Senin, 21 Agustus 2017

Identitas, Sastra, Kultur

OLEH Gus tf Sakai (Sastrawan)
Gus tf Sakai
Ketika individu menjelma jadi kelompok, ada unsur, sifat, atau kepentingan sama tertentu yang mengikatnya. Dan identitas dalam bentuk kelompok (etnik, kultur, nation), selalu berada dalam sistem kompleks yang tak bisa dikenali melalui individu. Fisika boleh menemukan partikel terkecil sub-atomik misalnya, tetapi ketika sejumlah atom berada dan terikat dalam gugus atom (molekul, senyawa), “wujud” yang muncul selalu beda. Dalam kajian sosial, sistem kompleks kumpulan individu ini diidentifikasi melalui ideologi. Tetapi, tepatkah pengidentifikasian seperti itu?

Ada satu hal sulit dalam ideologi, yakni keniscayaan untuk menghamba pada kehendak sendiri. Setiap entitas di luar dirinya adalah salah, maka mekanisme tumbuhnya selalu dengan menaklukkan Sang Lain. Ada rekayasa ekspansif—konsekuensi dari politik identitas—yang kalau dimiliki oleh kelompok mayoritas akan berlaku menekan, dan bila dimiliki kelompok berkuasa tentulah otoriterian.
Ideologi menempatkan identitas sebagai sesuatu yang tetap, padahal sebenarnya tidak. Apa pun entitas hakikatnya adalah berubah. Individu terkecil dalam satu kelompok pun, bila tumbuh, tak lagi dapat dikenali melalui identifikasi sebelumnya. Kenapa? Karena setiap individu setiap saat berinteraksi. Dan karena interaksi setiap identitas setiap saat berubah. Maka apa yang kita lihat sebagai identitas, sebenarnya adalah pseudoidentitas.

Identitas dalam sastra

Dalam Kongres Cerpen Indonesia IV yang diselenggarakan di Pekanbaru, Riau, akhir tahun lalu, saya menolak istilah “estetika lokal”. Lokal, seperti halnya etnik, kultur, nation, karena berperannya ideologi, selalu berpegang pada ukuran dan sifat sendiri. Sementara estetika tak lain urusan emosi dan pikiran dalam hubungannya dengan keindahan yang tak terikat pada pertimbangan moral, sosial, politik, ekonomi atau apa pun. Ada kondisi diametrikal antara estetika dan lokal, yang menjadikan mereka tak bisa bergandengan.
Sastra bersetuju dengan kata pertama, estetika, karena segenap perangkat teks sastra berurusan dengan persoalan bagaimana menjadi tak ada. Seperti halnya estetika yang bisa masuk ke mana-mana, sastra penting menjadi tak ada agar ia bisa dinikmati oleh siapa pun dari belahan dunia mana pun. Itu pula sebabnya sastra, karena menjadi tak ada ini, sifatnya bukan “memberi”, melainkan “membangkitkan”. Kenapa membangkitkan? Karena, pertama, ia berurusan dengan indera, dan kedua, untuk menempatkan pembaca sebagai subyek.
Adalah tak aneh bila, sebagai seorang pengarang, saya selalu ingin hilang. Hanya dengan hilangnya saya, dan juga dengan hilangnya teks sastra (jangan lupa: menjadi tak ada), pembaca menemukan posisinya yang utuh sebagai subyek. Maka, identitas dalam teks sastra akan selalu melenyap, melenyap dan melenyap. Berbeda dibanding identitas dalam teks-teks lain yang urusannya selalu mengada dan mengada.

Ironis

Dengan berat hati harus saya katakan, sejarah kesusastraan modern Indonesia adalah sejarah ideologi. Ia diawali dari keterpesonaan kepada Barat (Belanda), dan memperoleh momentumnya melalui klaim politik (mem-bangsa, nation) pada Sumpah Pemuda, 1928. Adalah ironi kenyataan bahwa setiap angkatan dalam kesusastraan Indonesia selalu dinamai berdasarkan peristiwa tertentu dalam proses mem-bangsa. Tak ada yang dapat dikatakan bagi sejarah kesusastraan seperti itu kecuali sejarah kesusastraan Indonesia adalah sejarah sastra “memberi”.
Bagi Anda (subyek) yang berkepentingan dengan politik, karya sastra demikian tentu bukan masalah. Tetapi,  seperberapakah jumlah Anda? Lepas dari jumlah, substansi sastra “memberi” juga akan membuat Anda serta-merta menolaknya begitu Anda berganti haluan beralih ke lain kepentingan. Dan yang tak dapat diabaikan, tak semua sastra “memberi” bisa berterima di setiap zaman. Salah Asuhan dan Siti Nurbaya misalnya, betapa kini terasa kuno. Atau Layar Terkembang, betapa kini bagai menutup. Karya-karya itu mengeras pada dirinya, pada ideologinya: tradisi-lokal, bangsa, modern-Barat.
Bagai bangunan, sastra “memberi” ini meletakkan pondasi, terus ditegakkan sampai kini. Etnik, kultur, bangsa, ditempatkan dalam tegangan, atau sebaliknya, dalam perayaan, yang hakekatnya sama saja: keras, pejal, tertutup. Pengakuan Pariyem Linus Suryadi AG misalnya, bisakah “memberi” kepada pembaca (subyek) dari kultur Bali atau Batak? Atau Paco-Paco Hamid Jabbar, bisakah berterima pada subyek dari kultur Jawa atau Sunda? Karena ideologi, kekayaan (keunikan) suatu kultur terbaring dalam satu kata: sia-sia. Dalam jenis (sejarah) sastra seperti ini, dapatkah kita bicara silang budaya?

Keluruhan kultur

Mari kita kembali ke kesalahan ideologi: menempatkan identitas sebagai sesuatu yang tetap. Dan mari kita koreksi kesalahan itu: apa yang disebut identitas tak lain adalah pseudoidentitas. Atau mari katakan dengan lugas: tak ada identitas, yang ada hanya interaksi. Dalam interaksi, di manakah atom? Tak ada, karena yang ada hanya senyawa. Dalam interaksi, bagaimana kita bisa percaya kepada “asli”? “Asli” berbilas dengan mati, karena ciri abadi hidup adalah berubah.
Kata tradisi sendiri, bahkan, berasal dari kata Inggris tradition yang berakar pada kata trade yang salah satu artinya “tukar-menukar”. Harus saya katakan, di Minangkabau tak ada yang asli. Bahkan pakaian para pemuda sehari-hari diidentifikasi dengan adagium baju guntiang cino, sarawa batiak jao, saruang sandang bugih yang bila diindonesiakan berbunyi baju gunting China, celana batik Jawa, sarung sandang Bugis. Itu contoh fisikal. Contoh nonfisik misalnya bisa ditemukan di kampung saya, Luak Limopuluah, barih-balabeh-nya (semacam tambo juga, tapi menceritakan asal-usul kultur tempatan lebih kecil) menyebutkan tentang Si Jambi anak Rajo di Ranah yang tak bisa disunat dengan apa pun kecuali dengan pisau yang dilahirkan si ibu bersamanya. Sebuah kisah lain versi dari mitologi Hindu yang juga ada versi lainnya dalam mitologi Yunani. Perlu diinformasikan, Luak Limopuluah ini, kampung saya itu, terletak di pedalaman Minangkabau! Bagaimana kita masih berani bicara “asli”?
Menurut hemat saya, dalam interaksi inilah, dalam “ketakaslian”-lah, dalam keberubahanlah, sastra bisa bertemu dengan kultur. Saat mereka sama “keluar”—kultur lepas dari ideologi dan sastra menjadi tak ada—dari (kuasa) identitas, pembaca akan menjelma jadi subyek, yang penuh dengan dirinya, dengan dunia dan cara pandangnya; sebuah kondisi (medan) di mana sastra tak berada dalam posisi “memberi”, melainkan “membangkitkan”, berada di belahan dunia mana pun subyek, berasal dari kultur apa pun subyek.

Sungguh, tak ada yang lebih penting kecuali subyek (pembaca). Karena subyeklah yang hidup di dunia nyata, lalu-lalang hidup bersama kita: mengubah dan membangun dunia. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...