OLEH Gus tf Sakai (Sastrawan)
Gus tf Sakai |
Ketika individu menjelma jadi kelompok, ada
unsur, sifat, atau kepentingan sama tertentu yang mengikatnya. Dan identitas
dalam bentuk kelompok (etnik, kultur, nation),
selalu berada dalam sistem kompleks yang tak bisa dikenali melalui individu.
Fisika boleh menemukan partikel terkecil sub-atomik misalnya, tetapi ketika
sejumlah atom berada dan terikat dalam gugus atom (molekul, senyawa), “wujud”
yang muncul selalu beda. Dalam kajian sosial, sistem kompleks kumpulan individu
ini diidentifikasi melalui ideologi. Tetapi, tepatkah pengidentifikasian
seperti itu?
Ada satu hal sulit dalam ideologi, yakni
keniscayaan untuk menghamba pada kehendak sendiri. Setiap entitas di luar
dirinya adalah salah, maka mekanisme tumbuhnya selalu dengan menaklukkan Sang
Lain. Ada rekayasa ekspansif—konsekuensi dari politik identitas—yang kalau
dimiliki oleh kelompok mayoritas akan berlaku menekan, dan bila dimiliki
kelompok berkuasa tentulah otoriterian.
Ideologi menempatkan identitas sebagai sesuatu
yang tetap, padahal sebenarnya tidak. Apa pun entitas hakikatnya adalah
berubah. Individu terkecil dalam satu kelompok pun, bila tumbuh, tak lagi dapat
dikenali melalui identifikasi sebelumnya. Kenapa? Karena setiap individu setiap
saat berinteraksi. Dan karena interaksi setiap identitas setiap saat berubah.
Maka apa yang kita lihat sebagai identitas, sebenarnya adalah pseudoidentitas.
Identitas
dalam sastra
Dalam Kongres Cerpen Indonesia IV yang
diselenggarakan di Pekanbaru, Riau, akhir tahun lalu, saya menolak istilah
“estetika lokal”. Lokal, seperti halnya etnik, kultur, nation, karena berperannya ideologi, selalu berpegang pada ukuran
dan sifat sendiri. Sementara estetika tak lain urusan emosi dan pikiran dalam
hubungannya dengan keindahan yang tak terikat pada pertimbangan moral, sosial,
politik, ekonomi atau apa pun. Ada kondisi diametrikal antara estetika dan lokal, yang menjadikan mereka tak bisa bergandengan.
Sastra bersetuju dengan kata pertama, estetika, karena segenap perangkat teks
sastra berurusan dengan persoalan bagaimana menjadi
tak ada. Seperti halnya estetika yang bisa masuk ke mana-mana, sastra
penting menjadi tak ada agar ia bisa
dinikmati oleh siapa pun dari belahan dunia mana pun. Itu pula sebabnya sastra,
karena menjadi tak ada ini, sifatnya
bukan “memberi”, melainkan “membangkitkan”. Kenapa membangkitkan? Karena, pertama, ia berurusan dengan indera, dan
kedua, untuk menempatkan pembaca
sebagai subyek.
Adalah tak aneh bila, sebagai seorang pengarang,
saya selalu ingin hilang. Hanya dengan hilangnya saya, dan juga dengan
hilangnya teks sastra (jangan lupa: menjadi
tak ada), pembaca menemukan posisinya yang utuh sebagai subyek. Maka,
identitas dalam teks sastra akan selalu melenyap, melenyap dan melenyap.
Berbeda dibanding identitas dalam teks-teks lain yang urusannya selalu mengada
dan mengada.
Ironis
Dengan berat hati harus saya katakan, sejarah
kesusastraan modern Indonesia adalah sejarah ideologi. Ia diawali dari
keterpesonaan kepada Barat (Belanda), dan memperoleh momentumnya melalui klaim
politik (mem-bangsa, nation) pada
Sumpah Pemuda, 1928. Adalah ironi kenyataan bahwa setiap angkatan dalam
kesusastraan Indonesia selalu dinamai berdasarkan peristiwa tertentu dalam
proses mem-bangsa. Tak ada yang dapat dikatakan bagi sejarah kesusastraan
seperti itu kecuali sejarah kesusastraan Indonesia adalah sejarah sastra
“memberi”.
Bagi Anda (subyek) yang berkepentingan dengan politik,
karya sastra demikian tentu bukan masalah. Tetapi, seperberapakah jumlah Anda? Lepas dari
jumlah, substansi sastra “memberi” juga akan membuat Anda serta-merta
menolaknya begitu Anda berganti haluan beralih ke lain kepentingan. Dan yang
tak dapat diabaikan, tak semua sastra “memberi” bisa berterima di setiap zaman.
Salah Asuhan dan Siti Nurbaya misalnya, betapa kini terasa kuno. Atau Layar Terkembang, betapa kini bagai
menutup. Karya-karya itu mengeras pada dirinya, pada ideologinya:
tradisi-lokal, bangsa, modern-Barat.
Bagai bangunan, sastra “memberi” ini meletakkan
pondasi, terus ditegakkan sampai kini. Etnik, kultur, bangsa, ditempatkan dalam
tegangan, atau sebaliknya, dalam perayaan, yang hakekatnya sama saja: keras,
pejal, tertutup. Pengakuan Pariyem
Linus Suryadi AG misalnya, bisakah “memberi” kepada pembaca (subyek) dari
kultur Bali atau Batak? Atau Paco-Paco
Hamid Jabbar, bisakah berterima pada subyek dari kultur Jawa atau Sunda? Karena
ideologi, kekayaan (keunikan) suatu kultur terbaring dalam satu kata: sia-sia.
Dalam jenis (sejarah) sastra seperti ini, dapatkah kita bicara silang budaya?
Keluruhan kultur
Mari kita kembali ke kesalahan ideologi:
menempatkan identitas sebagai sesuatu yang tetap. Dan mari kita koreksi
kesalahan itu: apa yang disebut identitas tak lain adalah pseudoidentitas. Atau
mari katakan dengan lugas: tak ada identitas, yang ada hanya interaksi. Dalam
interaksi, di manakah atom? Tak ada, karena yang ada hanya senyawa. Dalam
interaksi, bagaimana kita bisa percaya kepada “asli”? “Asli” berbilas dengan
mati, karena ciri abadi hidup adalah berubah.
Kata tradisi sendiri, bahkan, berasal dari kata
Inggris tradition yang berakar pada
kata trade yang salah satu artinya
“tukar-menukar”. Harus saya katakan, di Minangkabau tak ada yang asli. Bahkan
pakaian para pemuda sehari-hari diidentifikasi dengan adagium baju guntiang cino, sarawa batiak jao,
saruang sandang bugih yang bila diindonesiakan berbunyi baju gunting China, celana batik Jawa,
sarung sandang Bugis. Itu contoh fisikal. Contoh nonfisik misalnya bisa
ditemukan di kampung saya, Luak Limopuluah, barih-balabeh-nya
(semacam tambo juga, tapi
menceritakan asal-usul kultur tempatan lebih kecil) menyebutkan tentang Si
Jambi anak Rajo di Ranah yang tak bisa disunat dengan apa pun kecuali dengan
pisau yang dilahirkan si ibu bersamanya. Sebuah kisah lain versi dari mitologi
Hindu yang juga ada versi lainnya dalam mitologi Yunani. Perlu diinformasikan,
Luak Limopuluah ini, kampung saya itu, terletak di pedalaman Minangkabau!
Bagaimana kita masih berani bicara “asli”?
Menurut hemat saya, dalam interaksi inilah,
dalam “ketakaslian”-lah, dalam keberubahanlah, sastra bisa bertemu dengan
kultur. Saat mereka sama “keluar”—kultur lepas dari ideologi dan sastra menjadi tak ada—dari (kuasa) identitas,
pembaca akan menjelma jadi subyek, yang penuh dengan dirinya, dengan dunia dan
cara pandangnya; sebuah kondisi (medan) di mana sastra tak berada dalam posisi
“memberi”, melainkan “membangkitkan”, berada di belahan dunia mana pun subyek,
berasal dari kultur apa pun subyek.
Sungguh, tak ada yang lebih penting kecuali
subyek (pembaca). Karena subyeklah yang hidup di dunia nyata, lalu-lalang hidup
bersama kita: mengubah dan membangun dunia. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar