. Artinya sepakat daulat
(yang memegang kekuasaan di dalam kerajaan tersebut) barulah ia diangkat
sebagai seorang raja.
Lalu, apa syarat atau kriteria seorang
laki-laki dipilih jadi penghulu atau ninik mamak?
Pertama, ia terpilih karena
tinggi tampak jauh, gadang tampak dakek (jolong basuo).
Kedua, tinggi karena
disentakkan ruweh (ruas), gadang dilintang pungkam. Dia tinggi
bukan karena diganjal dengan kayu atau batu supaya tanaman jadi tinggi. Dia
tinggi karena ruasnya yang menyentak. Maksudnya pribadinya berkembang terus,
dia berilmu, punya wawasan yang luas. Ia mempunyai kelebihan dari yang lainnya,
mempunyai kemampuan, punya kapabilitas. Dia juga punya wibawa, disegani anak
kemenakan, kukuh dengan pendirian, tidak terombang ambing dan solid (dia besar
karena dilintang pungkam), punya urat dan akar tunggang yang dalam, punya teras
kayu yang kuat serta utuh. Padangnya leba, alamnyo laweh.
Ketiga, tinggi dek dianjuang,
gadang dek diambak. Artinya, ada persetujuan bersama atau ada kesepakatan untuk
mengangkatnya jadi pemimpin. Inilah yang disebut dengan akseptabilitas. Apa
yang menjadi cupak bagi seorang penghulu? Artinya, apa yang menjadi ukuran atau
norma dari seorang penghulu. Itu disebut cupak. Di dalam pantun adat disebut:
Mancampak tibo ka hulu
Kanailah anak udang
gadang
Apo cupak dek panghulu
Bamain di undang-undang
Jadi, landasan tempat berpijak seorang
penghulu adalah undang-undang. Artinya hukum adat. Dia tidak bisa memutuskan
sesuatu perkara tanpa berpedoman kepada hukum adat. Yang menjadi kewajiban atau
tugas seorang penghulu adalah menuruik alua nan luruih, manampuah jalan nan
pasa, mamaliharo harato pusako sarato membimbing anak kamanakan.
Alim ulama disebut suluah bendang, suluh
yang terang benderang dalam nagari. Dalam fatwa adat dikatakan, alim ulama itu
ka jadi unduang-unduang ka sarugo, ka payuang panji ka Madinah. Unduang-unduang
adalah penutup kepala dari kain agar terlindung dari hujan dan panas. Sedangkan
payung panji adalah payung kebesaran yang lingkarannya agak lebar sehingga
terlindung yang di bawahnya.
Alim ulamalah yang mengaji hukum-hukum
agama, tentang sah dan batal, halal dengan haram dan mengerti tentang nahu dan sharaf. Alim ulama yang membimbing rohani untuk jalan ke akhirat
karena adat Minang itu adat islami, adat bersendi syarak, syarak bersendi
Kitabullah. Di dalam kaum atau suku ada Orang
Ampek Jinih, salah seorang di antaranya adalah mualim atau malin. Urutannya
adalah penghulu, malin, manti dan dubalang.
Penghulu sa andiko, malin sakitab. Tentang malin di dalam kaum atau pesukuan
tersebut memang diangkat oleh kaum atau sukunya masing-masing setelah memenuhi
persyaratan pula: tentang kewaraannya, taat beribadat, rajin ke surau, dan
mampu membimbing anggotanya untuk beragama. Dewasa ini unsur alim ulama lahir
di tengah masyarakat merupakan tamatan pesantren, madrasah, perguruan tinggi
agama Islam, negeri atau swasta, dan lain-lain. Unsur alim ulama menerapkan
hukum Islam bagi orang Minang dalam keterpaduan tali tigo sapilin.
Dulu, cadiak pandai di kampung atau
nagari adalah warga kampung atau nagari yang berprofesi sebagai guru. Misalnya
guru sekolah gubernemen. Begitu juga seorang kerani (juru tulis kantor), Tuan
Pakuih (Pakhuismeester), dan
lain-lain. Orang tersebut dibawa ikut berunding memecahkan berbagai masalah di
nagari atau di kalangan masyarakat. Mereka paham dengan undang-undang dan
peraturan atau ketentuan yang berlaku dalam hidup bersama sebagai bangsa dan
bernegara.
Ketika perkembangan pendidikan sudah
lebih maju melahirkan orang-orang pandai dan para cendekiawan sebagai unsur tungku tigo sajarangan. Kepadanya perlu
diminta pertimbangan yang menyangkut hukum positif (undang) dan nasihat lainnya
menyangkut dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang
pesat. Namun, bagi orang Minang antara cadiak dengan pandai dibedakan dalam
beberapa hal. Urang cadiak adalah orang pintar dalam menyelesaikan sesuatu,
panjang akal, otaknya berputar untuk mencari jalan keluar dari suatu kebuntuan.
Sedangkan orang pandai adalah orang berilmu karena rajin belajar dan bertanya.
Jadi tungku
tigo sajarangan adalah tiga unsur kepemim-pinan yang sangat berpotensi
sebagai pilar penyangga masyarakat Minang. Manakala ketiga unsur tersebut
bergerak dengan langkah yang sama, derap yang sama, maka masyarakat Minang akan
maju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar