(Mengenang Kembali Tiga Seminar Minangkabau (I)
OLEH H Kamardi Rais Datuak
Panjang Simulie
Pengantar
Mantagibaru kali
menurunkan tiga tulisan wartawan senior almarhum Kamardi Rais. Ia salah seorang
yang berprofesi jurnalis sekaligus sosok ninik mamak yang memahami adat
istiadat dan budaya Minangkabau, serta menjadi Ketua Umum LKAAM Sumbar.
Tiga tulisan
Kamardi ini memotret fenomena yang terjadi dalam tiga kali peristiwa budaya,
yakni seminar tentang Minangkabau yang digelar berturut-turut (1968, 1969, dan
1970). Setelah ini, tak ada seminar Minangkabau yang sedalam dan selengkap ini
digelar. Berikut tiga tulisan itu
diturunkan secara berkala per minggu, tentu setelah dilakukan penyuntingan. .
Di antara tahun 1968-1970
(hampir 40 tahun silam) telah berlangsung tiga seminar di Sumatera Barat.
Seminar pertama dengan topik “Hukum Tanah dan Hukum Waris” bertempat di Aula
Fakultas Hukum Unand Padang pada tanggal 21-25 Juli 1968.
Bintang seminar
waktu itu adalah Prof. Dr. Hazairin, S.H. dan Prof. Dr. Hamka. Keduanya sudah
almarhum.
Seminar kedua juga berlangsung
di Padang, pada tanggal 23-26 Juli 1969 dengan topik “Sejarah Masuknya Islam ke
Minangkabau”.
Bintang seminar
waktu itu adalah Ir. Magaraja Onggang Parlindungan dan Buya Hamka.
Onggang Parlindungan
seorang Letkol Purn TNI dan ahli bom tarik Pindad di Bandung dan pernah belajar
di Jerman.Parlindungan mendapat
perhatian luar biasa dari masyarakat karena bukunya yang baru terbit berjudul Tuanku Rao.
Seminar ketiga di
kota Batusangkar (Luhak nan Tuo) berlevel nasional, pada 1-7 Agustus 1970
dengan topik “Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau.”
Bintang seminar
waktu itu Bung Hatta (mantan Wapres dan tokoh Proklamator RI), Buya Hamka dan
Drs. M. Dahlan Mansur, yang mengarang buku Sejarah
Minangkabau bersama Dra. Asmaniar Idris, Drs. Ibrahim Buchari, Amrin Imran
dan Drs. Mardanas Sofwan.
Tiga rangkaian
peristiwa tersebut yang berurutan tiap tahun: 1968-1969 dan 1970 bagaikan
menjajaki kembali rute perjalanan sejarah di Minangkabau atau napak tilas pada
jalan yang berkelok dan berliku serta semak belukar sejarah nenek moyang masa
silam.
Banyak para pakar berpendapat
bahwa sejarah Minangkabau bagaikan kita hendak mencari jarum yang jatuh ke
rumput atau hendak mencari kutu dalam tumpukan ijuk yang tebal layaknya. Kitab Tambo tidak terikat dengan ruang dan
waktu. Salah satu kitab Tambo,
menurut penelitian tim dari IKIP Padang (sekarang UNP) mengemukakan di forum seminar
bahwa ada tambo yang pada penutupnya tertulis begini: ”Kitab Tambo ini selesai ditulis setelah makan
pagi.” Nah, kapan makan pagi itu? Tak dijelaskan.
Namun, topik dari
tiga seminar itu memang telah disesuaikan dengan kebutuhan atau tuntutan zaman
pada waktu itu.
Seminar itu adalah menjawab
pertanyaan atau persoalan yang timbul di tengah masyarakat. Adalah kenyataan banyaknya
sengketa harta pusaka yang masuk ke Pengadilan Negeri sebagaimana dikemukakan
oleh Gubernur Harun Zain. Hal tersebut sudah jelas berkaitan dengan masalah
waris dan hukum adat tentang tanah yang hak komunal: ”Dijua tak dimakan bali, digadai tak dimakan sando. Kok murah tak dapek
dimintak, maha tak dapek dibali”. Pusaka tinggi, tambilang basi nenek moyang harus diwariskan secara utuh kepada
kemenakan sampai pada cucu di belakang hari menurut sistem adat
matrilineal.
Bintang seminar “Hukum
Tanah dan Hukum Waris” ini adalah sesepuh Minang Prof Dr Hazairin, SH (ahli
hukum ternama) dan Prof Dr Hamka (ulama besar).
Prof Dr Hazairin, SH,
dan Prof Dr Hamka sebagai bintang seminar karena kedua tokoh tersebut menguasai
forum seminar.
Hazairin
menyampaikan paparan tidak menyiapkan tanpa kertas kerja atau makalah, tapi
sampai 2 jam dengan suara melengking tak terhalang-halang. Sudah berkali-kali
panitia memberi peringatan dengan surat kecil, profesor ini tidak mau
menghentikan pembicaraannya. Ketika Sofyan Muchtar, SH sebagai moderator minta
paparan profesor diperpendek, dijawabnya bahwa dia diundang dan dibiayai
berbicara di forum ini. Buat apa saya dihalangi? Tanyanya dengan nada tinggi.
Profesor ahli hukum
itu terus saja bicara sampai ia berhenti. Saya lihat Pak Hazairin sudah kelelahan.
Ketika Kapten Drs
Saafruddin Bahar (sekarang Doktor) tampil sebagai pembanding spontan, Hazairin
bukan membiarkan Kapten Saafruddin selesai bicara, tapi setiap ujung kalimat Kapten
Saafruddin dijawabnya secara spontan.
”Orang Minang banyak
hidup di rantau atau di daerah lain? Di Jakarta lebih setegah juta orang
Minang? Hazairin mengulangi apa yang dikemukakan Kapten Saafruddin, lalu ia berkomentar:
“Eh Kamu ini tak melihat kenyataan yang sesungguhnya, ya?”
Orang Minang tinggal
di Betawi, di Bandung, dan di mana saja dengan keringat sendiri, pontang-panting,
sedangkan orang Jawa dipindahkan ke sini dibiayai dikasih duit, dibuatkan
rumah, jalan, dan lain-lain. “Rekam pendapat saya ini dan putar di depan
Soeharto,” kata Hazairin.
Demikian Prof. Dr. Hazairin,
SH menjawab Drs Saafruddin Bahar.
Lalu tampil pula
Drs. Mawardi Yunus Dt. Rajo Mangkuto waktu itu beliau Ketua Badan Pekerja LKAAM
Sumbar dan Dekan Fakultas Ekonomi Unand.
Mawardi menyayangkan
bahwa yang budiman Prof. Dr. Hazairin, SH, tak punya kertas karya yang dapat
kita pelajari. Beliau hanya tampil dengan mulut karya saja.
Lagi pula, lanjut
Mawardi Yunus, kita yang hadir ini dianggap Pak Hazairin mahasiswanya saja. “Jadi
beliau bukan membuka diskusi tapi memberi kuliah,” kata Mawardi Yunus.
Apa tanggapan Prof.
Hazairin?
“Eh, Mawardi anak si
Yunus! Kamu bukan mahasiswa saya. Kamu kuliah di UI? Baiklah saya tambah ilmu
si Mawardi anak si Yunus ini,” respons Profesor ini.
“Saya tegaskan bahwa
kata “seminar” artinya kuliah. Saya seorang Profesor menguliahi semua yang
hadir ini, termasuk Hamka (Hamka mengangung-angguk) juga dan berikut Prof yang
telah gaek Prof. St. Harun Al Rasyid, SH, Dekan Fakultas Hukum Unand. Mana dia?
Dia takut menghadapi saya,” jawab Hazairin. Dan suasana seminar jadi riuh.
Tentang Buya Hamka
sebagai bintang seminar yang lain adalah seorang ulama yang ahli adat. Kaba Cindur Mato dan Rancak di Labuah
konon hapal di luar kepalanya.
Ia menghantam Dr.
Haliman, SH, Ketua PNI Front Marhaenis Sumbar.
Berkata Hamka kepada Haliman.
“Buat Dr. Haliman saya
beri sebuah pantun,” kata Hamka,
Baburu kami indak
Rantiang Badatak
iyo
Camburu kami indak
Hati badatak iyo
Hadirin bertepuk
tangan begitu Hamka berpantun. Kemudian tambahnya.
“Tasirok darah di dado denai. Engku Haliman
nampaknya merah jambu ya?” Kembali
orang bertepuk tangan.
Kedua bintang
seminar ini telah menghidupkan suasana dan bisa juga obat menolak kantuk
Seminar “Hukum Tanah
dan Hukum Waris” tersebut hendak menegaskan kembali kesimpulan yang diambil
oleh Konperensi Tungku Tigo Sajarangan di Bukittinggi bulan Mei 1952 yang
dihadiri oleh ninik mamak, alim ulama dan cadiak pandai Minangkabau.
Istimewanya lagi dihadiri oleh Inyiak H. Agus Salim.
Saya tuliskan
kembali kesimpulan seminar “Hukum Tanah dan Hukum Waris” di Padang tahun 1968.
Antara lain sebagai berikut:
1. Untuk menjamin
hak-hak kaum tentang SAKO dan PUSAKO, seminar mendesak Pemda Sumbar untuk
mewajibkan setiap kaum membuat ranji kaum oleh ninik mamak kepala kaum atau
mamak kepala waris yang disyahkan oleh Pucuk Suku, Kerapatan Nagari dan Wali
Nagari.
2. Tanah ulayat
mempunyai fungsi sosial dan dapat digunakan atau dimanfaatkan untuk kepentingan
bersama berpedoman kepada aturan adat dan tidak bertentangan dengan
undang-undang. Baik oleh yang memberi dan baik pula bagi yang menerima.
3. Seminar meminta
kepada pemerintah tentang tanah absentie (pasal 3 PP No. 224 tahun 1961) mohon dikecualikan
pelaksanaannya untuk daerah Minagkabau karena tidak sesuai dengan hukum adat
Minangkabau.
4. Konflik
(persengketaan) yang terjadi di tengah masyarakat dapat diselesaikan dan
didamaikan oleh Kerapatan Nagari dan tidak perlu langsung dibawa ke Pengadilan
Negeri.
5. Berpedoman kepada
keputusan yang diambil dalam konperensi ninik mamak, alim ulama cadiak pandai. Konperensi
Tungku Tigo Sajarangan di Bukittinggi
tahun 1952, maka seminar Hukum Tanah dan Hukum Waris di Padang menetapkan bahwa
terhadap Pusako Tinggi berlaku Hukum Adat Minangkabau, sedangkan terhadap harta
pencaharian (suami-isteri) diatur dengan Hukum Faraidh. Diserukan kepada
hakim-hakim dan aparat penegak hukum di Sumbar dan Riau supaya mempedomani dan
memperhatikan kesimpulan seminar ini.
Demikian yang saya
kenang tentang seminar “Hukum Tanah dan Hukum Waris” di Padang, 25 Juli 1968. Kesimpulan
seminar tersebut ditandatangani oleh Presidium seminar yang terdiri dari:
Sutan Mansur Mahmudy, SH (Ketua
Pengadilan Tinggi)
Sofyan Muchtar, SH (Fak. Hukum Unand)
Idrus Hakimy Dt.R. Panghulu (LKAAM
Sumbar)
Kapten Drs Saafrudin Bahar (Kodam
III/17 Agustus)
Mochtar Naim, MA (Centre
for Minangkabau Studies)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar